PENGANTAR
Dalam praktik, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor kerap
digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mendakwa tersangka korupsi. Hal yang
menarik adalah, argumentasi para Pemohon yang menyatakan bahwa unsur “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Padahal dalam faktanya sebagaimana telah diuraikan di atas, dan menjadi
pengetahuan publik, penggunaan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor sangat dominan digunakan oleh JPU untuk mendakwa para koruptor.
Penggunaan ketentuan tersebut, justru untuk menyelamatkan keuangan negara dan
perekonomian negara, bukan sebaliknya. Sehingga permintaan para Pemohon untuk
menyatakan agar ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 menjadi suatu
paradoks dengan realitas publik.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jika ditinjau dari dua
sudut pandang yang berbeda, boleh jadi dapat ditafsirkan berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Para Pemohon atau ASN bisa saja
merasa cemas terhadap unsur “dapat merugikan keuangan negara”. Karena sebagai
pengambil kebijakan yang mengeluarkan keputusan-keputusan untuk pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan di daerahnya masing-masing, bayang-bayang akan delik
pidana dengan unsur dapat merugikan keuangan negara berpotensi dikenakan
kepadanya suatu hari kelak. Pengambil kebijakan bisa menjadi peragu terhadap
kebijakan yang akan diambilnya, bahkan bisa saja dibatalkan karena
kekhawatirannya akan potensi pidana dikemudian hari. Dengan kondisi demikian,
maka pembangunan di daerah menjadi terhambat, penyerapan anggaran menjadi
rendah, kinerja pegawai tidak produktif, serta efek domino negatif lainnya
terhadap pembangunan.[1]
Namun sebaliknya, jika unsur delik “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” dikeluarkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,
hal ini memberikan tantangan baru bagi peran dan tugas kewenangan Kepolisian,
Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi.
Sebagaimana Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah membatalkan frasa
“dapat”, dalam kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” yang tercantum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka delik yang
semula merupakan delik formil telah berubah menjadi delik materiil. Karena
makna kerugian negara tidak lagi bersifat potential loss melainkan harus
merupakan kerugian yang nyata (actual loss). Dalam salah satu pertimbangan
putusannya, MK berpandangan bahwa penerapan unsur kerugian negara dengan
menggunakan konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan
bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi antar instrumen hukum.
Jika pertimbangan putusan ini merupakan upaya untuk menegakkan hukum materiil
karena mengedepankan kerugian yang bersifat nyata, maka menjadi suatu
pertanyaan, apakah pertimbangan putusan ini merupakan wujud keadilan substantif
yang selama ini didengung-dengungkan oleh MK dengan bersandar kepada hukum
progresif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum dalam mencapai kemanfaatan
dan keadilan hukum.2 Jika benar demikian, maka luaran pikiran ini tentunya
bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi yang merupakan musuh bersama
(common enemy) oleh siapapun dan sampai kapanpun.
Namun pertimbangan putusan MK di atas, tidak sejalan dengan asumsi publik.
Putusan MK tersebut justru dinilai menyulitkan pemberantasan korupsi. Jaksa
Agung HM Prasetyo mengungkapkan bahwa dalam sejumlah perkara korupsi, sering
kali jumlah kerugian keuangan negara dapat terus bertambah seiring dengan
pengembangan kasus. Penegak hukum dipastikan akan sulit menjadikan seseorang
menjadi tersangka jika kerugian negara tak boleh lagi bersifat potensi atau
taksiran keuangan negara yang belum riil.4 Berdasarkan kondisi faktual di atas,
penulis berupaya melakukan pengkajian terhadap putusan a quo. Pengkajian ini
akan dibagi dalam dua aspek hukum, yakni hukum pidana dan hukum administrasi
negara untuk menghasilkan kesimpulan yang objektif dan berimbang.
Kepastian
Hukum dan Sinkronisasi Pengaturan Hukum terkait Delik Korupsi
Korupsi
bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam perkembangannya korupsi telah
terjadi secara sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan
dapat menyengsarakan rakyat. Karena itulah korupsi kini dianggap sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Kejahatan korupsi telah disejajarkan dengan tindakan terorisme.
Sebuah kejahatan luar biasa yang menuntut penanganan dan pencegahan yang luar
biasa. Karenanya sebagai sebuh kejahatan yang dikategorikan luar biasa, maka
seluruh lapisan masyarakat harus dibekali pengetahuan tentang bahaya laten
korupsi dan pencegahannya. Korupsi juga dapat memberikan dampak negatif
terhadap demokrasi, bidang ekonomi, dan kesejahteraan umum negara.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi memberikan pengertian tentang
tindak pidana korupsi yakni:
1. Setiap orang
yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau suatu badan
atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana
yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
3. Setiap orang
yang melakukan tindak
pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210,
Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420,
Pasal 423 serta Pasal 435 KUHP dan juga Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11 dan
Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
4. Setiap orang yang memberi
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaannya atau
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukan
tersebut.
5. Setiap orang
yang melanggar ketentuan
undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
6. Setiap orang
melakukan percobaan, pembantuan,
atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
7. Setiap orang
di luar wilayah
negara Republik Indonesia
yang memberikan bantuan, kesempatan
sarana atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana korupsi.
Jika
melihat redaksi dari
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka terdapat
perubahan dari ketentuan yang
ada sebelumnya karena
dianggap bahwa semakin canggihnya dan
rumit kejahatan ini,
sehingga diperlukan pengaturan
lebih khusus untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi.Sedangkan pengertian
tindak pidana korupsi
dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang
mengubah Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tidak mengalami perubahan berarti hanya saja dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak
lagi mengacu pada
ketentuan KUHP, melainkan
langsung menyebut unsur-unsur
yang terdapat dalam undang-undang Korupsi baru ini.
Mengenai adanya
kriteria utama, sehingga
suatu tindakan dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi,
menurut pendapat Romli Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,
adanya unsur kerugian negara sebagai unsur
utama sehingga tindakan
dapat dikatakan sebagai tindak
pidana korupsi, tetapi
pada kenyataannya unsur kerugian negara
sulit pembuktiannya karena
deliknya delik materiil.[2]
Namun dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 unsur kerugian negara
tetap ada tetapi
rumusannya diubah menjadi
delik formil sehingga tidak perlu
dibuktikan adanya kerugian negara atau tidak.Menurut Victor M. Situmorang dalam
bukunya mengenai tindak pidana pegawai negeri sipil menyatakan bahwa korupsi
yaitu :[3]
Secara umumnya
dapat dikatakan sebagai
perbuatan dengan maksud untuk
memperkaya diri sendiri
atau orang lain
atau suatu badan, yang langsung
maupun tidak langsung merugikan keuangan negara
atau daerah atau
keuangan suatu badan
yang menerima bantuan keuangan
negara yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan
atau wewenang yang
ada padanya.
Suatu hukum termasuk di dalamnya undang-undang diciptakan untuk tiga macam
tujuan yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam lingkungan hukum
pidana, kepastian menjadi salah satu hal yang penting mengingat negara
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Asas legalitas menjadi hal
yang penting sehingga suatu perbuatan tidak bisa dipidana tanpa ada peraturan
terlebih dahulu yang mengaturnya (nullum
delictum nulla poena sineprevia legi poenale).
Terkait hal ini, harus dipahami dulu konsep dasar dari delik korupsi itu
sendiri. Delik (tindak pidana) dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua
yakni delik formiil dan delik materiil. Delik formiil adalah delik yang
perumusannya lebih menekankan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain
maksud pembentuk undang-undang yakni melarang melakukan perbuatan tertentu
tanpa mensyaratkan terjadinya akibat apapun dari perbuatan tersebut. Sehingga,
dalam delik formil, sudah dianggap selesai jika si pelaku telah menyelesaikan
rangkaian perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan delik.[4]
Dalam delik formiil, akibat bukan suatu hal yang penting dan bukan merupakan
syarat selesainya suatu delik. Sedangkan delik materiil adalah delik yang
perumusannya lebih menekankan pada akibat yang dilarang, dengan kata lain
pembentuk undang-undang melarang terjadinya akibat tertentu. Dalam delik
materiil, akibat adalah hal yang harus ada. Selesainya suatu delik materiil
adalah apabila akibat yang dilarang dalam rumusan delik sudah benat-benar
terjadi.
Memahami aspek dasar di atas sangat penting kaitannya dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor. Secara gramatikal, kedua pasal tersebut menganut delik
formiil yang membawa konsekuensi bahwa seseorang dianggap tersangka jika sudah
menyelesaikan rangkaian perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Sehingga kata “dapat” memberikan arti bahwa akibat
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak harus benar-benar
terjadi, yang penting (rangkaian) perbuatan pelaku sudah sesuai dengan rumusan
delik ditambah dengan perbuatan tersebut memiliki peluang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Hal ini juga diperkuat dengan penafsiran otentik yang ada dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor:
“…………Dalam ketentuan ini kata “ dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formiil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.”
Kedua penafsiran hukum di atas juga sejalan dengan pendapat hukum yang
dikemukakan oleh Eddy O.S. Hiariej tentang pembagian delik sebagai
tatbestandmassigkeit dan delik sebagai wesenschau. Delik sebagai
tatbestandmassigkeit dapat diartikan perbuatan yang memenuhi unsur delik yang dirumuskan. Sedangkan delik sebagai wesenshau
mengandung makna sebagai suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik
bukan hanya dari rumusan delik tetapi perbuatan tersebut juga dimaksudkan oleh
pembentuk UU.[5]
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maksud dari
pembentuk UU Tipikor adalah adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat (delik
formiil). Sehingga tidak perlu dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan
negara secara riil (actual loss). Dalam hal ini penulis memiliki kesamaan
pendapat dengan dissenting opinion yang ada dalam Putusan MK tersebut, yakni
bisa mengubah secara mendasar kualifikasi delik korupsi dari delik formiil
menjadi delik materiil.
Terkait dengan sinkronisasi hukum nasional, Putusan MK ini juga akan
mengubah sistem penegakan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan oleh
penegak hukum. Frasa “dapat” yang harus dibuktikan dengan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara yang riil (actual loss) bisa memperlambat
jalannya penegakan hukum. Apalagi kewenangan lembaga negara yang bisa
membuktikan kerugian keuangan negara yang riil ini pun masih tumpang tindih.
Mengenai hal ini sudah diputus oleh MK dalam Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal
23 Oktober 2012. Dalam putusan a quo, MK menegaskan bahwa penyidik korupsi
berhak melakukan koordinasi dengan lembaga apa pun, termasuk BPK dan BPKP, atau
lembaga lain yang punya kemampuan menentukan kerugian negara.
Berdasarkan Putusan MK di atas, lagi-lagi memunculkan ketidakpastian hukum
dalam law in context atau dalam
tataran hukum acaranya. Apakah yang dimaksud itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat di
masing-masing lembaga atau akuntan publik? Bagaimana jika kerugian negara yang
didakwa oleh KPK atau Jaksa Penuntut Umum ternyata berbeda dengan hasil audit
dari lembaga yang disebutkan di atas tadi? Bagaimana jika perbedaan hasil
kerugian keuangan negara itu dijadikan alasan pembenar bagi terdakwa supaya
lolos dari jeratan hukum karena dianggap melanggar hak konstitusional? Belum
lagi jika audit yang dilakukan memakan waktu yang lama, justru akan
memperlambat proses hukum yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian ataupun Jaksa
Penuntut Umum. Implikasinya, hal ini memberikan ketidakpastian hukum dan
ketidaksinkronan hukum nasional antara law
in text dengan law in context.
Dampak Kriminalisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) Akibat Freis Ermessen yang di kualifikasikan sebagai tindak pidana Korupsi
Dalam konteks Putusan MK ini, Pemohon membangun argumentasi bahwa
kriminalisasi lahir karena penegak hukum banyak mendakwa Aparatur Sipil Negara
(ASN) karena dianggap mengeluarkan kebijakan yang merugikan keuangan negara.
Padahal, tindakan penegakan hukum yang dilakukan terhadap ASN merupakan
tindakan murni penegakan hukum yang dilakukan untuk kemajuan suatu lembaga/
instansi/daerah, demi menjaga tidak terjadinya penyimpangan keuangan negara
yang menjadi tanggung jawabnya untuk mengelola. Mengenai kriminalisasi terhadap
kebijakan, Indra Perwira mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang bisa terjadi
karena 3 (tiga) hal yakni sumber wewenang, substansi wewenang dan asas
kebebasan bertindak (freis ermessen). Jika terdapat kesalahan administrasi
dimana ASN mengeluarkan suatu kebijakan, maka poin pertama dan poin kedua
menggunakan pendekatan administratif sebagaimana tertuang dalam UU AP yang
nantinya akan dibatalkan atau tidaknya oleh PTUN. Kedua poin inilah yang
termasuk wewenang terikat yakni berdasarkan asas legalitas (peraturan
perundang-undangan).[6] UU
AP lahir memang ditujukan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang termasuk
kesalahan administrasi di dalamnya.
Terdapat tiga alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan pemerintah
dapat melakukan tindak diskresi atau tindakan atas inisiatif sendiri: pertama,
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in
concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian
yang segera. Kedua, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan
aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya. Ketiga, adanya
delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri
kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan ini dimiliki oleh aparat yang lebih
tinggi tingkatannya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP)
telah menganut perluasan makna diskresi ini. Ketentuan perihal diskresi diatur
di dalam undang-undang tersebut mulai dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 32.
Ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut setidaknya memberikan
kepastian hukum yang lebih jelas perihal prosedur penggunaan diskresi. Selain
itu diatur pula mengenai batas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat
Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini tentu menjadi spirit bagi pejabat
pemerintah untuk dapat secara leluasa mengambil sebuah keputusan dalam rangka
melayani dan memenuhi kepentingan rakyat.
Dalam Pasal 26 UU AP diatur perihal prosedur penggunaan diskresi antara lain:
(a) Pejabat yang menggunakan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak
administrasi dan keuangan; (b) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara
tertulis kepada Atasan Pejabat; (c) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah
berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk
perbaikan, atau penolakan; dan (d) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan
penolakan secara tertulis.
Artinya, UU AP sudah memberikan perlindungan hukum bagi ASN yang
menggunakan diskresinya. Sehingga secara limitatif, tidak perlu ada
kekhawatiran dari diri ASN ketika mengeluarkan suatu diskresi dan kemudian
langsung dikriminalisasi oleh penegak hukum. Dalam konteks hukum administrasi
pun, juga terdapat asas fundamental yang sangat penting bagi ASN dalam
menyelenggarakan pemerintahan, yakni Asas-Asas Umum Pemerintahan Umum yang Baik
(AAUPB). AM Donner mengungkapkan bahwa jika landasan peraturan kebijakan tidak
didasarkan pada undang-undang, maka landasan yang biasa digunakan dalam
pengambilan keputusan peraturan kebijakan harus didasarkan pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlek bestuur). AM Donner
menetapkan bahwa terdapat lima asas umum pemerintahan yang baik, yang tidak
hanya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu saja, akan tetapi dalam persoalan
secara umum di dalam administrasi, asas-asas tersebut adalah antara lain asas
kejujuran (fair play) asas kecermatan (zorgvtlldigheid), asas kemurnian dalam
tujuan (zuiverheid van oogmerk), asas
keseimbangan (evenwichtigheid), dan
asas kepastian hukum (recht zekerheid).
Secara substantif, tidak ada korelasi langsung yang membuat frasa “dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memberikan pembenaran untuk
meng-kriminalisasi ASN yang mengeluarkan kebijakan yang diskresi. Hikmahanto
Juwana sangat menekankan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya
yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika
membuat kebijakan.23 Artinya bahwa bukan karena kebijakan diskresi yang
mengakibatkan ASN tersangkut masalah, tetapi niat batin (mens rea) dari si pengambil
kebijakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang
menyebabkannya didakwa UU Tipikor.
Dengan demikian ada dua pembatasan yang selama ini menjadi perdebatan
terkait pendekatan administratif dan pendekatan pidana jika ASN terkena tindak
pidana korupsi. Sehingga dapat ditarik pembatasan bahwa jika kebijakannya yang
keliru atau salah administrasi atau cacat prosedur, maka pendekatannya
menggunakan pendekatan administratif yang berpangkal pada PTUN. Sementara, jika
niat batin dari si pengambil kebijakan yang keliru, yang nyata-nyata untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan
Negara, maka digunakan pendekatan pidana sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
[2] Romli Atmasasmita, Menyikap
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Yogyakarta, Adytia Media, 1999, hlm. 122.
[3]Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta,
Rineka Cipta, 1990, hlm.1.
[6] Fathudin, Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang)
Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan), Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 1, Juni 2015, h. 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar