Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

Implikasi Yuridis Mengenai Saksi Dan Keterangan Saksi Dalam Perkara Pidana Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/Puu-VIII/2010


P E N G A N T A R
 Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu implementasi dari negara hukum di Indonesia saat ini adalah pengaturan dalam sebuah norma-norma hukum publik dan bersifat mengikat kepada seluruh warga negara untuk menciptakan keadilan dan perlindungan terhadap warga negara salah satunya melalui penegakan hukum pidana. Hukum pidana dalam arti yang luas terdiri atas hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang perbuatan yang diancam pidana (misalnya mengambil barang milik orang lain), pertanggungjawaban dalam hukum pidana ( maksudnya siapa yang dapat dijatuhi pidana), serta hukum penitensier yaitu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana.
Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia juga telah membawa perubahan penting, tidak hanya dalam praktik peradilan pidana, melainkan juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum acara pidana di Indonesia. Banyak hal-hal baru yang diatur didalam KUHAP terutama dalam ranah pembuktian. Pembuktian dilakukan dilakukan guna mencari fakta-fakta dari sebuah peristiwa dan menentukan nasib seorang terdakwa serta guna mencari dan mendapatkan fakta-fakta terhadap suatu peristiwa tindak pidana.
Di dalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:
a.    Keterangan Saksi;
b.    Keterangan ahli;
2.    Surat;
3.    Petunjuk;
4.    Keterangan terdakwa.
Berdasarkan kelima alat bukti tersebut dapat dilihat bahwa keterangan saksi berada pada urutan pertama sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Hal itu mengartikan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian perkara pidana. Pada tahun 2011, Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 membuat suatu pembaharuan dengan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2011 tersebut, MK menyatakan bahwa “Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai orang yang selalu mendengar, melihat, serta mengalami suatu peristiwa.
Putusan MK yang meniadakan suatu keadaan hukum atau membentuk hukum baru tersebut tentunya membawa konsekuensi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini baik dalam ketentuan perundang-undangan, literatur maupun doktrin oleh para ahli menjelaskan bahwa saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu tindak pidana tersebut.
Putusan tersebut juga menimbulkan beberapa dampak dalam hukum acara pidana di Indonesia, jika ternyata saksi adalah tidak harus orang yang melihat, mendengar, dan mengalami suatu peristiwa pidana, lalu bagaimana kriteria orang dapat dijadikan sebagai seorang saksi, kemudian bagaimana kriteria keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan, apakah orang yang tidak melihat, mendengar atau mengalami suatu peristiwa pidana dapat menjadi saksi dalam persidangan pidana. Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena Mahkamah Konstitusi juga tidak memberikan syarat-syarat yang jelas bagaimana kriteria saksi yang dapat memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP.

PEMBAHASAN
Indonesia menganut sistem pembuktian negatif. Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti itu ada ditambah dengan keyakinan hakim tersebut. Sistem pembuktian negatif tersebut ditegaskan dalam KUHAP Pasal 183 yang menjelaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam rangka pembuktian maka digunakan keyakinan hakim serta alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Maka saat ini berdasarkan Pasal 184 KUHAP memberikan beberapa alat bukti yang sah. Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 KUHAP telah memberikan batasan yang jelas mengenai saksi dan keterangan saksi. Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP telah dijelaskan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri” (Bab I Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan keterangan saksi dalam KUHAP sebelum adanya putusan diatur dalam Pasal 1 angka 27 “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam suatu peristiwa pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu” (Bab I Pasal 1 angka 27 KUHAP).
Pengaturan tersebut telah memberikan jawaban dengan tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari saksi de auditu bukanlah alat bukti yang sah dan tidak memiliki nilai keterangan saksi sebagaimana yang diatur didalam KUHAP. Kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian juga ditolak oleh para ahli, S.M Amin yang mengatakan sebagai berikut :
“memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat “didengar, dilihat, atau dialami sendri” tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang diluar sumpah. Misalkan A menceritakan sesuatu kepada B, ia melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka membayangkan kemarahan. Keesokan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi dengan beberapa tusukan di badan”
Dalam sidang pengadilan, dalam pemeriksaan pembunuhan atas D, maka B didengar sebagai saksi. Ia menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang tidak didengar oleh karena telah meninggal. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi.
Pengaturan yang sudah jelas dalam KUHAP mengenai tidak diakuinya kesaksian de auditu dan kriteria orang yang dapat memberikan keterangan saksi ternyata masih menimbulkan persoalan karena belum jelasnya pengaturan mengenai saksi secara menyeluruh di dalam KUHAP. Dalam perkembangannya Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP apabila dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP dianggap oleh para ahli bertentangan satu dengan yang lain. Dalam Pasal 65 KUHAP dijelaskan bahwa :
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”
Batasan terhadap keterangan saksi yang ada dalam pasal 1 angka 26 KUHAP akan menyulitkan bagi terdakwa yang hendak mengajukan saksi yang meringankan untuk kepentingan pembelaan terhadap dirinya. Pembatasan terhadap definisi saksi tersebut yang mengakibatkan Yusril Ihza Mahendra yang pada tahun 2010 ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada kasus Sisminbakum di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia kesulitan untuk mengajukan saksi yang meringankan bagi dirinya. Awalnya dalam rangka pembelaan terhadap dakwaan yang diajukan kepadanya, Yusril mengajukan empat orang saksi yang dinilai menguntungkan bagi dirinya. Ke empat orang saksi tersebut adalah Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu dinilai mengetahui fakta seputar proyek sisminbakum di kementerian Hukum dan HAM itu.
Atas dasar penolakan tersebut, Yusril selanjutnya mengajukan gugtan pengujian terhadap pasal 1 angka 26 jo 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) yang mengatur mengenai saksi dalam KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi. Pertengahan tahun 2011 MK mengeluarkan putusan yang mengadili perkara yang dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra tentang saksi dalam KUHAP dalam putusan nomor 65/PUU-VIII/2010.
Putusan tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif. Sehingga semenjak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut, maka Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP sepanjang pengertian dari saksi dan keterangan saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat dikatakan tidak berlaku. Analisis yang dilakukan oleh penulis menjelaskan bahwa saksi dalam perkara pidana diperluas maknanya menjadi orang yang tidak harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diputuskan setelah adanya gugatan dari Yusril Ihza Mahendra tersebut tentunya membawa dampak dalam pengertian saksi dan keterangan saksi. Sebagaimana dalam amar putusannya, pengertian saksi dan keterangan saksi yang ada didalam Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 27 KUHAP telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini berarti ketentuan tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan kriteria saksi dan keterangan saksi.
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai sejauh mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi. Pertimbangan hakim yang diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.
Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap mencari relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada landasan hukum, agar dalam mencari dan mengarahkan keterangan saksi dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tersebut, ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada didalam KUHAP telah diperluas maknanya menjadi Keterangan dari orang yang tidak harus melihat, mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang keterangan yang diucapkan relevan dengan peristiwa pidana yang sedang berlangsung dan menjelaskan alasan pengetahuannya itu. Perluasan ini juga berlaku dalam perkara pidana dalam ranah pidana khusus jika Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana khusus tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi, sehingga pengaturannya dikembalikan kepada KUHAP.
Dalam hal kekaburan hukum yang masih terdapat dalam ketentuan tersebut, maka selanjutnya didalam pembentukan R-KUHAP yang tengah berlangsung haruslah diperjelas mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana, sehingga menciptakan kepastian hukum yang lebih baik.

 PENUTUP
Implikasi yuridis dari putusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai saksi dan keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya putusan tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi menjadi orang yang tidak harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004
Masruchin Ruba’I, Hukum Pidana I, Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1989
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
Sumitro, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter