Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

FUNGSI BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016


PENGANTAR
 Dunia teknologi informasi atau IT sebagai dampak nyata kemajuan di era globalisasi sudah menjadi bagian penting bagi kehidupan Manusia. Perkembangan IT salah satunya membawa pengaruh terhadap semakin konvergennya sistem komputasi (Computing System) dan sistem komunikasi yang mendorong terintegrasi kedua sistem tersebut pada jarak jauh (Telecommuni-cation System). Sistem komunikasi jarak jauh ini menciptakan globalisasi teknologi informasi yang pada gilirannya menghadirkan masyarakat informasi. Di Indonesia, integrasi fungsi teknologi, media dan komunikasi dikenal dengan istilah telematika (Ramli, 2009:1).Kemajuan teknologi IT membuat hukum pidana dan hukum acara pidana dituntut untuk menyesuaikan kondisi sosiologis di masyarakat mengingat dilema yang dihadapi adalah terkadang suatu aturan jauh tertinggal dan tidak lagi relevan menyikapi pola kejahatan di era modern seperti saat ini.
Penggunaan teknologi seperti CCTV, Teleconfrence, Surat Elektonik lazim digunakan sebagai alat bukti dipersidangan untuk mengungkap kebenaran suatu perkara pidana. Proses pembuktian memegang peranan penting dalam hukum acara pidana karena menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa terhadap suatu kejahatan yang didakwakan. Guna mewujudkan kebenaran materiil (materieele waarheid),maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai “kebenaran hakiki” sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa (Mulyadi, 2014:74).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai undang-undang induk hukum pidana formil sejatinya belum mengakui keabsahan alat bukti berbentuk elektronik atau bukti elektronik sebagai alat bukti. Adapun alat bukti secara terbatas oleh KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pengakuan keabsahan bukti elektronik diatur dan tersebar di undang-undang di luar KUHAP seperti di Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 26AUndang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Penjelasan Pasal 26A tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM)(Wiyono, 2009:183).
Maksud”alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (elec-tronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Kemudian diatur pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang merubah Undang-Undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Merespon kemajuan IT dan dampaknya terhadap penegakan hukum pidana maka dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meletigimasi Alat Bukti Elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana. Hal ini termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi: “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan Pasal 5 ayat (2) berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum Acara yang berlaku di In-donesia. Perluasan dari alat bukti disini adalah adanya alat bukti yang berdiri sendiri sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian suatu perkara pidana selain yang diatur dalam KUHAP.
Eksistensi alat bukti elektronik yang selama ini berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia mulai digoyang keberadaannya, yakni dengan adanya permohonan uji materiil Setya Novanto ke Mahkamah Konstitusi (MK). Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A Undang-Undangtentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
 Dalam putusannya MK kemudian memberikan putusan yang pada pokoknya adalah bahwa Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Putusan MK ini berimplikasi terhadap keabsahan bukti elektronik dalam hukum acara pidana mengingat bukti elektronik hanya diakui sebagai alat bukti bilamana ada pemintaan dari penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dirumuskan beberapa isu hukum yang menjadi permasalahan yang dibahas dalamtulisanini, yaituurgensi alat bukti elektronikuntuk mencari kebenaran materiil dalam hukum acara pidana, implikasi yuridis keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 terhadap sistem pembuktian, danpengaturan keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana dalam ius constituendum.

Kasus Prita Mulyasari (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 822K/Pid.Sus/ 2010

Dalam Amar putusan ini disebutkan bahwa
Prita dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan yang menjadi barang bukti adalah print out website/email dari Prita Mulyasari yang berisi muatan pencemaran terhadap Rumah Sakit Omni Internasional. Adapun bunyi Pasal 27 Ayat (3) adalah “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.” Sedangkan bunyi Pasal 45 ayat (1):”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sebagai alat bukti elektronik sebenarnya menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Kedua, hasil cetak dari informasi dan/atau dokumen elektronik. Jadi informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik. Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik menjadi alat bukti surat (Suhendi, 2016).
Dalam kasus ini, Hakim telah memper-timbangkan print out atau hasil cetak website/ e-mail dan eksemplar email yang dikirimkan oleh Prita Mulyasari kepada pihak Rumah Sakit Omni Internasional sebagai alat bukti surat. Berkaca pada Pasal 187 KUHAP menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a.    Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.    Surat yang dibuat menurut ketentuan peratuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.     Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d.    Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat elektronik ini pada hakikatnya merupakan tulisan yang dituangkan dalam sebuah bentuk elektronik (Hamzah, 2012:69). Sudikno Mertokusumo (Hiariej, 2012) memberi pengertian terkait surat yakni sebagai segala sesuatu yang membuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Kasus Romli Bin Nawawi (Putusan Nomor: 11/Pid/B/2015/PN.SKY)
Dalam kasus ini, sebagaimana dalam amar:
Putusan hakim menyatakan bahwaROMLI BIN NAWAWI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan. Dasar hukumnya adalah Pasal 363 Ayat (1) Ke-4 dan Ke-5 KUHP. Alat bukti dalam persidangan adalah rekaman CCTV yang terpasang di gudang perusahaan milik korban, PT. Medco Energi Dusun Bonot, Dusun Lais Utara Kecamatan Lais, Kabupaten Muba.
Dari pemeriksaan di persidangan telah ditemukan alat-alat bukti berupa keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa. Hakim dalam pertimbangannya memperluas keterangan saksi karena saksi tidak melihat sendiri, melainkan melihat dari rekaman CCTV. Saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana (Harahap, 2012:286). boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan keterangan alat bukti saksi.

Sejatinya, syarat materiil untuk sebagai saksi dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:oleh karena itu Saksi seharusnya adalah dia yang melihat langsung kejadian pencurian pada saat terjadinya bukan dari perantara rekaman CCTV (Mulyadi, 2007:223). Semua orang pun berarti bisa menjadi saksi ketika sudah menyaksikan rekaman CCTV. Sehingga hakikat saksi yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri tidak terpenuhi.
Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian (Harahap, 2012:287).
Namun dalam kasus ini Hakim memper-timbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tetanggal 8 Agustus 2011 yang memperluas pengertian keterangan saksi, sehingga walaupun saksi tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri secara langsung terjadinya tindak pidana keterangan saksi tetap sah dan dapat diterima. Sehingga keterangan saksi atas nama Andhi Fitra Kurniawan Bin Yunus, Riadi Sarjono Bin Sarjono dan Makmum Bin Usman yang ketiganya tidak melihat langsung dan hanya melihat kejadian melalui rekaman CCTV memiliki kekuatan pembuktian.
Analisis Implikasi Yuridis Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 Terhadap Sistem Pembuktian
Beberapa hal tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Salah satu kewenangan MK adalah menguji bilamana ada materi undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila sebagai sumber hukum untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang digunakan sebagai dasar hukum berkehidupan berbangsa dan bernegara (PermadidanDwiYono, 2016:310).
Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigheit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan (Tanya, 2013:74). Oleh karena itu, MK dalam mengambil suatu keputusan tidak boleh keluar dari idee des rechtatau cita hukum mengingat sifat dari Putusan MK adalah final, yakni sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.
Jika dilihat dengan seksama pertimbangan hakim dan amar putusanMKNo. 20/PUU-XIV/ 2016tidak mempunyai terdapat kesinambungan karena penyadapanlah yang menjadi pokok permasalahan bukanlah jenis dari informasi dan dokumen elektronik secara keseluruhan misalnya adalah CCTV, Elektronic Mail (E-Mail), Elektronik Chatting, dll. Dalam Putusan ini, MK mempersempit jenis informasi dan dokumen elektronik terbatas pada aktivitas penyadapan. Padahal ruang lingkup yang termasuk dalam jenis informasi dan dokumen elektronik sangat luas.
Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa permohonan Pemohon seharusnya Mahkamah menolak permohonan Pemohon, karena apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sudah dipenuhi oleh UU ITE, khususnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo, sehingga tidak ada pertentangan norma antara Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 44 Huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945. Maka harus dibedakan antara proses pengambilan suatu informasi dan substansi dari informasi dalam bentuk elektronik tersebut. bilamana proses yang dipermasalahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka dapat dijerat dengan
UU ITE. Sementara substansi dari informasi tersebut jika benar dan terbukti kebenarannya maka pihak yang menjadi objek dalam informasi seharusnya diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atas Putusan tindakan MK tersebut menyebabkan suatu implikasi dalam penegakkan hukum acara pidana di Indonesia, khususnya dalam hal pembuktian. Penulis menganalisa terkait implikasi tersebut mencakup beberapa segi yakni:

Timbulnya ketidakpastian hukum terhadap keabsahan alat bukti elektronik
Adanya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya” maka bukti elektronik agar sah sebagai alat bukti harus ada permintaan dari penegak hukum. Hal ini menimbulkan ketidak-jelasan permintaan penegak hukum ini pada tahap mana. Apakah pada pemasangan atau penggunaan pertama kali oleh pengguna atau pada tahap penyelidikan dan penyidikan atau di persidangan.
Bukti elektronik yang tidak ada permintaan penegak hukum sudah tentu tidak memiliki kekuatan hukum. Sebagai contoh adalah di ruang publik sering dipasang CCTV sebagai alat pantau seperti di Rumah Sakit, Hotel, Cafe, Bandara dan tempat umum lainnya. Dalam pemasangannya terkadang inisiatif dari si pemilik tempat tanpa ada permintaan atau izin dari penegak hukum. CCTV ini pula sering menjadi petunjuk baik bagi pihak pemilik tempat maupun penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana. Kemudian adanya video amatir memakai kamer Handphone atau kamera lainnya yang memiliki kemampuan untuk merekam suatu kejadian terkait dengan misalnya terjadinya pemboman, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya yang sengaja direkam karena tidak memungkinkan masyarakat sipil berdaya untuk menangkap si Pelaku dan perlu bantuan aparat kepolisian, maka rekaman video tersebutlah yang dijadikan bukti bahwa telah terjadi kejahatan dan terlihat siapa yang menjadi pelaku dari kejahatan melalui video hasil rekaman tersebut.

Menyebabkan multitafsir bagi penegak hukum
Dalam Amar  putusan  MK  tersebut menyebutkan bahwa “Informasi dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya”. Memaknai frasa ini maka untuk menjadikan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti di persidangan maka harus ada permintaan dari penegak hukum, maka implikasinya adalah bila tidak ada permintaan dari penegak hukum maka alat bukti dalam bentuk elektronik tersebut tidak memiliki keabsahan.
Putusan MK merupakan putusan yang bersifat normatif legislatif, berdasarkan kewenangannya MK tidak berwenang mencip-takan norma baru dalam suatu Undang-Undang yang diujikan. Dalam setiap Keputusan MK yang berkaitan pembatalan suatu Norma dalam Undang-Undang atau Perubahan Undang-Undang maka ada tindak lanjut dari lembaga legislatif untuk menambah norma dan menghapus norma. Pasal 10 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Revisi UU ITE, Pasal 5 Ayat (1), ayat (2) dan Pasal 44 huruf b yang menjadi Pasal yang dipermasalahkan dalam Putusan MK tersebut “tidak ada perubahan”. Namun dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) terdapat penambahan penjelasan. Adapun bunyi penjelasan adalah sebagai berikut:
(1)  Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yangdilakukan melalui Sistem Elektronik.
(2)  Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Revisi substansi penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan (2) tersebut lebih mempertegas keabsahan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sebagai alat bukti tanpa ada menyebutkan bahwa dalam penegakan hukum wajib adanya permintaan dari penegak hukum. posisi penyadapanlah yang lebih diperkuat untuk adanya permintaan dari penegak hukum. perubahan penjelasan ini menurut penulis bertentangan dengan amar putusan MK. Alat bukti elektronik berdasarkan amar putusan MK tentu bukan hanya hasil dari penyadapan saja tetapi juga alat bukti elektronik yang lain seharusnya juga harus adanya permintaan dari penegak hukum seperti apa yang telah diputuskan oleh MK.
Perbedaan pengaturan yang ada dalam Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 dengan revisi UU ITE akan mengakibatkan perbedaan penafisran pula oleh penegak hukum dalam menegakan hukum acara pidana, terutama aspek pembuktian. Pada satu kasus tertentu menggunakan alat bukti elektronik untuk membuktikan suatu perkara pidana, pada kasus lainnya bisa jadi penegak hukum tidak mengindahkan adanya alat bukti elektronik.

DAFTAR PUSTAKA
Hiariej, Eddy O.STeori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta:Erlangga, 2012)
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalah-an dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:Alumni, 2007)
Mulyadi, Lilik Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indone-sia, (Bandung: Citra Adity Bakti, 2014)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Kencana, 2010)
Permadi, Iwan dan Dwi Yono, Keadilan Sosial Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Prosiding Seminar Nasional Fakultas Hukum Unnes ke-9 Tahun 2016 dengan judul : Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum.
Ramli, Ahmad M, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi Dan Komunikasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009)

1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter