Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA TERKAIT PIDANA TAMBAHAN DALAM RUU KUH-PIDANA


      PENGANTAR

Pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri Belanda, namun demikian negeri Belanda masih mempertahankan Code Penal tersebut sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, Undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942 baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut, maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Saat ini, KUHP telah berlaku kurang lebih selama 72 Tahun. Banyak undang-undang khusus yang telah dibuat dalam rangka mengcover kekurangan yang ada pada KUHP, bahkan sampai upaya untuk melakukan pembharuan KUHP.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.
Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
a.    Alasan yang bersifat politik, yakni bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b.    alasan yang bersifat sosiologis bahwa pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
c.    Alasan yang bersifat praktis, yakni bahwa  teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka telah dilakukan perumusan rancangan Pembharuan KUHP yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2017. Namun demikian, dalam beberapa diskusi baik pada media televise maupun diskusi ilmiah, masih terdapat perdebatan diantara kalangan praktisi dan akademisi. Dalam penullisan makalah ini penulis mencoba mengkaji ketentuan Pasal 91, 92, 93, 94, 95, 96 dan 97 dalam rancangan KUHP yang juga masih menuai perdebatan. 

Analisis Pasal 91 dan Pasal 92 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Pencabutan Kekuasaan Terhadap Anak)

Dalam ketentuan rancangan KUHP edisi tahun 2017, disebutkan bahwa:
Kekuasaan bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anaknya sendiri maupun atas anak orang lain, dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena:
a.    dengan sengaja melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya; atau
b.    melakukan tindak pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.
Selanjutnya, Rancangan Pasal 92 menentukan bahwa:
(1)  Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
a.    dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup, pencabutan hak untuk selamanya;
b.    Dalam hal dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan; atau
c.    Dalam hal pidana denda, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2)  Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
Pengaturan pasal ini, bukan merupakan hal yang baru. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa:
Pasal 26
(3)  Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a.    mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b.    menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c.    mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(4)  Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 30 menentukan bahwa:
Pasal 30
(1)    Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2)    Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Perihal kekuasaan orang tua terhadap anak, juga dibahas lebih mendalam dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:
(1)  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2)  Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam hal demikian, kekuasaan tersebut dapat dicabut apabila ada alasan-alasan yang kuat akan pencabutan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang Perkawinan:
(1)     Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.    Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b.    Ia berkelakuan buruk sekali
(2)     Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Dengan adanya pengaturan pada Undang-Undang Perlindungan anak dan Undang-Undang Perkawinan, penulis berpendapat bahwa, pengaturan tentang pencabutan kekuasaan orang tua pada Pasal 91, tidak perlu lagi dimasukkan ke dalan KUHP. Hal ini dikarenakan, pengaturan yang sudah ada tersebut merupakan pengaturan yang bersifat khusus, sehingga meskipun KUHP yang baru nantinya mengatur hal yang sama, maka yang akan digunakan tetap pengaturan yang diatur pada undang-undag Khusus. Hal ini didasarkan pada asas hukum pidana yakni Lex specialis derogat legi generali yang merupakan asas penafsiran hukum bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Pasal 93, 94, dan 95 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Perampasan Barang) 
Pasal 93 R-KUHP mennjelaskan bahwa:
(1)  Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
(2)  Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
(3)  Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Pasal 94 R-KUHP menjelaskan bahwa:
Barang yang dapat dirampas adalah:
a.    barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
b.    barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana;
c.    barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
d.    barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
e.    keuntungan ekonomi apapun yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana; dan/atau
f.     barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
Pasal 95 R-KUHP menjelaskan bahwa:
(1)  Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita, dengan menentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim.
(2)  Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.
(3)  Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pidana tambahan menurut Andi Hamzah, adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif namun menjatuhkan pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok, sehingga harus bersama-sama. Pidana tambahan menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam Bahasa Belanda disebut dengan bijkomende staf adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. [1]
Jenis pidana tambahan yaitu terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim (lihat ketentuan dalam Pasal 10 KUHP).[2]
1)    Pidana pencabutan hak-hak tertentu menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, adalah pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperkenankan. Hak-hak yang dicabut  adalah sebagai berikut:
(1)     hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
(2)     hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
(3)     hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
(4)     hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
(5)     hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
(6)     hak menjalankan mata pencaharian.
2)    Pidana perampasan barang tertentu menurut Adami chazawi, adalah hukuman perampasan barang sebagai satu  pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak untuk semua barang. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana, yaitu:
a)    barang-barang yang berasal /diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam bahasa Belanda adalah corpora delictie yang berarti barang bukti, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat cek palsu dari kejahatan pemalsuan surat;
b)    barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam bahasa Belanda adalah instrumental delictie, yang berarti sarana dengan mana kejahatan dilakukan, sarana terlaksananya kejahatan, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian dan sebagainya.
Melihat ketentuan tersebut di atas, maka penulis penyimpulkan bahwa pengaturan pada Pasal 93, 94, dan 95 R-KUHP memuat pengaturan yang lebih luas dan eksplisit dalam menentukan kategori barang yang dapat dirampas. Hal ini merupakan pengaturan yang baik, mengingat bahwa perkembangan tentang kejahatan semakin canggih, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan barang yang berkaitan dengan perwujudan suatu kejahatan. Oleh karena itu, penulis memandang pengaturan tersebut penting untuk tetap dipertahankan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan.

Pasal 96 dan 97 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Pengumuman Putusan Hakim)

Pasal 96 R-KUHP menegaskan bahwa:
(1)  Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
(2)  Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pasal 97 R-KUHP menegaskan bahwa:
(1)  Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(2)  Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pidana pengumuman putusan hakim menurut Adamichazawi, adalah pidana pengumuman putusan hakim yang hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang, misalnya terdapat dalam Pasal 128 ayat (3) KUHP, Pasal 206 ayat (2) KUHP, Pasal 361 KUHP, Pasal 377 ayat (1) KUHP, Pasal 395 ayat (1) KUHP, Pasal 405 ayat (2) KUHP. Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum bila tidak putusan batal demi hukum, sesuai ketentuan Pasal 195 KUHAP yang tertulis bahwa “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suat putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif mencegah bagi orang-orang tertentu, agar tidak melakukan tindakan pidana yang sering dilakukan orang. Maksud lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur, sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan.
Pengaturan tentang pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim pada Rancangan KUHP merupakan suatu hal yang positif. Hal ini dikarenakan pada pengaturan tersebut, diatur mengenai tata cara pengumuman dan penanggung biaya pengumuman putusan yang disertai dengan pidana pengganti. Hal ini sangat mendukung proses penjeraan bagi seorang terpidana, serta  pengumuman putusan hakim juga seyogyanya dapat mencegah terjadinya tidak pidana di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi , Adami, 2002 Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), P.T.Radja Grafindo Persada Makassar.  
Dirjosisworo Soedjono, 1994, Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana Tarsito, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984. Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Sholehuddin, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya). P.T.Radja Grafindo Persada,Jakarta





[1] A. Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 121.
[2] Chazawi , Adami, 2002 Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), P.T.Radja Grafindo Persada Makassar. Hal. 44-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter