BAB
I
HUKUM
PIDANA
A. Pengertian Hukum Pidana
Sebelum membahas lebih
jauh mengenai unsur-unsur tindak pidana dan unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana, Justt_Everr akan membahas terlebih dahulu tentang apa hukum pidana itu
sebenarnya, dan mengapa seseorang yang melakukan tindak pidana harus
dipertanggungjawabkan secara pidana?tentunya Justt_Everr memulainya dengan membahas istilah dan
pengertian hukum pidana. Diharapkan pembahasan ini akan membuat para pembaca
memahami betul tentang pemaknaan istilah hukum pidana, sehingga memudahkan
pembaca untuk dapat memahami dan membedakan unsur-unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana.
Pada dasarnya,
kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa
aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan
aktifitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang
dapat merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud
tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami dalam istilah
keperdataan, namun juga mencakup
kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga
dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang,
jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.
Istilah hukum pidana
merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafrecht Straf berarti
pidana,dan recht berarti hukum.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak
pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari
istilah hukum perdata untuk pengertianburgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda. [1]
Pengertian
hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah Soedartoyang
mengartikan bahwa:[2]
Hukum
pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkankepada perbuatan-perbuatan
yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
Selanjunya Soedarto menyatakan bahwa
sejalan dengan pengertian hukum pidana, maka tidak terlepas dari KUHP yang memuat
dua hal pokok, yakni:
1) Memuat
pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHP memuat
syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan
pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada
para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat
dipidana.
2) KUHP
menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang
melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Dalam hukum pidana
modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut
dengan tindakan, yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.[3]
Satochid Kartanegara, mengemukakan:[4]
bahwa hukuman pidana
adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang
mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu
disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara
untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.
Selanjutnya Prof.
Moelyatno, S.Hmengartikan bahwa hukum pidanaadalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu Negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:[5]
1) Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yangtelah melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan
dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Selanjutnya
Moeljatno menjelaskan dari pengertian hukum pidana tersebut di atas maka yang
disebut dalam ke-1)
adalah mengenal “perbuatan pidana” (criminal
act). Sedang yang disebut dalam ke-2)
adalah mengenai “pertanggungjawaban hukum pidana” (criminal liability atau criminal
responsibility). Yang disebut dalam ke-1) danke-2) merupakan “hukum pidana
materil” (substantive criminal law),
oleh karena mengenai isi hukum pidana sendiri. Yang disebut dalam ke-3) adalah mengenai bagaimana
caranya atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang
disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu hukum acara pidana (criminal procedure). Lazimnya yang
disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana materil.[6]
Menurut
Profesor Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht
in objective zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective zin.
Hukum
pidana dalam arti objektif adalah
hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius
poenale.Hukum Pidana dalam
arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan sebagai:
“het geheel van varboden en
geboden , aan welker overtrading door de Staat of eenige andere openbare
rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verbonden is,
van de voorschriften, doorwelke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden
aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en
toegepast”.
Yang
artinya:
“Keseluruhan dari
larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara
atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan
suatupenderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan
dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah
diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjaTuhan
dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.
Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua
pengertian, yaitu:
a. Hak
dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang telah
mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana
dalam arti objektif;
b. Hak
dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan
hukum.
Hukum pidana dalam arti
subjektif di dalam
pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius
puniendi.[7]
B.
Hukum
Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Hukum pidana berdasarkan materi yang
diaturnya terdiri atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil.Tirtamidjaja
menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut :[9]
a. Hukum
pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan
orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana.
b.
Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan
hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap
pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur
cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan
hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
Doktrin yang juga membedakan hukum
pidana materil dan hukum pidana formil, dikemukakan oleh J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai
berikut:[10]
Hukum
pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,
peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana
acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan
itu.
Selanjutnya, hukum pidana formil maupun hukum pidana materil itu sendiri, masih terbagi sebagaimana digambarkan pada bagan berikut ini:
C.
Asas
Legalitas
1.
Arti
dan Makna Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang
yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas
yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih
dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan
hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap
orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus
mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan
di atas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi
rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini
dinamakan fungsi melindungi dari
undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga
mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh
undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm
von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman,
sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap
dalam bahasa Latin, yaitu :[11]
Ø Nulla poena sine lege:
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
Ø Nulla poena sine crimine:
tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Ø Nullum crimen sine poena
legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Rumusan
tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine
praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung 3 pokok pengertianyakni :
a. Tidak
ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut
tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih
dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan
perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak
pidana) tidak boleh menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak
boleh berlaku surut;
2.
Tujuan Asas Legalitas
Menurut Muladi
asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas
legalitas diadakan bertujuan untuk :[12]
a. Memperkuat
adanya kepastian hukum;
b. Menciptakan
keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan
deterent function dari sanksi pidana;
d. Mencegah
penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh
penerapan “the rule of law”.
Sementara itu, Ahmad
Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi
asas legalitas Formil, yakni:[13]
1. Suatu
tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konsekuensinya adalah:
a. Perbuatan
seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga
tidak dapat dipidana.
b. Ada
larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
2. Peraturan
perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Konsekuensinya adalah aturanpidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh
pemikiran bahwa:
a. Menjamin
kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b. Berhubungan
dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku
tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan
ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya.
3.
Pengecualian
Asas Legalitas
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP)
memiliki pengecualian khusus mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini
“jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka
kepada tersangka / terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.
Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni
memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers
pengertian menguntungkan disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi
juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut
masalah perubahan peraturan perundanga-undangan yang dimaksud dalam hal ini.
Yakni sebagai berikut :
1. Teori
formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU baru
terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah. Perubahan
undang-undang lain selain dari UU pidana walaupun berhubungan dengan uu pidana
bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
2. Teori
material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain bahwa
perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan
karena zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam
UU pidana.
3. Teori
material tak terbatas yang merujuk pada
putusan Hoge Raad tanggal 5 desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan
undang-undang adalah meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan
undang-undang yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun
perubahan yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu
tertentu).
BAB II
PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP TINDAKPIDANA
A.
Pengertian
Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak
pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak pidana merupakan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai
istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada
peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari
peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat.
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan
istiah Tindak Pidana atau Perbuatan
Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1. STRAFBAAR
FEIT adalah peristiwa pidana;
2. STRAFBARE
HANDLUNG diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang
digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3. CRIMINAL
ACT diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata,
yaitu straf, baar dan feit.Yang masng-masing memiliki arti:
Ø Straf
diartikan sebagai pidana dan hukum,
Ø Baar diartikan sbagai dapat dan
boleh,
Ø Feit
diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan
yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing
disebut delict yang artinya suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas
Hukum Pidana memberikan defenisi mengenai delik, yakni:[14]
Delik adalah “suatu
perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang (pidana).”
Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:[15]
Strafbaarfeit itu
sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan.”
Sementara Jonkers merumuskan bahwa:[16]
Strafbaarfeit
sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan.”
Strafbaarfeitjuga
diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai :[17]
Suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjaTuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.
Adapun Simons masih dalam buku yang sama
merumuskan strafbaarfeitadalah :[18]
Suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga
otomatis pengertiannya berbeda.Agar lebih jelasnya,Justt_Everr mengelompokkan
dalam 5 kelompok istilah yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum
sebagai berikut:
Ke-1 : “Peristiwa
pidana” digunakan oleh Andi Zainal
Abidin Farid (1962: 32),Rusli Efendi (1981: 46), Utrecht (Sianturi 1986: 206)
dan lain-lainya;
Ke-2 :
“Perbuatan pidana “ digunakan oleh
Moejanto(1983 : 54)dan lain-lain;
Ke-3 : “Perbuatan
yang boleh di hukum” digunakan oleh H.J.Van
Schravendijk(Sianturi 1986 :206)dan lain-lain;
Ke-4 : “Tindak
pidana” digunakan oleh Wirjono Projodikoro(1986 :
55),Soesilo (1979 :26)dan S.R Sianturi (1986 : 204) dan lain-lain;
Ke-5 : “Delik”digunakan oleh Andi Zainal
Abidin Farid (1981 : 146 dan Satochid Karta Negara (tanpa
tahun : 74) dan lain-lain.
Sarjana hukum tersebut di atas, menggunakan istilah
masing-masing dengan disertai alasan dan pertimbangannya masing-masing. Moelijanto
beralasan bahwa digunakannya istilah ”perbuatan pidana”karena kata ”perbuatan”
lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan
cabul,kata perbuatan jahat,dan kata perbuatan melawan hukum.[19]
Lebih jauh Moeljantomenegaskan bahwa perbuatan menunjuk ke dalam yang melakukan
dan kepada akibatnya,dan kata perbuatan berarti dibuat oleh seseorang yang dapat
dipidana adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari starfbaarfeit.[20]
Lebih jelasnya
Moeljanto menyatakan sebagai berikut:[21]
1.
Kalau
utrecht,sudah lazim memakai istilah hukum, maka hukum lalu berarti: berecht, diadili yang sama sekali tidak
mesti berhubungan dengan starf,
dipidana karena perkara-perkara perdata pun diberech,
diadili maka saya memilih untuk terjemahan strafbaar
adalah istilah pidana sebagai singkatan dari”yang dapat dipidana”.
2.
Perkataan
perbuatan berarti dibuat oleh seseorang menunjuk lain pada yang melakukan
maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjuk bahwa yang
melakukannya adalah ”handling” atau ”gedraging” seseorang mungkin atau
mungkin juga hewan atau alam dan perkataan tindak berarti langkah baru dan
tindak tanduk atau tingkah laku.
H.J Van
Schravendiik mengartikannya delik sebagai perbuatan
yang boleh di hukum,sedangkan Utrecht lebih menganjurkan
pemakaian istilah peristiwa pidana,karena istilah pidana menurut beliau
meliputi perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan atau met doen,negatif/maupun
akibatnya).[22]
S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai
tindak pidana jelasnya Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut:[23]
Tindak
pidana adalah sebagai suatu tindakan pada,tempat,waktu,dan keadaan tertentu yang dilarang
(atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan
hukum,serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang bertanggung
jawab).
Sianturiberpendapat bahwa istilah tindak
adalah merupakan singkatan dari kata ”tindakan” artinya pada orang yang
melakukan tindakan dinamakan sebagai penindak.
Tindakan apa saja dilakukan semua orang,akan tetapi dalam banyak hal suatu
tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya menurut
golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menjelaskan
bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan menurut
golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai dan lain-lain
sebagainya, jadi status/klasifikasi seorang penindak menurut Sianturiharuslah
dicantumkan unsur”barang siapa”.[24]
Meskipun
kata tindak lebih pendek dari pada kata ”perbuatan” tapi ”tindak”tidak menunjuk
kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,tapi hanya menyatakan keadaan konkrit
sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah
kelakuan,tingkah laku,gerak-gerik,sikap jasmani seseorang,lebih dikenal dalam
tindak tanduk,tindakan dan bertindak dan belakangan di pakai ”ditindak” oleh
karena itu tindak sebagai kata tidak begitu di kenal,maka perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun
dalam penjelasannya hampir selalu di pakai kata ”perbuatan”.
Andi Zainal Abidin mengemukakan pada hakikatnya
istilah yang paling tepat adalah ”delik” yang berasal dari bahasa latin ”delictum delicta” karena:[26]
1. Bersifat
universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat
ekonomis karena singkat;
3. Tidak
menimbulkan kejanggalan seperti ”peristiwa pidana”, ”perbuatan pidana” (bukan
peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya); dan
4. Luas
pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi
orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh
sarjana-sarjana tersebut sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) menurut Justt_Everr tidak mengikat. Untuk istilah
mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak
merubah makna strafbaarfeit,
merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung
dari pemakaiannya,
misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam
bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang
lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.
Demikian halnya dengan Satocid Kartanegara
dimana dalam rangkaian kuliah beliau di Universitas Indonesia dan AHM/PTHM,
menganjurkan istilah tindak pidana karena istilah tindak (tindakan) mencakup
pengertian melakukan atau berbuat, (active
handting) dan/atau tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu
perbuatan (passive handeling).[27]
Istilah perbuatan menurut Satochid adalah berarti melakukan,
berbuat (actieve handeling) tidak
mencakup pengertian mengakibatkan/ tidak melakukan, istilah peristiwa tidak
menunjukkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana staarbaarfeit yang setelah membahas
uraian tentang pengertian delik, pada akhirnya pilihannya jatuh pada istilah
delik.
Bukan saja Satocid dan
Wirjono yang menerjemahkan delik (Starbaarfeit)
seperti tersebut di atas, tetapi Andi Zainal Abidin pula selama kurang lebih
dua puluh mendalami makna Starbaarfeit.
Setelah membahas uraian tentang pengertian delik,yang pada akhirnya pilihannya
jatuh pada istilah delik.
Seperti yang diungkapkan
oleh seorang ahli hukum pidana yaitu
Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut
istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:[28]
“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut”
Sehubungan dengan hal
pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan
mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”
Adapun perumusan tersebut
yang mengandung kalimat “aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang
masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Bambang Poernomo juga
berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya
menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Definisi
teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan
tata
hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana
untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Definisi
yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang
ditentukan mengandung perbuatan (handeling)
dan pengabaian (nalaten); tidak
berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R.
Sianturi bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:[30]
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat
melawan hukum dari suatu tindakan;
d. Suatu
tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya
diancam dengan pidana; dan
e. Waktu,
tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak
pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah
untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar
feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan
makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum
belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar
mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain
itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal
istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan
mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.
Tindak pidana juga diartikan sebagai
suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan
perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang
telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality) asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini
lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
lebih dahulu), sebagaimana telah di bahas pada
Sub-Bab sebelumnya.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari
pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu
kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan
perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan.
Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa)
adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld)
yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang
tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga
atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawabkan atas segala bentuk tindak pidana
yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar
telah terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukannya, maka dengan begitu dapat
dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.
B.
Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan
beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat
dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yakni
sebagai berikut:
a) Menurut sistem KUHP,
dibedakan antara kejahatanyang dimuat dalam buku II dan pelanggaranyang dimuat dalam buku III.
Alasan
pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan
dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada
pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana
kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana
penjara.
Kriteria
lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni
kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga
menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya
membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang
membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
1) Pasal
5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di
Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang
digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu
dituntut.
2) Percobaan
dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
3) Pada
pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah
itu kejahatan atau pelanggaran.
b) Menurut cara merumuskannya,
dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan
timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian
tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian
Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan
mengambil.
Sebaliknya
dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat
yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya
tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang
dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung
pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah
selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika
dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban,
yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. Perihal
pembedaan ini, akan di bahas lebih lanjut pada Sub-Bab selanjutnya.
c) Berdasarkan bentuk
kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus)
dan tindak pidana tidak dengan sengaja(culpa).
Tindak
pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan
kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja
adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.
d) Berdasarkan macam
perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak
pidana komisi dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi.
Tindak
pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif,
perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan
dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar
larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan
secara formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang
dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua
macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni.
Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil
atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah
berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni
berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi
dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang
mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau
mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.
e) Berdasarkan saat dan jangka
waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak
pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau
terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada
tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak
pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana
itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai
tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
f)
Berdasarkan
sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana
yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan
Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang
terdapat diluar kodifikasi KUHP.Dalam
hal ini sebagaimana mata kuliah pada umumnya pembedaan ini dikenal dengan
istilah delik-delik di dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP.
g)
Dilihat
dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara
tindak pidana communia (tindak pidana
yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan
dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak
pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada
perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh
orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan
jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h)
Berdasarkan
perlu tidaknya pengaduandalam hal penuntutan,
maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini
adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana
yangdapat dilakukan penuntutan pidana apabila
terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni
korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam
hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang
yang berhak.
i)
Berdasarkan
berat-ringannya pidana yang diancamkan,
maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentukpokok, tindak pidana yang
diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak
pidana tertentu yang dibentuk menjadi:
1)
Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk
sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;
2)
Dalam bentuk yang diperberat; dan
3)
Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan
secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu
pada bentuk yang diperberat dan/atau
diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan
sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya,
kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau
meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau
faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang
diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari
pada bentuk pokoknya.
j)
Berdasarkan
kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya, sangat
tergantungpada kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sistematika pengelompokan tindak pidana bab
per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi.
Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan
misalnya dalam Buku II KUHP.
Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan
kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I
KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran
tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab
VIII KUHP), untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti
Pencurian (Bab XXII KUHP),
Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman
(Bab XXIII KUHP)
dan seterusnya.
k)
Dari
sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan,dibedakan
antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana
yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak
pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja,
bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal.
Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan
dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.[31]
C.
Tindak
Pidana Materil dan Tindak Pidana Formal
Meskipun telah dibahas sebelumnya, namun
Justt_Everr menganggap perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai pembagian
tindak pidana formil dan tindak pidana materil.Penggolongan terhadap tindak
pidana formil dan materil ini, didasarkan atascara perumusan ketentuan hukum
pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan
dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling)
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu
pengetahun hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materiel delict).
Berbeda halnya dengan tindak pidana
formal (formeel delict), pada tindak
pidana ini, perumusannya menyebutkan wujud dari suatu perbuatan tanpa
menyebutkan akibat yang disebabkan dari perbuatan itu.
E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam
bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya memberikan
penjelasan terkait penggolongan tindak pidana ini berdasarkan cara
perumusannya, dijelaskan bahwa:[32]
Delik formalberhadapan
dengan delik material.Pada delik formal, yang dirumuskan adalah tindakan yang
dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari
tindakan itu. Misalnya Pasal-Pasal: 160 (penghasutan), 209 (penyuapan), 247
(sumpah palsu), 362 (pencurian). Padapencurian misalnya, asal saja sudah
dipenuhi unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian sudah
terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi
atau tidak. Lain halnya pada delik material, yang selain daripada tindakan yang
terlarang dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu,
baru dapat dikatakan telah terjadi
tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid).
Misalnya: Pasal-Pasal : 187 (pembakaran dan sebagainya), 338 (pembunuhan), 378
(penipuan), harus timbul akibat-akibat secara berurutan yakni, kebakaran,
matinya korban, pemberian sesuatu barang. Perbedaan seperti ini sangat penting,
dihubungkan dengan ajaran-ajaran locus
dan tempus delicti, percobaan,
penyertaan dan kadaluarsa.
Materi berarti “isi”, dan formal berarti
“wujud”, maka dalam tindak pidana materil dirumuskan berupa akibat yang
dilarang, sementara dalam tindak pidana formal yang dirumuskan adalah wujud
pebuatan yang dilarang. Untuk lebih memberikan pemahaman mengenai perbedaan
antara tindak pidana materil dan formal.Berikut Justt_Everr memberikan contoh
dengan bagan sebagai berikut:
Ø Contoh
pasal dalam KUHP yang termasuk dalam tindak pidana Materiel, yakni Pasal 338 KUHP (Pembunuhan Biasa) :
Bagan8 :Contoh Tindak Pidana Materil
Ø Contoh
pasal dalam KUHP yang termasuk dalam tindak pidana formal, yakni Pasal 362 KUHP:
Untuk membahas lebih jauh mengenai
pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, Justt_Everr akan membahasnya secara
doktrinal dan berdasarkan aliran yang berkaitan dengan
unsur-unsur tindak pidana.
1.
Aliran
Monistis dan Dualistis
Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan
tentang unsur perbuatan pidana, yaitu :[33]
a.
Pandangan
Monistis
Pandangan
monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal
yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan
prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).
Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.
Dengan batasan seperti
ini menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif
(berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
2. Diancam
dengan pidana;
3. Melawan
hukum;
4. Dilakukan
dengan kesalahan; dan
5. Oleh
orang yang mampu bertanggungjawab;
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa
pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai :
“Kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,
dimana bersifat melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
Andi Zainal Abidin
menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai)
dan berkomentar sebagai berikut :[35]
Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan
pidana (criminal act) yg meliputi
perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban
pidana (criminal liability) dan
mencakup kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab .
Menurut J. Bauman
“perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.[36]
Sementara Menurut Wirjono
Prodjodikoro yang juga berpandangan monistis menerjemahkan strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa,
“suatu perbuatan yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku
tersebut termasuk subyek tindak pidana”.[37]
Van Hammel yang
berpandangan monistis juga merumuskan strafbaarfeitsebagai, “perbuatan manusia
yang diuraikan oleh undang-undang sebagai melawan hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat
dicela karena kesalahan (en dan schould
to wijten)” [38]
b.
Pandangan
Dualistis
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat
keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan
dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di
dalamnya baik criminal act maupun criminal responbility, sementara menurut pandangan dualistis, yakni :
Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh
karena itu untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan
adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan
hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.
Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana
oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis yaitu sebagai berikut :
Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah “feit (tindakan, pen), yang diancam
pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan
kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”. [39]
Maka untuk
terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur sebagai berikut:
a. Adanya
perbuatan (manusia);
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan
syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP;
c. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat
materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif).
Moeljatno yang berpandangan dualistis
menerjemahkan strafbaarfeit dengan
perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai berikut:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut” [40]
Berdasarkan
defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang diberikan tersebut di atas,
bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility).
Namun demikian, Moeljatno
juga menegaskan, bahwa :[41]
“untuk adanya pidana
tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan
apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak”.
Selain
itu, untuk dapat di kategorikan
sebagai tindak pidana sebuah perbuatan haruslah tidak memiliki alasan pembenar,
yakni alasan
pembenar (rechtvaadigingsrond) sebagaimana
diatur dalam Pasal 48 KUHP tentang keadaan darurat (noodtoestand), Pasal 49 ayat (1) KUHP pembelaan tepaksa (Noodweer), Pasal 50 tentang “melaksanakan
Undang-undang”dan Pasal 51 KUHP tentang “menjalankan perintah jabatan yg
diberikan oleh penguasa yang berwenang.”
Alasan penghapus pidana yang
termasuk dalam alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah :
1.
Keadaan darurat (Nootoestand):
Keadaan darurat merupakan
bagian dari daya paksa relatif (vis
compulsova) diatur dalam Pasal 48 KUHP. “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
2. Pembelaan terpaksa (Noodweer):
Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP “ Tidak
dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan hukum “.
3.
Melaksanakan ketentuan
Undang-undang.
Diatur dalam Pasal 50 KUHP “Barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak
dipidana.
4.
Melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
Diatur dalam Pasal 51 KUHP “ Barangsiapa
melakukan perbuatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana.”
Bagan 10:
Perbedaan Pandangan Aliran Monistis dan Dualistis Terkait Unsur-Unsur Tindak
Pidana
2.
Doktrin
Terkait Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam menjabarkan sesuatu
rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula harus dibahas adalah
suatu“tindakan manusia”,Karena dengan tindakan itulah seseorang dapat melakukan apa
yang dilarang oleh undang-undang. Setiap
tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah
unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri
si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di
dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus di lakukan.
Unsur-unsur subjektif dari
suatu tindak pidana itu adalah:[42]
1) Kesengajaan
atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2) Maksud
atau Voornemen pada suatu percobaan
atau pogging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat(1) KUHP;
3) Macam-macam
maksud atau oogmerk seperti yang
terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
4) Merencanakan
terlebih dahulu atau voorbedachteraad
seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; dan
5) Perasaan
takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur
objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1) Sifat
melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;
2) Kualitas dari si pelaku,
misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan
menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
3) Kausalitas
yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu
simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1) Diancam
dengan pidana oleh hukum;
2) Bertentangan
dengan hukum;
3) Dilakukan
oleh orang yang bersalah; dan
4) Orang
itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sementara A. Fuad Usfa, dalam bukunya Pengantar Hukum
Pidana mengemukakan bahwa:[43]
Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:
1.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2.
Maksud pada suatu percobaan (seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3.
Macam-macam maksud atau oogmerkseperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana
pencurian;
4.
Merencanakan terlebih dahulu, seperti
misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedang unsur-unsur objektif dari
tindak pidana meliputi:
1.
Sifat melanggar (melawan, pen.) hukum;
2.
Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan
seseorang sebagai pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.
3.
Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu
tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
Selain berbagai teori yang telah dikemukakan di atas,
yang pada umumnya membagi unsur tindak pidana ke dalam unsur objektif dan unsur
subjektif, Loebby Loqman juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur tindak
pidana. Menurut beliau unsur-unsur tindak pidana meliputi:[44]
1.
Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
2.
Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang;
3.
Perbuatan itu di anggap melawan hukum;
4.
Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan
5.
Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Selain
Loebby Loqman, Moeljatno juga mengemukakan pendapatnya mengenai unsur tindak
pidana. Menurut beliau bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar langgaran tersebut.
Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, menurut Moeljatno dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
1. Perbuatan
itu harus merupakan perbuatan manusia;
2. Perbuatan
itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
3. Perbuatan
itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum);
4. Harus
dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan;
5. Perbuatan
itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat.
BAB
III
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
A.
Ada Perbuatan (mencocoki
rumusan delik)
Van
Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit), yakni:[45]
1) Perbuatan (feit) =terjadinya kejahatan (delik).
Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang
dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka
tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu
dikemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (feit) = perbuatan yang didakwakan. Ini
terlalu sempit. Contoh: seseorang di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan
yang menyebabkan kematian, kemudian ternyata ia sengaja melakukan pembunuhan,
maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan
pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan
kematian”. Vas tidak menerima pengertian perbuatan (faith) dalam arti yang kedua ini.
3) Perbuatan (feit) = perbuatan material,
jadiperbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat.
Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian
terdahulu dapat dihindari.
Pada
prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya
karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut
umum. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus
reus, Dengan kata lain, actus reus adalah elemen luar (eksternal element). [46]
Dalam
kepustakaan hukumactus reus ini
sering digunakan padanankata “conduct” untuk perilaku yang menyimpang
menurut kaca mata hukum pidana. Atau dengan kata lain, actus reusdipadankan dengan kata conduct. Sementara itu,
dalam kepustakaan hukum dikatakan bahwa actus
reusterdiri atas “act and omission”atau“commission
and omission”, di mana dalamkedua frasa tersebut, act sama dengan commission. Oleh
karena pengertian actus reusbukan
mencakup act atau commission saja, tetapi juga omission, Sutan Remy Sjahdeini
berpendapat lebih tepat untuk memberikan
padanan kata actus reus dengan kata perilaku. Perilakumenurutnya merupakan
padanan kata dari dari kata conduct dalam
bahasa inggris yang banyak dipakai untuk merujuk kepada perilaku yang melanggar
ketentuan pidana. Selanjutnya actus reusseyogianya
tidak dipadankan dengan kata “perbuatan” atau “tindakan” karena kata tersebut
merupakan padanan dari kata actdalam
bahasa inggris.
Commissionadalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan
pidana, dan omission adalahtidak melakukan perbuatan tertentu yang
diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakukan. “Perilaku” lebih luas
maknanya dari “perbuatan” atau “tindakan”, yang tidak lain sama artinya
dengan actatau
commission. Pengertianperilaku bukan hanya terbatas pada makna
“perbuatan untuk melakukan sesuatu” tetapi juga termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu.Dengan keterangan tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa “tidak melakukan perbuatan tertentu yang
diwajibkan oleh ketentuan pidana” tidak dapat dikatakan “perbuatan” atau
“tindakan” atau “act”atau “commission”. Namun demkian tetap
termasuk perilaku melanggar hukum.
Baik commission maupunomissiontersebut tentulah harus tertuang sebagai unsur dalam
sebuah rumusan pasal agar tidak terjadi
benturan dengan asas legalitas.
Contoh:
Bagan 11 : Unsur Perbuatan Dalam Rumusan Pasal
Pasal 362 KUHP yang unsur-unsurnya terdiri atas:
B.
Ada Sifat Melawan Hukum(wederrechtelijk)
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum
(wederrechtelijk), yaitu:[47]
1. Menurut Simons, melawan
hukum diartikan sebagai “bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan
hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup Hukum Perdata atau
Hukum Administrasi Negara.
2. Menurut Noyon, melawan
hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (hukum subjektif).
3. Menurut Hoge Raad dengan
keputusannya tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum artinya “tanpa
wenang” atau “tanpa hak”.
4. Menurut Vos, Moeljatno,
dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana BPHN atau BABINKUMNAS dalam Rancangan
KUHPN memberikan definisi “bertentangan dengan hukum” artinya, bertentangan
dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat, atau yang
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut
dilakukan.
Setiap
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum pidana
itu harus bersifat melawan hukum.adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu
perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1)
Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, yang
dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang
telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti
melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
2) Sifat melawan hukum
materil (materielewederrechtelijk).
Menurut pendapat ini belum
tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan undang-undangitu bersifat melawan
hukum.bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja
(hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni
kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Perbedaan
yang pokok antara kedua pendapat tersebut di atas, adalah:
1) Pendapat yang formil hanya
mengakui adanya pengecualian (peniadaan) sifat melawan hukum dari perbuatan
yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis). Seperti:
Ø Pasal 48 KUHP (daya paksa/overmacht);
Ø Pasal 49 ayat (1) KUHP
(bela paksa/noodweer);
Ø Pasal 50 KUHP
(melaksanakan ketentuan undang-undang;
Ø Pasal 51 ayat (1) KUHP
(perintah jabatan yang sah).
Sedangkan pendapat
material, mengakui adanya pengecualian (peniadaan) tersebut, selain daripada
yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis) juga terdapat dalam hukum
yang tidak tertulis.
2) Perbedaan selanjutnya,
menurut pendapat yang formil sifat melawan hukum tidak selalu menjadi unsur
tindak pidana, hanya apabila dinyatakan dengan tegas dalam rumusan tindak
pidana barulah menjadi unsur tindak pidana. Sedangkan menurut pendapat yang
material sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana,
juga bagi tindak pidana yang dalam rumusannya tidak dinyatakan dengan tegas.
Selain
pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan pendapatnya terkait sifat
melawan hukum (wederrechtelijk) ini.
Nico Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukum Pidana di Undip
Semarang pada tanggal 6 sampai dengan 12 agustus 1987 mengatakan bahwa dalam dogmatik
hukum pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai empat makna yang
berbeda, yakni:
1. Sifat melawan hukum formil
Sifat melawan hukum formil
berarti semua bagian dari rumusan delik telah terpenuhi, yang terjadi karena
melanggar ketentuan pidana menurut undang-undang.Sifat melawan hukum formil ini
merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas
legalitas. Apakah rumusan delik telah terpenuhi, jadi apakah ada sifat melawan
hukum formil, tidak begitu saja dapat disimpulkan dari bunyi rumusan delik .ini
harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab pertanyaan apakah suatu bagian
tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian
tersebut.
2. Sifat melawan hukum materil
Sifat melawan hukum
materil berarti melanggar atau mebahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.Pada
delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material, sifat
melawan hukum material dimasukkan dalam rumusan delik sendiri dan karena itu
bukti dari sifat melawan hukum material termasuk dalam bukti dari rumusan
delik.Pada delik-delik ini, pengertian sifat melawan hukum formil dan sifat
melawan hukum material itu pada umumnya menyatu.Misalnya dalam rumusan delik
pembunuhan, hanya dipenuhi kalau kepentingan hukum di belakangnya yaitu nyawa
dilanggar.Sedangkan dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan
secara formil sifat melawan hukum material itu tidak dimasukkan dalam delik
sendiri, jadi tidak perlu dibuktikan.
3. Sifat melawan hukum umum
Sifat melawan hukum umum
(sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang) yang berarti
bertentangan dengan hukum objektif. Hal ini pada umumnya terjadi jika
perbuatannya bersifat melawan hukum
formil dan tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar ini mungkin ada, baik
pada delik materil maupun pada deik formil. Pada delik formil contohnya;
seseorang diserang secara melawan hukum dan satu-satunya jalan adalah membunuh
penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus melanggar rumusan
delik Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perbuatannya dengan mengingat semua keadaan,
tidak bersifat melawan hukum.Pada delik formil, contohnya; seorang pengendara
mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu dilakukannya atas
perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan delik, namun
perbuatannya tidak bersifat melawan hukum.
4. Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum khusus
(sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) memiliki arti khusus
dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat melawan hukum menjadi
bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu fase dari sifat melawan
hukum umum. Contoh;
Ø Pasal 362 KUHP (pencurian)
pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”.
Ø Pasal 167 KUHP (mengganggu
ketentraman rumah tangga) pada anak kalimat “memaksa masuk secara melawan
hukum, atau berada disitu secara melawan hukum dan tidak pergi”.
Ø Pasal 378 KUHP (penipuan)
pada anak kalimat “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dll.
C.
Tidak ada alasan Pembenar
1.
Daya Paksa Absolut
Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48
KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang
melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Kalimat aslinya berbunyi:
Met Strafbaar is hij die een
feit begaat waartoe hij door overmacltt is gedrongen. "
Undang-undang tidak
menjelaskan apakah yang dimaksud dengan
keadaan memaksa (overmacht). Tidaklah
jelas, apakah overmacht itu,
apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini telah berabad-abad
dipersoalkan oleh para yuris dan filosof. Remmelink yang mengerjakan buku Hazewinkel-Suringa,
cetakan ke 8, mengatakan, bahwa pada
cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat dipidananya
overmacht itu. Di dalam hukum alam
katanya orang berpendapat bahwa perbuatan karena keadaan terpaksa itu berada
di luar semua hukum. Necessitas no haber
legem (Not kennt kein Gebot), kata hukum Kononik. Fichte berpendapat bahwa
siapa yang membuat karena overmacht
exempt von der Rechsordnung. Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena
sebab yang datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu
setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan
perlawanan.
Dalam
literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya
paksa yang absolut atau mutlak, biasa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya,
karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi
ia tidak mempunyai pilihan lain sama 'sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat
oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain
itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya
menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatan menindas orang lain.
Orang
yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini seperti
tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya
orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak
dapat berbuat lain.Di sini daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari
manusia seperti tersebut di muka, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang
pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan menimpa pula pesawat lain
sehingga jatuh korban di pesawat lain itu. Menurut Vos, memasukkan vts absoluta ke dalam daya paksa adalah
berkelebihan (overbodig), karena
pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu
berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan sebagai
pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak
termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau ia dituntut mestinya diputus bebas
(yang sengaja atau kelalaian merupakan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan
hukum. Kecuali beberapa hal dalam delik pelanggaran karena di situ kesalahan tidak secara tegas merupakan
elemen delik. (Hal
ini dapat dibandingkan dengan strict
liability (tanggung jawab mutlak).
Van
Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa(overmacht)
itu merupakan suatu pengertian normatif.
Itu meliputi hal-hal di mana
seseorang karena ancaman
terpaksa melakukan delik.Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh
orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa.
Yang
disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang
biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul
siva.Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa
dalam arti sempit (overmacht in engere
zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit iaIah yang disebabkan
oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang
berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.
Contoh
klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan kapal seperti Tampomas l,
orang melompat ke laut, dan ada yang mendapatkan sepotong papan sebagai
pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada orang yang merebut dan
mendorong orang yang memegang- papan itu supaya ia sendiri selamat, maka
disebut keadaan darurat (noodtoe.stand).Contoh
klasik ini diperkenalkan oleh Cicero di dalam bukunya Republica et de ifficio yang menunjuk tulisan filosof Yunani yang
bernama Karneades.
Keadaan
darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan
kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan
untuk hidup.Kepentingan pertama yakniorang
yang memegang papan “untuk hidup”, begitu pula yang hendak merebut papan itu, juga dengan kepentingan “untuk hidup”.
Keadaan
darurat yang lain, yaitu pertentangan antara kepentingan,dan kewajiban,
misalnya seseorang yang dikejar
binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa izin. Di sini kepentingan untuk
hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah
orang tanpa izin).Bentuk ketiga dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan
dengan kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melakukan dua kewajiban
sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya kewajiban seorang penjaga keamanan
yang setiap saat harus selalu berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban
untuk melaporkan, permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahuinya,
(Pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi tentang adanya
permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaannya yang berarti
melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil
menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus
meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut Pasal 522 KUHP seseorang
yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan sah, diancam dengan
pidana).[48]
Pertanyaan
yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Para Justt_Everr
berbeda pendapat mengenai hal
ini. Ada yang mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (overmacht), baik dalam arti sempit maupun keadaan darurat (nodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Alasannya
ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya
orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun
dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian, diikuti oleh Moeljatno.
"Dari
pendapat-pendapat tersebut di atas yang paling dapat saya setujui adalah
pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh daya
paksa, di mana fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal karena adanya
tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan
tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan batin dari luar itu, untuk dapat
dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan. "
Tetapi
pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat berupa dasar pembenar dan dapat
pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini daya paksa (overmacht) yang tercantum di dalam
Pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen
menyebut keadaan darurat (noodtoe,stand) sebagai
dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini
perbuatan dibenarkan, misalnya sopir (pengendara)
yang
memberhentikan kendaraannya di
jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (reach tvaardigt) perbuatan-perbuatan yang jika pembuat itu sendiri tidak mempunyai
pilihan yang lain selain melanggar
peraturan sebagaimana contoh di atas.
Sedangkan
daya paksa dalam arti sempit artinya ada paksaan dari orang lain, termasuk
dalam dasar pemaaf.Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar
pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer,
Hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.Hazewinkel-Suringa menunjuk putusan
mengenai keadaan darurat (noodtoestand) yang
paling termasyhur, yaitu arrest kaca
mata (opticien arrest, H. R. 15
Oktober 1923 N.J. 1923. Putusan Pengadilan
Amsterdam melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum,
sesudah dibuktikan
bahwa ia pada waktu toko sudah harus ditutup (menurut peraturan yang berlaku di Amsterdam), menjual sebuah kacamata pada
seorang yang bernama de Groothkarena kacamatanya
ditiup
oleh angin badai, sehingga
kacamata tuan De Grooth jatuh dan pecah, jika
penjual kaca mata tersebut tidak melanggar, maka ia membiarkan tuan De Gorthtidak
dapat melihat apa-apa lagi dan oleh karena itu ia berada dalam keadaan
berbahaya.[50]
Hazewinkel-Suringa
selanjutnya menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan
dalam hati ini Hoge Raad telah
menambah keadaan darurat dalam arti. sempit yang dahulu berupa daya paksa
psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve overmacht).Di sini tidak lagi berupa daya paksa psikis
yang mengatakan tidak dipidananya pembuattetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu tidak
dipidananya perbuatan: Hazewinkel-Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.[51]
Jadi,
jelaslah bahwa Hazewinkel-Suringa sama dengan Van Bemmelen membedakan daya
paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa
dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan
dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar
pembenar, kadang-kadang
berupa dasar pemaaf. la memberi contoh
jika seseorang menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwanya
sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal ini karena keadaan
darurat merupakan salah satu dasar
pemaaf. Sebaliknya jika seseorang meninggalkan
pos penjagaan karena pergi melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk
melakukan kejahatan, maka di sini ada dasar pembenar.
Kalau
kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, Notstaad terbagi dua, yaitu Pasal 34 mengatur tentang dasar
pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan
Pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschuldigender
Notstaad),
Lain halnya dengan Pompe,
yang mengkategorikanseluruh daya
paksa (overmacht) sebagai dasar pembenar. Alasannya ialah pemisahan antara
"daya paksa" sebagai dasar peniadaan kesalahan dan "keadaan darurat"
sebagai dasar pembenar tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu
dorongan (orang) yang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan
kelayakan, perundang-undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam
daya paksa di luar pembuat. Faktor psikis di dalam daya paksa memperlihatkan
hubungan antara melawan hukum dan kesalahan .
Van
Hamel pun mengatakan bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak perlu
memberi perlawanan. Hazewinkel-Suringa
mengatakan bahwa daya paksa (overmacht)
itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari dirinya sendiri.
Melihat istilah overmacht sudah
menunjukkan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat
yang tidak dapat ia tidak berbuat. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya
sebagai sebab luar dari tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh
karena itu keyakinan susila dan keberatan batin tidaklah merupakan daya paksa.
Seorang pendeta yang menghasut orang agar menolak dinas militer berdasarkan
keyakinan susila mengenai persiapan perang dan membunuh sesama manusia, dapat
dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni 1916, N.J. 1916, him. 703).
2. Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat (1)
KUHP
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum
pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai
oleh Belanda ialah noodweer tidak
terdapat dalam rumusan undang-undang.
Pasal 49 (1) KUHP (terjemahan) mengatakan:
"Tidak dipidang barang siapa yang
melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain,
kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, karena
serangan sekejap itu atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang
melawan hukum."
Pembelaan terpaksa KUHP Indonesia ini berbeda
dengan WvS Belanda, karena KUHP Indonesia mengikuti WvS untuk golongan Eropa
dulu (1898). la memperluas pengertian serangan bukan hanya yang sekejap itu
seperti WvS Belanda (oogenblikke lijke) tetapi
diperluas dengan ancamanseranganyang
sangat dekat pada saat itu (onmiddelijke
dreigende). Alasannya, karena situasi dan kondisi Indonesia (Hindia
Relanda, waktu itu) berbeda dengan Belanda. Tetapi menurut Lemaire, maksud
tersebut kurang berarti, hanya mempertegas saja, karena menurut Justt_Everr
Belanda, Pasal 41 WvS (Pasal 49 KUHP) itu berarti juga ancaman serangan
seketika itu.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik
unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer)
tersebut:
1. Pembelaan
itu bersifat terpaksa;
2. Yang
dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda
sendiri atau orang lain;
3. Ada
serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu; dan
4. Serangan
itu melawan hukum.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau
ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.Asas ini
disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit).
Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu
pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional, tidak semua alat dapat digunakan ( hanya yang pantas,
masuk akal saja).
Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol,
dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan
itu harus sangat perlu. Kalau perlindungan cukup dengan lari maka pembelaan
tidak perlu. Begitu juga putusan Hoge Raad 15 Januari 1957. Tetapi
Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa lari jika mungkin itu kalau serangan datang
dari orang gila.
Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh,
kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan
kebebasan bergerak badan dankehormatan
kesusilaan yang
meliputi perasaan malu seksual. Lebih sempit daripada kehormatan tetapi lebih
luas daripada tubuh saja (Hoge Raad 8 Januari 1917 N.J. 1957 halaman 175).
3.
Menjalankan
Ketentuan Undang-undang Pasal 50 ayat (1) KUHP
Pasal 50KUHP menyatakan (terjemahan):
"Barang siapa yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana."
Sederhana sekali bunyi undang-undang ini.
Namun masih terdapat perbedaan pendapat sekitar istilah apa yang dimaksud
dengan undang-undang di situ. Apakah hanya undang-undang dalam arti formal saja
(yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan DPR) ataukah meliputi juga
undang-undang dalam arti material sehingga meliputi pula Peraturan Pemerintah
dan peraturan yang .lebili rendah yang lain.
Kalau kita bandingkan dengan sejarahnya di
Belanda, maka mula-mula Hoge Raad (27 Juni 1887, W5447)mengartikan
undang-undang dalam arti formal yaitu yang dibuat oleh raja dan Staten Generaal ditambah dengan AMvB dan
peraturan sebagai pelengkap undang-undang secara keseluruhan atau
diperintahkan oleh undang-undang.
Kemudian, pandangan ini berubah dengan
mengartikan ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai
wewenang mengeluarkan undang-undang menurut Undang-Undang Dasar atau undang
undang (HR 26 Juni 1899 W7307; 30 Nov. 1914, N.J. 1915, 282, W3747).
Arrest terakhir itu mengenai hal: Seorang yang bernama Rambonnet melanggar
Pasal 7 Peraturan Air Leiding di Gemeente Doornspijk. Ia telah mengeluarkan
perintah untuk menempatkan tanggul di waduk Eeksterbeek
dan dengan itu mengganggu jalan air di anak sungai. Di dalam peraturan lain
ditentukan bahwa Rambonnet berdasarkan syarat-syarat tertentu harus mengatur keadaan
air di anak sungai itu. Rambonnet bertindak melaksanakan ketentuan perundang-undangan
terakhir. Keistimewaan
arrest ini ialah Hoge Raad mengakui
di sini, bahwa sebagai ketentuan undang-undang ialah suatu peraturan yang
berisi suatu aturan yang menyangkut satu orang.[52]
Menurut Pompe, ketentuan undang-undang
meliputi peraturan (verordening) dikeluarkan
oleh penguasa yang berwenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi
ketentuan yang berasal langsung dari pembuat undang-undang, dari penguasa yang
lebih rendah yang mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan
yang berdasar undang-undang. Yang melakukan perbuatan itu merupakan
kewajibannya, oleh karena itu
undang-undang itu menyatakan: "dalam melaksanakan suatu . . ketentuan”.[53]
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan
menurut hukum acara pidana termasuk pengertian Pasal 50 ini.Hazewinkel-Suringa menyatakan antara lain, bahwa ketentuan Pasal
50 ini sebagai dasar pembenar berkelebihan (overbodig),
karena bagi orang yang menjalankan ketentuan undang-undang dengan
sendirinya tidak melawan hukum. Contoh orang yang tidak mempunyai wewenang
menyidik (orang swasta) tetapi menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan,
jika tidak termasuk ke dalam pengertian Pasal 50 KUHP, yaitu menjalankan
ketentuan undang-undang (KUHAP), ia toh tidak dapat dipidana karena tidak
melawan hukum.
Menurut Hoge
Raad 14 Oktober 1940, 1961No. 165 untuk penerapan Pasal 50 KUHP disyaratkan
pelaksanaan kewajiban berdasarkan undang-undang.Menurut Hazewinkel-Suringa,
kata feit (perbuatan) di dalam Pasal
50berarti perbuatan yang memenuhi isi delik. Bagaimana mungkin seseorang
berbuat melaksanakan ketentuan undang-undang bersamaan dengan itu melakukan
delik. Sebenarnya ini berasal dari Code Penal, tetapi maksudnya khusus untuk
delik kekerasan. Semula hanya perintah jabatan, tetapi kemudian ditambah
dengan menjalankan ketentuan undang-undang di dalam WvS Belanda[54].
Di dalam KUHP Belgia, terdapat dalam satu
pasal, yaitu Pasal 70, yang menyatakan tidak ada delik jika suatu perbuatan
ditentukan dalam undang-undang (sebagai delik) dan oleh pemerintah diperintahkan.
Di KUHP Jerman "menjalankan ketentuan undang-undang" dan
"menjalankan perintah jabatan" tidak tercantum, karena ketentuan semacam
itu dipandang berkelebihan (overbodig).
Bagaimana jika seorang penyidik dalam menjalankan ketentuan
undang-undang misalnya akan menangkap tersangka, ia melukai bahkan membunuhnya
karena melarikan diri atau melawan? Hal seperti ini bersifat kasusistis.
Mungkin terjadi daya paksa (overmacht)
mungkin pembelaan terpaksa (noodweer) mungkin
pula pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) bagi petugas yang menjalankan ketentuan
undang-undang itu. Dalam menjalankan ketentuan undang-undang harus patut, tidak
berkelebihan.
Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah
melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang adalah sah dan
tidak melawan hukum, asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut.Menurut Vos,
petugas tidak boleh menangkap orang yang melarikan diri, membunuh atau melukai
berat, kecuali mengenai delik yang sangat serius, misalnya pembunuh massal.
4.
Menjalankan
Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat (1) KUHP
Pasal 51 KUHP menyatakan:
(1) Barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Perintah itu karena jabatan. Jadi, antara
yang memberi perintah dan yang diperintah ada hubungan hukum publik. Hoge Raad memutuskan bahwa perintah yang
diberikan oleh Pengairan Negara kepada pemborong tergolong dalam sifat hukum perdata dan bukan perintah
jabatan (HR 27 November 1933 W.12698, N.J. 1934 , 266). Tidaklah perlu hubungan
jabatan tersebut hubungan atasan bawahan secara langsung. Misalnya pasal 525
KUHP ayat (1): "Barangsiapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau barang,
atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongan oleh penguasa
umum tetapi menolaknya padahal mampu untuk memberi pertolongan tersebut . . ." dan
seterusnya.
Jadi, kalau yang dimintai pertolongan
tersebut angkatan bersenjata oleh walikota, maka antara walikota dan anggota
angkatan bersenjata tersebut bukan atasan bawahan secara langsung.Sama halnya
dengan "menjalankan ketentuan undang-undang", "menjalankan
perintah jabatan" ini sebagai dasar peniadaan pidana adalah berkelebihan (overbodig), jika kita menerima bahwa melawan
hukum merupakan unsur untuk
menjatuhkan pidana (unsur delik menurut Vos).[55]
Hampir semua Justt_Everr berpendapat, bahwa
Pasal 51 KUHP tidak perlu mengenai perintah konkret juga termasuk instruksi
urnum (HR 17 Desember 1899 W.6603).
Pasal 51 ayat (1) KUHP termasuk dasar pembenar,
karena unsur melawan hukum tidak ada,
sedangkan Pasal 51 ayat (2) ialah
dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak
bersalah karena ia beritikad baik mengira menjalankan perintah pejabat yang
berwenang dan sah,
padahal tidak sah.Justt_Everr menempatkannya
di unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yang selanjutnya dibahas di Bab IV
terkait unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.
BAB IV
UNSUR-UNSUR
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A.
Pengertian
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing
disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang
menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan
pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan
tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah
ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,
apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau
peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari
sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Pemahaman kemampuan
bertanggung jawab menurut beberapa pandangan adalah sebagaimana diuraikan di
bawah ini.[56]
Menurut pompe kemampuan
bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kemampuan
berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai
pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2. Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan
bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan :
1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.
2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak
diperbolehkan oleh masyarakat dan
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
Syarat-syarat orang dapat
dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut:[57]
1. Jiwa
orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari
perbuatannya;
2. Orang
harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara kemayarakatan adalah
dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya.
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik
dan unsur pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III,
sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur
keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaandisamakan dengan delik, oleh
karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat
dibuktikan juga dalam persidangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada
pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi
unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut
terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan
dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan
tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilahat dari sudut kemampuan
bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat
dipertanggungjawab-pidanakan.
B.
Mampu
Bertanggung Jawab
Pertanggungjawaban
(pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut
apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat
melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond
atau alasan pembenar) untuk itu.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang
yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat dipertanggung-jawabkan. Dikatakan
seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar),
bilamana pada umumnya :[58]
Dalam
bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya, E.Y. Kanter dan
S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggung jawab mencakup:
a. Keadaan
jiwanya:
1) Tidak
terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
2) Tidak
cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan
3) Tidak
terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidamdan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan
jiwanya:
1) Dapat
menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2) Dapat
menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau
tidak; dan
3) Dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan
kepada keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstanddelijke
vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan
dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke
vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke
vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”
Pertanggungjawaban
pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid”
dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.[60]Petindak
di sini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri, menghina dan
sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika tindakan
merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya dan memakainya
untuk keuntungan sendiri.
C.
Kesalahan
Kesalahan dianggap ada,
apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang
menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan
dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana,
menurut Moeljatno kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah
pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat
4 (empat) unsur yaitu:[61]
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab:
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan
(dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa);
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu
ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk
kesalahan terdiri dari:[62]
1.
Kesengajaan(opzet).
Kebanyakan tindak pidana
mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan
unsur culpa. Ini layak oleh karena
biasanya, yang pantas mendapatkan hukuman pidana itu ialah orang yang melakukan
sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur tindak
pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-alasan
diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum.[63]Kesengajaanyang
dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
a)
Sengaja Sebagai Niat (Oogmerk)
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka apabila
kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang
menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana ini lebih nampak
apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini,
dapat dikatakan si pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat yang
menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief gevolg).
Sebagian pakarmengatakan, bahwa yang dapat di kehendaki
ialah hanya perbuatannya, bukan akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanya
dapat dibayangkan atau di gambarkan akan terjadi (voorstellen). Dengan demikian secara siakletik timbul dua teori
yang bertentangan satu sama lain, yaitu:[64]
a. Teori kehendak (wilstheorie);
dan
b. Teri bayangan (voorstellen-theorie).
Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila
perbuatan dan akibat suatu tindak pidana di kehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan
menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan,
ada bayangan yang terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan
maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Contoh mengenai tindak pidana pencurian, menurut teori
kehendak, si pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian
oleh karena ia mengkhendaki, bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain,
barang itu akan menjadi miliknya. Sedangkan menurut teori bayangan kesengajaan ini
ada oleh karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik orang
lain, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan
menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan
akibat yang terbayang tadi.
b)
Sengaja Sadar Akan Kepastian atau Keharusan
(zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan
semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict,
tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
Jika ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie)
menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada
kesengajaan menurut teori bayangan (voorstelling-theorie)keadaan
ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk)oleh
karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya bayangan atau
gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat pasti akan terjadi, maka juga kini
ada kesengajaan.[65]
Oleh
para Justt_Everr Belanda sebagai contoh selalu disebutkan peristiwa ”Thomas van
Bremerhaven”, yaitu perbuatan seseorang berupa memasukkan dalam kapal laut,
yang akan berlayar di laut, suatu mesin yang akan meledak apabila kapal itu
sudah ada di tengah laut. Dengan peledakan ini kapal akan hancur, dan kalau ini
terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi.
Dalam merancangkan kehendak ini si pelaku dianggap tahu benar, bahwa apabila
kapal hancur, para anak kapal dan penumpang lainnya akan tenggelam di tengah
laut dan akan mati semua. Dengan demikian, meskipun kematian orang-orang ini
tidak masuk tujuan si pelaku, namun tetap di anggap ada kesengajaan si pelaku
itu, dan maka dari itu si pelaku dapat dipersalahkan malakukan tindak pidana
pembunuhan.[66]
Menurut
Van Hattum ”Kepastian” dalam kesengajaan semacam iniharus diartikan secara
relatif oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian mutlak.
Mungkin sekali para anak kapal dan penumpang dari kapal laut tadi tertolong
semua oleh para nelayan yang ada di tempat meledaknya bom. Menurut Van Hattum,
maksud ”kepastian” ialah suatu kemungkinan yang sangat besar sedemikian rupa,
bahwa seorang manusia biasa menganggap ada kepastian, tidak ada kemungkinan
besar saja.
c) Sengaja Sadar Akan Kemungkinan (Dolus
eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak
disertai bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan,
melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini
ternyata tidak ada persamaan pendapat diantara para sarjana hukum belanda.
Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa, ada dua Justt_Everr belanda, yaitu
Van Dijk dan Pompe yang mengatakan, bahwa dengan hanya ada keinsafan
kemungkinan, tidak ada kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau
masih dapat dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis
sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara keinsafan
kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu, melainkan
hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai
berikut:
Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan
terjadi akibat yang bersangkutan tanpa di tuju, maka harus di tinjau sendainya
ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan toh akan
dilakukan oleh si pelaku. Kalau ini terjadi, maka dapat dikatakan, bahwa kalau
perlu, akibat yang terang tidak dikhendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu,
akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibat kemudian toh
terjadi.[67]
2.
Kealpaan(Culpa)
Kelalaian merupakan
salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar
perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi
dikarenakan perilaku orang itu sendiri.
Dalam pelayanan
kesehatan misalnya yang menyebabkan
timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman
dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari
segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan
ilmunya.[68]
Kelalaian menurut hukum
pidana terbagi dua macam yaitu:[69]
1) Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan
perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat
akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205
KUHP;
2) kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau
akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh
hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu
sendiri memuat tiga unsur, yaitu:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat
menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah
melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang
berpikir panjang; dan
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku
harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH.
Sutorius, skema kelalaian atau culpa
yaitu :[70]
1. Culpa
lata yang disadari (alpa)
CONSCIOUS :
kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono (roekeloos),
lalai (onachttzaam), tidak acuh.
Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan
terjadi;
2. Culpa
lata yang tidak disadari (Lalai)
UNCONSCIUS :
kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir (onnadentkend),
lengah (onoplettend), dimana
seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang
tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan
perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum
pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak
memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila
ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat
dikatakan kealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung
pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan
kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah
dipenuhi.
Bagan 13:Kesalahan Dan Jenis-Jenisnya
Hubungan
petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari
petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan
dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan
tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk
penentuan tersebut, bukan sebagai aklibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika
demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.[71]
Menurut
Ruslan Saleh mengatakan bahwa :[72]
Tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu
kemampuan bertanggung jawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada
terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam
pengertian kesalahan (schuld).
Pompe
mengatakan bahwa:[73]
hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau
dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dalam dari
kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.
Menurut
Martiman Prodjhamidjojo[74]
bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan
dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di
pertanggungjawabkan.Unsur-unsur subjektif yaitu :
1. Kesalahan;
2. Kesengajaan;
3. Kealpaan;
4. Perbuatan; dan
5. Sifat melawan hukum;
Unsur
objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :
1. Perbuatan; dan
2. Sifat melawan hukum;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua
bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum,
yang berlaku kepada semua rumusan
delik yg disebut dalam Pasal 44, 48 – 51 KUHP, kedua adalah alasan
penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu
Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP. [75]
Namun Pada kali ini, hanya akan di bahas mengenai alasan pemaaf saja, karena
alasan pembenar sudah di bahas pada sub Bab sebelumnya.
Alasan
pemaaf (schuldduitsluitingsgrond)
yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal
48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht),
Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2) KUHP
tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu
datang dari pejabat yang berwenang.
Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf
yang terdapat dalam KUHP adalah ;
1.
Daya Paksa Relatif (Overmacht) ;
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat.
Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian
daya paksa. Dalam memorie van toelichting
(MvT) daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa orang berada
dalam dwangpositie ( posisi
terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar
dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas
subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Pemahas
lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah Justt_Everr bahas pada Bab
sebelumnya bagian daya paksa absolute.
2. Pembelaan
Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer
exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP
Pasal 49 ayat (2) menyatakan:
"Pembelaan terpaksa yang melampaui
batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan
atau ancaman serangan itu tidak dipidana."
Ada
persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu
keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama,
yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun
orang lain.
Perbedaannya ialah:
Ø Pada
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer
exces), pembuat melampaui bataskarena keguncangan jiwa yang hebat, aleh
karena itu,
Ø Maka
perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya
tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
Ø Lebih
lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan
dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional.Melampaui batas
pembelaan ada dua macam. Pertama, orang
yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan
pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge
Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase,
pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela
diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai
alat yang melampaui batas.
3. Menjalankan
Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah,
Pasal 51 ayat (2) KUHP
Perintah berasal dari penguasa yang
tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari
penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan
perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan
masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat
(2) KUHP.
Menurut Vos, mengenai
ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang
untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1) Syarat
subyektif, yakni
pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang
berwenang: dan
2) Syarat
obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus
terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Jadi seorang agen polisi
diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik,
bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuatan
seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada ayat (2) ini
diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung).Menurut Pompe hubungan
atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun
bersifat sementara.
Bagan 14 : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
BAB V
TEORI
PEMIDANAAN
A.
Pengertian
Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap
penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata
“pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan
sebagai penghukuman.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan
terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena
pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana,
korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori
konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi
agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan
kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa
pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam
melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus
sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana
atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap
perencanaan sebagai berikut :
1. Pemberian
pidana oleh pembuat undang-undang;
2. Pemberian
pidana oleh badan yang berwenang;
3.
Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang
berwenang.
Pada
sat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum
pidana yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No.
1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana
yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP , UU No. 16
Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang
perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.
Meskipun
Wetboek van Strarecht peninggalan penjajah
belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem pemidanaannya
masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik pelaksanaannya
sudah sedikit berbeda.
Dalam
masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai
dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :
1. Bahwa orang yang dipidana harus
menjalani pidananya didalam tembok
penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan
hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus
dilakukan dibalik tembok penjara.
2. Bahwa selain narapidana dipidana,
mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau
rehabilitasi/resosialisasi.
Dalam KUHP penjaTuhan pidana pokok
hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu
pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang
bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana pokok yang diancamkan pada
pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau
lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti
penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem
KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjaTuhan
pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (30) (pendidikan paksa) dan Pasal 40
(pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya).
Mengenai
maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima belas tahun dan hanya boleh
dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara teratas
adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai
maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati
menjadi satu tahun empat bulan, dalam
hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena
ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada
beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan
secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan
itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :[77]
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).
3. Teori Gabungan (vernegins theorien).
B.
Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
1.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Aliran ini yang menganggap sebagai
dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai
pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo polak.
Menurut Kant mengemukakan bahwa
pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak
menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan
pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.[78]
Hukum adalah suatu aturan yang
bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai
abdiatau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan
melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib
dibalas setimpal dengan pidana
terhadap pelanggarnya.
Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa :[80]
Hukum atau keadilan merupakan suatu
kenyataan(sebagai these). Jika
seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia
mengingkari kenyataan adanya hukum (anti
these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan
bagi pelakunya(synthese) atau
mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)
Pendapat
lain dikemukakan oleh Herbart bahwa :[81]
Apabila kejahatan tidak dibalas maka
akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat
dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal
pada penjahat pelakunya.
2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori
ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak
pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa
mempertahankan ketertiban masyarakat (de
handhaving der maatshappeljikeorde).
Mengenai
cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari
teori tujuan yaitu prevensi khusus
dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa
pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku
terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri
terpidana itu sendiri dengan harapan agar siterpidana dapat berubah menjadi
orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum
bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat
untuk tidak melakukan tindak pidana.
Teori-teori
yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh
Lamintang sebagai berikut : [82]
a. Teori-teori yang mampu membuat orang jera,
yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka
tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran-pelanggaran terhadap
kaedah-kaedah hukum pidana.
b. Ajaran mengenai pemaksaan secara
psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman
hukuman itu harus harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan tindak pidana,
dalam arti apabila bahwa orang melakukan kejahatan mereka pasti dikenakan
sanksi pidana, maka mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan
kejahatan.
Adapun menurut Van Hamel bahwa teori pencegahan umum ini ialah
pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat
jahat.[83]
a. Pidana adalah senantiasa untuk pencegahan khusus, yaitu untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan
niatnya.
b. Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi
ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjaTuhan pidana harus
bersifat memperbaiki dirinya (reclasering).
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak
dapat lagi diperbaiki, maka penjaTuhan pidana harus bersifat membinasakan atau
membuat mereka tidak berdaya.
d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah
mempertahankan tata tertib hukum didalam masyarakat.
3.
Teori
Gabungan (verenigingstheorien)
Disamping teori absolut
dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak
mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain
juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat
pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori
absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah: [85]
Kelemahan teori absolut adalah:
b. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan
tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
c. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan
teori relatif adalah :
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan
dengan keadilan.
2. Kepuasan
masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki
sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit
dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori
gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum
pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur
pembalasan dan prevensi seimbang.Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur
pembalasan dianut oleh Pompe Pompe menyatakan :[86]
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana
dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan
tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan
demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan
diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi
kepentingan umum.
Van
Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan :[87]
”Pidana” bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan
masyarakat. Sementara ”tindakan”bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan.
Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan
teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam
pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah
penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat.
Teori yang dikemukakan
oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang
mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap
pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan
pemerintahan.[88]
Teori gabungan yang
kedua yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak
boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh
lebih besar dari pada yang seharusnya.
Pidana bersifat
pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan
yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi
bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana
berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika
ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah
berpengalaman.”Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan
pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas
oleh para sarjana.[89]
Terlepas dari
berbagai teori di atas, Justt_Everr juga mengemukakan beberapa teori terkait
tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai pakar ilmu hukum. Menurut
Remmelink hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri, tetapi ditujukan juga
untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk
sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa
inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah 3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan
Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General Deterrence.[90]
Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:
1. Reformation, berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain seperti pencegahan.
2. Restraint
berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar
hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada juga kaitannya dengan sistem
reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam
penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan pendorong
dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur hidup dan
pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.
3. Retribution, yakni pembalasan
terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak
dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat
yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang
menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu membuat
magna carta bagi penjahat (Magna Charta
For Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana, memang sulit dihilangkan,
berbeda dengan bidang hukum yang lain.
4. Deterrence, yakni menjera atau
mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang
potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan,
melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini
mengatakan bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan mencegah orang lain melakukan kejahatan
terpidana dikorbankan untuk menerima pidana itu.
Selain remmelink
dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi Dalam Hukum
Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan. Menurutnya
pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur, yakni:[91]
1. Pemidanaan
harus mengandung semacam kehilangan (deprivation)atau
kesengsaraan (distress) yang biasanya
secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama
ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek
yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara
actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena
mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum
yang berlaku secara sah.
2. Setiap
pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi
pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan
sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.
Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban
terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
3. Penguasa
yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang
telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam
masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang hukum
kolektif, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang
tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka
sebagai denda (penalty) yang
diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.
C.
Jenis-Jenis
Pidana
Hukum
pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP
yakni :
1. Pidana
Pokok
a. Pidana
mati;
b. Pidana
penjara;
c. Pidana
kurungan; dan
d. Pidana
denda.
2. Pidana
Tambahan
a. Pencabutan
hak-hak tertentu;
b. Perampasan
barang-barang tertentu;dan
c. Pengumuman
putusan hakim.
Adapun
mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah
didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah
yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai
tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif
(artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi
kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan
Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah
sebagai berikut :
a. Pidana
tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal
perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada
pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok
melainkan pada tindakan).
b. Pidana
tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok,
sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa
dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana
tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi
bersifat imperatif atau keharusan).
c.
Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu
tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan
hakim dapat dijalankan.
Berikut
ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
1)
Pidana
Pokok
a. Pidana
Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11
KUHP yaitu :
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat
gantunngan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam Negara Indonesia tindak pidana
yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104
KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4)
KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat
(2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal
6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga
bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau
keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia
terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 14).
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati,
maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari
Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana
tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati
tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di
dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang
No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1) Jika
pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati
tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari
berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan
pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan
oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya
dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2) Jika
terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan
permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera
dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus
memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau
Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim,
Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat
pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama
dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3) Pidana
mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada
Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang
diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus
dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan
atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa
atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan
dengan memperhatikan kemanusiaan.
b.
Pidana
Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa
“Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”.
Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk
pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.[92]
Pidana seumur hidup biasanya tercantum
di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau
penjara dua puluh tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang menyatakan
bahwa :[93]
Bentuk
pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam
sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak
tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga
ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan
pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih
banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam
penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :[94]
Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan,
bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga
narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1) Hak
untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberal
sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin,
bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2) Hak
untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan
manusia yang tidak baik;
3) Hak
untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah dipraktikkan
pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4) Hak
untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin
praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain);
5) Hak untuk
mengadakan asuransi hidup;
6) Hak
untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan
untuk minta perceraian menurut hukum perdata;
7) Hak
untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana
penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas
belaka; dan
8) Beberapa
hak sipil yang lain.
c.
Pidana
Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama
dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan
mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih
ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat
(1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam
Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama
hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai
mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling
sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena
gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi
satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan”.
Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan
bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1) Sebagai
custodia honesta untuk tindak pidana
yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan beberapa delic
dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit
sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh
yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2) Sebagai
custodia simplex, suatu perampasan
kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran,
maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan
khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.[95]
d.
Pidana
Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana
tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati.
Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda
tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh
karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut
P.A.F. Lamintang bahwa :[96]
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I
dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun
bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik
satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja,
atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat
dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap
terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar
oleh orang atas nama terpidana.
2)
Pidana
Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang
bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri
kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana
tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah
harus.
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan
pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjaTuhan pidana pokok,
ketentuan tersebut adalah :[97]
1) Pidana
tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana
tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2) Pidana
tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana
dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan
tidak diancamkan.
3) Pada
setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa
perbuatan pidana tertentu.
4) Walaupun
diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu,
namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada
hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif.
Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat
preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam
kemungkinan mendapat grasi.
a.
Pencabutan
Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1)
KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan
adalah:
1) Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2) Hak
untuk memasuki angkatan bersenjata;
3) Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum;
4) Hak
menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak
sendiri;
5) Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;
6) Hak
menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak,
Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak
sebagai berikut :
1) Dalam
hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan
adalah seumur hidup.
2) Dalam
hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya
pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama
dari pidana pokoknya.
3) Dalam
hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak
lima tahun.
Pencabutan
hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini
hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b.
Perampasan
Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu
merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda.
Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39
KUHP yaitu :
1) Barang-barang
kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2) Dalam
hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
telah ditentukan dalam undang-undang;
3) Perampasan
dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah,
tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Perampasan
atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan
apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam
putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari
dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika
barang-barang yang dirampas diserahkan.
c.
Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan
hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan agar
putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya,
harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya
terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan
dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan
pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar
masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku.
Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan
berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya
untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini
yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1) Menjalankan
tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam
waktu perang.
2) Penjualan,
penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau
kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3) Kesembronoan
seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4) Penggelapan.
5) Penipuan.
6)
Tindakan merugikan pemiutang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras,
Yogyakarta.
Ahmad Nindra Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika
di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar.
Andi
Fuad Usfa. 2006. Pengantar Hukum Pidana
Edisi Revisi. UMM Pers. Malang.
Andi
Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
_______________.
1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di
Indonesia. Pradnya Paramit,. Jakarta.
Andi Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
_______________.
1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan
Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta.
_______________. dan Andi Hamzah. 2010.. Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.
Barda
Nawawi Arif, 1993, Sari Kuliah “Hukum
Pidana II”, Badan Penyediaan Bahan Kulah Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang.
Chairul
Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan, Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” Prenada Media, Jakarta.
Chazawi
Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana,
Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum
Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Djoko
Prakoso. 1987. Pembharuan Hukum Pidana
Indonesia. Liberty. Yogyakarta.
D.Schaffmeiste,
N.Keijzer dan E.PH.Sutorius, 2007, Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Eddy
O.S. Hairiej, 2009, Asas Legalitas dan
Penentuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.
Erdianto
Effendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia
Suatu Pengantar. Refika Aditama. Bandung.
E.Y
Kanter & S.R. Sianturi, 2002. Azas-Azas
Hukum Pidana Di IndonesiaDan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Hermien
HadiatiKoeswadji. 1995. Perkembangan
Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Jan
Remmelink, 2003, Hukum Pidana “Komentar
Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,Geamedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Komariah
Emong Sapadjaja, 2002, Ajaran Sifat
Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia,Penerbit Alumni,
Bandung.
Leden
Marpaung. 2005, Asas-asas, Teori, Praktik
Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.
Mahrus
Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta.
Mien
Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan
Kriminologi, Alumni, Bandung.
Moeljatno.
1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta
: PT. Bina Aksara.
Moeljatno,2002. Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia. PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
Muladi dan barda Nawawi. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. PT. Alumni. Bandung.
Nico
Ngani, 1984, Sinerama Hukum Pidana, Liberty,
Yogyakarta.
P.A.F.Lamintang.
1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro,
Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia. PT. Refika Aditama. Bandung.
Pujiyono,
2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar
Maju, Bandung.
Roeslan Saleh, 1981,Perbuatan
Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta : Penerbit
Aksara Baru.
R.
Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya,
Usaha Nasional, Jakarta.
Schaffmeister,
1995, Hukum Pidana, Lyberty,
Yogyakarta.
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “ide Dasar
Double Track Sistem dan Implementasinya”. PT. Raja Gravindo Persada.
Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja,
1990, Hukum Pdana I, Armico, Bandung.
Sudarto. 1997, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Gratifi Pers.
Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana “kumpulan Bahan Kuliah”, Balai
Lektur Mahasiswa, Jakarta.
Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusamedia, Bandung.
Teguh
Sulistia, dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum
Pidana “Horizon Baru Pasca Reformasi” Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tim
Dosen Pidana, 2007, Buku Ajar Hukum
Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Perpustakaan Fakultas Hukum
Unhas, Makassar.
Tongat, 2008, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia Dalam Prespektif Pembharuan. Penerbit Universitas
Muhamadiyah Malang. Malang.
Wirjono Prodjodikoro, 1986. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresko, Bandung.
[1]
Wirjono Prodjodikoro 1989, Asas-Asas
Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1.
[2]
Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1,
CV. Armico, hlm. 9.
[3]Ibid.,hlm. 10.
[4]Ibid.,hlm. 10.
[5]
Moeljatno,2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, hlm.
1.
[6]Ibid.
[7]Simons
dalam buku P.A.F.lamintang, 1997, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.
[8]
H.M. Insan Anshari Al Aspary, 2012, TIndak
Pidana Perpajakan, Jasa Offset, Jakarta., hlm. 153
[9]
Laden Marpaung, 2005, Asas-asas, Teori, Praktik Hukum Pidana.
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.
[10]Ibid.
[11]
Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007,
hlm. 39.
[12]Ibid.
[13]
Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras,
Yogyakarta, hlm. 18-19.
[14]
Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka
Cipta, Jakarta, hlm. 72, hlm. 88.
[15]
Chazawi Adami, 2002. Pelajaran Hukum
Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya
Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 72.
[16]Ibid., hlm. 75.
[17]
Lamintang, P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 34.
[18]Ibid.,hlm. 35.
[19]
Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta : Alumni, hlm. 207.
[20]Moeljatno.
1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta
: PT. Bina Aksara, hlm. 56.
[21]
Sianturi, S.R, op .cit.,hlm. 207.
[22]Ibid.,hlm 297.
[23]Ibid.,hlm 211.
[24]Ibid.,hlm 209.
[25]Moeljatno,
op. cit., hlm. 55.
[26]Abidin,
Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas
Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca,
Jakarta, hlm. 146.
[27]Sianturi,
op. cit., hlm. 207.
[28]
Moeljatno, op.cit., hlm.55.
[29]Abidin,
Andi Zainal 1995. Hukum Pidana I.
Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 225
[30]Kanter
E.Y & S.R. Sianturi, 2002.Azas-Azas
Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, hlm.
211.
[31]Buku
Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007.Hlm.
56.
[35]Abidin, Andi Zainal,
1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang
Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta.
[37]Prodjodikoro, Wirjono.
2003. Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia. PT. Refika Aditama. Bandung.hal.
55.
[42]Lamintang,
P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 193-194.
[43]
Andi Fuad Usfa. 2006. Pengantar Hukum
Pidana Edisi Revisi. UMM Pers. Malang, hlm. 45.
[44]
Erdianto Effendi, 2011. Hukum Pidana
Indonesia Suatu Pengantar.Refika Aditama. Bandung, hlm. 99.
[45]
Zainal Abidin, op.cit.,hlm. 175.
[46]
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawan Pidana Korporasi, Grafiti Pers,
hlm. 34.
[47]
Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1,
CV Armico, Bandung, hlm. 151.
[48]
Buku Ajar Hukum Pidana, op.cit. hlm. 66.
[49]
Moeljatno, op.,cit. hlm. 58.
[50]
Buku Ajar Hukum Pidana, op.cit.hlm.
68.
[51]Ibid. hlm. 70.
[52]Ibid.hlm. 360.
[53] Ibid.
[54]Ibid.
[55]Ibid, hlm. 397.
[56]Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT
Eresko, Bandung. hlm.55.
[57]
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,.
hal.397.
[59]Ibid., hlm. 250.
[60]Roeslan
Saleh,1981,Perbuatan
Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta : Penerbit Aksara Baru.
Hlm. 45.
[61]Moeljatno,
2002.Asas-asas Hukum Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta,, hal.164.
[62]
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan
Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.54.
[63]
Wirjono Prodjodikoro, 1985, Asas-asas
Hukum Pidana Di Indonesia. PT. Eresco., hlm. 61.
[64]Ibid., hlm.62.
[65]Ibid.,hlm. 63.
[66]Ibid., hlm. 63.
[67]Ibid.,hlm. 66.
[68]Bahder
Johan Nasution, op.cit. hlm. 55.
[69] Ibid, hal.56
[70]
D.Schaffmeiste, N.Keijzer dan E.PH.Sutorius,2007,Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.102
[71] Zainal Abidin
Farid Andi,1995. Hukum Pidana I,
Jakarta : Sinar Grafika.
[72]Kanter
E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit.
hal. 25.
[73]Ibid. Hal. 25.
[74]Ibid.
[75]Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 143.
[76]
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit
Rineka Cipta, hlm. 165.
[77]
Adami Chazawi, op.cit.hlm. 153.
[78]AhmadNindra
Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan
Psikotropika di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar, hlm. 23.
[79]
Adami Chazawi, op.cit.hlm. 155.
[80]Ibid. hlm. 156.
[81]Ibid.
[82]Ahmad Nindra Ferry. Op.,cit. hlm. 25.
[83]
Adami Chazawi. Op.,cit. hlm. 158
[84]Ibid., hlm. 162.
[85]Koeswadji,
Hermien Hadiati. 1995. Perkembangan
Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya
Bakti.Bandung, hlm. 11-12.
[86]
Andi Hamzah., op.cit., hlm.36.
[87]Ibid.
[88]Ibid., hlm. 37.
[89]Ibid.
[90]A.Z.
Abidin dan Andi Hamzah.Pengantar Dalam
Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.2010, hlm.
[91]Sholehuddin,
2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana
“ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”.PT. Raja Gravindo
Persada.Jakarta., hlm. 70-71.
[92]
Andi Hamzah. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramita.
Jakarta. hal. 36.
[94]
Andi Hamzah. Op. Cit. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia.hal.
38.
[95]
Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 48-49.
[96]
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung.Hlm . 712.
[97]
Hermien Hardiati Koeswadji, 1980.Kejahatan
Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hal. 56.