PENGANTAR
Dunia teknologi informasi atau IT sebagai dampak nyata
kemajuan di era globalisasi sudah menjadi bagian penting bagi kehidupan
Manusia. Perkembangan IT salah satunya membawa pengaruh terhadap semakin
konvergennya sistem komputasi (Computing System) dan sistem komunikasi yang
mendorong terintegrasi kedua sistem tersebut pada jarak jauh
(Telecommuni-cation System). Sistem komunikasi jarak jauh ini menciptakan
globalisasi teknologi informasi yang pada gilirannya menghadirkan masyarakat
informasi. Di Indonesia, integrasi fungsi teknologi, media dan komunikasi
dikenal dengan istilah telematika (Ramli, 2009:1).Kemajuan teknologi IT membuat
hukum pidana dan hukum acara pidana dituntut untuk menyesuaikan kondisi
sosiologis di masyarakat mengingat dilema yang dihadapi adalah terkadang suatu
aturan jauh tertinggal dan tidak lagi relevan menyikapi pola kejahatan di era
modern seperti saat ini.
Penggunaan teknologi
seperti CCTV, Teleconfrence, Surat Elektonik lazim digunakan sebagai alat bukti
dipersidangan untuk mengungkap kebenaran suatu perkara pidana. Proses
pembuktian memegang peranan penting dalam hukum acara pidana karena menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa terhadap suatu kejahatan yang didakwakan. Guna
mewujudkan kebenaran materiil (materieele waarheid),maka suatu alat bukti
mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah dipergunakan dan
diberi penilaian secara cermat agar tercapai “kebenaran hakiki” sekaligus tanpa
mengabaikan hak asasi terdakwa (Mulyadi, 2014:74).
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai undang-undang induk hukum pidana formil
sejatinya belum mengakui keabsahan alat bukti berbentuk elektronik atau bukti
elektronik sebagai alat bukti. Adapun alat bukti secara terbatas oleh KUHAP
yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Pengakuan keabsahan bukti elektronik diatur dan tersebar di
undang-undang di luar KUHAP seperti di Undang-Undang tersebut antara lain Pasal
26AUndang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Penjelasan Pasal
26A tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara
elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read
Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM)(Wiyono, 2009:183).
Maksud”alat optik
atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (elec-tronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili. Kemudian diatur pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 yang merubah Undang-Undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Merespon kemajuan IT
dan dampaknya terhadap penegakan hukum pidana maka dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meletigimasi
Alat Bukti Elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana. Hal
ini termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi: “informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah
dan Pasal 5 ayat (2) berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum Acara yang berlaku di
In-donesia. Perluasan dari alat bukti disini adalah adanya alat bukti yang
berdiri sendiri sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian suatu perkara
pidana selain yang diatur dalam KUHAP.
Eksistensi alat bukti
elektronik yang selama ini berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia
mulai digoyang keberadaannya, yakni dengan adanya permohonan uji materiil Setya
Novanto ke Mahkamah Konstitusi (MK). Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa
informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa
dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A Undang-Undangtentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan alat bukti yang sah berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik
dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Dalam putusannya MK kemudian memberikan
putusan yang pada pokoknya adalah bahwa Frasa “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya
frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Putusan MK ini
berimplikasi terhadap keabsahan bukti elektronik dalam hukum acara pidana
mengingat bukti elektronik hanya diakui sebagai alat bukti bilamana ada
pemintaan dari penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dirumuskan
beberapa isu hukum yang menjadi permasalahan yang dibahas dalamtulisanini,
yaituurgensi alat bukti elektronikuntuk mencari kebenaran materiil dalam hukum
acara pidana, implikasi yuridis keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum
acara pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 terhadap
sistem pembuktian, danpengaturan keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum
acara pidana dalam ius constituendum.
Dalam
Amar putusan ini disebutkan bahwa
Prita
dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan yang menjadi barang bukti adalah
print out website/email dari Prita Mulyasari yang berisi muatan pencemaran
terhadap Rumah Sakit Omni Internasional. Adapun bunyi Pasal 27 Ayat (3) adalah “Setiap
Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.”
Sedangkan bunyi Pasal 45 ayat (1):”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sebagai
alat bukti elektronik sebenarnya menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat
dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik. Kedua, hasil cetak dari informasi dan/atau dokumen elektronik. Jadi
informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi
Alat Bukti Elektronik. Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik menjadi alat bukti surat (Suhendi, 2016).
Dalam
kasus ini, Hakim telah memper-timbangkan print out atau hasil cetak website/
e-mail dan eksemplar email yang dikirimkan oleh Prita Mulyasari kepada pihak
Rumah Sakit Omni Internasional sebagai alat bukti surat. Berkaca pada Pasal 187
KUHAP menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a.
Berita acara dan surat lain
dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.
Surat yang dibuat menurut
ketentuan peratuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.
Surat keterangan dari seorang
ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d.
Surat lain yang hanya dapat
berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat
elektronik ini pada hakikatnya merupakan tulisan yang dituangkan dalam sebuah
bentuk elektronik (Hamzah, 2012:69). Sudikno Mertokusumo (Hiariej, 2012)
memberi pengertian terkait surat yakni sebagai segala sesuatu yang membuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Kasus Romli Bin Nawawi (Putusan Nomor: 11/Pid/B/2015/PN.SKY)
Dalam kasus ini, sebagaimana dalam amar:
Putusan hakim menyatakan
bahwaROMLI BIN NAWAWI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan. Dasar hukumnya adalah Pasal
363 Ayat (1) Ke-4 dan Ke-5 KUHP. Alat bukti dalam persidangan adalah rekaman
CCTV yang terpasang di gudang perusahaan milik korban, PT. Medco Energi Dusun
Bonot, Dusun Lais Utara Kecamatan Lais, Kabupaten Muba.
Dari
pemeriksaan di persidangan telah ditemukan alat-alat bukti berupa keterangan
saksi-saksi dan keterangan terdakwa. Hakim dalam pertimbangannya memperluas
keterangan saksi karena saksi tidak melihat sendiri, melainkan melihat dari
rekaman CCTV. Saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana
(Harahap, 2012:286). boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian
dengan keterangan alat bukti saksi.
Sejatinya,
syarat materiil untuk sebagai saksi dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1
angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:oleh karena itu
Saksi seharusnya adalah dia yang melihat langsung kejadian pencurian pada saat
terjadinya bukan dari perantara rekaman CCTV (Mulyadi, 2007:223). Semua orang
pun berarti bisa menjadi saksi ketika sudah menyaksikan rekaman CCTV.
Sehingga hakikat saksi yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri tidak terpenuhi.
Setiap
keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana
yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana
yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau
pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat
dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak
mempunyai kekuatan nilai pembuktian (Harahap, 2012:287).
Namun
dalam kasus ini Hakim memper-timbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 tetanggal 8 Agustus 2011 yang memperluas pengertian keterangan
saksi, sehingga walaupun saksi tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan
mengalami sendiri secara langsung terjadinya tindak pidana keterangan saksi
tetap sah dan dapat diterima. Sehingga keterangan saksi atas nama Andhi Fitra
Kurniawan Bin Yunus, Riadi Sarjono Bin Sarjono dan Makmum Bin Usman yang
ketiganya tidak melihat langsung dan hanya melihat kejadian melalui rekaman
CCTV memiliki kekuatan pembuktian.
Analisis Implikasi Yuridis Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam
Hukum Acara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
Terhadap Sistem Pembuktian
Beberapa
hal tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Salah
satu kewenangan MK adalah menguji bilamana ada materi undang-undang yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia.
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan Pancasila sebagai sumber hukum untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang
digunakan sebagai dasar hukum berkehidupan berbangsa dan bernegara
(PermadidanDwiYono, 2016:310).
Gustav
Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht,
yang meliputi 3 unsur keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigheit). Ketiga unsur tersebut
semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional,
sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi
harapan para pencari keadilan (Tanya, 2013:74). Oleh karena itu, MK dalam
mengambil suatu keputusan tidak boleh keluar dari idee des rechtatau cita hukum
mengingat sifat dari Putusan MK adalah final, yakni sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat.
Jika
dilihat dengan seksama pertimbangan hakim dan amar putusanMKNo. 20/PUU-XIV/
2016tidak mempunyai terdapat kesinambungan karena penyadapanlah yang menjadi
pokok permasalahan bukanlah jenis dari informasi dan dokumen elektronik secara
keseluruhan misalnya adalah CCTV, Elektronic Mail (E-Mail), Elektronik
Chatting, dll. Dalam Putusan ini, MK mempersempit jenis informasi dan dokumen
elektronik terbatas pada aktivitas penyadapan. Padahal ruang lingkup yang
termasuk dalam jenis informasi dan dokumen elektronik sangat luas.
Hakim
Suhartoyo berpendapat bahwa permohonan Pemohon seharusnya Mahkamah menolak
permohonan Pemohon, karena apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sudah dipenuhi
oleh UU ITE, khususnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo, sehingga tidak
ada pertentangan norma antara Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 44 Huruf b
UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945. Maka harus dibedakan antara
proses pengambilan suatu informasi dan substansi dari informasi dalam bentuk
elektronik tersebut. bilamana proses yang dipermasalahkan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan maka dapat dijerat dengan
UU ITE. Sementara
substansi dari informasi tersebut jika benar dan terbukti kebenarannya maka
pihak yang menjadi objek dalam informasi seharusnya diproses
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atas
Putusan tindakan MK tersebut menyebabkan suatu implikasi dalam penegakkan hukum
acara pidana di Indonesia, khususnya dalam hal pembuktian. Penulis menganalisa
terkait implikasi tersebut mencakup beberapa segi yakni:
Timbulnya ketidakpastian hukum terhadap keabsahan alat bukti
elektronik
Adanya
frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya” maka bukti elektronik agar sah
sebagai alat bukti harus ada permintaan dari penegak hukum. Hal ini menimbulkan
ketidak-jelasan permintaan penegak hukum ini pada tahap mana. Apakah pada
pemasangan atau penggunaan pertama kali oleh pengguna atau pada tahap
penyelidikan dan penyidikan atau di persidangan.
Bukti
elektronik yang tidak ada permintaan penegak hukum sudah tentu tidak memiliki
kekuatan hukum. Sebagai contoh adalah di ruang publik sering dipasang CCTV
sebagai alat pantau seperti di Rumah Sakit, Hotel, Cafe, Bandara dan tempat
umum lainnya. Dalam pemasangannya terkadang inisiatif dari si pemilik tempat
tanpa ada permintaan atau izin dari penegak hukum. CCTV ini pula sering menjadi
petunjuk baik bagi pihak pemilik tempat maupun penegak hukum dalam mengungkap
suatu tindak pidana. Kemudian adanya video amatir memakai kamer Handphone atau
kamera lainnya yang memiliki kemampuan untuk merekam suatu kejadian terkait
dengan misalnya terjadinya pemboman, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya
yang sengaja direkam karena tidak memungkinkan masyarakat sipil berdaya untuk
menangkap si Pelaku dan perlu bantuan aparat kepolisian, maka rekaman video
tersebutlah yang dijadikan bukti bahwa telah terjadi kejahatan dan terlihat
siapa yang menjadi pelaku dari kejahatan melalui video hasil rekaman tersebut.
Menyebabkan multitafsir bagi penegak hukum
Dalam
Amar putusan MK
tersebut menyebutkan bahwa “Informasi dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai
alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya”. Memaknai frasa ini maka untuk
menjadikan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti di
persidangan maka harus ada permintaan dari penegak hukum, maka implikasinya
adalah bila tidak ada permintaan dari penegak hukum maka alat bukti dalam
bentuk elektronik tersebut tidak memiliki keabsahan.
Putusan
MK merupakan putusan yang bersifat normatif legislatif, berdasarkan
kewenangannya MK tidak berwenang mencip-takan norma baru dalam suatu
Undang-Undang yang diujikan. Dalam setiap Keputusan MK yang berkaitan
pembatalan suatu Norma dalam Undang-Undang atau Perubahan Undang-Undang maka
ada tindak lanjut dari lembaga legislatif untuk menambah norma dan menghapus
norma. Pasal 10 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam
Revisi UU ITE, Pasal 5 Ayat (1), ayat (2) dan Pasal 44 huruf b yang menjadi Pasal yang
dipermasalahkan dalam Putusan MK tersebut “tidak ada perubahan”. Namun dalam
Pasal 5 Ayat (1) dan (2) terdapat penambahan penjelasan. Adapun bunyi
penjelasan adalah sebagai berikut:
(1) Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik
mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian
hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik,
terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum
yangdilakukan melalui Sistem Elektronik.
(2) Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa
hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari
penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi lainnya yang kewenangannya
ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Revisi
substansi penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan (2) tersebut lebih mempertegas
keabsahan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sebagai alat bukti tanpa
ada menyebutkan bahwa dalam penegakan hukum wajib adanya permintaan dari
penegak hukum. posisi penyadapanlah yang lebih diperkuat untuk adanya
permintaan dari penegak hukum. perubahan penjelasan ini menurut penulis
bertentangan dengan amar putusan MK. Alat bukti elektronik berdasarkan amar
putusan MK tentu bukan hanya hasil dari penyadapan saja tetapi juga alat bukti
elektronik yang lain seharusnya juga harus adanya permintaan dari penegak hukum
seperti apa yang telah diputuskan oleh MK.
Perbedaan
pengaturan yang ada dalam Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 dengan revisi UU ITE
akan mengakibatkan perbedaan penafisran pula oleh penegak hukum dalam menegakan
hukum acara pidana, terutama aspek pembuktian. Pada satu kasus tertentu
menggunakan alat bukti elektronik untuk membuktikan suatu perkara pidana, pada
kasus lainnya bisa jadi penegak hukum tidak mengindahkan adanya alat bukti
elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Hiariej, Eddy O.STeori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta:Erlangga, 2012)
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalah-an dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012)
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:Alumni, 2007)
Mulyadi, Lilik Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indone-sia, (Bandung: Citra Adity Bakti, 2014)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Kencana,
2010)
Permadi, Iwan dan Dwi Yono, Keadilan Sosial Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir, Prosiding Seminar Nasional Fakultas Hukum Unnes
ke-9 Tahun 2016 dengan judul : Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras
Global Perspektif Negara Hukum.
Ramli, Ahmad M, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi
Dan Komunikasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
HAM RI, 2009)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus