BAB I
RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Sifat Dan Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Agraria
Politik
hukum pertanahan pada jaman HB dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan
untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat
prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan
golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.
Menurut
Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak
adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan
setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.
Hukum
agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal
33 ayat 3).[1]
UU No. 5 Tahun 1960 mengatur:
UU No. 5 Tahun 1960 mengatur:
1.
Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan BARA+K (bumi, air, ruang
udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) yang terkandung di
dalamnya.
2.
Hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya.
Atas dasar hak menguasai tersebut maka negara
dapat:
a.
Menentukan bermacam-macam hak atas tanah.
b.
Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c.
Membuat perencanaan/planning mengenai penyediaan, peruntukan dan
penggunaan BARA+K yang terkandung di dalamnya.
d.
Mencabut hak-hak atas tanah untuk keperluan kepentingan umum.
e.
Menerima kembali tanah-tanah yang:
1)
ditelantarkan
2)
dilepaskan
3)
subyek hak tidak memenuhi syarat
f.
Mengusahakan agar usaha-usaha di lapangan agraria diatur sedemikian rupa
sehingga meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat.
Tujuan diberikannya hak
menguasai kepada negara ialah: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara
untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
BARA+K.
3.
Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri dan badan hukum dengan BARA+K
yang terkandung di dalamnya.Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak
yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di
atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
[1] Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[1] Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
B. Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia
Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional
2. Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3. Meletakkan dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA
tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu
cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria.
Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi
persyaratan ilmiah yaitu:
1. Persyaratan obyek materiil Yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
2. Persyaratan obyek formal Yaitu UUPA
sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional.
Berdirinya cabang ilmu hukum agraria
kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan, karena:
1. Persoalan agraria mempunyai arti
penting bagi bangsa dan Negara agraris.
2. Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan
memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.Disamping masalah agraria
yang mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan
persoalan perseorangan.
C.
Landasan Hukum Agraria
Landasan Hukum Agraria islah ketentuan Pasal 33
ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria
nasional.
Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
1.
Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi
pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan
maupun secara gotong-royong”
2.
Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum agraria nasional
harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita
Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada
ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada
haluan Negara….”
Pengaturan keagrariaan atau
pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin
penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila
dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan
dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran,
kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.
D. Pengertian Tanah dan Hukum
tanah / Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa
bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah .agrarius
berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa
Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan
pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan
dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu
meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua
kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara
dan air sekaligus sebagai penopang akar.
Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar
untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat,
tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu
merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah
atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja
atau pertanian
Hukum agraria dalam arti luas ialah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Hukum agraria memberi lebih
banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai
hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah.
Definisi hukum agraria menurut para ahli :
- Mr. Boedi Harsono ,Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
- Drs. E. Utrecht SH, Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.
- Bachsan Mustafa SH, Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan
- Subekti menjelaskan bahwa “Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria.
- Menurut Lemaire, hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
- S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.
E. Azaz-azaz Hukum Agraria
- Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang
menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik
atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang
angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama
warga Negara baik asli maupun keturunan.
- Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA).
- Asas hukum adat yang disaneer
Yaitu bahwa hukum adat yang
dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan
dari segi-segi negatifnya
- Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang
lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)
- Asas kebangsaan atau ( demokrasi )
Yaitu suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap WNI baik asli maupun keturunan berhak memilik hak
atas tanah
- Asas non diskriminasi ( tanpa pembedaan )
Yaitu asas yang melandasi
hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun
keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak
artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
- Asas gotong royong
Yaitu asas yang melandasi
hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun
keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak
artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.Bahwa segala usaha
bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong
royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan
usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
- Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan
dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum
agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
- Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang
memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau
bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas
vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu
suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang
merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu
artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan
benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
BAB II
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN TERHADAP
KEBIJAKSANAAN HUKUM PERTANAHAN
1. Zaman
Belanda
Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan
/ perbuatan yang dilakukan pemerintah. Politik tersebut dimulai pada tahun 1830
(Perang Napoleon di Eropa) diantara politik yang diterapkan oleh bangsa-bangsa
Barat antara lain :
a.
Cultuure
stelsel
b.
Agrarische
Wet
c.
Agrarische
Besluit
Dalam perkembangannya antara Agrarische
Wet dan Agrarische Besluit ada
yang mengatakan domein verklaring. yang dikatakan Domein verklaring adalah dijelaskan pada pasal 1 Agrarische wet
menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan atas kepemilikan
(Eigendom/eigenaar). Oleh karena itu UU
atau Agrarische wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda tersebut hukum belanda
tersebut berisi ketentuan–ketentuan yang sangat berpihak kepada kepentingan –kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada
juga melindungi kepentingan orang Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :
1.
Memberi
kesempatan bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak eigendom agraris atas
tanahnya sehingga dapat dihipotikkan.
2.
memperbolehkan
rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk rakyat yang berekonomi lemah
mendapat perlindungan terhadap orang yang berekonomi kuat.
Secara
global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada modal asing untuk
berkembang di Indonesia dengan hak erfracht
(HGU) selama 75 tahun, tanah dengan hak opstal
(HGB). Hak sewa, hak pinjam pakai.
Jadi
jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan hak tersebut adalah
pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik tanah.
Domein
verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu membuktikan haknya dalam
proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang selalu membuktikan haknya itu.
Jadi nyata ketentuan yang selalu membebankan kewajiban pembuktian kepada rakyat
itu, artinya tidak mempunyai keadilan. Oleh karena itu pernyataan domein
verklaring tahun 1870 tidak dapat dipertahankan lagi dalm NKRI. Sesungguhnya
dalam pembelian hak atas tanah negara, negara tidak perlu bertindak sebagai
eigenaar (kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang kepadanya untuk berbuat
sesuatu kepada penguasa atau overheid, UUPA berpendapat sama dengan ini
terlihat dalam pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan didalam pasal
33 UUD 1945 tidak ada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah dan
adalah lebih tepat jika negara bertindak sebagao badan penguasa begitu juga
dalam larangan pengasingan hak atas tanah ditegaskan dalam Stb. 1875 Jo no. 179
menegaskan segala perjanjian yang bertujuan penyerahan atas tanah maka
dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam kenyataannya Belanda melakukan
pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat jelas sekali politik hukum
agraria yang pernah diterapkan di indonesia jelas tidak memihak kepada rakyat
tetapi sangat menguntungkan kepada perusahaan – perusahaan swasta belanda yang
ada di Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu setelah 17 Agustus 1945
pemerintah di indonesia berusaha merobah sestem hukum agraria belanda dengan
menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha ini baru berhasil dengan
keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15 tahun indonesia merdeka dalam
pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945
sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat indonesia.
Dengan
demikian kesimpulan tentang hukum pertanahan :
- Tanah-tanah ulayat (rakyat) menimbulkan masalah yang berkepanjangan dengan tanah yang telah di HGU kan.
- Maksud yang terkandung dalam pasal 33 ayat 3 banyak yang telah disalah gunakan artinya oleh pemerintah.
- Politik pertanahan belanda sampai sekarang ± ¼ abad tidak menjamin hak-hak rakyat atas tanah malah menghilang lenyapkan hak atas tanah.
- Kiranya perlu ada suatu politikal will (kebijakan) dari pemerintah terhadap eksistensi tanah adat yang dituangkan dalam peraturan per UU an dan dihilangkan apa yang disebut security approach.
- UUPA no.5 tahun 1960 dibandingkan dengan UU kehutanan No. 5 tahun 1967 pada UUPA mengakui adanya hak rakyat sedangkan UU kehutanan tidak megakui yang hanya diakui adalah 2 hutan :
a. Hutan milik
b. Hutan negara
Penjabaran
UUPA yaitu pada PP no. 10 tahun 1961, PP 24 1997 mengenal adanya pendaftaran
tanah sementara UU kehutanan tidak mengakuinya. Pemerintah daerah sudah saatnya membuat PERDA untuk
mempertahankan hak-hak rakyat (Permenag) UU no. 5 tahun 1999 untuk
menyelesaikan tanah – tanah ulayat baik ditingkat propinsi maupun ditingkat
kota. Oleh karena itu melakukan pendaftaran tanah perlu pedoman umum untuk
penggunaan tanah :
1.
PMDN
No. 15 tahun 1975 didalamnya termasuk pembebasan hak atas tanah.
2.
Keppres
No. 5 tahun 1993 tentang pembebasan tanah dan penyerahan hak atas tanah.
2.
Perkembangan Pasca Kolonial
Pada
tahun 1950 arah kebijakan kolonial belanda sudah dikatakan berobah dari tahun
sebelumnya karena para ahli hukum kita mulai belajar di negara belanda itu
sendiri, itupun berbagai cara dilakukan oleh bangsa belanda untuk menarik
ahli-ahli hukum indonesia agar mau menambah ilmu pengetahuan di negara belanda
walaupun dengan secara halus dan lain sebagainya, karena politik belanda
sebelumnya datang ke Indonesia bukan untuk menjajah namun belanda datang ke
Indonesia adalah untuk berdagang, namun pada tahun 1602 terjadi persaingan
dagang antara Inggris, perancis dan jepang tapi karena belanda duluan yang
menjajah di indonesia maka belandalah menerobos ke dalaam sistem tatanan hidup
bermasyarakat. Sehingga VOC yang pada mulanya sebagai serikat dagang akhirnya
bermaksud untuk yang lainnya, diantara tugas VOC itu ialah :
1.
Mengurus
anak – anak negeri
Untuk itu belanda
membuat KUHD yang kita kenal dengan WvK (Wet
boek van Kopenhandle). WvK dibentuk tidak lain adalah untuk kepentingan
dagang di indonesia, maka politik dagang yang muncul berobah menjadi politik
etik, karena:
a. Balas jasa bertujuan agar dapat mengeruk keuntungan
belanda membuat bangunan untuk bumiputra sebagai uang pelicin.
b. Karena dilihat dari segi politik hukum. Dengan
demikian pula dapat kita lihat untuk melancarkan program – program kolonial
maka tahun 1929 dibuatlah adat recht oleh Van vollen Hoven. Sedangkan pada
tahun 1931 dibuat KUHP berlaku untuk orang eropa daratan, tahun 1938 dibuat
KUHP untuk orang belanda sedangkan tahun 1948 dibuat KUHP untuk orang
indonesia.
2.
Kalau
kita hubungkan Domein verklaring dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan peraturan
menteri agraria no. 5 tahun 1999 menjelaskan :
1.
Pelepasan
hak atas tanah, UU no. 20 /1961
2.
Penyerahan
hak atas tanah, Keppres no. 55 / 1963
3.
Pencabutan
hak atas tanah, pasal 18 UUPA sedangkan untuk tanah – tanah rakyat yang
dikuasai oleh pemerintah harus di HGU- kan dan tanah – tanah tersebut bisa
dikembalikan kepada rakyat berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
BAB III
HUKUM
TANAH SEBAGAI SUATU SISTEM HUKUM
Hukum Agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) digunakan dalam arti yang
sangat luas. Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang
tercantum dalam konsideransnya, pasal-pasal dan penjelasannya dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal
48, bahkan meliputi juga ruang angkasa.
Dalam pemakaian sebutan agraria dalam arti
yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya
merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok
berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak atas sumber-sumber
daya alam tertentu.
Hukum tanah bukanlah mengatur tanah dalam
segala aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridis yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem yang disebut hukum tanah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah itu pun dapat
dipelajari dengan menggunakan suatu sistematika yang khas dan masuk akal.
Menurut Lichfield (Harsono 2002:17) bahwa bagi seorang sarjana hukum,
tanah merupakan suatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa
yang ada di atasnya, buatan manusia yang disebut “Fixtures”. Biarpun demikian perhatian kita lebih tertarik pada
pemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatian hukumnya
bukan tenahnya melainkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan
tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka
hukum dan institusionalnya, pemindahan serta pengawasannya oleh masyarakat.
Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah
keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum mengenai tanah yang dikuasainya
atau dimilikinya. Untuk diketahui bahwa hukumnya dapat ditemukan pada Pasal 4
ayat 1 UUPA. Dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, ditentukan :
“Atas dasar hak menguasai dari negara
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan bahwa adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang lain serta badan hukum”.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau
dimanfaatkan. Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak
akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan
bumi saja. untuk keperluan-keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan
juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang di bawahnya dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya. Oleh karena itu, bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi
yang bersangkutan yang disebut tanah tetapi juga tubuh buni yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
Dengan demikian makna yang dipunyai dengan
hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan
bumi. Tetapi memang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas
hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah air
serta ruang yang ada di atasnya.
Tubuh bumi dan air serta ruang yang
dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia
hanya dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut undang-undang pokok agraria dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
- Hak-hak Masyarakat Atas Tanah
Hak atas tanah merupakan hubungan hukum
antara subjek hak dengan suatu bidang tanah tertentu (Salindeho, 1988:164)
beliau melanjutkan bahwa hubungan hukum inilah yang disebut hak atas tanah, di
mana ia berisikan wewenang dan kewajiban. Sehubungan dengan masalah penataan
ruang kota, hak-hak masyarakat atas tanah dapat dibedakan atas hak ulayat
masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
a. Hak
Ulayat masyarakat hukum adat
Hak
Ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yang menyatakan :
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Hak ulayat merupakan serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam lingkungan masyarakat
hukum adat, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.
Menurut Harsono (1999:272) hak ulayat
merupakan suatu hubungan konkret yang pada mulanya diciptakan oleh nenek moyang
atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan kepada
orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum
sudah ada sebelumnya karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan
satu-satunya yang mempunyai hak ulayat.
C.C.J. Maasen dan A.P.G. Hens
sebagaimana dikutip oleh Nomadyawat (1995 : 43) merumuskan bahwa :
Hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya
untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan
membayar kerugian kepala desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut
campur dengan pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap
perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu :
unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk
mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama, termasuk bidang
hukum publik. Unsur kewenangan yang termasuk dalam bidang hukum publik tersebut
pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan
para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Harsono,
1999:171-172).
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada
dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum, baik yang sudah dimiliki oleh
seseorang maupun yang belum. Berkenaan dengan hak ulayat, Gautama (Hammar,
2001:37) menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat diakui, di samping itu juga
dibatasi, dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan di Republik Indonesia.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 1999 tentang pedoman penyelesaian
masalah hak ulayat masyarakat adat, pada intinya mengakui adanya ulayat
masyarakat hukum adat, dan dipandang perlu didaftarkan.
Dalam masyarakat hukum adat, selain hak
ulayat ada pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini bersumber dari hak
ulayat. Antara hak ulayat dan hak perseorangan selalu ada pengaruh timbal
balik. Makin sering usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah,
makin eratlah hubungan dengan tanah dan makin kuat pula haknya atas tanah
tersebut.
Eksistensi hak ulayat dalam hukum tanah
nasional tetap diakui, jika menurut kenyataannya masih ada. Artinya bila dalam
kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan
tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Meskipun eksistensi hak ulayat diakui,
namun pelaksanaannya dibatasi. Sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
lebih rendah.
b. Hak-hak
Atas Tanah Menurut UUPA
Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya
dan macamnya hak-hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat
(1) dan Pasal 53.
Pasal
4 ayat (1) dan (2) bunyinya sebagai berikut :
(1) Bumi
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai maksud dalam Pasal 2, dinyatakan adanya
bermacam-macam hak atas permukaan oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang
ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.
Hak-hak
atas tanah sebagai hak individual terdiri atas hak yang sifatnya permanen dan
hak yang bersifat sementara. Hak atas tanah yang sudah pasti itu diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak sewa. Sedangkan hak
atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 yaitu hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.
- Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah
Dalam kepustakaan hukum dikenal dua jenis
sarana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang sifatnya preventif
dan represif.
Menurut Hadjon (Hammar, 2001:42) pada
perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian perlindungan hukum yang
preventif bertujuan mencegah terjadi sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindakan pemerintah yang
tidak didasarkan pada ketentuan aturan yang berlaku. dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Perlindungan terhadap pemegang hak-hak atas
tanah yang bersifat preventif berupa sosialisasi dalam bentuk penyebarluasan
melalui media cetak, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, musyawarah
yang terbuka dan demokrasi serta penggantian yang layak.
Secara filosofi, yuridis dan sosiologis
perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada konsepsi hak asasi manusia
sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab XA dinyatakan bahwa :
-
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak milik (Pasal
23)
-
Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup baik dan sehat (Pasal 28)
-
Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 32).
-
Identitas budaya masyarakat
tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman (Pasal 41).
-
Hak warga negara untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi (pasal 42).
-
Perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab pemerintah
(Pasal 43).
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa :
-
Setiap orang berhak atas
pengeluaran, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).
-
Dalam rangka penegakan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah (Pasal 6 ayat
1)
-
Identitas budaya masyarakat
hukum adat, termasuk atas hak tanah ulayat dilindungi selaras dengan
perkembangan zaman (Pasal 6 ayat 2).
-
Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 9 ayat 3).
-
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hal miliknya
(Pasal 29 ayat 1).
-
Tidak seorang pun boleh
dirampas miliknya dengan ewenang-wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat
2).
-
Pencabutan hak milik atas
suatu benda dari kepentingan umum hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian
wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 37 ayat 1).
-
Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan hak asasi manusia yang
diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangan lain dan hukum
Internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik
Indonesia (Pasal 71).
BAB IV
LANDASAN
HUKUM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA
1.
Hak
Menguasai Negara
Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang
diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara
negara dan tanah Indonesia, yang isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat 1, 2, 3
dan 4 sebagai berikut :
(1) Atas
dasar kesatuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak
menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
c. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini,
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak
menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Kewenangan negara dalam bidang pertanahan
tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa. Kewenangan tersebut bersifat publik
semata-mata, maka berbeda benar dengan hubungan hukum yang bersifat pemilikan
antara negara dan tanah berdasarkan domein-verklaring
dalam hukum tanah administratif pada waktu sebelum berlakunya UUPA. Sebagaimana
diketahui berbagai domein-verklaring sudah
dicabut.
Subjek hak menguasai dari negara adalah
negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia. Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah dalam wilayah
Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah
dimiliki dengan hak-hak perorangan oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara (Pasal 28, 37, 41, 43, 49). Untuk menyingkat pemakaian
kata-kata dalam praktek administrasi digunakan sebutan tanah negara.
2.
Pemberian
Hak Atas Tanah Negara
Penggunaan istilah tanah negara bermula pada
zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep hubungan antara penguasa dengan
tanah yang berupa hubungan kepemilikan. Maka, dikeluarkanlah sebuah pernyataan
yang dikenal dengan nama domein-verklaring, dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Tahun
1870 yang secara singkat menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai eigendom-nya
adalah domein (milik) negara.
Tanah negara menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah.
Pengertian tanah negara menurut Maria
Sumardjono (2001: 61) adalah sebagai berikut :
“Tanah
negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan
serta tanah ulayat dan tanah wakaf”.
Pengertian tanah negara menurut Ali Achmad
(Chomzah, 2002:1) adalah sebagai berikut :
“Tanah
negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Pengertian pemberian hak atas tanah menurut
Ali Achmad (Chomzah, 2002:1) adalah :
“Pemberian
hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun
beberapa orang bersama-sama atau sesuatu badan hukum”.
Agar dapat memenuhi jiwa reformasi bidang
hukum, khususnya hukum pertanahan seperti yang kita harapkan bersama maka oleh
pemerintah, c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 9 Februari
1999 nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Untuk diketahui bahwa selama ini dalam
periode 38 tahun terakhir telah diterbitkan beberapa Peraturan Menteri Agraria
tentang pembagian tugas dan wewenang agraria yang antara lain :
-
Keputusan Menteri Agraria,
tanggal 1 April 1961 Nomor SK 112/ KA/ 1961 tentang pembagian tugas dan wewenang
agraria.
-
Peraturan Menteri Dalam
Negeri, tanggal 28 Februari 1967 No.1 Tahun 1967 tentang tugas dan wewenang
agraria.
-
Peraturan Menteri Dalam
Negeri, tanggal 30 Juni 1972 No. 6 Tahun 1972 tentang pelimpahan wewenang
pemberian hak atas tanah.
-
Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, tertanggal 9 Februari 1999 No.3
Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan hak
atas tanah negara bersambung dengan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 J.o. Nomor 6 Tahun 1998 tentang pedoman
penetapan uang pemasukan dalam pemberian hak atas tanah negara.
-
Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan.
3.
Kedudukan
Hak Garap Dalam Penguasaan Tanah
Hak garap adalah pengalihan hak penguasaan
atas tanah tertentu kepada pihak lain untuk dikelola atau digarap. Pengertian
penguasaan menurut Urip Santoso (2005:73), dapat dipakai dalam arti fisik dan
dalam arti yuridis serta aspek privat dan aspek publik. Penguasaan dalam arti
yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum untuk
mengusai secara fisik tanah yang dimiliki, misalnya pemilik tanah mempergunakan
atau mengambil manfaat dari tanah yang dimiliki tidak diserahkan kepada pihak
lain. Ada penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah
yang dimiliki secara fisik, tetapi pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan
oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan
tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara
yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik
dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak
memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik,
misalnya kreditur (bank) pemegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan
yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, akan tetapi secara fisik
penguasaannya tetap ada, pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis atas
tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan yuridis yang beraspek
publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Untuk membuktikan penguasaan hak atas tanah
menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, adalah sebagai berikut :
a. Hak
atas tanah harus dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang
berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku
apabila pemberian hak tersebut berasal dari Tanah Negara atau tanah hak
pengelolaan.
b. Asli
Akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima
hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas
tanah hak milik.
c. Hak
Pengelolaan di buktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat
yang berwenang.
d. Tanah
Wakaf di buktikan dengan Akta Ikrar Wakaf.
e. Hak
Milik atas satuan rumah susun di buktikan dengan akta pemisahan.
f. Pemberian
Hak Tanggungan di buktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Pengaturan hak-hak
penguasaan atas tanah dalam hukum tanah menurut Urip Santoso (2005:75) dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak penguasaan atas tanah ini belum
dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang
haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas
tanah adalah sebagai berikut :
-
Memberi nama pada hak yang
bersangkutan.
-
Menetapkan isinya yaitu
mengatur apa saja yang boleh, wajib dilarang untuk diperbuat oleh pemegang
haknya serta jangka waktu penguasaannya.
-
Mengatur hak-hak mengenai
subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi
penguasaannya.
-
Mengatur hal-hal mengenai
tanahnya.
b. Hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit
Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu
hubungan hukum konkret (biasanya disebut “hak”) jika telah dihubungkan dengan
tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai
subjek atau pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas
tanah adalah sebagai berikut :
-
Mengatur hal-hal mengenai
penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret dengan nama atau
sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.
-
Mengatur hal-hal mengenai
pembebanannya dengan hak-hak lain.
-
Mengatur hal-hal mengenai
pemindahannya kepada pihak lain.
-
Mengatur hal-hal mengenai
hapusnya.
-
Mengatur hal-hal mengenai
pembuktiannya.
Terkait dengan kedudukan hak garap dalam
penguasaan tanah, terlihat jelas bahwa hak garap merupakan penguasaan tanah
dalam arti fisik, dan belum tentu secara yuridis atau kedua-duanya. Hak garap
dapat dihubungkan dengan fungsi sosial tanah sebagaimana bunyi Pasal 6 UUPA
bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Maka setiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan
memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga
lebih berdaya guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
BAB V
HAK-HAK
MASYARAKAT ATAS TANAH
Hak atas tanah merupakan hubungan hukum
antara subjek hak dengan suatu bidang tanah tertentu (Salindeho, 1988:164)
beliau melanjutkan bahwa hubungan hukum inilah yang disebut hak atas tanah, di
mana ia berisikan wewenang dan kewajiban. Sehubungan dengan masalah penataan
ruang kota, hak-hak masyarakat atas tanah dapat dibedakan atas hak ulayat
masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
a. Hak
Ulayat masyarakat hukum adat
Hak
Ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yang menyatakan :
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Hak ulayat merupakan serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam lingkungan masyarakat
hukum adat, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.
Menurut Harsono (1999:272) hak ulayat
merupakan suatu hubungan konkret yang pada mulanya diciptakan oleh nenek moyang
atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan kepada
orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum
sudah ada sebelumnya karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan
satu-satunya yang mempunyai hak ulayat.
C.C.J. Maasen dan A.P.G. Hens
sebagaimana dikutip oleh Nomadyawat (1995 : 43) merumuskan bahwa :
Hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya
untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan
membayar kerugian kepala desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut
campur dengan pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap
perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu :
unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk
mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama, termasuk bidang
hukum publik. Unsur kewenangan yang termasuk dalam bidang hukum publik tersebut
pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan
para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Harsono,
1999:171-172).
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada
dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum, baik yang sudah dimiliki oleh
seseorang maupun yang belum. Berkenaan dengan hak ulayat, Gautama (Hammar,
2001:37) menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat diakui, di samping itu juga
dibatasi, dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 1999 tentang pedoman penyelesaian
masalah hak ulayat masyarakat adat, pada intinya mengakui adanya ulayat
masyarakat hukum adat, dan dipandang perlu didaftarkan.
Dalam masyarakat hukum adat, selain hak
ulayat ada pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini bersumber dari hak
ulayat. Antara hak ulayat dan hak perseorangan selalu ada pengaruh timbal
balik. Makin sering usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah,
makin eratlah hubungan dengan tanah dan makin kuat pula haknya atas tanah
tersebut.
Eksistensi hak ulayat dalam hukum tanah
nasional tetap diakui, jika menurut kenyataannya masih ada. Artinya bila dalam
kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan
tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Meskipun eksistensi hak ulayat diakui,
namun pelaksanaannya dibatasi. Sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
lebih rendah.
b. Hak-hak
Atas Tanah Menurut UUPA
Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya
dan macamnya hak-hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat
(1) dan Pasal 53.
Pasal
4 ayat (1) dan (2) bunyinya sebagai berikut :
(3) Bumi
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai maksud dalam Pasal 2, dinyatakan adanya bermacam-macam
hak atas permukaan oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(4) Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang
ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.
Hak-hak
atas tanah sebagai hak individual terdiri atas hak yang sifatnya permanen dan
hak yang bersifat sementara. Hak atas tanah yang sudah pasti itu diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak sewa. Sedangkan hak
atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 yaitu hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.
2.1.
Hak
Atas Tanah
Untuk lebih memfokuskan pada pokok
pembahasan, maka penulis selanjutnya akan menguraikan pengertian hak atas
tanah, macam-macam hak atas tanah yang berlaku dalam hukum positif bangsa
Indonesia yaitu dalam Hukum Adat dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Adapun
pengertian dan macam-macam hak atas tanah yang akan diuraikan berikut ini hanya
terbatas pada hal-hal pokok.
1. Pengertian
Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) tertulis bahwa
:
Atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum, di mana hak atas tanah
ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan
sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Materi pasal tersebut memberikan hak-hak
kepada orang-orang atau badan hukum baik secara perorangan maupun secara
korporasi atau bersama-sama yang meliputi permukaan bumi, tubuh bumi yang ada
di bawahnya serta air dan ruang angkasa yang ada di atasnya untuk digunakan
atau dimanfaatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Macam-macam
Hak Atas Tanah
Seperti telah di kemukakan di atas bahwa
hak-hak atas tanah yang berlaku pada saat ini adalah hak-hak tanah yang diatur
dalam Hukum Adat dan UUPA. Mengenai hak atas tanah tersebut akan diuraikan
lebih lanjut :
a. Hak
atas tanah menurut Hukum Adat
Hak atas tanah yang dikenal berdasarkan
ketentuan hukum adat yaitu :
1) Hak
Ulayat (hak persekutuan atas tanah)
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hak
ulayat, berikut ini penulis akan menguraikan beberapa pengertian hak ulayat
yang di kemukakan oleh beberapa pakar.
Ter Haar (1983:71) mengatakan bahwa hak
ulayat adalah :
Hubungan
hidup antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain
di satu pihak dan tanah di lain pihak, yaitu tanah di mana mereka dimakamkan
dan menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah
leluhurnya yang di mana mereka meresap daya-daya hidup termasuk juga hidupnya
umat itu dan karenanya tergantung dari padanya yang dirasakan dan berakar dalam
alam pikirannya yang berpasangan.
Adapun menurut C.C.J. Maasen (Eddi Ruchiyat
1984:31) mengatakan bahwa hak ulayat adalah :
Hak
desa menurut adat dan Kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan
daerahnya buat kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian
pada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan
tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara yang terjadi di situ
yang belum dapat terselesaikan.
Sedangkan menurut pendapat Budi Harsono
(1999:185) bahwa :
Hak
ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan
sepanjang masa.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa hak ulayat mempunyai hubungan yang erat dan sangat kuat dengan
masyarakat persekutuan hukum adat dengan tanah yang berada dalam lingkungan
mereka yang merupakan pendukung utama bagi penghidupan mereka, juga mempunyai
nilai religius magis dan karena kuatnya hubungan hukum tersebut sehingga
masyarakat mempunyai hak yang berdaulat terhadap gangguan penggunaan tanah
ulayatnya secara kolektif dan penggunaannya oleh orang luar atau orang
asing.
2) Hak
Perseorangan
Pada dasarnya hak perseorangan mempunyai
hubungan timbal balik dan tidak dapat dipisahkan dengan hak ulayat itu sendiri,
hal ini disebabkan oleh suatu perbandingan hak yang terbalik antara masyarakat
secara kolektif atau hak desa dengan hak seorang warga masyarakat secara individual,
yakni jika hak perseorangan kuat maka hak ulayat melemah dan begitu pun
sebaliknya.
Menurut Surojo Wignjodipuro penggunaan hak
perseorangan wajib menghormati :
- Hak
ulayat desanya;
- Kepentingan-kepentingan
orang lain yang memiliki tanah;
- Peraturan-peraturan
adat setempat.
Sedangkan macam-macam hak perseorangan hukum
atas tanah menurut Ter Haar yaitu :
- Hak
Milik;
- Hak
Menikmati;
- Hak
terdahulu;
- Hak
pakai;
- Hak
gadai dan hak sewa;
- Hak
pungut hasil karena jabatannya;
- Hak
terdahulu untuk membeli.
b. Hak
atas tanah menurut UUPA
Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dengan jelas
tertulis macam-macam hak atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri
maupun bersama – sama dengan orang lain. Hak atas tersebut adalah :
1) Hak
Milik
Pengertian hak milik berdasarkan ketentuan
UUPA khususnya dalam Pasal 20 tertulis bahwa :
“Hak milik adalah hak turun – temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6”.
Hak milik itu sendiri berdasarkan ayat 2
pasal ini menyatakan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. Hak milik sifatnya mutlak tidak terbatas atau tidak dapat diganggu gugat
tetapi hak tersebut harus pula memperhatikan kepentingan masyarakat umum.
Dalam
penjelasan UUPA bahwa hak milik tersebut terkuat dan terpenuh artinya adalah
agar hak milik dapat dibedakan dengan hak atas tanah lainnya dan juga untuk
menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki seseorang,
hak miliklah yang paling kuat dan terpenuh.
2) Hak
Guna Usaha
Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 mengatakan bahwa :
Hak
guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 29 guna perusahaan
pertanian, perikanan dan peternakan.
Jadi hak guna usaha dalam hal ini hanya
semata-mata diperuntukkan bagi suatu kegiatan produksi tertentu serta mempunyai
batas waktu tertentu dalam pengelolaannya.
3) Hak
Guna Bangunan
Dalam Pasal 35 mengatur tentang Hak Guna
Bangunan yang dinyatakan bahwa :
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan memperoleh bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
Hak Guna Bangunan berdasarkan pengertian di
atas dapat diketahui bahwa hanya diperuntukkan dalam hal mendirikan dan
mempunyai bangunan. Mendirikan berarti membuat bangunan baru atau membeli
bangunan yang berdiri di atas hak guna bangunan.
4) Hak
Pakai
Pengertian hak pakai menurut Pasal 41 UUPA
adalah sebagai berikut :
Hak
pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Ketentuan pasal tersebut di atas menjelaskan
bahwa, setiap orang diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan baik secara cuma-cuma dengan pembayaran ataupun dengan pemberian
berupa jasa akan tetapi tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5) Hak
Sewa
Hak sewa dalam UUPA secara tegas diatur dalam
ketentuan Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Seseorang
atau badan hukum yang mempunyai hak sewa atas tanah. Apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sewa. Pembayaran sewa dapat dilakukan :
a. Satu
kali atau pada tiap waktu-waktu tertentu.
b. Sebelum
atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Perjanjian
sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Mengenai prosedur untuk memperoleh hak sewa tersebut
harus melalui suatu perjanjian yang dibuat dihadapkan notaris atau camat
setempat sehingga memiliki dasar hukum.
6) Hak
Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara
Indonesia dan diatur dalam peraturan pemerintah. Dengan mempergunakan hak
memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik
atas tanah itu.
Ketentuan tersebut ditegaskan dalam UUPA
khususnya Pasal 46 ayat (1) dan (2).
7) Hak-hak
yang sifatnya sementara
Adapun mengenai hak-hak yang diberi sifat
sementara oleh UUPA dimaksudkan bahwa suatu ketika hak-hak tersebut akan
ditiadakan sebagai lembaga-lembaga hukum karena UUPA menganggapnya tidak sesuai
dengan asas-asas hukum agraria terutama mengenai dicegahnya tindak pemerasan.
Asas
yang dikembangkan dalam hukum agraria yang baru adalah bahwa tanah pertanian
harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah
pertanian tersebut. Hak-hak atas tanah yang memungkinkan terjadinya pemerasan
orang atau golongan tidak boleh ada di dalam hukum agraria. Hak gadai, hak
usaha bagi hasil dan hak sewa tanah pertanian adalah hak-hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai tanah untuk menguasai dan mengusahakan tanah
kepunyaan orang lain.
BAB V
PENDAFTARAN TANAH
A.
Asas dan
Tujuan Pendaftaran Tanah
1.
Asas
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah di Indonesia memiliki asas
dalam pelaksanaannya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 24
Tahun 1997, bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas pendaftaran tanah ini merupakan
pengaturan baru karena sebelumnya tidak diatur secara limitatif dalam PP Nomor
10 Tahun 1961.
Penjelasan Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997
mengungkapkan secara terperinci makna dari asas pendaftaran tanah tersebut,
yaitu sebagai berikut : “Asas
sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan maupun
prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan
pendaftaran tanah itu sendiri. Asas
terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus
bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. Asas mutakhir dimaksudkan
kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam
pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang
mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan
perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut
dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan
sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu sesuai dengan keadaan
nyata di lapangan dan di masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data
yang benar setiap saat. Untuk itu diberlakukan pula asas terbuka”. Berdasarkan pengertian dari
asas pendaftaran tanah di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa ketentuan
mengenai pendaftaran tanah diusahakan untuk tidak lagi terlalu rumit dan
berbelit-belit karena telah adanya kesederhanaan dalam prosedur pelaksanaannya.
Di samping itu pendaftaran tanah berdasarkan asas aman berarti hasil yang
dicapai haruslah benar-benar menjamin kepastian hukum atas sebidang tanah. Mengenai asas terjangkau
tertuju pada penetapan biaya dan perongkosan dalam rangka pendaftaran tanah.
Penetapan besarnya biaya yang dibutuhkan harus dapat disesuaikan dengan tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat terutama masyarakat yang tergolong ekonomi lemah. Asas mutakhir sebagaimana
dipaparkan di atas tertuju pada kelengkapan dan keabsahan data pertanahan. Oleh
karena itu para pihak harus senantiasa proaktif memperhatikan perubahan
penguasaan dan pemilikan tanah untuk dilaporkan dan didaftarkan sehingga yang
ada di kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
Selanjutnya mengenai asas terbuka dalam
pendaftaran tanah yang berhubungan erat dengan penelitian ini berorientasi pada
tersedianya data yang benar, kemudian data yang benar tersebut dapat diperoleh
setiap saat. Dalam arti para pihak yang berkepentingan baik itu masyarakat,
pihak swasta maupun pemerintah sendiri dapat dengan mudah memperoleh informasi
yang dibutuhkan berkaitan dengan data-data pendaftaran tanah. Hal ini pula yang
menjadi salah satu tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri.
2.
Tujuan
Pendaftaran Tanah
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetap dipertahankan tujuan
diselenggarakannya pendaftaran tanah yang pada hakikatnya sudah ditetapkan
dalam Pasal 19 UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka
menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Secara rinci tujuan dari
pendaftaran tanah di jelaskan dalam Pasal 3 dan 4 PP Nomor 24 Tahun 1997.
Pasal
3 tertulis bahwa :
“Pendaftaran
tanah bertujuan :
a.
Untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.
Untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.
Lebih
lanjut dalam Pasal 4 ditulis bahwa :
a.
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang
bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
b.
Untuk melaksanakan fungsi informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, data fisik dan data yuridis dari
bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum.
c.
Untuk mencapai tertib administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c setiap bidang tanah dan satuan rumah
susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.
Kepastian
hukum yang dimaksud dari Pasal 3 dan 4 tersebut meliputi 2 hal, yaitu :
a.
Kepastian hukum mengenai objek (data fisik),
yaitu keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan di atasnya.
b.
Kepastian hukum mengenai subjek (data
yuridis), yaitu keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
Dilaksanakannya pendaftaran tanah juga
bertujuan untuk menyediakan informasi kepada para pihak yang berkepentingan.
Dengan tersedianya informasi ini, maka akan memudahkan berbagai pihak yang
ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang-bidang tanah
atau satuan rumah susun yang sudah terdaftar tanpa harus mengecek langsung ke
lokasi di mana bidang tanah yang dimaksud berada.
Penyajian data tersebut dilaksanakan oleh
Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kota khususnya Seksi Tata Usaha
Pendaftaran Tanah. Informasi yang dimaksud adalah keterangan atau dokumen yang
terdapat dalam daftar umum. Disebut sebagai daftar umum karena daftar dan
peta-peta di dalamnya terbuka untuk umum. Oleh karena itu para pihak berhak
untuk mengetahui data yang tersimpan di dalamnya sebelum melakukan perbuatan
hukum mengenai suatu bidang tanah atau satuan rumah susun.
Daftar umum tersebut terdiri atas :
a.
Peta pendaftaran, yaitu peta yang
menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah.
b.
Daftar tanah, yaitu dokumen dalam bentuk
daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran.
c.
Surat ukur, yaitu dokumen yang memuat data
fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian yang diambil datanya dari
peta pendaftaran.
d.
Buku tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar
yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang
sudah ada haknya.
e.
Daftar nama, yaitu dokumen dalam bentuk
daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan suatu hak atas
tanah, atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah
susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu.
Data yang tercantum dalam daftar nama tidak
terbuka untuk umum. Hanya diperuntukkan bagi instansi pemerintah tertentu untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya. Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2) PP Nomor 24
Tahun 1997 dipaparkan bahwa daftar nama sebenarnya tidak memuat keterangan
mengenai tanah, melainkan hanya memuat keterangan mengenai orang perseorangan
atau badan hukum dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya. Menurut Boedi
Harsono (1999:459) bahwa karena ada kemungkinan daftar umum tersebut
disalahgunakan, maka data yang dimuat di dalamnya tidak terbuka untuk umum.
Dalam Pasal 30,31 PP Nomor 24 Tahun 1997
diuraikan bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan
informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan
dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan/ atau data
yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah
demikian belum dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Tujuan dari pendaftaran tanah juga untuk
menciptakan tertib administrasi pertanahan. Menurut A.P. Parlindungan (1999:79)
bahwa :
“Tertib
administrasi berarti juga bahwa seluruh berkas-berkas dari Kantor Pertanahan
tersebut harus sudah tersimpan dengan baik dan teratur sehingga sangat mudah
sekali jika akan mencari suatu data yang diperlukan, terbukti dari adanya
sejumlah buku-buku yang tersedia dalam menunjang pendaftaran tanah tersebut”.
3. Pengertian
dan Fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah
Tanah/lahan merupakan suatu
rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk tempat
bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya.
Pengertian ini memberikan
makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup sangat membutuhkan tanah/lahan, baik
digunakan sebagi tempat tinggal, tempat bercocok tanam, maupun untuk tempat
usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas. Oleh karena
itu ada kecenderungan bahwa setiap orang berusaha menguasai dan mempertahankan
bidang-bidang tanah/lahan tertentu termasuk mengusahakan status hak
kepemilikannya.
Dalam sistem hukum Agraria di
Indonesia dikenal ada beberapa macam hak penguasaan atas tanah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang Pokok
Agraria, yaitu antara lain: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.
Pada
dasarnya istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau Surat
Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. Dengan pemberian surat keterangan berarti
Pejabat yang bersangkutan telah memberikan status tentang keadaan seseorang.
Istilah “Sertifikat Tanah”
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai surat
keterangan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah bahwa telah
menerangkan bahwa seseorang itu mempunyai hak atas suatu bidang tanah, ataupun
tanah seseorang itu dalam kekuasaan tanggungan, seperti sertifikat Hipotek atau
Kreditverband, berarti tanah itu
terikat dengan Hipotek atau Kreditverband (Budi Harsono:1998).
Pengertian Sertifikat Tanah
dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19,
menyebutkan bahwa:
Ayat
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2) Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a.
Pengukuran,
pemetaan dan pembukuan tanah
b.
Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c.
Pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Dengan berdasar ketentuan
Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa dengan
pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka
pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah
tersebut.
Sertifikat
Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri
salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul.
Sertifikat tanah memuat:
a.
Data
fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di
atas tanah;
b.
Data
yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,
hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.
Istilah “sertifikat” dalam hal
dimaksud sebagai surat
tanda bukti hak atas tanah dapat kita temukan di dalam Pasal 13 ayat (3) dan
(4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, bahwa:
Ayat
(3) Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur
setelah dijahit secara bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya
ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat dan diberikan kepada
yang berhak”.
Ayat
(4) Sertifikat tersebut pada ayat (3)
pasal ini adalah surat
tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria”.
Serifikat hak atas tanah ini diterbitkan oleh Kantor
Agraria Tingkat II (Kantor Pertanahan) seksi pendaftaran tanah. Pendaftaran itu
baik untuk pendaftaran pertama kali (recording
of title) atau pun pendaftaran berkelanjutan (continious recording) yang dibebankan oleh kekuasaan hak menguasai
dari negara dan tidak akan pernah diserahkan kepada instansi yang lain.
Sertifikat tanah yang diberikan itu dapat berfungsi sebagai alat bukti hak atas
tanah, apabila dipersengketakan.
Berdasarkan keadaan bahwa pada
saat ini banyak terjadi sengketa di bidang
pertanahan, sehingga menuntut peran maksimal dan profesionalisme yang
tinggi dari petugas Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan
yang mengatur mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran
tanah di Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor
Pertanahan apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau
setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat
dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu:
- Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum;
- Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;
- Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.
4.
Sistem
Publikasi yang Digunakan Dalam Pendaftaran Tanah
Sebelum
membahas mengenai sistem publikasi yang diapaki dalam pendaftaran tanah di
Indonesia, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa sistem publikasi yang
dipakai di beberapa negara.
Menurut
Ali Achmad Chomzah (2004:17) apabila dilihat dari aspek jaminan yang diberikan
dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat ha atas
tanah) sebagai alat pembuktian, maka rechts
kadaster (pendaftaran tanah) ini mengenal 2 macam sistem, yaitu :
1.
Sistem Negatif
Yang
dimaksud sistem negatif dalam pendaftaran tanah ini adalah suatu sistem bahwa
kepada si pemilik tanah diberikan jaminan lebih kuat, apabila dibandingkan
perlindungan yang diberikan kepada pihak ketiga. Menurut sistem negatif ini
segala apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai
dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya di muka sidang pengadilan. Adapun asas
peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah asas nemo plus juris.
Menurut
Irawan Soerodjo (2003:189) mengemukakan bahwa asas nemo plus juris merupakan asas di mana seseorang tidak dapat
melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari
pelanggaran tersebut adalah batal demi hukum (van rechts wegenietig). Dengan kata lain asas ini melindungi
pemegang hak atas yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan
haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya.
Ciri
pokok sistem negatif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak
atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang sebenarnya
(Bachtiar Effendi, 1993:33). Negara yang menggunakan sistem publikasi negatif
ini di antaranya : Belanda, Prancis dan Filipina.
2.
Sistem Positif
Sistem
publikasi positif dalam pendaftaran tanah adalah suatu sistem di mana kepada
yang memperoleh hak atas tanah akan diberikan jaminan lebih kuat.
Menurut
sistem ini suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlakunya sebagai
tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti
hak atas tanah.
Ciri
pokok dari sistem positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran
hak atas tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam
buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata bukanlah pemilik
yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan
mutlak kepada buku tanah (Bachtiar Effendi, 1993:32). Negara yang menggunakan
sistem ini di antaranya : Jerman, Swiss, Austria dan Australia.
Sistem
publikasi yang digunakan di Indonesia menurut Boedi Harsono (1999:463) adalah
tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu
sistem negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hal
ini membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam surat tanda
bukti tersebut adalah dianggap benar sepanjang tidak ada orang yang membuktikan
sebaliknya yang menyatakan sertifikat tersebut tidak benar. Dengan sistem ini
keterangan-keterangan itu apabila ternyata tidak benar, maka dapat diubah dan
dibetulkan.
Ciri-ciri
sistem ini menurut Ali Achmad Chomzah (2004:16) yaitu :
1.
Nama yang tercantum di dalam buku tanah
adalah pemilik yang benar dan dilindungi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda
bukti hak yang terkuat, bukannya mutlak.
2.
Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur
dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar beginsel).
3.
Setiap persil batas diukur dan digambar
dengan peta pendaftaran tanah, dengan skala 1:1000, ukuran mana yang
memungkinkan untuk dapat dilihat kembali batas persil, apabila di kemudian hari
ternyata terjadi sengketa batas.
4.
Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah
dan sertifikat dapat dicabut melalui proses keputusan Pengadilan Negeri atau
dibatalkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional apabila terdapat cacat hukum.
5.
Pemerintah tidak menyediakan dana untuk
pembayaran ganti rugi pada masyarakat, karena kesalahan administrasi
pendaftaran tanah.
Mengenai
alat pembuktian yang kuat tersebut, Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan
bahwa :
1.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
2.
Dalam hak atas suatu bidang tanah sudah
diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun
tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.
Ketentuan
dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut di atas bertujuan pada satu pihak untuk tetap
berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan diatur sebagai pemegang hak dalam buku tanah
dengan sertifikat sebagai tanda buktinya.
Kelemahan
dari sistem publikasi ini adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan
gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu, tetapi kelemahan
tersebut dapat diatasi dengan menggunakan lembaga yang dalam hukum adat disebut
lembaga rechts verwerking.
Dalam
penjelasan Pasal 32 ayat (2) tersebut dijelaskan tentang rechts verwerking tersebut, yaitu jika seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan kemudian tanah itu dikerjakan orang
lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk
menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan
hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah
sesuai dengan lembaga ini.
6. Tujuan
dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria khususnya Pasal 2 mengenai hak
menguasai negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari
negara tersebut adalah :
a.
Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa.
c.
Menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa.
Akibat
dari keadaan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa wewenang pemberian hak
tersebut dilakukan oleh Pemerintah, namun dalam penyelenggaraan wewenang
tersebut tentunya banyak dijumpai berbagai macam permasalahan-permasalahan
tanah yang salah satunya dapat berakibat pada terjadinya perselisihan maupun
persengketaan hak atas tanah, dalam hal inilah dapat dilihat peranan Badan
Pertanahan Nasional sebagai instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi
dalam menangani permasalahan tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Sejak
penanganan masalah pertanahan bernaung di bawah Direktorat Jenderal Agraria
Departemen Dalam Negeri sampai pada akhirnya terbentuknya Badan Pertanahan
Nasional, adapun beberapa ketentuan yang dijadikan sebagai dasar atau landasan
operasional penyelesaian sengketa hukum hak-hak atas tanah oleh seksi Seksi
Penanganan Konflik, Sengketa dan Perkara
adalah sebagai berikut :
a.
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
b.
Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria tanggal 4 Oktober
1983 Nomor SK. 245/DJA/1983 yang disempurnakan dengan SK tanggal 28 Oktober
1985 Nomor 18/DJA/1985 tentang pembentukan team
task force penyelesaian masalah atau sengketa hak atas tanah Direktorat
Jenderal Agraria.
c.
Surat
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional.
d.
Surat
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi
dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/ Kotamadya.
Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam bidang keagrarisan,
maka berdasarkan dari beberapa uraian tersebut di atas, dapatlah dikatakan
bahwa penyelesaian sengketa hak atas tanah pada hakikatnya tidak dapat terlepas
dari tugas dan fungsi BPN dalam menangani masalah pertanahan yang dalam hal ini
memang memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh dan konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Harsono, 1986, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Fausi, Net, et.al, 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria. Yogyakarta:
La[era Pustaka Utama.
Gautama, Sudargo, 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung:
Aditya.
Notonegora, 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Perlindungan, A.P, 1984. Serba-Serbi Hukum Agraria. Jakarta: Alumni.
Perlindungan, A.P, 1989. Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform,
Bagian I. Bandung: Mandar Maju.
Perlindungan, A.P, 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.
Bandung: Mandar Maju.
Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Penada Media.
Sunindhia, Y.W, 1998. Pembaharuan Agraria (Beberapa Pemikiran). Jakarta:
Bina Aksara.
Fausi, Net, et.al, 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria. Yogyakarta:
La[era Pustaka Utama.
Gautama, Sudargo, 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung:
Aditya.
Sunindhia, Y.W, 1998. Pembaharuan Agraria (Beberapa Pemikiran). Jakarta:
Bina Aksara.