Guna
menjamin tegaknya dan dilaksanakannya konstitusi, maka Indonesia membentuk
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi mengawal
konstitusi (the guardian of constitution).Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam mengawal konstitusi diatur dalam konstitusi itu sendiri, yakni ketentuan
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Adapun salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.Bilamana
Mahkamah Konstitusi menganggap ketentuan suatu undang-undang bertentangan
dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan undang-undang
tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.[1]
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI
1945 turut mencakup kewenangan dalam memberikan penafsiran terhadap suatu
ketentuan undang-undang agar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi.Hasil
tafsir Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dimaksudkan agar
ketentuan suatu undang-undang bermakna ambigu, tidak jelas, dan/atau
multitafsir.Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan tafsiran konstitusional
atas ketentuan undang-undang turut menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai
satu-satunya lembaga penafsir konstitusi (the sole interpreter of the
constitution).
Namun,
di beberapa putusannya, MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang telah
diujikan kepada UUD 1945 dan menyatakan undang-undang tersebut
inkonstitusional, namun MK menambahkan suatu norma hukum baru dalam putusannya
tersebut. Seperti dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal 77
huruf a KUHAP10 tentang objek dari Praperadilan. Dalam amar putusannya, MK
memutus bahwa Pasal 77 huruf a
Undang-Undang No.8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.11
Ketika Pasal 77 (a) telah dibatalkan melalui putusannya, MK seakan menambahkan
suatu norma mengenai objek baru dalam praperadilan yakni „penetapan tersangka‟.
Hal
itulah yang menjadikan MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945, namun MK telah memasuki ranah positif legislatif
yang seharusnya ditindak lanjuti oleh organ legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dalam menambah,
memuat, dan menghapus
suatu norma pada
suatu undang-undang.
PEMBAHASAN
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia mempunyai 4(empat) wewenang yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD
NRI 1945, berikut ini:
1. Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik
Indonesia 1945;
3. Memutus pembubaran partai
politik,dan
4. Memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Di
samping itu, Mahkamah Konstitusi memiliki 1 (satu) kewajiban wajib yang diatur
dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga:
1.
Telah
melakukan pelanggaran hukum berupa:
a.
Pengkhianatan
terhadap negara;
b.
Korupsi;
c.
Penyuapan;
d.
Tindak
pidana berat lainnya;
2.
Perbuatan
tercela; dan/atau
3.
Tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Secara
konstitusional, empat kewenangan dan satu kewajiban di atas merupakan
manifestasi konkrit fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).[2]Terkait
dengan hal itu, setiap upaya mengawal konstitusi menjadi yurisdiksi Mahkamah
Konstitusi.Sehingga, Mahkamah Konstitusi disepakati menjadi penjaga konstitusi
(the guardian of constitution) agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi
tidak sekedar menjadi huruf dan kalimat mati, melainkan terjelma dan
dipraktikkan dalam kehidupan bernegara.Caranya adalah dengan memberikan
interpretasi atas ketentuan konstitusi itu, yang hasil interpretasinya mengikat
secara hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penafsir
konstitusi (the sole judicial interpreter
of the constitution).
Tidak
hanya itu, karena konstitusi menjadi hukum tertinggi yang mengatur
penyelenggaraan negara berdasar prinsip demokrasi dan salah satu fungsinya adalah
melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak
konstitusional warga negara, maka Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi
sebagai pengawal demokrasi (the guardian
of democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen's constitutional
rights) serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).[3]
Judicial
Review Oleh Mahkamah
Konstitusi
Salah
satu alasan kuat yang mendasari dibentuknya Mahkamah Konstitusi ialah adanya
kenyataan bahwa hukum atau peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik meskipun
dibentuk melalui prosedur-prosedur demokratis, berpotensi menyimpan
muatankepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan ketentuan
konstitusi.Alasannya, sebagai produk dari lembaga politik dapat dipastikan
bahwa rumusan-rumusan normatif di dalamnya merupakan manifestasi dari
kepentingan-kepentingan politik.Hal demikian wajar, namun menjadi bermasalah
ketika kepentingan-kepentingan dalam peraturan perundang-undangan itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi.[4]
Judicial review
pada dasarnya merupakan kewenangan mula-mula dan paling utama Mahkamah
Konstitusi. Kewenangan
menguji undang-undang merupakan kewenangan utama Mahkamah Konstitusi, betapapun
variatifnya kewenangan Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara. Melalui
kewenangan ini, jika ada undang-undang yang terbukti melanggar konstitusi maka
harus dinyatakan bertentangan dengan terhadap UUD 1945. Di sinilah tugas
Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar konstitusi sebagai the supreme law of the land dipatuhi dan terjelma dalam praktik
bernegara.[5]
Pengujian
Norma Hukum
Menurut
Jimly Asshiddiqie dalam praktik dikenal adanya 3 macam norma hukum yang dapat
di uji atau biasanya disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya
sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan hukum, yaitu: [6]
a. Keputusan Normatif yang
berisi dan bersifat pengaturan (regeling).
b. Keputusan Normatif yang
berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
c.
Keputusan
normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.
Ketiga
bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat di uji kebenarannya melalui
mekanisme peradilan (justisial),
proses inilah yang disebut dengan Judicial
review atau pengujian oleh lembaga yudisial atau pengadilan. Seringkali
dalam praktek terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) dengan istilah judicial review, yang menganggap
kedua-duanya adalah identik. Sesungguhnya kedua-duanya terdapat perbedaan,
yaitu: [7]
1.
Hak
menguji (toetsingsrecht) merupakan
kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan Judicial review tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan
tetapi juga Legislative act, executive
act, administrative act dan judgement
terhadap UUD.
2.
Hak
menguji (toetsingsrecht) terhadap
peraturan perundang-undangan tidak hanya di miliki oleh hakim, tetapi juga oleh
lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan Judicial
review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret
di pengadilan.
Sebutan yang tepat tergantung kepada lembaga
mana kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht diberikan. Toetsingsrecht atau hak untuk menguji, jika diberikan kepada
lembaga parlemen sebagai lembaga legislatif, maka proses pengujian demikian
tersebut lebih tepat disebut sebagai Legislative
review. Demikian juga jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada
pemerintah, maka proses pengujiannya disebut sebagai executive review.
Dalam
mengadili gugatan-gugatan perkara tata usaha negara terhadap keputusan
administrasi negara, para hakim Amerika Serikat menggunakan istilah judicial review. Begitu juga dalam sistem yang berlaku di
Inggris, istilah pengujia terhadap keputusan-keputusan administrasi negara yang
bersifat individual and concrete
(beschickking) disebut sebagai judicial
review. Hanya saja, di inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review terhadap undang-undang (Legislative act) yang ditetapkan oleh parlemen. Sebaliknya justru
bangsa Amerika Serikat yang pertama mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang
buatan kongres, dimulai dengan putusan atas kasus marbury versus Madison pada
tahun 1803. [8]
Ruang Lingkup Praperadilan
Dalam istilah hukum Indonesia, adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa
tersangka;
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Di Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai pasal 79
sampai pasal 83 KUHAP, pihak – pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah
sebagai berikut :
a.
Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang
mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di
pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan
penggeledahan.
b.
Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
atas dasar sah lam atau tidaknya penghentian penyidikan.
c.
Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas
dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
d.
Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan
menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
(pasal 81 KUHAP).
e.
Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan
ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan
atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum
yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat
(2) KUHAP).
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal
78 ayat 2 KUHAP). Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat
(1) KUHAP yaitu sebagai berikut:
a.
dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan,
hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b.
dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim
mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang
berwenang.
c.
pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan
selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
d.
dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan
belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
e.
putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak
menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat
pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat
Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3 merupakan salah satu lingkup wewenang
praperadilan. Pihak penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan (praperadilan) tentang sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan. Permintaan tersebut diajukan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo.
pasal 78 KUHAP).
Analisis Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang
Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan
“penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil, memeriksa, menangkap,
menahan, menggeledah dan menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap
berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan
“kewenangan istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due process”. Permasalahan
ini perlu disinggung karena pada kenyataannya masih banyak keluhan dari
masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan”
yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau diskresi yang dilakukan
penyidik sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap
pemeriksaan, penyelidikan atau penyidikan. Oleh karena itu, hal ini patut
diuraikan untuk meningkatkan ketaatan mematuhi penegakan the right of due process of law.[9]
Penetapan tersangka mengakibatkan adanya upaya
paksa lain yang akan diberlakukan kepada seseorang yang telah ditetapkan
sebagai tersangka seperti dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain
sebagainya. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut
maka seorang warga negara mempunyai jalur yang dinamakan praperadilan dalam
suatu upaya Hukum Acara Pidana Indonesia guna mempertahankan haknya.
Praperadilan merupakan salah satu prinsip KUHAP
yakni sebagai lembaga control. Adapun praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10
KUHAP, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dengan kata lain, Praperadilan memiliki objek
penting didalamnya yakni, Pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
upaya paksa yang meliputi penangkapan dan penahanan, Kedua, memeriksa sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat
dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa yang
disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut
dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, perkara
yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abuse of authority. Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi, Keempat,
memeriksa permintaan rahabilitasi, Kelima, Praperadilan terhadap tindakan
penyitaan.
Berdasarkan uraian objek praperadilan yang berlaku
sebelum dibatalkannya Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, penetapan tersangka tidak masuk dalam klasifikasi objek
praperadilan. Namun, jika diperhatikan secara seksama, upaya penyidikan
dapatlah dihentikan melalui jalur praperadilan dengan tiga syarat yang telah
diuraikan diatas.
Adapun Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang
No.8 Tahun 1981, diujikan dengan dasar pemohon warga negara Indonesia, salah
satu dasar pemohon yaitu bahwa konsep praperadilan yang terbatas pada
memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyiikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya
memberikan perlindungan yang cukup bagi Tersangka sehingga menimbulkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dengan beberapa pendapat yang menjadi
pertimbangan Mahkamah, nyatanya Mahkamah sependapat dan sejalan dengan apa yang
dimohonkan oleh pemohon.
Hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan hal yang berkesesuaian dengan
hukum, untuk dapat dijadikan salah satu objek praperadilan sebagaimana yang
dimohonkan oleh pemohon. Putusan Mahkamah tersebut merupakan putusan yang
bersifat normatif legislatif, berdasarkan kewenangannya Mahkamah Konstitusi
tidaklah berwenang menciptakan norma baru dalam suatu undang-undang yang
diujikan, hal ini ditegaskan oleh Jamin Ginting saksi ahli dari KPK dalam
sidang kasus praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin,
menurut keterangannya Mahkamah Konstitusi memiliki sifat dasar yakni sebagai negative legislative bukan normative
legislatif, maka yang perlu diperbaiki adalah prinsip checks and balances
yang harusnya ditegakkan,
karena prosedur penambahan norma
merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden.
Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menilai putusan
tersebut jelas merupakan putusan yang tidak hanya mengawasi produk legislatif,
namun dalam putusan tersebut justru Mahkamah Konstitusi telah memasuki ranah
legislatif. Seharusnya Mahkamah Konstitusi bertindak dengan memperhatikan
landasan yuridis yang telah termaktub dengan jelas dalam Pasal 10 Ayat (1)
huruf d dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah
menyebabkan adanya implikasi pada penegakkan hukum acara pidana di Indonesia.
Menurut analisa penulis, implikasi tersebut melingkupi tiga segi utama yakni
implikasi terhadap penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi pada
implementasi putusan di tengah masyarakat, dan implikasi dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia yang pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
tentang pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, menuai beberapa implikasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pertama, Implikasi
yang tepat yakni memberikan
penegakkan hak konstitusional warga
negara, Kedua, Implikasi terhadap implementasi putusan tersebut di
tengah masyarakat, yakni akan terdapat banyak kasus terkait dengan penetapan
tersangka yang akan diajukan dalam proses praperadilan. Terlebih ketika data
menunjukkan bahwa terdapat 6 tersangka sebelum diputus putusan MK tersebut,
telah ada kasus yang dikabulkan pembatalan terkait dengan penetapan tersangka
dalam proses praperadilan. Ketiga, Implikasi terhadap aparatur penegak hukum
yakni kesulitan bagi penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka,
kemudian ketidaktahuan aparatur penegak hukum dalam menerapkan norma putusan
Mahkamah Konstitusi tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan
dikarenakan aparatur penegak hukum seperti jaksa akan melihat terlebih dahulu
teks undang-undang yang berlaku dan Keempat, implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan yang pada dasarnya memiliki prinsip check and balances.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional
Warga Negara, diakses dari http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_21.pdf.
Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional
Warga Negara, Op.cit.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara,
Jakarta: Kontitusi Press, 2005.
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar
Grafika, cet ke-14,2012.
[1] Pasal
57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[2]Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga
Negara, diakses dari http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_21.pdf.
[3] Ibid.
[4] Mahfud
Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara,
Op.cit.
[5] Ibid.
[6] Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi
RI, 2006, hlm. 1.
[7] Mahkamah Konstitusi,
Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008,h.9.
[8] Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005, hlm.
24-25.
[9] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar
Grafika, cet ke-14,2012, h.95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar