Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan Berdasarkan Putusan Mk Nomor 21/PUU-XII/2014



PENGANTAR


 Guna menjamin tegaknya dan dilaksanakannya konstitusi, maka Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi mengawal konstitusi (the guardian of constitution).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi diatur dalam konstitusi itu sendiri, yakni ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Adapun salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.Bilamana Mahkamah Konstitusi menganggap ketentuan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan undang-undang tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[1]
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 turut mencakup kewenangan dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang agar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi.Hasil tafsir Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dimaksudkan agar ketentuan suatu undang-undang bermakna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir.Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan tafsiran konstitusional atas ketentuan undang-undang turut menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Namun, di beberapa putusannya, MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang telah diujikan kepada UUD 1945 dan menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional, namun MK menambahkan suatu norma hukum baru dalam putusannya tersebut. Seperti dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP10 tentang objek dari Praperadilan. Dalam amar putusannya, MK memutus bahwa Pasal 77  huruf  a  Undang-Undang  No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.11 Ketika Pasal 77 (a) telah dibatalkan melalui putusannya, MK seakan menambahkan suatu norma mengenai objek baru dalam praperadilan yakni „penetapan tersangka‟.
Hal itulah yang menjadikan MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, namun MK telah memasuki ranah positif legislatif yang seharusnya ditindak lanjuti oleh organ legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam menambah,  memuat,  dan  menghapus  suatu  norma  pada  suatu  undang-undang.

PEMBAHASAN

 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4(empat) wewenang yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945, berikut ini:
1.    Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.    Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945;
3.    Memutus pembubaran partai politik,dan
4.    Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi memiliki 1 (satu) kewajiban wajib yang diatur dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1.    Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:
a.    Pengkhianatan terhadap negara;
b.    Korupsi;
c.    Penyuapan;
d.    Tindak pidana berat lainnya;
2.    Perbuatan tercela; dan/atau
3.    Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Secara konstitusional, empat kewenangan dan satu kewajiban di atas merupakan manifestasi konkrit fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).[2]Terkait dengan hal itu, setiap upaya mengawal konstitusi menjadi yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.Sehingga, Mahkamah Konstitusi disepakati menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak sekedar menjadi huruf dan kalimat mati, melainkan terjelma dan dipraktikkan dalam kehidupan bernegara.Caranya adalah dengan memberikan interpretasi atas ketentuan konstitusi itu, yang hasil interpretasinya mengikat secara hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole judicial interpreter of the constitution).
Tidak hanya itu, karena konstitusi menjadi hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara berdasar prinsip demokrasi dan salah satu fungsinya adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara, maka Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen's constitutional rights) serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).[3]

Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi
Salah satu alasan kuat yang mendasari dibentuknya Mahkamah Konstitusi ialah adanya kenyataan bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik meskipun dibentuk melalui prosedur-prosedur demokratis, berpotensi menyimpan muatankepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi.Alasannya, sebagai produk dari lembaga politik dapat dipastikan bahwa rumusan-rumusan normatif di dalamnya merupakan manifestasi dari kepentingan-kepentingan politik.Hal demikian wajar, namun menjadi bermasalah ketika kepentingan-kepentingan dalam peraturan perundang-undangan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi.[4]
Judicial review pada dasarnya merupakan kewenangan mula-mula dan paling utama Mahkamah Konstitusi. Kewenangan menguji undang-undang merupakan kewenangan utama Mahkamah Konstitusi, betapapun variatifnya kewenangan Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara. Melalui kewenangan ini, jika ada undang-undang yang terbukti melanggar konstitusi maka harus dinyatakan bertentangan dengan terhadap UUD 1945. Di sinilah tugas Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar konstitusi sebagai the supreme law of the land dipatuhi dan terjelma dalam praktik bernegara.[5]

Pengujian Norma Hukum
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam praktik dikenal adanya 3 macam norma hukum yang dapat di uji atau biasanya disebut sebagai  norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: [6]
a.  Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling).
b.  Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
c.   Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.
Ketiga bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat di uji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justisial), proses inilah yang disebut dengan Judicial review atau pengujian oleh lembaga yudisial atau pengadilan. Seringkali dalam praktek terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) dengan istilah judicial review, yang menganggap kedua-duanya adalah identik. Sesungguhnya kedua-duanya terdapat perbedaan, yaitu: [7]
1.    Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan Judicial review tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan tetapi juga Legislative act, executive act, administrative act dan judgement terhadap UUD.
2.    Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya di miliki oleh hakim, tetapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan Judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan.
Sebutan yang tepat tergantung kepada lembaga mana kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht diberikan. Toetsingsrecht atau hak untuk menguji, jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai lembaga legislatif, maka proses pengujian demikian tersebut lebih tepat disebut sebagai Legislative review. Demikian juga jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada pemerintah, maka proses pengujiannya disebut sebagai executive review.
Dalam mengadili gugatan-gugatan perkara tata usaha negara terhadap keputusan administrasi negara, para hakim Amerika Serikat menggunakan istilah judicial review.  Begitu juga dalam sistem yang berlaku di Inggris, istilah pengujia terhadap keputusan-keputusan administrasi negara yang bersifat individual and concrete (beschickking) disebut sebagai judicial review. Hanya saja, di inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review  terhadap undang-undang (Legislative act) yang ditetapkan oleh parlemen. Sebaliknya justru bangsa Amerika Serikat yang pertama mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang buatan kongres, dimulai dengan putusan atas kasus marbury versus Madison pada tahun 1803. [8]

Ruang Lingkup Praperadilan
Dalam istilah hukum Indonesia, adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
b.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Di Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai pasal 79 sampai pasal 83 KUHAP, pihak – pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah sebagai berikut :
a.    Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan.
b.    Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam atau tidaknya penghentian penyidikan.
c.    Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan.
d.    Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP).
e.    Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP).
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal 78 ayat 2 KUHAP). Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:
a.    dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b.    dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang.
c.    pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
d.    dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
e.    putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3 merupakan salah satu lingkup wewenang praperadilan. Pihak penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan (praperadilan) tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Permintaan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo. pasal 78 KUHAP).

 Analisis Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah dan menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due process”. Permasalahan ini perlu disinggung karena pada kenyataannya masih banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau diskresi yang dilakukan penyidik sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan, penyelidikan atau penyidikan. Oleh karena itu, hal ini patut diuraikan untuk meningkatkan ketaatan mematuhi penegakan the right of due process of law.[9]
Penetapan tersangka mengakibatkan adanya upaya paksa lain yang akan diberlakukan kepada seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka seperti dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain sebagainya. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut maka seorang warga negara mempunyai jalur yang dinamakan praperadilan dalam suatu upaya Hukum Acara Pidana Indonesia guna mempertahankan haknya.
Praperadilan merupakan salah satu prinsip KUHAP yakni sebagai lembaga control. Adapun praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10 KUHAP, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3.    Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dengan kata lain, Praperadilan memiliki objek penting didalamnya yakni, Pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi penangkapan dan penahanan, Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan  abuse of authority. Ketiga, berwenang  memeriksa tuntutan ganti rugi, Keempat, memeriksa permintaan rahabilitasi, Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
Berdasarkan uraian objek praperadilan yang berlaku sebelum dibatalkannya Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penetapan tersangka tidak masuk dalam klasifikasi objek praperadilan. Namun, jika diperhatikan secara seksama, upaya penyidikan dapatlah dihentikan melalui jalur praperadilan dengan tiga syarat yang telah diuraikan diatas.
Adapun Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981, diujikan dengan dasar pemohon warga negara Indonesia, salah satu dasar pemohon yaitu bahwa konsep praperadilan yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyiikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dengan beberapa pendapat yang menjadi pertimbangan Mahkamah, nyatanya Mahkamah sependapat dan sejalan dengan apa yang dimohonkan oleh pemohon.
Hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan hal yang berkesesuaian dengan hukum, untuk dapat dijadikan salah satu objek praperadilan sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon. Putusan Mahkamah tersebut merupakan putusan yang bersifat normatif legislatif, berdasarkan kewenangannya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang menciptakan norma baru dalam suatu undang-undang yang diujikan, hal ini ditegaskan oleh Jamin Ginting saksi ahli dari KPK dalam sidang kasus praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, menurut keterangannya Mahkamah Konstitusi memiliki sifat dasar yakni sebagai negative legislative bukan normative legislatif, maka yang perlu diperbaiki adalah prinsip checks  and  balances  yang  harusnya  ditegakkan,  karena  prosedur penambahan norma merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden.
Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menilai putusan tersebut jelas merupakan putusan yang tidak hanya mengawasi produk legislatif, namun dalam putusan tersebut justru Mahkamah Konstitusi telah memasuki ranah legislatif. Seharusnya Mahkamah Konstitusi bertindak dengan memperhatikan landasan yuridis yang telah termaktub dengan jelas dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyebabkan adanya implikasi pada penegakkan hukum acara pidana di Indonesia. Menurut analisa penulis, implikasi tersebut melingkupi tiga segi utama yakni implikasi terhadap penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi pada implementasi putusan di tengah masyarakat, dan implikasi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menuai beberapa implikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Pertama,  Implikasi  yang   tepat yakni  memberikan  penegakkan  hak  konstitusional  warga  negara, Kedua, Implikasi terhadap implementasi putusan tersebut di tengah masyarakat, yakni akan terdapat banyak kasus terkait dengan penetapan tersangka yang akan diajukan dalam proses praperadilan. Terlebih ketika data menunjukkan bahwa terdapat 6 tersangka sebelum diputus putusan MK tersebut, telah ada kasus yang dikabulkan pembatalan terkait dengan penetapan tersangka dalam proses praperadilan. Ketiga, Implikasi terhadap aparatur penegak hukum yakni kesulitan bagi penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, kemudian ketidaktahuan aparatur penegak hukum dalam menerapkan norma putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dikarenakan aparatur penegak hukum seperti jaksa akan melihat terlebih dahulu teks undang-undang yang berlaku dan Keempat, implikasi terhadap sistem ketatanegaraan yang pada dasarnya memiliki prinsip check and balances.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara, diakses dari http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_21.pdf.
Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara, Op.cit.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005.
  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012.





[1]    Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[2]Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara, diakses dari http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_21.pdf.
[3]    Ibid.
[4]    Mahfud Md, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak Konstitusional Warga Negara, Op.cit.
[5]    Ibid.
[6] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 1.
[7] Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008,h.9.

[8] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005, hlm. 24-25.
[9] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter