Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

PERGESERAN DELIK KORUPSI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016


PENGANTAR
Dalam praktik, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor kerap digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mendakwa tersangka korupsi. Hal yang menarik adalah, argumentasi para Pemohon yang menyatakan bahwa unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Padahal dalam faktanya sebagaimana telah diuraikan di atas, dan menjadi pengetahuan publik, penggunaan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat dominan digunakan oleh JPU untuk mendakwa para koruptor. Penggunaan ketentuan tersebut, justru untuk menyelamatkan keuangan negara dan perekonomian negara, bukan sebaliknya. Sehingga permintaan para Pemohon untuk menyatakan agar ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 menjadi suatu paradoks dengan realitas publik.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jika ditinjau dari dua sudut pandang yang berbeda, boleh jadi dapat ditafsirkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Para Pemohon atau ASN bisa saja merasa cemas terhadap unsur “dapat merugikan keuangan negara”. Karena sebagai pengambil kebijakan yang mengeluarkan keputusan-keputusan untuk pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di daerahnya masing-masing, bayang-bayang akan delik pidana dengan unsur dapat merugikan keuangan negara berpotensi dikenakan kepadanya suatu hari kelak. Pengambil kebijakan bisa menjadi peragu terhadap kebijakan yang akan diambilnya, bahkan bisa saja dibatalkan karena kekhawatirannya akan potensi pidana dikemudian hari. Dengan kondisi demikian, maka pembangunan di daerah menjadi terhambat, penyerapan anggaran menjadi rendah, kinerja pegawai tidak produktif, serta efek domino negatif lainnya terhadap pembangunan.[1]
Namun sebaliknya, jika unsur delik “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dikeluarkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, hal ini memberikan tantangan baru bagi peran dan tugas kewenangan Kepolisian, Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi. Sebagaimana Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah membatalkan frasa “dapat”, dalam kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang tercantum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka delik yang semula merupakan delik formil telah berubah menjadi delik materiil. Karena makna kerugian negara tidak lagi bersifat potential loss melainkan harus merupakan kerugian yang nyata (actual loss). Dalam salah satu pertimbangan putusannya, MK berpandangan bahwa penerapan unsur kerugian negara dengan menggunakan konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi antar instrumen hukum. Jika pertimbangan putusan ini merupakan upaya untuk menegakkan hukum materiil karena mengedepankan kerugian yang bersifat nyata, maka menjadi suatu pertanyaan, apakah pertimbangan putusan ini merupakan wujud keadilan substantif yang selama ini didengung-dengungkan oleh MK dengan bersandar kepada hukum progresif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum dalam mencapai kemanfaatan dan keadilan hukum.2 Jika benar demikian, maka luaran pikiran ini tentunya bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi yang merupakan musuh bersama (common enemy) oleh siapapun dan sampai kapanpun.
Namun pertimbangan putusan MK di atas, tidak sejalan dengan asumsi publik. Putusan MK tersebut justru dinilai menyulitkan pemberantasan korupsi. Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan bahwa dalam sejumlah perkara korupsi, sering kali jumlah kerugian keuangan negara dapat terus bertambah seiring dengan pengembangan kasus. Penegak hukum dipastikan akan sulit menjadikan seseorang menjadi tersangka jika kerugian negara tak boleh lagi bersifat potensi atau taksiran keuangan negara yang belum riil.4 Berdasarkan kondisi faktual di atas, penulis berupaya melakukan pengkajian terhadap putusan a quo. Pengkajian ini akan dibagi dalam dua aspek hukum, yakni hukum pidana dan hukum administrasi negara untuk menghasilkan kesimpulan yang objektif dan berimbang.

Kepastian Hukum dan Sinkronisasi Pengaturan Hukum terkait Delik Korupsi

Korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat. Karena itulah korupsi kini dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kejahatan korupsi telah disejajarkan dengan tindakan terorisme. Sebuah kejahatan luar biasa yang menuntut penanganan dan pencegahan yang luar biasa. Karenanya sebagai sebuh kejahatan yang dikategorikan luar biasa, maka seluruh lapisan masyarakat harus dibekali pengetahuan tentang bahaya laten korupsi dan pencegahannya. Korupsi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap demokrasi, bidang ekonomi, dan kesejahteraan umum negara.
            Undang-Undang  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi  memberikan pengertian tentang tindak  pidana  korupsi yakni:
1.    Setiap  orang  yang  secara  melawan  hukum  melakukan  perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu  korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.    Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan  atau  suatu  korporasi  menyalahgunakan  kewenangan, kesempatan,  atau  sarana  yang  ada  padanya  karena  jabatan  atau kedudukan  yang  dapat  merugikan  keuangan  negara  atau perekonomian negara.
3.    Setiap  orang  yang  melakukan  tindak  pidana  sebagaimana  yang dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423 serta Pasal 435 KUHP dan juga Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,  Pasal  10,  Pasal  11  dan  Pasal  12  Undang-Undang  Nomor  31 Tahun 1999.
4.    Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan  mengingat  kekuasaannya  atau  wewenang  yang  melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut.
5.    Setiap  orang  yang  melanggar  ketentuan  undang-undang  yang secara  tegas  menyatakan  bahwa  pelanggaran  terhadap  ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
6.    Setiap  orang  melakukan  percobaan,  pembantuan,  atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
7.    Setiap  orang  di  luar  wilayah  negara  Republik  Indonesia  yang memberikan  bantuan,  kesempatan  sarana  atau  keterangan  untuk terjadinya tindak pidana korupsi.
            Jika  melihat  redaksi  dari  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999 tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,  maka  terdapat  perubahan dari  ketentuan  yang  ada  sebelumnya  karena  dianggap  bahwa  semakin canggihnya  dan  rumit  kejahatan  ini,  sehingga  diperlukan  pengaturan  lebih khusus untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi.Sedangkan  pengertian  tindak  pidana  korupsi  dalam  Undang-Undang Nomor  20  Tahun  2001  yang  mengubah  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun 1999  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,  tidak  mengalami perubahan berarti hanya saja dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak  lagi  mengacu  pada  ketentuan  KUHP,  melainkan  langsung  menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam undang-undang Korupsi baru ini.
            Mengenai  adanya  kriteria  utama,  sehingga  suatu  tindakan dikategorikan  sebagai  tindak  pidana  korupsi,  menurut  pendapat  Romli Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, adanya unsur kerugian negara  sebagai  unsur  utama  sehingga  tindakan  dapat  dikatakan sebagai  tindak  pidana  korupsi,  tetapi  pada  kenyataannya  unsur kerugian  negara  sulit  pembuktiannya  karena  deliknya  delik  materiil.[2]
            Namun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian negara  tetap  ada  tetapi  rumusannya  diubah  menjadi  delik  formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian negara atau tidak.Menurut Victor M. Situmorang dalam bukunya mengenai tindak pidana pegawai negeri sipil menyatakan bahwa korupsi yaitu :[3]
Secara  umumnya  dapat  dikatakan  sebagai  perbuatan  dengan maksud  untuk  memperkaya  diri  sendiri  atau  orang  lain  atau  suatu badan, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara  atau  daerah  atau  keuangan  suatu  badan  yang  menerima bantuan keuangan negara yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan  menyalahgunakan  jabatan  atau  wewenang  yang  ada padanya.

Suatu hukum termasuk di dalamnya undang-undang diciptakan untuk tiga macam tujuan yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam lingkungan hukum pidana, kepastian menjadi salah satu hal yang penting mengingat negara Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Asas legalitas menjadi hal yang penting sehingga suatu perbuatan tidak bisa dipidana tanpa ada peraturan terlebih dahulu yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sineprevia legi poenale).
Terkait hal ini, harus dipahami dulu konsep dasar dari delik korupsi itu sendiri. Delik (tindak pidana) dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yakni delik formiil dan delik materiil. Delik formiil adalah delik yang perumusannya lebih menekankan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain maksud pembentuk undang-undang yakni melarang melakukan perbuatan tertentu tanpa mensyaratkan terjadinya akibat apapun dari perbuatan tersebut. Sehingga, dalam delik formil, sudah dianggap selesai jika si pelaku telah menyelesaikan rangkaian perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan delik.[4] Dalam delik formiil, akibat bukan suatu hal yang penting dan bukan merupakan syarat selesainya suatu delik. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya lebih menekankan pada akibat yang dilarang, dengan kata lain pembentuk undang-undang melarang terjadinya akibat tertentu. Dalam delik materiil, akibat adalah hal yang harus ada. Selesainya suatu delik materiil adalah apabila akibat yang dilarang dalam rumusan delik sudah benat-benar terjadi.
Memahami aspek dasar di atas sangat penting kaitannya dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Secara gramatikal, kedua pasal tersebut menganut delik formiil yang membawa konsekuensi bahwa seseorang dianggap tersangka jika sudah menyelesaikan rangkaian perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Sehingga kata “dapat” memberikan arti bahwa akibat “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak harus benar-benar terjadi, yang penting (rangkaian) perbuatan pelaku sudah sesuai dengan rumusan delik ditambah dengan perbuatan tersebut memiliki peluang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Hal ini juga diperkuat dengan penafsiran otentik yang ada dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor:
“…………Dalam ketentuan ini kata “ dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formiil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.”
Kedua penafsiran hukum di atas juga sejalan dengan pendapat hukum yang dikemukakan oleh Eddy O.S. Hiariej tentang pembagian delik sebagai tatbestandmassigkeit dan delik sebagai wesenschau. Delik sebagai tatbestandmassigkeit dapat diartikan perbuatan yang memenuhi unsur delik yang  dirumuskan. Sedangkan delik sebagai wesenshau mengandung makna sebagai suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik bukan hanya dari rumusan delik tetapi perbuatan tersebut juga dimaksudkan oleh pembentuk UU.[5]
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maksud dari pembentuk UU Tipikor adalah adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat (delik formiil). Sehingga tidak perlu dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara secara riil (actual loss). Dalam hal ini penulis memiliki kesamaan pendapat dengan dissenting opinion yang ada dalam Putusan MK tersebut, yakni bisa mengubah secara mendasar kualifikasi delik korupsi dari delik formiil menjadi delik materiil.
Terkait dengan sinkronisasi hukum nasional, Putusan MK ini juga akan mengubah sistem penegakan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum. Frasa “dapat” yang harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang riil (actual loss) bisa memperlambat jalannya penegakan hukum. Apalagi kewenangan lembaga negara yang bisa membuktikan kerugian keuangan negara yang riil ini pun masih tumpang tindih. Mengenai hal ini sudah diputus oleh MK dalam Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 23 Oktober 2012. Dalam putusan a quo, MK menegaskan bahwa penyidik korupsi berhak melakukan koordinasi dengan lembaga apa pun, termasuk BPK dan BPKP, atau lembaga lain yang punya kemampuan menentukan kerugian negara.
Berdasarkan Putusan MK di atas, lagi-lagi memunculkan ketidakpastian hukum dalam law in context atau dalam tataran hukum acaranya. Apakah yang dimaksud itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat di masing-masing lembaga atau akuntan publik? Bagaimana jika kerugian negara yang didakwa oleh KPK atau Jaksa Penuntut Umum ternyata berbeda dengan hasil audit dari lembaga yang disebutkan di atas tadi? Bagaimana jika perbedaan hasil kerugian keuangan negara itu dijadikan alasan pembenar bagi terdakwa supaya lolos dari jeratan hukum karena dianggap melanggar hak konstitusional? Belum lagi jika audit yang dilakukan memakan waktu yang lama, justru akan memperlambat proses hukum yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian ataupun Jaksa Penuntut Umum. Implikasinya, hal ini memberikan ketidakpastian hukum dan ketidaksinkronan hukum nasional antara law in text dengan law in context.


Dampak Kriminalisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) Akibat Freis Ermessen yang di kualifikasikan sebagai tindak pidana Korupsi


Dalam konteks Putusan MK ini, Pemohon membangun argumentasi bahwa kriminalisasi lahir karena penegak hukum banyak mendakwa Aparatur Sipil Negara (ASN) karena dianggap mengeluarkan kebijakan yang merugikan keuangan negara. Padahal, tindakan penegakan hukum yang dilakukan terhadap ASN merupakan tindakan murni penegakan hukum yang dilakukan untuk kemajuan suatu lembaga/ instansi/daerah, demi menjaga tidak terjadinya penyimpangan keuangan negara yang menjadi tanggung jawabnya untuk mengelola. Mengenai kriminalisasi terhadap kebijakan, Indra Perwira mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang bisa terjadi karena 3 (tiga) hal yakni sumber wewenang, substansi wewenang dan asas kebebasan bertindak (freis ermessen). Jika terdapat kesalahan administrasi dimana ASN mengeluarkan suatu kebijakan, maka poin pertama dan poin kedua menggunakan pendekatan administratif sebagaimana tertuang dalam UU AP yang nantinya akan dibatalkan atau tidaknya oleh PTUN. Kedua poin inilah yang termasuk wewenang terikat yakni berdasarkan asas legalitas (peraturan perundang-undangan).[6] UU AP lahir memang ditujukan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang termasuk kesalahan administrasi di dalamnya.
 Sementara, poin ketiga yakni asas kebebasan bertindak (freis ermessen) merupakan keistimewaan dari pengambil kebijakan jika suatu norma hukum ternyata belum mengatur atau tidak jelas aturannya, sehingga boleh mengeluarkan suatu kebijakan, atau disebut juga wewenang bebas atau diskresi.18 Secara terminologis, freis ermessen berasal dari kata frei yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat. Kata freis berarti orang bebas, sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan atau keputusan.[7] Sehingga secara istilah freis ermessen berarti bebas mempertimbangkan atau bebas menilai. Maksudnya dapat dipandang sebagai asas yang bertujuan untuk mengisi kekurangan atau melengkapi asas legalitas supaya cita-cita negara hukum material dapat diwujudkan. Karena, asas freies ermessen memberikan keleluasaan bertindak kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya tanpa terikat kepada undang-undang.
Terdapat tiga alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan pemerintah dapat melakukan tindak diskresi atau tindakan atas inisiatif sendiri: pertama, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. Kedua, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya. Ketiga, adanya delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan ini dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah menganut perluasan makna diskresi ini. Ketentuan perihal diskresi diatur di dalam undang-undang tersebut mulai dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 32. Ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut setidaknya memberikan kepastian hukum yang lebih jelas perihal prosedur penggunaan diskresi. Selain itu diatur pula mengenai batas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini tentu menjadi spirit bagi pejabat pemerintah untuk dapat secara leluasa mengambil sebuah keputusan dalam rangka melayani dan memenuhi kepentingan rakyat.
Dalam Pasal 26 UU AP diatur perihal prosedur penggunaan diskresi antara lain: (a) Pejabat yang menggunakan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan; (b) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat; (c) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan; dan (d) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Artinya, UU AP sudah memberikan perlindungan hukum bagi ASN yang menggunakan diskresinya. Sehingga secara limitatif, tidak perlu ada kekhawatiran dari diri ASN ketika mengeluarkan suatu diskresi dan kemudian langsung dikriminalisasi oleh penegak hukum. Dalam konteks hukum administrasi pun, juga terdapat asas fundamental yang sangat penting bagi ASN dalam menyelenggarakan pemerintahan, yakni Asas-Asas Umum Pemerintahan Umum yang Baik (AAUPB). AM Donner mengungkapkan bahwa jika landasan peraturan kebijakan tidak didasarkan pada undang-undang, maka landasan yang biasa digunakan dalam pengambilan keputusan peraturan kebijakan harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlek bestuur). AM Donner menetapkan bahwa terdapat lima asas umum pemerintahan yang baik, yang tidak hanya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu saja, akan tetapi dalam persoalan secara umum di dalam administrasi, asas-asas tersebut adalah antara lain asas kejujuran (fair play) asas kecermatan (zorgvtlldigheid), asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk), asas keseimbangan (evenwichtigheid), dan asas kepastian hukum (recht zekerheid).
Secara substantif, tidak ada korelasi langsung yang membuat frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor memberikan pembenaran untuk meng-kriminalisasi ASN yang mengeluarkan kebijakan yang diskresi. Hikmahanto Juwana sangat menekankan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika membuat kebijakan.23 Artinya bahwa bukan karena kebijakan diskresi yang mengakibatkan ASN tersangkut masalah, tetapi niat batin (mens rea) dari si pengambil kebijakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang menyebabkannya didakwa UU Tipikor.
Dengan demikian ada dua pembatasan yang selama ini menjadi perdebatan terkait pendekatan administratif dan pendekatan pidana jika ASN terkena tindak pidana korupsi. Sehingga dapat ditarik pembatasan bahwa jika kebijakannya yang keliru atau salah administrasi atau cacat prosedur, maka pendekatannya menggunakan pendekatan administratif yang berpangkal pada PTUN. Sementara, jika niat batin dari si pengambil kebijakan yang keliru, yang nyata-nyata untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan Negara, maka digunakan pendekatan pidana sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.




Emerson Yuntho, et.al, “Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi”, (Laporan Hasil Penelitian, Indonesian Corruption Watch, 2004), h. 19
[2] Romli Atmasasmita, Menyikap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Yogyakarta, Adytia Media, 1999, hlm. 122.
[3]Victor M. Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, Rineka Cipta, 1990, hlm.1.
[4] Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (Jakarta, 2001), h. 22.
[5] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta, 2014), h. 11
[6] Fathudin, Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan), Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 1, Juni 2015, h. 126
[7] S.F. Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta, 2000), h. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter