A.
Teori
Kewenangan
1.
Pengertian
Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan pelaksanaan
fungsi pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata “wewenang” memiliki arti :
1. Hak dan
kekuasaan bertindak; kewenangan
2. Kekuasaan
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain,
3. Fungsi
yang boleh tidak dilaksanakan
Sedangkan
“kewenangan” memiliki arti :
1. Hal
berwenang
2. Hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu
Soerjono Soekanto menguraikan bahwa beda
antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk memengaruhi
pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang
ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat.
Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan
“wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban. Wewenang menurut Stout adalah
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dan hubungan hukum publik.
Kemudian Nicholai memberikan pengertian tentang kewenangan yang berarti
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (tindakan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum
tertentu).[4]
Sementara
itu, Marbun memberikan pengertian berbeda antara kewenangan dan wewenang.
Menurutnya, kewenangan (authority, gezag)
adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu
maupun terhadap sesuatu bidang secara bulat. Sedangkan wewenang (competence, bevoedheid) hanya mengenai
bidang tertentu saja. Dengan demikian, kewenangan kumpulan dari
wewenang-wewenang (rechtsbevoegeden).
Menurutnya, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
publik atau kemampuan bertindak yang diberikan peraturan perundang-undangan
untuk melakukan hubungan hukum. Sedangkan kewenangan dalam konteks
penyelenggaraan negara terkait pula dengan paham kedaulatan (souveregnit).[5] Dengan demikian wewenang pemerintahan meliki
sifat-sifat antara lain:
[6]
a. Pelaksanaan yang cepat;
b. Jelas maksud dan tujuannya;
c. Terikat pada waktu tertentu;
d. Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak
tertulis;
e. Isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkrit;
Lanjut
H. D. Stout berpendapat wewenang tak lain adalah pengertian yang berasal dari
hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Menurut
Bagirmanan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di
dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en
plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen),
sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara
keseluruhan. ).[7]
2. Sumber Dan Cara Memperoleh Wewenang
Seiring dengan pilar utama
Negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur),maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenagn pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara teoretik, kewenangan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperolh
melaui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat, yang defenisinya
adalah sebagai berikut :
a. Atribusi
adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ
pemerintah.
b. Delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat
terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya.
Menurut F.A.M Stroink dan
J.G. Steenbeek menyebutkan bahwa:[8]
“hanya
2 cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi.
Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi
menyangkut pelumpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh
wewenang secara atributif kepada orang lain. Jadi delegas secara logis selalu
didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan
wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang apapun, namun
yang ada hanyalah hubungan internal.
Dalam mengetahui sumber dan
cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena
berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam
penggunaan wewenang tersebut seiring denagn salah satu prinsip dalam Negara
hukum yaitu “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban”.
Setiap pemberian kewenangan
kepada pejabat pemerintahan tertentu, akan tersirat didalamnya
pertanggunjawaban-pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Wewenang
yang diperoleh secara atribusi merupakan perolehan kewenangan secara langsung
dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan
Dalam hal atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah
ada dimana tanggung jawab intern pelaksanaan wewenang tersebut diatribusikan
sepenuhnya kepada penerima wewenang( atributaris).
Lanjut Ridwan menegaskan
bahwa: [9]
“Pada
delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang
dari pejabat yang satu kepejabat yang lain . tanggungjawab yuridis tidak lagi
berada pada pemberi dlegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima
delegasi (delegataris) . semetara pada mandat, penmerima mandate (mandataris)hanya
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggungjawab
akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berad pada mandans karena
pada dasarnya penerim mandate tersebut bukan pihk lain dari pemberi mandat
“
Terkait wewenang pemerintah, Usep Ranuwijaya
mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi bagi bangsa indonesia bersumber kepada:[10]
a. Kedaulatan Rakyat, yaitu pelaksanaan kekuasaan Negara di
dasarkan pada pemberi kuasa oleh rakyat sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD NRI 1945.
b. Kedaulatan hukum, yaitu hukum menjadi dasar dari
kekuasaan negara yang bersumber dari kesadaran masyarakat sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
c. Kedaulatan Negara, yaitu negara sebagai sumber kekuasaan
sendiri karena negara adalah bentuk tertinggi kesatuan hidup.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara,
mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting
karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang
tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum; “geen bevoegdheid zonder
verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak
ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Di dalam setiap pemberian kewenangan
kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat
yang bersangkutan. [11]
B.
Peraturan Daerah
1. Pengertian
Peraturan Daerah
Peraturan
daerah merupakan hasil kerja sama antar pihak Legislatif daerah (DPRD) dengan
Eksekutif (Kepala Daerah) yang di dalamnya mengatur kepentingan umum yang ada
di daerah bersangkutan. Keputusan Kepala Daerah adalah suatu bentuk keputusan
yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah (Bupati dan Walikota).
Menurut
Irawan Sujito bahwa : [12]
Pada hakikatnya baik keputusan maupun
peraturan dan peraturan daerah itu adalah keputusan dalam arti luas yang
ditetapkan oleh penguasa yang berwenang menetapkannya, sebab ketiganya
merupakan perwujudan kehendak penguasa tersebut harus mengambil keputusan.
Sedangkan
menurut Bachsan Mustafa dalam bukunya tentang Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara mengatakan bahwa peraturan adalah : [13]
Peraturan merupakan hukum (in abstracto) atau (generalnorms) yang
sifatnya mengikat umum atau berlaku, sedangkan tugasnya mengatur hal-hal yang
umum atau hal-hal yang masih abstrak, agar peraturan ini dapat dilaksanakan
haruslah dikeluarkan ketetapan-ketetapan yang membawa peraturan ini ke dalam
peristiwa konkrit, yang nyata tertentu.
Jadi,
jika persoalan tersebut ditarik masuk ke dalam konteks daerah, maka tentunya
peraturan daerah mengatur hal-hal yang abstrak dan untuk dapat dilaksanakan
masih memerlukan tindakan lain agar peraturan daerah dimaksud menjadi konkrit.
Irawan
Soejito membuat skema peraturan yang di dalamnya membedakan antara keputusan
dalam arti sempit dan peraturan dalam arti luas, kemudian dibedakan lagi antara
peraturan dalam arti luas atas peraturan dalam arti sempit dan peraturan
daerah, dengan penjelasan sebagai berikut : [14]
Keputusan dalam arti sempit dapat diartikan
sebagai suatu perwujudan kehendak dari seorang penguasa atau pejabat umum yang
ditugaskan untuk melaksanakan suatu norma hukum tata usaha tertentu (wilsuiting voor een bepaald geyal),
dapat juga dikatakan bahwa keputusan dalam arti sempit itu merupakan norma
untuk hal khusus atau tertentu saja, sehingga dengan diambilnya keputusan itu
berakhirlah pula fungsi keputusan tersebut (uitgewerkt).
Peraturan dalam arti luas adalah keputusan
yang merupakan norma buat setiap hal yang dapat dimasukkan ke dalamnya, dengan
perkataan lain, peraturan dalam arti luas itu sifatnya umum dan dimaksudkan
untuk berlaku umum.
Peraturan daerah adalah peraturan sebagai
diuraikan di atas yang ditetapkan oleh penguasa tertentu, yakni Kepala Daerah
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, dan harus
memenuhi syarat-syarat formal tertentu untuk dapat mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat.
Berdasarkan
uraian dari beberapa pengertian di atas, maka nampak bahwa yang dimaksud
peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah yakni
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 1 angka 10 ditentukan
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan Peraturan Daerah, yaitu :
Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda
adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
Untuk
menyamakan pendapat atau setidak-tidaknya menjelaskan pemahaman mengenai
peraturan daerah, maka berikut ini akan di kemukakan pengertian peraturan
perundang-undangan karena harus diingat bahwa peraturan daerah merupakan bagian
dari peraturan perundang-undangan. Menurut Abdul Latif mengatakan bahwa
Peraturan Perundang-undangan adalah : [15]
Setiap keputusan tertulis yang bersifat atau
mengikat secara umum. Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum
dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status
ataupun suatu tatanan. Oleh karena hal-hal yang diatur bersifat umum, maka
peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak. Secara singkat lazim
disebut bahwa ciri-ciri peraturan perundang-undangan adalah abstrak umum atau
umum abstrak.
Lanjut M. Solly Lubis juga mengemukakan mengenai pengertian perundang-undangan yaitu : [16]
Proses pembuatan peraturan negara, dengan
tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau
penetapan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan.
Demikian
pula pendapat yang di kemukakan oleh K. Wantjik Saleh bahwa perundang-undangan
yaitu : [17]
Yang dimaksud perundang-undangan adalah
undang-undang dalam arti luas atau yang dalam ilmu hukum disebut undang-undang
dalam arti materiil yaitu segala peraturan yang tertulis yang dibuat oleh
penguasa (baik pusat maupun daerah) yang mengikat dan berlaku umum, termasuk
dalamnya undang-undang darurat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, penetapan presiden, peraturan propinsi, peraturan kota
madya dan lain-lain.
Selain itu secara khusus dikenal pula
undang-undang dalam arti sempit atau yang dalam ilmu hukum disebut
undang-undang dalam arti formil yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh
penguasa sebagai suatu badan negara yang secara tertentu diberi kekuasaan untuk
membentuk undang-undang yaitu pemerintah, bersama dengan persetujuan DPR dan
biasa disebut undang-undang.
Lebih
lanjut oleh Irawan Soejito memberikan pengertian peraturan daerah yaitu :[18]
Suatu peraturan yang ditetapkan oleh penguasa
tertentu yakni Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan yang harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu dapat mempunyai kekuatan
hukum dan mengikat.
Lain
halnya dengan pendapat yang di kemukakan oleh Muh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim
yang memberikan pengertian dari segi tata urutan perundang-undangan,
menggolongkan Peraturan Daerah ke dalam Peraturan Pelaksanaan lainnya bahwa :[19]
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana
lainnya adalah bentuk-bentuk peraturan yang ada setelah ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPR-RI/ 1966 dan harus bersumber
kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi, umpamanya Peraturan Menteri,
Peraturan Daerah dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 137 dijelaskan mengenai asas-asas pembentukan Peraturan Daerah yang
meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Sedangkan dalam Pasal 138 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan materi muatan perda mengandung asas sebagai
berikut :
(1)
Materi muatan Perda mengandung asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhineka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2)
Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang
bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pengertian
Peraturan daerah yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa XXX.
2. Kewenangan
Membuat Peraturan Daerah
Sebelum
penulis menyebutkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewenangan membuat
Peraturan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka terlebih dahulu akan di kemukakan beberapa
ketentuan yang pernah berlaku dan mengatur tentang pemerintahan daerah.
Menurut
penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
ditegaskan bahwa yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah terdiri dari Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, namun dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) bahwa
Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa pemerintah Daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Mengenai
siapa yang berwenang membuat dan menetapkan Peraturan Daerah, pada masa
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Peraturan Daerah ditetapkan oleh
Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang
mempunyai wewenang menetapkan Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 38 bahwa Kepala daerah
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan Daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
dalam Pasal 136 ayat (1) bahwa yang berwenang membuat dan menetapkan Peraturan
Daerah adalah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa :
(1)
Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD,
Gubernur, atau Bupati/ Walikota.
(2)
Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang
sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD,
sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/ Walikota
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3)
Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang
berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Sedangkan
dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa :
(1)
Rancangan Perda disampaikan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD.
Peranan
Kepala Daerah beserta seluruh perangkatnya memang sangat dibutuhkan dalam
pembuatan suatu produk perundang-undangan seperti Peraturan Daerah karena
apabila Peraturan Daerah tersebut telah disahkan, maka yang menjalankan
peraturan tersebut adalah Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan di mana ia
memimpin, Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya membuat Peraturan Daerah
tentunya dibantu oleh perangkat daerah yang berkompeten di bidang tersebut,
oleh karena itu keberadaan bagian hukum dalam suatu pemerintahan daerah
merupakan hal yang mutlak tetapi tentunya harus diimbangi dengan kemampuan yang
maksimal utamanya kemampuan untuk membuat suatu rancangan peraturan daerah.
3. Dasar
Hukum Pembuatan Peraturan Daerah
Sebagaimana
yang telah diuraikan bahwa peraturan daerah adalah merupakan produk
perundang-undangan pemerintah daerah atau merupakan hasil kompromis antara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah yang tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karenanya baik DPRD maupun Kepala
daerah secara sendiri-sendiri tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan
Peraturan Daerah, akan tetapi harus melalui mekanisme yang ada yaitu ditetapkan
oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD terlebih dahulu.
Dasar
hukum pembentukan peraturan daerah didasarkan pada tiga landasan sebagaimana
diungkapkan oleh M. Solly Lubis yaitu : [20]
a. Landasan
Filosofis
b. Landasan
Yuridis
c. Landasan
Politis
Oleh
karena itu dalam pembuatan peraturan daerah harus termuat di dalamnya landasan
filosofis, landasan yuridis dan landasan politis.
Lebih
lanjut M. Solly Lubis mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan landasan
filosofis yaitu : [21]
Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah ke dalam suatu rencana atau draf
peraturan negara.
Dari
pengertian tersebut di atas, jika dihubungkan dengan Negara Republik Indonesia,
maka Pancasila merupakan dasar filsafat perundang-undangan. Sehingga tidak boleh
ada suatu peraturan daerah yang bertentangan dengan dasar falsafah tersebut,
dalam hal ini Pancasila.
Sedangkan
pengertian landasan yuridis menurut M. Solly Lubis yaitu : [22]
Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi
pembuatan suatu peraturan, misalnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjadi
landasan yuridis bagi pembuatan undang-undang organik, sedangkan UU itu menjadi
landasan yuridis bagi pembuatan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden,
Peraturan daerah dan lain-lain.
Jadi
suatu kebijaksanaan pemerintah daerah yang akan dituangkan ke dalam suatu
peraturan daerah harus mempunyai dasar hukum dan tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebagai dasar hukum pembuatan
peraturan daerah adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah khususnya Pasal 136 sampai Pasal 149 serta Undang-Undang lain yang
berkaitan dengan muatan Peraturan Daerah yang akan diatur misalnya apabila
peraturan daerah tersebut menyangkut pajak daerah, maka dasar hukumnya haruslah
ketentuan tentang perpajakan dan diatur dalam ketentuan yang lebih tinggi
derajatnya.
Di
dalam menempatkan landasan yuridis dalam peraturan daerah harus memperhatikan
tata urutan perundang-undangan, jika terdapat dua atau lebih landasan yuridis
suatu peraturan daerah yang tingkatannya sama, maka peraturan
perundang-undangan yang lebih lama ditempatkan di atas. Selain landasan yuridis
tersebut terdapat pula beberapa ketentuan yang menjadi dasar atau pedoman dalam
pembuatan suatu peraturan daerah sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah antara lain :
1. Surat
Menteri Dalam Negeri tanggal 21 November 1983 Nomor 188.34/3771/PUOD perihal
petunjuk penyusunan Ranperda.
2. Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 1983 tentang Penyusunan Ranperda tentang
pajak daerah dan retribusi daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
3. Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 14 Tahun 1974 tentang bentuk Peraturan Daerah.
4. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1983 tentang bentuk peraturan daerah.
5. Surat
Menteri Dalam Negeri tanggal 2 Mei 1975 Nomor Pem 7/5/38 perihal penjelasan dan
penegasan atas penafsiran terhadap peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974.
Sedangkan
yang dimaksud dengan landasan politis menurut M. Solly Lubis adalah : [23]
Garis kebijaksanaan politik yang menjadi
dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintah negara.
Tertib
peraturan perundang-undangan di daerah tergantung pada tertib kenegaraan yang
berpuncak pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta batang tubuhnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka segala kebijaksanaan pemerintah daerah
termasuk di dalamnya segala kebijaksanaan yang akan dituangkan dalam peraturan
daerah harus sesuai dan sejalan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang
merupakan garis kebijaksanaan politik bagi segenap kebijaksanaan pemerintah
daerah.
Dengan
jelasnya dasar hukum suatu peraturan daerah, maka diharapkan dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak utamanya dipatuhinya peraturan tersebut
karena tidak mempunyai cacat yuridis sehingga dapat berlaku efektif dalam
masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.
4. Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah
Di dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan, dengan adanya peraturan
perundang-undangan yang baik tentunya akan menunjang penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan Negara yang di inginkan. Sedangkan untuk membuat suatu
peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan adanya
persiapan-persiapan yang matang dan
mendalam antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam
perundang-undangan yang akan dibuat, dan bagaimana menuangkan materi muatan
tersebut didalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara singkat tetapi
jelas,dengan suatu bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara
sistematis, tanpa meninggalkan tata cara sesuai dengan kaidah bahasa indonesia
dalam penyusunan kalimatnya.
Adapun proses pembentukan
suatu peraturan daerah meliputi 3 tahap yaitu:
1. Proses
penyiapan rancangan peraturan daerah adalah merupakan proses penyusunan
rancangan dilingkungan pemerintah daerah (eksekutif), atau dilingkungan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (dalam hal rancangan peraturan daerah usul inisiatif).
2. Proses
mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
3. Proses
pengesahan oleh Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Prinsip utama
pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
Dalam
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah
dikenal adanya asas pembentukan sehingga peraturan perundang-undangan tersebut
harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu sehingga terjaga keabsahan
penerbitannya dan diakui secara formal oleh masyarakat.
Asas-asas yang
perlu mendapat perhatian dalam proses pembentukan peraturan daerah adalah:
1. Asas kejelasan
tujuan artinya untuk apa suatu peraturan daerah tersebut dikeluarkan dan apa
tujuan diterbitkan, dalam hal ini membicarakan tentang ketepatan letak dari
suatu peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintah,
serta tujuan khusus suatu peraturan yang akan dibentuk dan juga tujuan-tujuan
dari bagian-bagian yang akan dibentuk.
2. Asas
manfaat berarti bahwa bahwa setiap
pembuatan peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah harus
benar-benar memebri manfaat yang jelas bagi kehidupan rakyat.Tidak perlu ada
peraturan daerah jika itu tidak bermanfaat bagi masyarakat dalam
pelaksanaannya.
3. Asas
kelembagaan yaitu setiap jenis peraturan daerah harus dibuat oleh lembaga atau
pejabat dan ini dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh
pejabat/lembaga yang tidak berwenang,misalnya saja pemerintah Kabupaten/Kota
telah menetapkan satu peraturan daerah yang bukan merupakan kewenangan dari
pemerintah Kabupaten/Kota maka peraturan itu akan dibatalkan oleh menteri Dalam
Negeri sebab peraturan itu bukan merupakan kewenangan dari Pemerintah
Kabupaten/Kota tapi merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat. .
4. Asas kesesuaian
antar jenis dan materi muatan yaitu dalam pembentukan peraturan daerah harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
5. Asas
Kedayagunaan dan kehasilgunaan ini berarti bahwa setiap peraturan daerah dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Asas kejelasan
rumusan artinya bahwa setiap peraturan daerah harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan,sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Asas
keterbukaan yaitu dalam proses pembentukan peraturan daerah mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan
daerah.
8. Asas efisiensi
yaitu dibentuknya peraturan derah karena dipandang dapat menyelesaikan secara
efektif problema di masyarakat.
Lanjut
Rozali Abdullah mengemukakan bahwa Perda yang baik adalah yang memuat ketentuan
antara lain: [24]
1.
Memihak kepada kepentingan rakyat banyak;
2.
Menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
3.
Berwawasan lingkungan dan budaya.
Sementara M. Guntur Hamzahmengemukakan
ada 6 (enam) karakteristik perda yang baik, yaitu: [25]
1.
Dibuat untuk menjawab kebutuhan masyarakat;
2.
Dilakukan melaui proses yang transparan dan terbuka
(memberi ruang dan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi);
3.
Dilakukan melalui studi/riset yang matang;
4.
Bersifat responsif abgi seluruh stakeholders;
5.
Berparadigma “social Suporting” dan berbasis “Bottom-Up”;
6.
Dirumuskan secara sistematis, jelas, lugas, dan tidak
tumpang tindih serta taat asas.
Pelibatan
kelompok-kelompok masyarakat yang terkait (stakeholders) adalah penting akrena
3 (tiga) alasan. Pertama, pada
dasarnya para stakeholders memiliki kepentingan dalam perundang-undangan yang
diusulkan, maka mereka memiliki motif utama untuk bekerja sama. Kedua, karena yang terlibat memiliki
pengetahuan sendiri tentang masalah yang terkait, dan lingkungan dimana
permasalahan tersebut timbul, maka mereka dapat memainkan peranan penting dalam
mengumpulkan fakta. Dan ketiga,
menggunakan stakeholders dalam penelitian pengembangan kemampuan mereka untuk
bekerja sama dalam mencari pemecahan masalah perundang-undangan untuk
permasalahan sosial lainnya yang mungkin saja timbul.
5. Maksud
dan Tujuan Pembuatan Peraturan Daerah
Sebelum
dijelaskan mengenai tujuan dari pembuatan Peraturan Daerah, maka terlebih
dahulu penulis akan memaparkan tentang tujuan hukum yang di kemukakan oleh para
pakar. O. Notohamijojo merumuskan tujuan hukum yaitu sebagai berikut : [27]
Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam
masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, (dalam arti
luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan) atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan serta damai
dan kesejahteraan umum.
Sedangkan
menurut Mahadi bahwa tujuan hukum yang semestinya dicapai yaitu: [28]
mengadakan keselamatan dan tata tertib dalam
suatu masyarakat”.
Achmad Ali mengklasifikasikan tujuan
hukum kedalam 3 aliran konvesional, masing-masing : [29]
1. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada
asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
2. Aliran utilities yang menganggap
bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan
kemanfaatan atau kebahagiaan warga.
3. Aliran normatif-dogmatif yang menganggap bahwa pada
asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Berdasarkan
tiga aliran konvensional di atas, Achmad
Ali menganut asas prioritas kasuistis. Achmad Ali berpendapat bahwa
tujuan hukum haruslah disesuaikan dengan konsteks sebauh
perundang-undangan. Sementara Radbruch
juga
mengemukakan tiga ide dasar hukum
atau tiga nilai dasar hukum, masing-masing keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Namun, dalam penerapannya Radbruch menggunakan asas prioritas, dimana
prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, kemudian kemanfaatan, dan
yang terkhir adalah
kepastian hukum. [30]
Berdasarkan
beberapa pengertian dan konsep dari tujuan hukum tersebut di atas, maka
peraturan daerah yang merupakan produk perundang-undangan pemerintah daerah
bertujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia
dalam masyarakat, menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang
bersangkutan sehingga dengan demikian pada dasarnya peraturan daerah adalah
merupakan sarana komunikasi timbal balik antara Kepala daerah dengan masyarakat
di daerahnya, oleh karena itu setiap keputusan yang penting dan menyangkut
pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah yang tertuang dalam peraturan
daerah harus mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini juga sesuai
dengan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa :
(1)Masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan Perda.
(2)Persiapan
pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan.
Dengan
dilibatkannya masyarakat dalam proses pembuatan rancangan peraturan daerah,
maka diharapkan nantinya setelah rancangan peraturan daerah tersebut disahkan
menjadi peraturan daerah dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat
sehingga tujuan yang diingin dicapai dapat terwujud dan juga tidak ada hak-hak
masyarakat terabaikan.
C.
Konsepsi Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau
peraturan.Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self
sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya
dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the
condition of living under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah
yang memiliki legal self sufficiency yang
bersifat self government yang diatur
dan diurus oleh own laws. Karena itu,
otonomi lebih menitik beratkan aspirasi daripada kondisi. Koesoemahatmadja
berpendapat, bahwa: [31]
“Menurut perkembangan
sejarah di Indonesia otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur)”.
Dalam literatur Belanda
otonomi berarti “pemerintahan sendiri” (Zelfregering)
yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving
(membuat Undang- undang sendiri), zelfuitvoering
(melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak
(mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki
sendiri). [32]
Pengertian istilah
otonomi dengan pemaknaan yang lebih terbebas dari etimologinya, dikemukakan
oleh Logeman yaitu kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Namun
kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan
yang harus dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan pemerintahan
daerah, menghendaki pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk dan susunannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. [33]
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menentuka pengertian Daerah Otonom sebagai:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu,
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Rebuplik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai denagn
peraturan perundang-undangan.
Menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam, sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Sebagai akibat dari
pelaksanaan desentralisasi, timbullah daerah daerah otonom. Mula-mula otonom
atau berotonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai
hak/kekuasaan/ kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga
disebut hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan atau legislatif sendiri). Kemudian
arti istilah otonomi ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”.
Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang- undangan sendiri,
pelaksanaan sendiri, dan dalam batas batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian
sendiri. Dengan demikian daerah otonom adalah daerah yang berhak dan
berkewajiban untuk mengatur mengurus rumah tangganya sendiri.
Hal yang diatur dan
diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan
oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakannya sesuai
dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya sendiri.
Teknik yang dipergunakan
untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang mana
merupakan wewenang pemerintah daerah, adalah sebagai berikut:
1. Sistem Residu
Dalam sistem ini, secara
umum telah ditentukan terlebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang
pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Sistem
ini dianut oleh Negara Negara di daratan Eropa seperti Prancis, Belgia,
Belanda, dan sebagainya.
Kebaikan sistem ini
terutama terletak pada saat timbulnya keperluan keperluan baru, Pemerintah
Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dianggap perlu,
tanpa menunggu perintah dari pusat.
Sebaliknya sistem ini
dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan
yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang. Akibatnya bidang
atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi
daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang
kemampuannya terbatas.
2. Sistem Material
Dalam sistem ini, tugas
pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitativbe atau rinci. Di
luar dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat.
Sistem ini lebih banyak dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris
dan Amerika Serikat.
Cara ini kurang begitu
fleksibel karena, karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah baik yang
bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui prosedur yang
lama dan berbelit belit. Ini akan menghambat kemajuan bagi daerah mempunyai
inisiatif/prakarsa, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi
setiap urusan.
3. Sistem Formal
Dalam sistem ini, urusan
yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan
dalam atau dengan undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mengcakup urusan
yang telah diatur dan diurus oleh pemerintrah pusat atau pemerintah daerah yang
lebih tinggi tingkatannya, tidak boleh diurus atau diatur lagi oleh daerah.
Dengan perkataan lain, urusan rumah tangga Daerah dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4. Sistem Otonomi Riil
Dalam sistem ini,
penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada
faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil
dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat
yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini
didasarkan atas keadaan yang riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang
dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang
pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat
kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas
yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu
dapat diserahkan kembali pada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari
daerah.
Berdasarkan UU Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di atas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi ke dalam:
a. Daerah provinsi sebagai
daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi, terdiri dari
wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12(dua belas) mil laut yang diukur dari
garis pantai kearah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Daerah provinsi
yang dahulu disebut Provinsi daerah Tingkat I sekarang disebut Provinsi.
b. Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota yang bersifat otonom, yaitu Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi, berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sebutan Kabupaten Daerah
Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II yang berlaku selama ini diganti
dengan sebutan Kabupaten atau Kota.
Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah ada 3 (tiga) Prinsip yang dipakai yaitu:
a. Digunakan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
b. Penyelenggaraan asas
desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
c. Asas Tugas Pembantuan
dapat dilaksanakan di daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, daerah Kota dan Desa. [34]
Prinsip-prinsip tersebut
di atas menunjukkan bahwa khusus untuk Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, prinsip yang selama ini dijalankan yaitu asas
desentralisasi berdampingan dengan asas dekosentrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintah Daerah tidak berlaku lagi, karena penyelenggaraan asas
desentralisasi di daerah Kabupaten dan Daerah Kota dilaksanakan secara bulat
dan utuh.
2. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan dalam negara Republik Indonesia
telah diatur kerangka landasannya dalam Undang- Undang Dasar 1945, antara lain
adalah:
a. Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
b. Pasal 18 yang menyatakan :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
Provinsi, dan daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,yang tiap-tiap
Provinsi, kabupaten, mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang”.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ditetapkan antara lain :
1. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Provinsi dan Provinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
2. Di daerah yang bersifat otonom (streek and localerecht gemeenshapper) atau bersifat daerah
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-Undang.
3. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
perwakilan daerah oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas
dasar permusyawaratan.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan gambaran bahwa
besar dan luasnya daerah otonom, serta hubungan wewenang dengan Pemerintah
Pusat dan Daerah dibatasi dengan menghindari daerah-daerah otonom yang menjadi
negara dalam negara.
Namun demikian, walaupun Pasal 18 Undang-Undang dasar 1945 tidak
mengatur mengenai pemerintahan wilayah atau dekonsentrasi, sama sekali tidak
mengandung arti bahwa dekonsentrasi adalah sesuatu yang tidak perlu atau kurang
penting mengingat dekonsentrasi adalah mekanisme untuk menyelenggarakan urusan
pusat di Daerah. [35]
Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang sudah banyak
Peraturan Perundang-undangan yang diberlakukan yang mengatur mengenai
Pemerintahan Daerah, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Pembentukan Komite Nasional Daerah.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
c. Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44
Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Indonesia Timur.
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
e. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
(disempurnakan) tentang Pemerintahan Daerah.
f. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960
(disempurnakan) tentang DPRD-Gotong Royong dan Sekretariat Daerah.
g. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
h. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang
Desa Praja.
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan daerah.
j. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa .[36]
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat di era reformasi
kemudian mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berbeda
dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di
daerah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah melaksanakan asas
desentralisasi berdampingan asas dekonsentrasi, Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih mengutamakan desentralisasi.
Adapun pokok pikiran dalam penyusunan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :
a. Sistem ketatanegaraan
Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas
desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Provinsi,
sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
c. Pembagian Daerah di luar
Daerah Provinsi dibagi habis ke dalam Daerah otonom. Dengan demikian wilayah
administrasi yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat
dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
d. Kecamatan yang menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah,
sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kedudukannya diubah menjadi
perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.
Sejalan dengan waktu diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, tidak lama kemudian dibuatlah revisi Undang-undang Nomor 22 tersebut yang
menciptakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga tentang Pemerintah Daerah.
Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, di samping karena adanya Perubahan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan
beberapa Ketetapan dan Keputusan MPR.
Secara garis besar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur
lebih rinci atau detail mengenai kewenangan tiap daerah untuk mengurus
daerahnya masing-masing.seperti yang tertuang dalam dasar pemikiran
Undang-undang 32 Tahun 2004 dimana Pemerintah Daerah diharapkan lebih
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, serta
perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan.
Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara
adil dan selaras.
Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Negara.
D.
Tugas,
Fungsi, dan Kewenangan DPRD menurut Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004.
1.
Tugas
DPRD
merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana telah di atur dalam pasal 42
Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 sebagai berikut :
a. Membentuk
Peraturan Daerah (PERDA) yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. Membahas
dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c. Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,
peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d. Mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e. Memilih
wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
2.
Fungsi
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 41 merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah
kabupaten/kota, yang telah membagi fungsi DPRD Kabupaten/kota yaitu :
1.
Legislasi
Yang
dimaksud fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD
kabupaten/kota untuk membentuk peraturan daerah bersama bupati.
2.
Anggaran
Yang dimaksud dengan fungsi
anggaran adalah fungsi DPRD kabupaten/kota bersama-sama dengan pemerintah
daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran
untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD kabupaten/kota
3.
Pengawasan
Yang
disebut dengan fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/kota untuk
melakukan pengawasan terhadap anggaran pendapatan belanja daerah (APBD),
pelaksana undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan kepala daerah serta
kebijakan yang ditetapkan oleh daerah
3.
Kewenangan.
Dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahu 2004 Pasal 42 menerangkan bahwa DPRD mempunyai
kewenangan sebagaiman yang diatur oleh perundang-undangan sebagai berikut:
a. Memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
b. Memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah
c. Meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah
d. Membentuk
panitia pengawas pemilihan kepala daerah
e. Melakukan
pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah.
f. Memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yang membebani masyarakat dan daerah.
g.
E.
Teori Pengujian Peraturan perundang-undangan
Pengujian peraturan
perundang-undangan telah dikenal lama dalam berbagai tradisi hukum global (global legal tradition), sehingga ada
yang dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan ada pula istilah judicial review. Bilamana
diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingsrecht berarti hak
menguji, sedangkan Judicial review berarti
peninjauan oleh lembaga pengadilan. Dari
kedua istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, yaitu
kewenangan menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah Judicial review sudah secara spesifik
ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh lembaga pengadilan. Tidak
demikian dengan toetsingsrecht yang
dapat saja oleh otoritas lain di luar lembaga peradilan. [37]
1. Kewenangan Pengujian Terhadap Peraturan Perundang-undangan
a. Pengujian Terhadap Undang-Undang
Sebagaimana telah di bahas sebelumnya, bahwa yang
berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
adalah Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan tersebut diatur pada Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa:
Mahakamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Proses dan sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan sejak dari mengadili pada
tingkat pertama hingga tingkat terakhir yang putusannya bersifat final. Final
yang dimaksudkan disini berarti tidak ada upaya hukum lainnya terhadap/atas putusan tersebut.
Dasar kewenangan
Mahkamah Konstitusi juga dapat ditemukan pada Undang-undang No. 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan Kehakiman yang menentukan :
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final dalam hal menguji UU terhadap UUD 1945.
b. Pengujian
Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Di bawah
Undang.
Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atau yang dikenal dengan istilah executive act, sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Deerah. Lembaga yang
berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang ini adalah mahkamah Agung. Dasar kewenangan Mahkamah Agung ditentukan
pada Pasal 24A UUD 1945, yaitu:
Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perrundang-undangan dibawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undang-undang.
Lebih lanjut kewenangan MA dalam hal melakukan pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, juga diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman yang
menentukan bahwa:
Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap UU.
Kemudian kewenangan Mahkamah Agung lebih dijabarkan lagi
ke dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 31, yang menegaskan: [38]
1)
Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang;
2)
Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-udangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
3)
Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
4)
Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5)
Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
2.
Pengujian Norma Hukum
Menurut Jimly
Asshiddiqie dalam praktik dikenal adanya 3 macam norma hukum yang dapat di uji
atau biasanya disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya
sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan hukum, yaitu: [39]
a. Keputusan
Normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling).
b. Keputusan
Normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
c. Keputusan
normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.
Ketiga
bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat di uji kebenarannya melalui
mekanisme peradilan (justisial),
proses inilah yang disebut dengan Judicial
review atau pengujian oleh lembaga yudisial atau pengadilan. Seringkali
dalam praktek terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) dengan istilah judicial review, yang menganggap kedua-duanya
adalah identik. Sesungguhnya kedua-duanya terdapat perbedaan, yaitu: [40]
1.
Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan
perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan Judicial review tidak hanya menilai
peraturan perundang-undangan tetapi juga Legislative
act, executive act, administrative act dan judgement terhadap UUD.
2.
Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap
peraturan perundang-undangan tidak hanya di miliki oleh hakim, tetapi juga oleh
lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan Judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam
kasus konkret di pengadilan.
Sebutan
yang tepat tergantung kepada lembaga mana kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht
diberikan. Toetsingsrecht atau hak untuk menguji,
jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai lembaga legislatif, maka proses
pengujian demikian tersebut lebih tepat disebut sebagai Legislative review. Demikian juga jika kewenangan untuk menguji itu
diberikan kepada pemerintah, maka proses pengujiannya disebut sebagai executive review.
Dalam mengadili gugatan-gugatan
perkara tata usaha negara terhadap keputusan administrasi negara, para hakim
Amerika Serikat menggunakan istilah judicial
review. Begitu juga dalam sistem
yang berlaku di Inggris, istilah pengujia terhadap keputusan-keputusan
administrasi negara yang bersifat individual
and concrete (beschickking) disebut sebagai judicial review. Hanya saja, di inggris tidak dikenal adanya
mekanisme judicial review terhadap undang-undang (Legislative act) yang ditetapkan oleh parlemen.
Sebaliknya justru bangsa Amerika Serikat yang pertama mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang
buatan kongres, dimulai dengan putusan atas kasus marbury versus Madison pada
tahun 1803. [41]
3. Objek Pengujian
a. Produk Legislatif
(Legislative act)
Produk legisslatif adalah produk
peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan
rakyat baik sebagai legislator ataupun colegislator.
[42] Dalam
pembentukan undang-undang tersebut, DPR lah yang disebut sebgai legislator, sedangkan
pemerintah sebagai colegislator, karena setiap rancangan undang-undang untuk
ditetapkan menjadi sebuah undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden.
Pemerintah disebut sebagai
eksekutif, karena tugasnya melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh
lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang. Bahkan pemerintah
dalam arti yang lazim, meliputi semua lembaga negara dan pejabat negara yang
mendapatkan delegasi kewenangan dari undang-undang untuk melakukan suatu
kewenangan sebagai pelaksana undang-undang atau yang dikenal sebagai eksekutif.
Artinya, kedudukan suatu lembaga sebagai lembaga eksekutif di dasarkan pada apa
kewenangan yang ia peroleh dari delegasi kewenangan berdasarkan ketentuan
undang-undang. Oleh karena itu, lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan, dan lain sebagainya juga adalah
lembaga eksekutif. Semua lembaga eksekutif ini jika mendapat delegasi
kewenangan untuk membuat aturan atau untuk mengatur, dapat disebut sebagai self regulatory body dimana produk
pengaturan (regulasi) yang dibuatnya
dapat disebut sebagai executive
acts atau regulative acts,
dan bukan merupakan produk legislative (legislative
acts).
b. Produk Regulatif (Executive
Acts)
Produk regulatif adalah pengaturan (regulasi) oleh
lembaga eksekutif yang menjalankan peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif dengan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut
materi produk legislatif yang dimaksud ke dalam peraturan pelaksanaan yang
lebih rendah tingkatannya.
[43] Dalam hal ini sebagaimana dalam ketentuan Pasal 7 ayat
(1) UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan salah satu bentuk peraturan pelaksanaan adalah Peraturan Daerah.
4. Bentuk pengujian
a. Hak Menguji Formal
Hak menguji
formal (formele toetsingsrecht) adalah
wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya
terjelma melalui cara-cara prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.Pengujian secara formal biasanya terkait dengan
soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya.[44]
Hak menguji
secara materil (materiele toetsingsrecht)
adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasan tertentu (verordenendemacht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian secara meteril berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
[46]
Ketentuan
mengenai pengujian materil ini juga dapat dilihat pada Pasal 51 UU No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
(1)
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.
badan hukum
publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.
(2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a.
pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau
b.
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
F.
Kewenangan Pengujian PERDA
1.
Pengujian Perda Oleh Mahkamah Agung (Judicial Review)
Mahkamah
Agung merupakan lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diberi
kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Bila dikaitkan
dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
7 UU Pembentukan Peraturan Perundangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan
menguji:
1. Peraturan Pemerintah;
2. Peraturan Presiden; dan
3. Peraturan Daerah.
Landasan
hukum kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat melakukan pengujian terhadap tiga
jenis peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga
UUD 19454, kemudian Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah
undang-undang dapat dibatalkan, yaitu:
1.
karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil); atau
2. pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku (aspek formil)
Untuk melaksanakan kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti
dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam Perma ini kewenangan pengujian oleh Mahkamah
Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil
peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap
materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung
tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk Perda.
Dalam menjalankan
kewenangannya itu, Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu
suatu permohonan sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan
terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah
Agung baik secara langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri
yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Ukuran
yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku. Bila suatu Perda yang dimohonkan bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan
memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda
tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali
(PK).
Perda
atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan
keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 hari
pengundangan peraturan tersebut. Hal lain yang perlu dicermati adalah tidak diaturnya
batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh
Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim
dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim
untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Dengan menumpuknya perkara kasasi
di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung
pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama.
2. Pengujian Perda
Oleh Pemerintah (Executive Review)
Pengujian
Perda oleh Pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht)
dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan
Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) Pemerintahan Daerah. Dalam
rangka pengawasan terhadap daerah, UU No.32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa
Perda yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada
Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan
pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Kemudian
pada Pasal 145 ayat (2) menentukan bahwa:
(1)
Perda disampaikan kepada Pemerintah paling
lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2)
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3)
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut Perda dimaksud.
(5)
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(5) (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(6)
Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan
Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Dalam rangka executive
review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif terhadap
Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif terhadap
Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang
Provinsi dilakukan oleh Pemerintah (Pusat). Selanjutnya pengawasan represif
dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh Pemerintah Daerah,
termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif. Dengan
demikian dimungkinkan dalam satu Perda dilakukan dua pengawasan tersebut.
Berbeda dengan judicial
review Perda yang dilakukan oleh satu lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, executive
review Perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan melalui
beberapa lembaga negara departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen
Keuangan terhadap Perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap
Perda Tata Ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap Perda yang
bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian perda oleh
pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen
Dalam Negeri selaku “pembina” Pemerintah Daerah.
UU No.32 Tahun 2004
menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah Pusat, namun
dalam pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu
yang lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi
pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah.
Standar pengujian Perda oleh
Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahakamah
Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda
bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur
pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah
melakukan pengujian perda dilakukan dengan standar yang lebih luas. Dikatakan
lebih luas karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan
hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar
kepentingan umum.
Kepentingan umum
adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian
terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam
jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal
136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 tentukan bahwa :
Yang dimaksud dengan ‘bertentangan
dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat
terganggunya kerukunan antar
warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan
yang bersifat diskriminatif.”
Bentuk hukum pembatalan
Perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004
adalah Peraturan Presiden. Namun dalam praktiknya, Pembatalan Perda sepanjang
ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri).
Dengan demikian, pembatalan Perda melalui (Kepmendagri) merupakan sebuah
kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk
membatalkan perda harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri. Lagi pula
sangat janggal karena perda yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan
oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking. Setidaknya,
Kepmendagri yang membatalkan Perda tersebut belum final sebagai keputusan
pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan
atau dikemas ulang dalam bentuk Perpres. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan
Perpres untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Aan Seidman, Penyusunan Rancangan
Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, Jakarta:ELIPS, 2002. Makassar:Perpustakaan FH-UH, 2010.
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas
Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta:P.T. Radja Grafindo Persada, 2005.
Abdul latif, Pembentukan Peraturan
perundang-undangan Indonesia, Makassar:
PT.UMI TOHA,Ukhuwah Grafika, 1997.
Abd. Malik Magola, Tesis “Partisipasi
Masyarakat Adat Dalam Pembentukan Perda no. 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan
Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah
Pemerintahan Provinsi Maluku,
Ali,Achmad, Menguak
Tabir Hukum,
Jakarta: Chandra Pratama,1996.
Bachan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Bandung: Alumni,
1985.
Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan
Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Press,1994.
C.S.T. Kansil dan
Christine S.T. Kansil , Sistem pemerintahan
Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara,2003.
Djoko Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan
Daerah dan beberapa Proses Penyempurnaannya,Jakarta:Halia Indonesia, 1985.
Irawan Suujito, Teknik Membuat Peraturan Daerah,
Jakarta: Yayasan
Karya Dharma IIP,1978.
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan
Di Indonesia, Bandung:P.T. ALUMNI, 2008.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006.
------------------------,
Model-Model Pengujian Kostitusional Di
Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005.
Krhisna
D. Darumurti dan Umbu Rauta, Trias
Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan Dan Pelaksanaan, Bandung:
Citra Adhitya bhakti, 2003.
K. Wantjik Saleh, Perkembangan
Perundang-undangan, Jakarta: Ikhtiar,
1973.
Muh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1981.
M. Soly Lubis, Landasan Dan Teknik
Perundang-Undangan, Bandung: Alumni,
1977.
O.Notohamijojo, Makna Negara Hukum,Jakarta:Badan Penerbit Kristen, 1970.
Ridwan, HR, Hukum
Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2006.
R. Sri Soemantri
Martosoewignjo, Hak Menguji Materil Di
Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 1982.
Romi
Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, Makassar: PuKAP-Indonesia, 2008.
Sarundajang, Pemerintahan Daerah Di Berbagai Negara, Jakarta:Pustaka Sianar
Harapan, 2000.
SF.
Marbun, Peradilan Administrasi dan upaya
Administratif di Indonesia, yogyakarta: UII Press, 2003.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU
No.14 Thn 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU
No.2 Thn 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999
tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004
[1] Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Jakarta:Konstitusi Press, 2000, hlm. 4.
[2] Ibid., hlm. 7.
[3]I Gde Pantja Astawa dan Suprin
Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu
Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung:P.T. ALUMNI, 2008, hlm. 69.
[4]
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makassar: PuKAP-Indonesia, 2008, hlm.
61-63.
[5] SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan upaya
Administratif di Indonesia, yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 50.
[6] Ibid.,hlm.50.
[7] Ridwan, HR, Hukum
Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2006, hlm. 73.
[10] Krhisna
D. Darumurti dan Umbu Rauta, Trias Otonomi
Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan Dan Pelaksanaan, Bandung: Citra
Adhitya bhakti, 2003, hlm. 43.
[12] Irawan
Suujito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Jakarta: Yayasan Karya Dharma IIP,1978, hlm. 3.
[15] Abdul
latif, Pembentukan Peraturan perundang-undangan Indonesia, Makassar: PT.UMI TOHA,Ukhuwah
Grafika, 1997, hlm. 2.
[19] Muh.
Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1981, hlm. 8.
[20] Djoko
Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan beberapa Proses
Penyempurnaannya,Jakarta:Halia
Indonesia, 1985, hlm. 44.
[21] Ibid., hlm. 45.
[22] Ibid., hlm. 46.
[23] Ibid., hlm. 47.
[24] Abdullah
Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Jakarta:P.T. Radja
Grafindo Persada, 2005, hlm. 133.
[25] Abd.
Malik Magola, Tesis “Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Pembentukan Perda no.
14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, Makassar:Perpustakaan FH-UH, 2010,
hlm. 71.
[26] Aan
Seidman, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang
Demokratis, Jakarta:ELIPS, 2002,
hlm. 214.
[28] Djoko
Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan beberapa Proses
Penyempurnaannya,Jakarta:Halia
Indonesia, 1985, hlm. 44.
[30] Ibid., hlm. 95.
[31] Sarundajang,
Pemerintahan Daerah Di Berbagai Negara, Jakarta:Pustaka
Sianar Harapan, 2000, hlm.33.
[35] Bagir Manan, Hubungan
Antara Pemerintahan Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan Press,1994, hlm. 160-161.
[36] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil , Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT.
Bumi Aksara,2003.
[37]I Gde Pantja Astawa dan Suprin
Na’a, op.cit, hlm. 117.
[38]I Gde Pantja Astawa dan Suprin
Na’a, op.cit, hlm. 124.
[39] Jimly Asshiddiqie, Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 1.
[40]I Gde Pantja Astawa dan Suprin
Na’a, op.cit, hlm. 120.
[41] Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005,
hlm. 24-25.
[43] Ibid., hlm. 39.
[44] R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 1982, hlm.
5-6.