Surat Buat Para Pembaca
Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.
Senin, 22 Desember 2014
PROFIL PRODI S2 MIH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Sumber data: Unit Akreditasi Fakultas Hukum Unhas
Jumat, 28 November 2014
Jenis-Jenis Sanksi Pidana Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Sanksi Pidana
Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.
Pidana Pokok
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Pidana kurungan
d.
Pidana denda
2.
Pidana Tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai
kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada
berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan
terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap
pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat
dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan
sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP
menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana
pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.
Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada
pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap
anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan
bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.
Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan
sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah
fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan
terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis,
261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.
Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu
tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan
hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan
tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1)
Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 11
KUHP yaitu :
“pidana mati
dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan
pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri’.
Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang
diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP,
Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP,
Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2)
KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9,
10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat,
percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak
pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka
(Pasal 6, 9, 10, dan 14).
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka
eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari
Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana
tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati
tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di
dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang
No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1) Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan
maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30
hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak
dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam
pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30
hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah
diberitahukan kepada terpidana.
2) Jika terpidana dalam tenggang waktu yang
tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut
dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan
perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim
atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8
ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan
penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3) Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan
sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian
pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana
menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika
terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan
pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
b.
Pidana Penjara
Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah,
menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya
dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.[1]
Pidana penjara bervariasi dari penjara
sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup. Sebagaimana telah
ditegaskan oleh Roeslan Saleh (Tolib Setiady, 2010 : 92), bahwa :
Pidana penjara adalah pidana utama dari pidana
kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup
atau untuk sementara waktu.
Pidana seumur hidup biasanya tercantum di
pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau
penjara dua puluh tahun).
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan
kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk
mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka
yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut,
maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut
terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan
pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak
hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara
sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :[3]
Pidana
penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit
bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak
tertentu seperti :
1)
Hak untuk memilih dan dipilih (lihat
Undang-undang Pemilu). Di negara liberalpun demikian pula. Alasannya ialah agar
kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2)
Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya
ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik.
3)
Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan.
Dalam hal ini telah diperaktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.
4)
Hak untuk mendapat perizinan-perizinan
tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris,
dan lain-lain).
5)
Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6)
Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum
perdata.
7)
Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang
kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar
biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.
8) Beberapa hak sipil yang lain.
c.
Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama
dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana
kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung
orang tesebut di dalam sebuah lembaga kemasyaraktan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan
dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP,
bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP
yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana
kurungan adalah sekurang-kurangnya satu
hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18
KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada
pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52
dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak
boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
Menurut Vos (A.Z. Abidin Farid dan Andi
Hamzah, 2006 : 289), pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1)
Sebagai custodia
honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu
delic culpa dan beberapa delic
dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit
sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh
yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)
Sebagai custodia
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi
delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya
di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat
kerja negara.
d.
Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua
bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana
denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh
Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah
melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut
P.A.F. Lamintang bahwa :[4]
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I
dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun
bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik
satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja,
atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena itu pula
pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda
dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara
sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
2)
Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat
menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali
dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan
ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana
tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan
tersebut adalah :[5]
1)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di
samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai
pidana satu-satunya.
2)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila
di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai
ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)
Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi
hanya diancamkan kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4)
Walaupun diancamkan secara tegas di dalam
perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini
adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau
tidak.
Pidana tambahan
sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering
sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana
tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a.
Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP,
hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1)
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
yang tertentu;
2)
Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)
Hak menjadi penasehat atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)
Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal
38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai
berikut :
1)
Dalam hal pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)
Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu
atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)
Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan
hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini
hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b.
Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu
merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda.
Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39
KUHP yaitu :
1)
Barang-barang kepunyaan terpidana yang
diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dapat dirampas;
2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang
tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan
putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam
undang-undang;
3)
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang
bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang telah disita.
Perampasan atas
barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan
apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam
putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari
dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika
barang-barang yang dirampas diserahkan.
c.
Pengumuan Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43
KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila
hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan
hakim han ya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini
dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian
busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat
dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak
pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis
kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap
kejahatan-kejahatan :
1)
Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan
barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)
Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan
barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena
alpa.
3)
Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan
orang lain luka atau mati.
4)
Penggelapan.
5)
Penipuan.
6)
Tindakan merugikan pemiutang.
[1]
Andi Hamzah. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pratnya Paramita. 1993.
Jakarta. hal. 37.
[2] Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1997. Bandung.hal. 69.
[3]
Andi Hamzah. Op. Cit. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia.
hal. 38.
[4]
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung.1997. hal. 69.
[5]
Hermien Hardiati Koeswadji, Kejahatan
Terhadap Nyawa, Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 1980. hal. 56.
Pengertian dan Unsur-Unsur Malpraktik
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan:
Praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi
undang-undang atau kode etik.
Sementara
itu kamus inggris-Indonesia cetakan ke
dua belas mengartikan malpractice atau
malpraktik sebagai:[1]
1.
Salah mengobati, cara
mengobati pasien yang salah;
2.
Tindakan yang salah
Black’s Law Dictionary
menyebutkan bahwa :
Malpraktik adalah setiap sikap/tindak yang salah, kurang keterampilan dalam ukuran yang
tidak wajar. Istilah ini umumnya digunakan terhadap sikap tindak dari para
dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan
profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian
yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat,
sehingga mengakibatkan luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan
yang mempercayai mereka, termasuk didalamnya adalah sikap-tindak profesi yang
salah, kurang keterampilan yang tidak wajar menyalahi kewajiban profesi atau
hukum, praktik yang sangat buruk, illegal, atau sikap tindak-amoral.
Veronika
dalam bukunya Hukum Etika Dalam Praktik Dokter memberikan defenisi mengenai
malpraktik sebagai berikut:[2]
Istilah malpraktik berasal dari malpractice yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan
profesi yang timbul sebagai akibat adanbya kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan dokter.
Lanjut J. Guwandi menyebutkan bahwa:[3]
Malpraktik adalah istilah yang memiliki konotasi buruk,
bersifat stigmatis. Menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang
profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum akuntan, dokter gigi, dokter
hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan
disebut sebagai malpraktik medik.
Sementara
itu malpraktik medik menurut Safitri Hariyani mengutip dari pendapat Vortsman
dan Hector Treub dan juga atas Rumusan Komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDInya Belanda) adalah :[4]
Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak
melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak
membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi
kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan
atau membiarkan sesuatu tersebut.
Menurut M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Malpraktik adalah:
kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian
disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang
dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa
yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di
bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur
operasional).[5]
Unsur-unsur malpraktek, yaitu:
1.
Adanya unsur
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya;
2.
Adanya perbuatan yang
tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3.
Adanya luka berat atau
mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia;
4.
Adanya hubungan kausal,
dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter
yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
Contoh-contoh
malpraktik adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan:
a.
meninggalkan kain kasa
di dalam rahim pasien;
b.
melupakan keteter di
dalam perut pasien;
c.
menunda persalinan sehingga
janin meninggal di dalam kandungan ibunya;
d.
menjahit luka operasi
dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;
e.
tidak mengikuti standar
profesi dan standar prosedur operasional.
Adapun
pemikiran tentang malpraktik itu sendiri antara lain dikemukakan oleh Kartono
Mohamad (Mantan ketua IDI):
para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma
perlu dicecoki obat. Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien
mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari
pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah
karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi.
Untuk
menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya itu merupakan
suatu malpraktiki atau bukan, Leenen menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu:[6]
1.
Berbuat secara
teliti/seksama (zorgvulding hendelen) dikaitkan
dengan kelalaian (culpa). Bila
seorang dokter bertindak onvoorzihteg,
tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur-unsur kesalahan; bila
ia sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur Culpa Lata;
2.
Yang dilakukan dokter
sesuai ukuran ilmu medik (Volgens de medische standaard);
3.
Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian
medis yang sama (gemiddelde bewaamheid
van gelijke medische categorie);
4.
Dalam situasi dan
konsdisi yang sama (gelijke
omstandingheden);
5.
Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional
(asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis
tersebut ( tot het concreat
handelingsdoel).
Sungguh
tidak mudah menentukan tindakan dokter itu suatu malpraktik atau bukan. Dalam
hal ini sesuai dengan pendapat leenen, menurut Guwandi ada pertanyaan yang
harus dijawab:[7]
1.
Apakah dokter lain yang
setingkat dengannya tidak akan melakukan demikian?
2.
Apakah tindakan dokter itu
sedemikian rupa sehingga sebenarnya tidak akan dilakukan oleh teman sejawatnya
uang lain;
3.
Apakah tidak ada unsur
kesengajaan (opzet intentional);?
4.
Apakah tindakan itu
tidak dilarang oleh undang-undang?
5.
Apakah tindakan itu
dapat digolongkan pada suatu medical
error?
6.
Apakah terdapat unsur
kelalaian (negligence)?
7.
Apakah akibat yang
timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak dokter?
8.
Apakah akibat itu tidak
bisa dihindarkan atau dibayangkan (foreseability)
?
9.
Apakah akibat itu bukan
suatu risiko yang melekat (inherent risk)
pada tindakan medik tersebut?
10.
Apakah dokter sudah
mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena
obat-obatan tertentu?
Adami chazawi menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi
jika dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau karena
kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medik terhadap
pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur,
atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang,
dengan menimbulkan akibat kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental
dan atau nyawa pasien dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum
bagi dokter.[8]
Menurut munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat
digolongkan sebagai tindakan malpraktik haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis
sebagai berikut:[9]
1.
Adanya tindakan dalam
arti ”berbuat” atau ”tidak Berbuat” (pengabaian);
2.
Tindakan tersebut
dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah pengawasannya (seperti oleh
perawat), bahkan juga oleh penyelia fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit,
klinik, apotek, dll;
3.
Tindakan tersebut berupa
tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi atau juga manajemen kesehatan;
4.
Tindakan tersebut
dilakukan terhadap pasiennya;
5.
Tindakan tersebut
dilakukan secara :
a.
Melanggar hukum dan
atau;
b.
Melanggar kepatutan, dan
atau;
c.
Melanggar kesusilaan,
dan atau
d.
Melanggar
prinsip-prinsip profesionalitas.
6.
Dilakukan dengan kesengajaan
atau ketidak hati-hatian (kelalaian/kecerobohan);
7.
Tindakan tersebut
mengakibatkan pasiennya mengalami:
a.
Salah tindak, dan atau;
b.
Rasa sakit, dan atau;
c.
Luka, dan atau;
d.
Cacat, dan atau;
e.
Kematian, dan atau;
f.
Kerusakan pada tubuh dan
atau jiwanya, dan atau;
g.
Kerugian lainnya
terhadap pasien;
[1]
Kamus Inggris Indonesia, John M, Echols dan Hasan Shadilym Cetakan Ke dua
belas.
[2]
Veronika Komalawati. Op.Cit. hal. 87.
[3] J.
Guwandi. Op.Cit. hal. 20.
[4]
Safitri Hariyani, Op.Cit. hal. 63.
[5] M.Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran
dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999, hal. 87.
[6]
Fred Ameln, 1991. Kapita Selekta Hukum
Kedokteran. Grafikatama Jaya. Jakarta. hal. 87.
[7] J.
Guwandi. 2006. Dugaan Malpraktik Medik
dan Draft RPP: perjanjian Terapuetik antara Dokter dan Pasien. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. hal. 14.
[8]
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Dokrtrin Hukum. Bayu Media
Publishing. Malang, 2007. hal 5.
[9]
Munir Fuadi, 2005. Sumpah Hippocrates
(Aspek Hukum Malpraktik Dokter). PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta. hal.2.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
CARA CEPAT DAN MUDAH MENGHAFAL PASAL-PASAL UUD NRI TAHUN 1945 BAB I Bentuk dan Kedaulatan( Hanya 1 pasal) Pasal 1 aya...
-
1. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohon...
-
Sebelum membahas mengenai bagaimana cara menanggulangi kejahatan, ada baiknya terlebih dahulu kita ...
-
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan H...
-
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat ...
-
Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan permasalahan yang sangat menarik. Berbagai teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diaju...
-
1. Pengertian Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana...
-
1. Korporasi Kata korporasi secara etimologis dikenal dari beberapa bahasa, yaitu Belanda dengan istilah corporatie , Ingg...
-
1. Pengertian Kriminologi Menurut Soejono D (1985:4) mengemukakan bahwa : Dari segi etimologis istilah kriminologis terdiri ata...
-
Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu keb...