Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 04 April 2015

Kajian Umum Tentang (Otoritas Jasa Keuangan) OJK


1.    Latar Belakang Pembentukan UU OJK
Pada tanggal 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253. Pembentukan UU OJK dilatar belakangi oleh berbagai alasan, baik yuridis maupun kondisi sektor jasa keuangan. Latar belakang yuridis pembentukan UU OJK adalah Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia yang mengamanatkan dibentuknya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen yang mencakup pengawasan, perbankan pasar modal, industri keuangan non bank, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Selain latar belakang yuridis, pembentukan UU OJK juga disebabkan oleh perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan dan kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan sebagai akibat dari konglomerasi pemilikan pada lembaga jasa keuangan.
Pada penjelasan umum UU OJK diuraikan mengenai urgensi keberadaan OJK, dengan dasar pemikiran bahwa, Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut, dengan mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif.[1]
Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.[2]
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.[3]
2.    Pengertian dan  Asas-Asas Penyelenggaraan  Tugas OJK

Otoritas Jasa Keuangan adalah Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Menteri Keuangan, BAPEPAM-LK, Bank Indonesia.
Pasal 1 angka 1 UU OJK menyebutkan:  OJK adalah lembaga yang independen dan bebasdari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1.  terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2.  mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
3.  mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dalam penjelasan UU OJK, pada ketentuan umum ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut[4]:
1.    Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3.    Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4.    Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5.    Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.    Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7.    Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Keselarasan antara penyelenggaraan tugas OJK dengan asas-asas yang mendasarinya menjadi sangat penting mengingat konflik kepentingan yang banyak terjadi, khususnya konflik agensi (konflik antara pemegang saham dengan pihak managerial), yang dampaknya menimbulkan ketidak seimbangan dalam dalam sisitem keuangan. Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa masalah agensi antara pemegang saham dan manager adalah berasal dari pemisahan kepemilikan dan pengawasan, dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengawasan serta adanya perbedaan kepentingan, dapat mendorong terjadinya konflik kepentingan pribadi.[5]
Perusahaan-perusahan di Indonesia mempunyai komposisi struktur kepemilikan yang agak berbeda bila dibandingkan dengan perusahaan yang ada di Eropa atau Amerika. Di beberapa pasar modal Eropa dan Amerika, pemisahan kepemilikan dan pengawasan sudah dilakukan oleh suatu badan independen yang memiliki kekuasaan yang sangat kuat. Struktur kepemilikannya pun bersifat menyebar (dispersed ownership) sehingga konflik keagenan bias terjadi antara manajer dan pemegang saham.[6]
Konflik kepentingan ini dapat dikurangi melalui mekanisme kepemilikan orang dalam (insider ownership). Jika controlling shareholders juga merupakan insider ownership maka hal ini dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena dalam hal ini pemegang saham suatu perusahaan dapat sekaligus bertindak sebagai manager perusahaan, maka dengan semakin tingginya tingkat keselarasan dan kemampuan kontrol terhadap kepentingan manajer dengan pemegang saham.[7]
        3. Fungsi, Tugas dan Wewenang OJK
a.    Fungsi
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[8]
Terintegrasi maksudnya adalah bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan saling terhubung satu sama lain sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.    Tugas:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:[9]
a.    kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.    kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.    kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
a.    Wewenang
Wewenang OJK secara umum diatur pada Pasal 8 UU OJK, yaitu:
a.    menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.    menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.    menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.    menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.    menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.     menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.    menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.    menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.      menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
UU OJK mengenal wewenang ini sebagai wewenang pengaturan, sedangkan wewenang pengawasan diatur sebagai berikut:[10]
a.    menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.    mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.    melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.    memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.    melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.     menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.    menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
h.    memberikan dan/atau mencabut:
1.  izin usaha;
2.  izin orang perseorangan;
3.  efektifnya pernyataan pendaftaran;
4.  surat tanda terdaftar;
5.  persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6.  pengesahan;
7.  persetujuan atau penetapan pembubaran;
8.  penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.




[1] Lihat penjelasan umum UU OJK Paragraf 2
[2] Lihat penjelasan umum UU OJK Paragraf 3
[3]  Lihat penjelasan umum UU OJK Paragraf 8
[4] Lihat penjelasan umum UU OJK
[5] Vishny and Robert. Agency Problems and Dividend Policies Around the World. Journal of Finance. 1997. Hal 33
[6] Pramastuti, suluh. Analisis Kebijakan Dividend, Pengujian Dividend Signaling Theory dan Rent Extraction hypothesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: tesis. 2007
[7] Harjito, D. A., & Nurfauziah. 2006. Hubungan Kebijakan Hutang, Insider Ownership dan Kebijakan Dividen dalam Mekanisme Pengawasan Masalah Agensi di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia
[8] Pasal 5 UU OJK
[9] Pasal 6 UU OJK
[10] Pasal 9 UU OJK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter