P E N G A N T A R
Indonesia merupakan negara hukum.
Salah satu implementasi dari negara hukum di Indonesia saat ini adalah
pengaturan dalam sebuah norma-norma hukum publik dan bersifat mengikat kepada
seluruh warga negara untuk menciptakan keadilan dan perlindungan terhadap warga
negara salah satunya melalui penegakan hukum pidana. Hukum pidana dalam arti
yang luas terdiri atas hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang perbuatan yang diancam
pidana (misalnya mengambil barang milik orang lain), pertanggungjawaban dalam
hukum pidana ( maksudnya siapa yang dapat dijatuhi pidana), serta hukum
penitensier yaitu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar
ketentuan hukum pidana.
Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia juga telah
membawa perubahan penting, tidak hanya dalam praktik peradilan pidana,
melainkan juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum acara pidana di
Indonesia. Banyak hal-hal baru yang diatur didalam KUHAP terutama dalam ranah
pembuktian. Pembuktian dilakukan dilakukan guna mencari fakta-fakta dari sebuah
peristiwa dan menentukan nasib seorang terdakwa serta guna mencari dan
mendapatkan fakta-fakta terhadap suatu peristiwa tindak pidana.
Di dalam
KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan
sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak
mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Adapun alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
2. Surat;
3.
Petunjuk;
4.
Keterangan
terdakwa.
Berdasarkan kelima alat bukti tersebut dapat dilihat bahwa keterangan saksi
berada pada urutan pertama sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Hal itu
mengartikan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat
penting dalam proses pembuktian perkara pidana. Pada tahun 2011, Mahkamah
Konsitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia melalui putusan
nomor 65/PUU-VIII/2010 membuat suatu pembaharuan dengan mengabulkan permohonan
pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam amar putusannya yang
dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2011 tersebut, MK menyatakan bahwa “Pasal 1
angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) sepanjang
pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai orang yang selalu
mendengar, melihat, serta mengalami suatu peristiwa.
Putusan MK yang meniadakan suatu keadaan hukum atau membentuk hukum baru
tersebut tentunya membawa konsekuensi dalam hukum acara pidana di Indonesia
yang selama ini baik dalam ketentuan perundang-undangan, literatur maupun
doktrin oleh para ahli menjelaskan bahwa saksi haruslah orang yang melihat,
mendengar dan mengalami suatu tindak pidana tersebut.
Putusan tersebut juga menimbulkan beberapa dampak dalam hukum acara pidana
di Indonesia, jika ternyata saksi adalah tidak harus orang yang melihat,
mendengar, dan mengalami suatu peristiwa pidana, lalu bagaimana kriteria orang
dapat dijadikan sebagai seorang saksi, kemudian bagaimana kriteria keterangan
saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan, apakah orang yang
tidak melihat, mendengar atau mengalami suatu peristiwa pidana dapat menjadi
saksi dalam persidangan pidana. Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena
Mahkamah Konstitusi juga tidak memberikan syarat-syarat yang jelas bagaimana
kriteria saksi yang dapat memberikan keterangan di persidangan sebagai alat
bukti yang sah menurut KUHAP.
Indonesia menganut sistem pembuktian negatif. Menurut teori ini hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti yang
sah ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu.
Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
apabila alat-alat bukti itu ada ditambah dengan keyakinan hakim tersebut.
Sistem pembuktian negatif tersebut ditegaskan dalam KUHAP Pasal 183 yang
menjelaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam rangka pembuktian maka digunakan
keyakinan hakim serta alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Maka saat ini
berdasarkan Pasal 184 KUHAP memberikan beberapa alat bukti yang sah. Sebelum
dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 KUHAP telah
memberikan batasan yang jelas mengenai saksi dan keterangan saksi. Dalam Pasal
1 angka 26 KUHAP telah dijelaskan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”
(Bab I Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan keterangan saksi dalam KUHAP sebelum
adanya putusan diatur dalam Pasal 1 angka 27 “Keterangan saksi adalah salah
satu alat bukti dalam suatu peristiwa pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu” (Bab I Pasal 1
angka 27 KUHAP).
Pengaturan tersebut telah memberikan jawaban dengan tegas bahwa keterangan
saksi yang diperoleh dari saksi de auditu bukanlah alat bukti yang sah dan
tidak memiliki nilai keterangan saksi sebagaimana yang diatur didalam KUHAP. Kesaksian
de auditu sebagai alat bukti kesaksian juga ditolak oleh para ahli, S.M Amin yang
mengatakan sebagai berikut :
“memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa
syarat “didengar, dilihat, atau dialami sendri” tidak dipegang lagi. Sehingga
memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang
diucapkan oleh seseorang diluar sumpah. Misalkan A menceritakan sesuatu kepada
B, ia melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka
membayangkan kemarahan. Keesokan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu
jalan sepi dengan beberapa tusukan di badan”
Dalam sidang pengadilan, dalam pemeriksaan pembunuhan atas D, maka B
didengar sebagai saksi. Ia menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang
tidak didengar oleh karena telah meninggal. Ini berarti, bahwa
keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah
keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar
sebagai saksi.
Pengaturan yang sudah jelas dalam KUHAP mengenai tidak diakuinya kesaksian
de auditu dan kriteria orang yang dapat memberikan keterangan saksi ternyata
masih menimbulkan persoalan karena belum jelasnya pengaturan mengenai saksi
secara menyeluruh di dalam KUHAP. Dalam perkembangannya Pasal 1 angka 26 dan 27
KUHAP apabila dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP
dianggap oleh para ahli bertentangan satu dengan yang lain. Dalam Pasal 65
KUHAP dijelaskan bahwa :
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya”
Batasan terhadap keterangan saksi yang ada dalam pasal 1 angka 26 KUHAP
akan menyulitkan bagi terdakwa yang hendak mengajukan saksi yang meringankan
untuk kepentingan pembelaan terhadap dirinya. Pembatasan terhadap definisi
saksi tersebut yang mengakibatkan Yusril Ihza Mahendra yang pada tahun 2010
ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada kasus Sisminbakum di Kementerian
Hukum dan Hak Azasi Manusia kesulitan untuk mengajukan saksi yang meringankan
bagi dirinya. Awalnya dalam rangka pembelaan terhadap dakwaan yang diajukan
kepadanya, Yusril mengajukan empat orang saksi yang dinilai menguntungkan bagi
dirinya. Ke empat orang saksi tersebut adalah Jusuf Kalla, Megawati
Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu
dinilai mengetahui fakta seputar proyek sisminbakum di kementerian Hukum dan
HAM itu.
Atas dasar penolakan tersebut, Yusril selanjutnya mengajukan gugtan
pengujian terhadap pasal 1 angka 26 jo 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan
ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) yang mengatur mengenai saksi dalam KUHAP
kepada Mahkamah Konstitusi. Pertengahan tahun 2011 MK mengeluarkan putusan yang
mengadili perkara yang dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra tentang saksi dalam
KUHAP dalam putusan nomor 65/PUU-VIII/2010.
Putusan tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan
constitutif. Sehingga semenjak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi yang
telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut, maka Pasal 1 angka 26 dan
Pasal 1 angka 27 KUHAP sepanjang pengertian dari saksi dan keterangan saksi
haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat
dikatakan tidak berlaku. Analisis yang dilakukan oleh penulis menjelaskan bahwa
saksi dalam perkara pidana diperluas maknanya menjadi orang yang tidak harus
mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi
diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan
pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu
mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diputuskan setelah
adanya gugatan dari Yusril Ihza Mahendra tersebut tentunya membawa dampak dalam
pengertian saksi dan keterangan saksi. Sebagaimana dalam amar putusannya,
pengertian saksi dan keterangan saksi yang ada didalam Pasal 1 angka 26, Pasal
1 angka 27 KUHAP telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini berarti ketentuan tersebut tidak dapat
dijadikan dasar hukum dalam menentukan kriteria saksi dan keterangan saksi.
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai
sejauh mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi.
Pertimbangan hakim yang diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara
tersebut hanya menjelaskan bahwa nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah
dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak
pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang
berjalan.
Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap
mencari relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada landasan hukum,
agar dalam mencari dan mengarahkan keterangan saksi dalam pemeriksaan,
benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan
hukum itu sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 tersebut, ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada
didalam KUHAP telah diperluas maknanya menjadi Keterangan dari orang yang tidak
harus melihat, mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang
keterangan yang diucapkan relevan dengan peristiwa pidana yang sedang
berlangsung dan menjelaskan alasan pengetahuannya itu. Perluasan ini juga
berlaku dalam perkara pidana dalam ranah pidana khusus jika Undang-Undang yang
mengatur mengenai tindak pidana khusus tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut
mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi, sehingga pengaturannya
dikembalikan kepada KUHAP.
Dalam hal kekaburan hukum yang masih terdapat dalam ketentuan tersebut,
maka selanjutnya didalam pembentukan R-KUHAP yang tengah berlangsung haruslah
diperjelas mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi yang dapat bernilai
sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana, sehingga menciptakan
kepastian hukum yang lebih baik.
Implikasi yuridis dari putusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai saksi dan
keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya putusan
tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi menjadi orang yang tidak
harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi
diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan
pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu
mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan dari orang
yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat
menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi
apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga,
Jakarta, 2012
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004
Masruchin Ruba’I, Hukum Pidana I, Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1989
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan
KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
Sumitro, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar