TEORI
PEMIDANAAN
A. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan
bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Pemidanaan
sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara
normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi
positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini
disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah
berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang
lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan
di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai
upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku
kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan
serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila
melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :
1. Pemberian
pidana oleh pembuat undang-undang;
2. Pemberian
pidana oleh badan yang berwenang;
3. Pemberian
pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Pada sat
ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana
yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun
1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang
ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP , UU No. 16 Prp
tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang
perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.
Meskipun
Wetboek van Strarecht peninggalan
penjajah belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem
pemidanaannya masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik
pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.
Dalam
masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai
dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :
1. Bahwa
orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam
tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari
kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana
juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
2. Bahwa
selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali
bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.
Dalam KUHP penjaTuhan pidana pokok
hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu
pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang
bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana pokok yang diancamkan pada
pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau
lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti
penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem
KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjaTuhan
pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (30) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian
anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya).
Mengenai
maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima belas tahun dan hanya boleh
dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara teratas
adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai
maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati
menjadi satu tahun empat bulan, dalam
hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena
ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada
beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan
secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan
itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :[1]
1. Teori
absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien).
2. Teori
relatif atau teori tujuan (doel theorien).
3. Teori Gabungan
(vernegins theorien).
B.
Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
1. Teori
absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien).
Aliran
ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk
pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini dikenal pada
akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel,
Herbart, Stahl, dan Leo polak.
Menurut Kant mengemukakan bahwa
pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak
menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan
pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.[2]
Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada
aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu
negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap
pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.
Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa :[4]
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan(sebagai these). Jika seseorang melakukan
kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan
adanya hukum (anti these), oleh karna
itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(synthese) atau mengembalikan suatu
keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)
Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan
menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat
dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica
harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.
2. Teori
Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori
ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak
pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa
mempertahankan ketertiban masyarakat (de
handhaving der maatshappeljikeorde).
Mengenai
cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari
teori tujuan yaitu prevensi khusus
dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa
pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku
terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri
terpidana itu sendiri dengan harapan agar si terpidana dapat berubah menjadi orang yang
lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh
pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak
melakukan tindak pidana.
Teori-teori
yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh
Lamintang sebagai berikut : [6]
a. Teori-teori
yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua
warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan ataupun
pelanggaran-pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum pidana.
b. Ajaran
mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm
Fuerbach. Menurutnya ancaman hukuman itu harus harus dapat mencegah niat orang
untuk melakukan tindak pidana, dalam arti apabila bahwa orang melakukan
kejahatan mereka pasti dikenakan sanksi pidana, maka mereka pasti akan
mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.
Adapun menurut Van Hamel bahwa teori pencegahan umum ini ialah pidana
yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat jahat.[7]
a. Pidana
adalah senantiasa untuk pencegahan khusus, yaitu untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan
niatnya.
b. Akan
tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana,
maka penjaTuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering).
c. Apabila
bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjaTuhan pidana
harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
d. Tujuan
satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat.
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Di samping teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan,
muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan
unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini
muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif,
kelemahan kedua teori tersebut adalah: [9]
Kelemahan
teori absolut adalah:
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan
tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
b. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan
teori relatif adalah :
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan
dengan keadilan.
2. Kepuasan
masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki
sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit
dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik
beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi
seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh
Pompe Pompe menyatakan :[10]
Orang tidak menutup mata
pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain,
tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana
adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi
itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan
kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan :[11]
”Pidana” bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Sementara ”tindakan” bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan
mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan
keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi
masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat
diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan
oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap
pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum.
Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. [12]
Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pertahanan
tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat dari pada yang
ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang
seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan
terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela,
pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah
melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum,
bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara
ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang
ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.
Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.[13]
Terlepas
dari berbagai teori di atas, penulis juga mengemukakan beberapa teori terkait
tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai pakar ilmu hukum. Menurut
Remmelink hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri, tetapi ditujukan juga
untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk
sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa
inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah 3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan
Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General Deterrence.[14]
Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:
Teori Pemidanaan 1D+3R
1. Reformation, berarti memperbaiki
atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.
Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika
penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain
seperti pencegahan.
2. Restraint
berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar
hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada juga kaitannya dengan sistem
reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam
penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan pendorong
dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur hidup dan
pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.
3. Retribution, yakni pembalasan
terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak
dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat
yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang
menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu
membuat magna carta bagi penjahat (Magna
Charta For Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana, memang sulit
dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.
4. Deterrence, yakni menjera atau
mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang
potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan,
melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini
mengatakan bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan mencegah orang lain melakukan kejahatan
terpidana dikorbankan untuk menerima pidana itu.
Selain
remmelink dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi
Dalam Hukum Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan.
Menurutnya pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur, yakni:[15]
1.
Pemidanaan harus mengandung semacam
kehilangan (deprivation) atau
kesengsaraan (distress) yang biasanya
secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama
ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek
yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara
actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena
mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum
yang berlaku secara sah.
2.
Setiap pemidanaan harus datang dari institusi
yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi
alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku
personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan
tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan
penderitaan.
3.
Penguasa yang berwenang berhak untuk
menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja
melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga
ini memang mengundang pertanyaan tentang hukum kolektif, misalnya embargo
ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun
demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang
berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.
C.
Jenis-Jenis
Pidana
Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua)
jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.
Pidana Pokok
a.
Pidana mati;
b.
Pidana penjara;
c.
Pidana kurungan; dan
d.
Pidana denda.
2.
Pidana Tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu;
b.
Perampasan barang-barang tertentu;dan
c.
Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari
jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang
diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan
pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan
biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini
terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal
250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan
pidana pokok dan pidana tambahan adalah
sebagai berikut :
a.
Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan
kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu
terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini
ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.
Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan
sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini
adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan
terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis,
261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c. Mulai
berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi
melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis
dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1) Pidana Pokok
a.
Pidana Mati
Sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu :
“Pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantunngan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di
dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak
yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124
ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4)
KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana
mati juga tercantum dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan
Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan
kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar
wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,
dan Pasal 14).
Apabila
terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan
setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa
penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan
grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga
memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950
tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)
Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan
maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30
hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak
dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam
pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30
hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan
kepada terpidana.
2)
Jika terpidana dalam tenggang waktu yang
tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut
dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan
perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim
atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8
ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan
penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)
Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan
sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan
demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun
terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati
ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
b. Pidana Penjara
Menurut
Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang
berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan
kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa
pengasingan.[16]
Pidana
seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya
(pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan
P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa :[17]
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan
mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib
bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan
adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa
hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan
dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik,
dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan
lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang
dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :[18]
Pidana penjara disebut
pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak
merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu
seperti :
1)
Hak untuk memilih dan dipilih (lihat
Undang-undang Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya
ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2)
Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya
ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik;
3)
Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan.
Dalam hal ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4)
Hak untuk mendapat perizinan-perizinan
tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris,
dan lain-lain);
5)
Hak untuk mengadakan asuransi hidup;
6)
Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum
perdata;
7)
Hak untuk kawin, meskipun adakalanya
seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan
luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka; dan
8)
Beberapa hak sipil yang lain.
c. Pidana Kurungan
Sifat
pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan
jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan
bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah
lembaga Pemasyarakatan.
Pidana
kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini
ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan
oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati
urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai
mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika
ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52
dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali
tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
Menurut
Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai
dua tujuan, yaitu:
1)
Sebagai custodia
honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan,
yaitu delic culpa dan beberapa delic
dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana
(Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang
dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)
Sebagai custodia
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan
demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana
pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu
penempatan di tempat kerja negara.[19]
d. Pidana Denda
Pidana
denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara,
mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang
telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar
sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang
dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :[20]
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I
dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun
bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik
satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja,
atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena
itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun
denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini
secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
2)
Pidana
Tambahan
Pidana
tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan,
tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut
Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan
bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :[21]
1)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di
samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai
pidana satu-satunya.
2)
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan
apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai
ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)
Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan
tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4)
Walaupun diancamkan secara tegas di dalam
perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini
adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau
tidak.
Pidana
tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga
sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana
tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut
ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan
suatu putusan pengadilan adalah:
1)
Hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu;
2)
Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)
Hak menjadi penasehat atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)
Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam
hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim
menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1)
Dalam hal pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)
Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu
atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)
Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan
paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada
hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang
memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus
ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b. Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana
perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan,
seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang
tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1)
Barang-barang kepunyaan terpidana yang
diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dapat dirampas;
2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang
tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan
putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3)
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang
yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas
barang-barang yang telah disita.
Perampasan
atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan
apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam
putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari
dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika
barang-barang yang dirampas diserahkan.
c.
Pengumuan
Putusan Hakim
Pengumuman
putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila
hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini
atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan
hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana
tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan
agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang
pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan
berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di
dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana
tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1) Menjalankan
tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam
waktu perang.
2)
Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan
barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena
alpa.
3)
Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan
orang lain luka atau mati.
4)
Penggelapan.
5)
Penipuan.
6) Tindakan
merugikan pemiutang.
[1]
Adami Chazawi, op.cit. hlm. 153.
[2]
Ahmad Nindra Ferry, 2002, Efektifitas
Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar.
Perpustakaan Unhas, Makassar, hlm. 23.
[3]
Adami Chazawi, op.cit. hlm. 155.
[4]
Ibid. hlm. 156.
[5]
Ibid.
[6]
Ahmad Nindra Ferry. Op.,cit. hlm. 25.
[7]
Adami Chazawi. Op.,cit. hlm. 158
[8]
Ibid., hlm. 162.
[9]
Koeswadji, Hermien Hadiati. 1995. Perkembangan
Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung, hlm. 11-12.
[10]
Andi Hamzah., op.cit., hlm.36.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 37.
[13] Ibid.
[14]
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah. Pengantar
Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta. 2010, hlm.
[15]
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana “ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”. PT. Raja
Gravindo Persada. Jakarta., hlm. 70-71.
[16]
Andi Hamzah. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramita.
Jakarta. hal. 36.
[18]
Andi Hamzah. Op. Cit. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia.
hal. 38.
[19]
Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 48-49.
[20]
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung. Hlm . 712.
[21]
Hermien Hardiati Koeswadji, 1980. Kejahatan
Terhadap Nyawa, Asas-asas kasus dan
permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. hal. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar