Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Jumat, 28 November 2014

Hubungan Pasien, Dokter, Dan Rumah Sakit

Transaksi terapeutik merupakan perjanjian antara pasien dengan dokter dan/atau rumah sakit, transaksi ini berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian pada umumnya. Kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut hukum, objek perjanjian ini bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.[1]
Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian. Yaitu rumah sakit/dokter sebagai pihak yang memberikan atau melaksanakan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Jadi secara umum, apa yang diatur dalam perjanjian menurut Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berlaku pula dalam perjanjian terapeutik. Hanya saja dalam perjanjian terapeutik, ada kekhususan tertentu, yaitu tentang ikrar atau cara mereka mengadakan perjanjian. Sebab dalam perjanjian terapeutik dijelaskan bahwa dengan kedatangan pasien kerumah sakit tempat dokter bekerja, dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat, telah dianggap adanya suatu perjanjian terapeutik.[2]
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukannya setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh infomasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.[3]
Namun ada kondisi lain yang memungkinkan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya “persetujuan tindakan medik” terlebih dahulu, melainkan karena adanya keadaan yang memaksa atau keadaan darurat.[4]
Dalam hal pasien /keluarganya menyetujui advis dokter untuk menjalani perawatan di rumah sakit dan rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan dokter serta rumah sakit timbul sejak pasien masuk kerumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :
a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.
b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis .
Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang dalam Pasal 1234 BW ditentukan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam perjanjian ini kewajiban rumah sakit adalah untuk melakukan sesuatu sehingga pasien mendapatkan kesembuhan. Tindakan utamanya memberikan pelayanan kesehatan yang antar lain dilakukan oleh dokter dan perawat.[5]
Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara pasien dengan rumah sakit harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 BW, yaitu:[6]
1)  kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya;
2)  kecakapan para pihak untuk membuat perikatan/melakukan kesepakatan;
3)  suatu hal tertentu;dan
4)  suatu sebab yang halal.
Dengan adanya ketentuan di atas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit. Pasien dapat mengajukan gugatan pertanggungjawaban berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata, juga berdasarkan pada perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata.
Dari hubungan hukum yang terjadi antara pasien, dokter dan rumah sakit lalu melahirkan hak dankewajiban bagi para pihak. Sebagaimana yang diatur dalam UU No.29/2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52 yang menentukan pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :
a.    mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b.    meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c.    mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d.    menolak tindakan medis;
e.    mendapatkan isi rekam medis.
Selain hak pasien yang diatur dalam UU Praktek Kedokteran, hak-hak pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan juga terdapat  dalam UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 4, yaitu:[7]
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b.    hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.    hak atas infomasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya;
i.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak, pasien juga mendapatkan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum yang dilakukannya, yaitu:
a.    Memberikan infomasi yang lengkap
b.    Melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
c.    Berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau rumah sakit
d.    Memberikan imbalan jasa
e.    Memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan dokter atau rumah sakit.[8]
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi adalah :[9]
a.    Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
b.    Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
c.    Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
d.    Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
e.    Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau keluarganya.

Disamping itu juga dokter mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, kewajiban tersebut meliputi:
a.    Kewajiban umum
b.    Kewajiban terhadap penderita
c.    Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d.    Kewajiban terhadap diri sendiri.

Dalam hal rumah sakit pemerintah, maka dokter dan perawat yang bekerja pada rumah sakit tersebut tidak menjalankan hak dan kewajibannya sebagai aparat melainkan hak dan kewajiban rumah sakit sebagai badan hukum publik. Sebab itu tanggungjawab dari semua tindakan yang bersumber dari hak dan kewajiban menjadi tanggungjawab rumah sakit.[10]
Dalam hubungan antara rumah sakit dengan pasien, rumah sakit menawarkan upaya pelayanan kesehatan dengan meyediakan sarana, prasarana, dan sumber daya kesehatan. Rumah sakit memikul beban tanggung gugat apabila pelayanan kesehatan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan rumah sakit dan standar profesi tenaga kesehatan.
Rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu rumah sakit yang dipandang sebagai “recht person” juga dibebani hak dan kewajiban.  Secara umum hak rumah sakit dalam pelayanan kesehatan antara lain:[11]
1)    Membuat peraturan rumah sakit;
2)    Mensyaratkan pasien untuk mentaati segala peraturan rumah sakit;
3)    Mensyaratkan pasien untuk tunduk dan taat terhadap segala instruksi yang diberikan oleh dokter kepadanya;
4)    Memilih dan meyeleksi tenaga dokter yang akan dipekerjakan pada rumah sakit yang bersangkutan;
5)    Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi kepada rumah sakit
Sedangkan kewajiban rumah sakit selain diatur dalam hukum dan peraturan perundang-undangan, juga dirumuskan dalam Kode Etik Rumah Sakit yang meliputi :[12]
1)    Kewajiban umum rumah sakit yang meliputi :
a.  mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit (corporate liability);
b.  memberikan pelayanan yang baik (duty of due care);
c.  memberikan pertolongan emergency tanpa mengharuskan pembayaran uang muka lebih dahulu;
d.  memelihara peralatan dengan baik agar selalu dalam keadaan siap pakai;
e.  merujuk kerumah sakit lain jika tidak tersedianya peralatan atau tenaga spesialis yang dibutuhkan oleh pasien.
2)    Kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat yakni harus berlaku jujur dan peka terhadap saran dan kritik masyarakat dan berusaha terjangkau pasien diluar dinding rumah sakit;
3)    Kewajiban rumah sakit terhadap pasien, yakni :
a.  mengindahkan hak-hak asasi pasien;
b.  memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang harus dilakukan serta resiko yang mungkin timbul;
c.  meminta persetujuan (informed consent);
d.  menjaga rahasia pasien.
4)    Kewajiban rumah sakit terhadap tenaga staf, yakni :
a.   Mengadakan seleksi tenaga dokter;
b.   Mengadakan kordinasi yang baik antar seluruh tenaga dirumah sakit;
c.   Mengawasi agar segala sesuatu dilakukan berdasarkan standar profesi;
d.   Berlaku adil.
Karena dipandang sebagai badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi suatu perbuatan melawan hukum. Rumah sakit secara institusional bertanggungjawab terhadap segala konsekuensi yang timbul berkenaan dengan pelanggaran terhadap kewajibannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.[13]
Secara garis besarnya tanggungjawab rumah sakit jika dilihat dari sudut pelakunya dapat dibagi mejadi tiga kelompok, yaitu :[14]
1.    Tanggungjawab bidang rumah sakit, penanggungjawabnya adalah kepala rumah sakit
2.    Tanggungjawab bidang medik, penanggungjawabnya adalah masing-masing tenaga medik di rumah sakit tersebut.
3.    Tanggungjawab bidang keperawatan, penanggungjawabnya adalah masing-masing perawat, bidan, dan para medik non perawatan di rumah sakit tersebut.
Sehubungan dengan tanggungjawab rumah sakit yang berkaitan dengan personalia dikenal tiga doktrin yaitu :[15]
1)   Vicarious Liability atau Respondent Supuerior
Prinsip utama doktrin ini adalah atasanlah yang bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan. Rumah sakit bertindak sebagai atasan dari staf rumah sakit yang bertindak sebagai bawahan.
2)   Hospital Liability
Menurut doktrin ini rumah sakit bertanggung jawab atas semua kejadian atau peristiwa di dalam rumah sakit. Dalam hal kesalahan seorang dokter, maka tanggungjawab akan diambil alih oleh rumah sakit. Pihak rumah sakit kemudian akan menggunakan hak regresnya untuk meminta ganti rugi kembali kepada dokter yang melakukan kesalahan tersebut.
3)   Strict Liability
Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas semua kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut. Disini berlaku asas “Res Ipsa Laquitor” yaitu fakta yang berbicara.




[1] Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.11.
[2] Ibid. hal. 12
[3] Ibid. hal. 28
[4] Ibid. hal.30.
[5] Sri Praptianingsih, Op.Cit., Hal.112.
[6] Ibid. Hal. 30
[7] Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4.
[8] Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.34.
[9] Ibid. hal. 31.
[10] Ibid. hal.206.
[11] Indar, Tanggungjawab Hukum Rumah Sakit Dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Persfektif Hukum kesehatan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Amanagappa Vol. 12, Juni, 2004, hal. 204.
[12] Ibid. hal.26.
[13] Ibid. hal.205.
[14] Ibid. hal.207.
[15] Ibid. hal.207-201.

1 komentar:

  1. Pak, saya ingin menanyakan terkait dengan transaksi terapeutik yg berdasarkan tulisan bapak bahwa transaksi terapeutik merupakan perjanjian yang terjadi oleh rumah sakit/dokter dengan pasien. Yg saya pertanyakan adalah, Apakah transaksi terapeutik hanya terjadi oleh RS/dokter ataukah setiap tenaga kesehatan yg membuka praktik mandiri seperti bidan misalnya, juga terdapat transaksi terapeutik ? Terima kasih.

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter