Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 04 April 2015

Teori Efektifitas

Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas, namun secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi. Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi.
Mengutip Ensiklopedia administrasi[1], menyampaikan pemahaman tentang efektivitas sebagai berikut :
Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.”

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya.  Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.
Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali[2] berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto[3] adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1.    Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto[4] ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah :
1.    Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis.
2.    Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3.    Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4.    Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto[5] bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut :
1.    Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2.    Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3.    Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4.    Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto[6] memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah :
1.    Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2.    Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya.
3.    Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4.    Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5.    Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
6.    Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu :
1.    Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik.
2.    Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3.    Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal.
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya semacam tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau hanya temporer.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita[7] yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.
Menurut Soerjono Soekanto[8] efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat; mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat[9].
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.




[2] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1 (Jakarta: Kencana, 2010), 375.
[3] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 8.
[4] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80.
[5] Ibid, hal : 82.
[6] Ibid, hal : 82
[7] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001), 55.
[8] Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi (Bandung: CV. Ramadja Karya, 1988), 80.
[9] Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone, 1998), 186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter