Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Kamis, 12 September 2013

Ray Pratama Siadari, S.H.,M.H.




Wisudawan Periode 1 September 2013 Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin 
Prodi S1 Ilmu Hukum dan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum FH-UH

1. Lukmansyah Kirana Mahaputra, S.H.
2. Ray Pratama Siadari, S.H.,M.H.
3. Eko Saputra, S.H.
4. Elida Wirza, S.H.
5. Moses Borotoding T, S.H.
6. Ashirady Syahrir, S.H.
7. Dito Astawansyah, S.H.
8. Rio Febrian, S.H.

ANALISIS HUKUM TERHADAP KETETAPAN MPR SEBAGAI JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN






MATERI MUATAN KETETAPAN MPR SEBAGAI  JENIS PERATURAN  PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

THE CONTENT THE PROVISIONS OF REGULATION MPR AS LEGISLATION IN INDONESIA
ABSTRAK
Dimasukkannya Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, merupakan suatu pengaturan yang dapat menimbulkan konflik benturan antar jenis peraturan perundang-undangan.  Penelitian mengenai materi muatan Ketetapan MPR sebagai  jenis dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia ini dilakukan guna mewujudkan tertib hukum dalam pengaturan terkait jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan menginventarisasi berbagai Ketetapan MPR yang ada dan masih berlaku. Selanjutnya dilakukan pengkajian dengan mengunakan teori peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan Peraturan Kebijakan. Kemudian disusun secara sistematis berdasarkan pokok bahasan dalam penelitian dan diidentifikasikan untuk digunakan sebagai bahan analisis. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis akan ditarik suatu kesimpulan pembahasan rumusan masalah dan dilengkapi dengan saran-saran yang dipandang bermanfaat.  Materi muatan Ketetapan MPR terdiri dari norma hukum yang sifatnya beragam, Sehingga beberapa Ketetapan MPR tidak dapat dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-Undangan. Pengaturan terkait dengan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam kaitannya dengan teori hierarki hukum Negara die Theory Stufenordnung der Rechtsnormen sebagaimana dikemukakan oleh Hans Nawiassky, maka Pancasila berada pada kelompok Staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara), yang merupakan sumber segala sumber Hukum Negara. Diikuti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berada pada kelompok Staatgrundgesetz (aturan dasar Negara/aturan pokok Negara), yang merupakan Hukum Dasar dalam peraturan perundang-undangan; Selanjutnya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada pada kelompok Formell Gesetz (undang-Undang Formal). Serta Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah berada pada kelompok Verordning & Autonome Satzung (aturan Pelaksana &  aturan otonom). Dalam rangka mewujudkan tertib hukum dalam pengaturan terkait jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, materi muatan Ketetapan MPR yang masih berlaku saat ini, di masukkan ke dalam Program Legislasi Nasional untuk diusulkan sebagai Rancangan Undang-Undang
Kata Kunci: Materi Muatan, Ketetapan MPR.
ABSTRACK
 The inclusion of MPR Decree as one type of legislation, is an arrangement that can lead to conflict between the types of conflicts of laws. Research on the substance of the Legislative Act in the sort order as a kind of legislation in Indonesia is done in order to realize the rule of law in the regulation of the type and sort order related legislation in Indonesia. This type of research is a type of normative research. Normative approach undertaken by the Legislative Act inventory of various existing and still valid. Further assessment is done by using the theory of legislation, Administrative Decisions, and Regulatory Policy. Then systematically arranged by subject in the research and identified for use as material analysis. Based on the results of research and analysis will be drawn a conclusion discussion of problem formulation and equipped with suggestions that are considered beneficial. MPR Decree substance consisting of legal norms that are diverse, so most of the MPR decree can not be categorized as Regulation Legislation. Arrangements associated with the sort order legislation in Indonesia in relation to the laws of the State hierarchy theory Theory Stufenordnung die der Rechtsnormen as proposed by Hans Nawiassky, the Pancasila is the group Staatsfundamentalnorm (fundamental norms of the State), which is the source of all State Law. Followed the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, which is the group Staatgrundgesetz (basic rules of the State / principal rules of the State), which is the Basic Law in laws and regulations; Furthermore, the Law and Government Regulation in Lieu of Law should be in the Formell Gesetz (law-Formal Act). And Government Regulation, Presidential Regulation, and the Regulation on the group Verordning & Autonome Satzung (Implementing rules and regulations autonomous). In order to realize the rule of law in the regulation of the type and sort order related laws and regulations in Indonesia, the substance of the Legislative Act which is still valid today, in put in the National Legislation Program to the proposed Bill.
Keywords: Material Content, Legislative Act.

PENDAHULUAN
 Pengaturan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan yang kurang baik, akan berpotensi memunculkan masalah seperti, tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan, perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas, dan implementasi peraturan perundang-undangan yang terhambat akibat tidak memiliki peraturan pelaksanaan. Permasalahan ini antara lain disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain. Oleh karena itu salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam rangka pembangunan hukum nasional adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Harmonisasi ini harus dilakukan secara sistematik sejak dini, yaitu sejak dilakukannya penyusunan naskah akademik, penyusunan Program Legislasi Nasional (Selanjutnya disebut Prolegnas), sampai dengan penyusunan Rancangan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Negara Indonesia ialah Negara Hukum. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa segala tindakan yang dilakukan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan ketatanegaraan haruslah senantiasa berlandaskan pada hukum. Penggunaan istilah Negara hukum ini dikenal dengan konsep Rechtsstaat di Eropa Kontinental; atau The Rule Of Law di Negara-negara Anglo Saxon; dan di Negara-negara sosialis disebut sebagai Socialist Legality. [1]
Setelah berlaku hampir sekitar 7 tahun lamanya, akhirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diganti dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan nama yang sama, yakni tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kehadiran Undang-Undang ini, kembali menambah panjang sejarah pengaturan terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini, menentukan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kab/Kota.
Dimasukkannya Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, merupakan suatu pengaturan yang dapat menimbulkan konflik benturan antar jenis peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa, Ketetapan MPR yang masih berlaku saat ini, merupakan hasil produk oleh Lembaga yang telah mengalami perubahan kedudukan sesuai denan amandemen UUD NRI Tahun 1945. Jika sebelum dilakukannya amandemen MPR merupakan lembaga tinggi negara, maka saat ini kedudukan MPR adalah sama dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi lainnya. Sehingga Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagai produk MPR sebagai Lembaga tertinggi tidak lagi memiliki kejelasan mekanisme pembentukan . selain itu, materi muatan yang terkandung di dalamnya, juga merupakan penjabaran lebih lanjut terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang dikenal dengan istilah GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa materi mautan yang terkandung di dalamnya dalah sama dengan materi muatan yang terkandung dalam Undang-undang sebagaimana di tentukan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain permasalahan mengenai ketidakjelasan jenis peraturan/hukum negara sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, permasalahan yang juga muncul adalah terkait dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Dalam pengaturannya, penulis menemukan terjadinya beberapa pengaturan yang tidak sistematis. Penempatan UUD NRI Tahun 1945 ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, yang di atur melalui peraturan setingkat “Undang-Undang” merupakan hal yang kurang tepat. Terlebih dalam ketentuan Pasal 4 undang-undang tersebut ditentukan bahwa “Peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Hal ini tentunya tidak memberikan angin positif dalam upaya pembangunan hukum modern di Indonesia.  Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa, “bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak ada untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk tujuan yangberada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. [2]


BAHAN DAN METODE
Tipe Penelitian
Penelitian mengenai materi muatan Ketetapan MPR sebagai  jenis dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia ini dilakukan guna mewujudkan tertib hukum dalam pengaturan terkait jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan menginventarisasi berbagai Ketetapan MPR yang ada dan masih berlaku, selanjutnya dilakukan pengkajian dengan mengunakan teori peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan Peraturan Kebijakan.
Jenis dan Sumber Data
 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh sebab itu pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan melakukan kajian kepustakaan (Library research). Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dan data terseier. Bahan hukum Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran literatur yang terdiri dari berbagai ketentuan-ketentuan, hasil penelitian hukum, makalah dan artikel yang memberikan penjelasan terkait dengan karakteristik, jenis, dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
Teknik Pengumpulan data               
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian tesis ini adalah teknik kepustakaan dengan melakukan pengumpulan bahan peraturan dan literatur  terkait dengan karakteristik, jenis, dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan Peraturan kebijakan, serta teori-teori yang berkaitan dengan penjenjangan norma hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran buku pada berbagai perpustakaan.
Analisis data
Prosedur dan pengolahan bahan-bahan hukum akan dilakukan dengan menginventarisir peraturan perundang-undangan, buku-buku teks hukum, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan makalah seminar untuk memperoleh bahan hukum yang sesuai dengan rumusan masalah yang akan dibahas. Kemudian disusun secara sistematis berdasarkan pokok bahasan dalam penelitian dan diidentifikasikan untuk digunakan sebagai bahan analisis. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis akan ditarik suatu kesimpulan pembahasan rumusan masalah dan dilengkapi dengan saran-saran yang dipandang bermanfaat.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan pengkajian terhadap beberapa Ketetapan MPR/S yang dianggap masih berlaku sampai dengan saat ini, materi muatan ketetapan MPR sangat beragam, ada yang mengandung norma hukum yang sifatnya berupa peraturan perundang-undangan, keputusan, petaruran kebijakan, dan bahkan ada yang bentuknya diluar dari bentuk hukum negara yang kita kenal pada umumnya. Dengan demikian masih terdapat sebhagian Ketetapan MPR tidak dapat dikategorikan sebagai jenis peraturan perundang-undangan.  Sebagaimana diketahui, bahwa berdasarkan teori yang dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum, hukum Negara terdiri dari berbagai jenis peraturan, dengan karakteristiknya masing-masing. Berikut ini adalah hukum Negara yang dikemukakan para pakar:
Gambar I
Bentuk Hukum Negara menurut Jumly Assiddiqie



Gambar II
Bentuk Peraturan Negara (Staatsregelings) Menurut M. Solly Lubis



Hasil analisis menunjukkan bahwa tata urutan norma hukum haruslah berjenjang-jenjang/berlapis-lapis, sehingga ketika terjadi benturan pengaturan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, prioritas keberlakuannya senantiasa mendahulukan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada penjenjangan/lapisan tersebut. Terkait dengan teori penjenjangan ini, dapat ditemui beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum, namun dalam kaitannya dengan pengaturan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, penulis memilih untuk melakukan analisis dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky, yakni die Theory Stufenordnung der Rechtsnormen. Pemilihan ini didasari oleh pertimbangan bahwa pengaturan terkait tata hukum yang ada di Indonesia memiliki jenjang/lapisan sesuai dengan pengkategorian yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky.
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun adanya jumlah norma hukum yang berbeda-beda dalam setiap kelompoknya. Menurut Hans Nawiansky, isi Staatsfudamental  merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara, termasuk norma pengubahannya.  Selanjutnya di ikuti oleh Staatgrundgesetz, sebagai norma dasar atau aturan dasar. Selanjutnya, diikuti oleh norma yang sifatnya “Formell Gesetz” atau undang-undang formal. Dan yang terakhir merupakan kelompok  Verordning & Autonome Satzung, kelompok ini di isi oleh norma-norma yang sifatnya aturan pelaksana atau aturan otonom.
PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan penulis terhadap beberapa ketetapan MPR yang masih berlaku, ditemukan hasil sebagai berikut:
a)       Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
Ketetapan ini mengatur tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Ketetapan MPRS ini di bentuk atas dasar penjabaran lebih lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pada penelitian yang dilakukan penulis, ditemukan bahwa perintah MPR yang mengharuskan Pemerintah dan DPR membentuk undang-undang yang berkaitan dengan Ketetapan tersebut sudah terlaksana. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Dalam kaitannya dengan karakteristik materi muatan yang terkandung di dalamnya, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ini memiliki materi muatan yang memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan. Dari segi norma hukum yang terkandung di dalamnya, terdapat beberapa sifat norma hukum, seperti  misalnya larangan untuk menyebarluaskan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, dan memberikan izin kepada jika kegiatan tersebut dilakukan untuk kegiatan mempelajari secara ilmiah. Terkait dengan cakupan keberlakuannya, ketetapan ini memiliki cakupan keberlakuan keluar, selain itu rumusan yang diatur juga “umum-kongkret”. Selain itu daya berlakunya terus menerus (dauerhaftig).
b)     Ketetapan MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998
Ketetapan MPR ini mengatur tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, Ketetapan MPR ini, sebenarnya sudah dapat dikatakan tidak berlaku lagi, karena materi muatan yang diatur di dalamnya sudah diatur secara terperinci dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berikut ini penulis mengemukakan berbagai undang-undang yang memuat materi mautan Keteptan MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998. Materi muatan yang terkandung dalam ketetapan ini, memenuhi unsur-unsur karakteristik peraturan perundang-undangan. Sifat norma hukum berupa perintah dan larangan menunjukkan salah satu sifat dari norma hukum yang terkandung di dalamnya. Cakupan keberlakuannya pun ke luar, serta tidak bersifat einmahlig.
c)      Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966
Ketetapan MPR ini mengatur tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan sampai terbentuknya Undang-Undang tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. Materi muatan yang terkandung di dalamnya, sebenarnya Ketetapan ini tidak memenuhi karakteristik peraturan perundang-undangan. Sifat norma hukum yang terkandung di dalamnya lebih kepada sifat sebuah keputusan, namun keputusan dalam hal ini adalah keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (besluit van algemene strekking) bukan merupakan kategori keputusan tata usaha negara dalam arti besshikking.[3]  Penulis berpendapat bahwa ketetapan MPR ini masuk dalam kategori Keputusan Positif sebagaimana dikemukakan oleh Utrecht, yakni keputusan yang melahirkan keadaan hukum baru, bagi objek tertentu.
d)     Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
Ketetapan ini mengatur tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Sekarang telah terbentuk UU tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelusuran penulis terkait dengan perundang-undangan di Indonesia, sebenarnya materi muatan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut di atas, sudah diatur dalam berbagai ketentuan perundan-undangan. Berikut ini adalah daftar ketentuan undang-undang yang materi muatannya merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. materi muatan Ketetapan MPR ini dalam berbagai peraturan perundang-undangan, materi muatan yang terkandung dalam Ketetapan MPR ini sangat beragam. Dilihat dari segi norma hukum yang terkandung di dalamnya, Ketetapan MPR ini adalah ketetapan yang sifatnya berua keputusan, karena sifatnya individual konkrit. Yakni memberikan kewajiban kepada organ pelaksana tertentu untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan, yang materi muatannya sesuai dengan ketetapan tersebut. Dalam literature, ketetapan ini dapat dikategorikan sebagai keputusan yang sifatnya konstitutif, yakni keputusan-keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau memperkenankan sesuatu. [4]
Pada materi muatan lainnya, juga terlihat bahwa ketetepan MPR ini menyerupai bentuk suatu peraturan kebijakan, hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 yang isinya berupa pedoman-pedoman bagi penyelenggara negara agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Dalam literature, Philipus M. Hadjon menamakan bentuk peraturan yang seperti ini sebagai suatu peraturan-peraturan kebijaksanaan (Beleidsregels, Policy Rules).[5] Secara umum, tindakan MPR mengeluarkan Ketetapan ini, dapat dikatogorikan sebagai freises ermessen, yakni :
1.      Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas service public;
2.      Merupakan sikap tidak aktif dari administrasi negara;
3.      Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4.      Sikap tindak ini di ambil oleh inisiatif sendiri;
5.      Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; dan
6.      Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Hal ini dapat dilihat pada dictum menimbang pada ketetapan ini yang mengemukakan bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha  yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menuburkan  korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara  dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi  penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Selain itu bahwa dalam rangka rehabilitasi  seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat  dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat  negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain materi muatan sebagaimana diuraikan di atas, dalam ketentuan ini, juga terdapat ketentuan yang sifatnya konkret dan individual, yakni terkait dengan Pasal 4 yang menentukan “upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.” Jimly Assidiqqie menamakan peraturan yang seperti ini dengan istilah “Peraturan Khusus”.
e)      Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001
Ketetapan MPR ini mengatur tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketentuan ini hanya berisikan 4 pasal. Pasal 1 ketetapan ini memuat bentuk ketetapan yang disusun dengan sistematis. Selanjutnya pada Pasal 2 memuat pengaturan terkait dengan isi ketetapan yang diuraikan dalam naskah terlampir. Pada Pasal 3, memuat ketentuan yakni, Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan Ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Selanjutnya pada Pasal 4 mengatur terkait keberlakuan Ketetapan MPR ini. Materi muatan yang terkandung dalam Ketetapan ini masih dalam bentuk suatu pernyataan yang belum terumuskan dalam bentuk norma hukum, sehingga ketetapan ini tidak masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR ini, juga tidak memenuhi kriteria sebuah Keputusan Tata Usaha Negara, karena sifatnya tidak Konkret, individual dan final. Ketetapan ini, sifatnya lebih mirip pada bentuk peraturan kebijaksanaan, hanya saja tidak dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan, namun lebih luas lagi, yakni terkait dengan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga juga tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan kebijakan. Bentuk ketetapan MPR ini adalah bentuk yang berbeda dari bentuk Hukum Negara yang kita kenal pada umumnya.
f)       Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001
Ketetapan ini memuat tentang Visi Indonesia Masa Depan. Ketetapan ini berisikan 4 pasal dan lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Sama halnya dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001, ketetapan ini juga belum terumuskan dalam bentuk ketentuan yang mengandung sifat norma hukum, namun hanya memberikan gambaran umum. Selain itu, terdapat beberapa bentuk penetapan yang tidak lagi relevan dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia, seperti VIsi lima tahunan RI yang termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Materi muatan yang terkandung dalam Ketetapan ini masih dalam bentuk suatu pernyataan yang belum terumuskan dalam bentuk norma hukum, sehingga ketetapan ini tidak masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR ini, juga tidak memenuhi kriteria sebuah Keputusan Tata Usaha Negara, karena sifatnya tidak Konkret, individual dan final. Ketetapan ini, sifatnya lebih mirip pada bentuk peraturan kebijaksanaan, hanya saja tidak dalam kaitannya dengan freies ermessen (deskresionare power),[6] sehingga juga tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan kebijakan. Bentuk ketetapan MPR ini adalah bentuk yang berbeda dari bentuk Hukum Negara yang kita kenal pada umumnya.
g)      Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001
Ketetapan ini memuat tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut. Ketetepan ini berisi 4 pasal yang memuat rekomendasi mengenai bentuk pengaturan terkait dengan tugas yang diberikan kepada presiden dan DPR dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketetapan ini, berisikan rumusan norma hukum yang sifatnya berupa rekomendasi dan juga perintah. Pasal 1 berisikan tentang rekomendasi arah kebijakan terkait dengan Pemberantasan dan Pencegahan KKN. Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 diatur terkait dengan arah kebijakan terhadap tugas yang diberikan kepada Presiden dan Lembaga tinggi RI, sebgaimana diketahui bahwa pada saat terbentuknya ketetepan ini, MPR merupakan Lembaga Tertinggi. Pasal 4 mengatur tentang keberlakuan ketetapannya.
Materi muatan yang terkandung dalam ketepan ini sama dengan materi mautan yang terkandung dalam ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. materi muatan yang terkandung dalam Ketetapan MPR ini sangat beragam. Dilihat dari segi norma hukum yang terkandung di dalamnya, Ketetapan MPR ini adalah ketetapan yang sifatnya berua keputusan, karena sifatnya individual konkrit. Yakni memberikan kewajiban kepada organ pelaksana tertentu untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan, yang materi muatannya sesuai dengan ketetapan tersebut. Dalam literature, ketetapan ini dapat dikategorikan sebagai keputusan yang sifatnya konstitutif, yakni keputusan-keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau memperkenankan sesuatu. [7]
Pada materi muatan lainnya, juga terlihat bahwa ketetepan MPR ini menyerupai bentuk suatu peraturan kebijakan, hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 yang isinya berupa pedoman-pedoman bagi penyelenggara negara agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Dalam literature, Philipus M. Hadjon menamakan bentuk peraturan yang seperti ini sebagai suatu peraturan-peraturan kebijaksanaan (Beleidsregels, Policy Rules).[8] Secara umum, tindakan MPR mengeluarkan Ketetapan ini, dapat dikatogorikan sebagai freises ermessen, yakni :
1.      Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas service public;
2.      Merupakan sikap tidak aktif dari administrasi negara;
3.      Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4.      Sikap tindak ini di ambil oleh inisiatif sendiri;
5.      Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; dan
6.      Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Hal ini dapat dilihat pada pertimbangan dikeluarkannya ketetapan ini,  yang pada intinya mengemukakan bahwa pada saat dikeluarkannya Ketetapan ini permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu disebutkan juga bahwa terdapat desakan yang kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan Lembaga-Lembaga Negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
h)     Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001
Ketetapan ini memuat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.isi ketetapan ini juga mengatur terkait dengan arah kebijakan pengaturan tentang Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.  Selain berisikan norma hukum yang sifatnya perintah untuk melakukan pembaruan dan pengaturan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang agrarian dan sumber daya alam, sama denan ketetapan-ketetepan sebelumnya, isi ketetapan ini didominasi oleh arah kebijakan yang merupakan materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang yang akan dibentuk yang ditugaskan kepada Pemerintah bersama denan DPR. Materi muatan yang terkandung dalam ketetapan ini, memenuhi unsur-unsur karakteristik peraturan perundang-undangan. Sifat norma hukum berupa perintah dan larangan menunjukkan salah satu sifat dari norma hukum yang terkandung di dalamnya. Cakupan keberlakuannya pun ke luar, serta tidak bersifat einmahlig.
Berdasarkan pengkajian terhadap beberapa Ketetapan MPR/S yang dianggap masih berlaku sampai dengan saat ini,[9] dapat disimpulkan bahwa materi muatan ketetapan MPR sangat beragam, ada yang mengandung norma hukum yang sifatnya berupa peraturan perundang-undangan, keputusan, petaruran kebijakan, dan bahkan ada yang bentuknya diluar dari bentuk hukum negara yang kita kenal pada umumnya.
Selanjutnya, penelitian dilakukan terkait dengan pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Penulis menempatkan Pancasila sebagai norma hukum yang paling tinggi kedudukannya, yakni sifatnya Staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara). Penempatan ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa Pancasiala memenuhi kriteria sebagai norma hukum fundamental karena merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasar dasar filosofi yang mengandung tatanan nilai-nilai bagi pengaturan penyelenggaraan Negara. Lebih lanjut  penempatan ini sudah sesuai dengan ketentuan sebgaimana di atur dalam Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 yang menentukan bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber Hukum Negara.“[10]
Hal serupa juga dikemukakan oleh Jimly Assiddiqie, yang mengemukakan bahwa dalam konteks kehidupan bernegara, Pancasila sebagai Falsafah haruslah tercermin dalam pertimbangan-pertimbangan filosofis  yang terkandung di dalam setiap Undang-Undang. Undang-Undang Republik Indonesia tidak boleh melandasi diri berdasarkan falsafah hidup bangsa  dan Negara lain. Artinya Pancasila itulah yang menjadi landasan filosofis semua produk Undang-Undang Republik Indonesia.[11]
Selanjutnya untuk tingkatan Staatgrundgesetz penulis menempatkan UUD NRI Tahun 1945. Pertimbangan penulis yakni pertama, UUD NRI 1945 mengatur terkait norma-norma dasar yang menjadi sumber bagi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menentukan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa norma-norma yang termasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan haruslah berdasar ada UUD NRI Tahun 1945. Sehingga dengan penempatan ini, UUD NRI Tahun 1945 semestinya tidak di masukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, melainkan harus berada diluar tata urutan. Pendapat penulis tersebut tidaklah mengklasfikasikan UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan. UUD NRI Tahun 1945 tetap memenuhi karakteristik sebagai peraturan perundang-undangan, hanya saja karena kedudukan sebagai Staatgrundgesetz, UUD NRI Tahun 1945 haruslah berada di luar tata urutan. Jika UUD NRI 1945 di masukkan ke dalam jenis peraturan perundang-undangan maka UUD NRI 1945 haruslah berdasar ada dirinya sendiri, sehingga terjadi pengaturan yang tidak logis.
Lebih lanjut. pengaturan terkait dengan tata urutan yang ada di Indonesia hanya diatur pada peraturan-perundang-undangan yang bentuknya “Undang-Undang” yakni undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga menempatkan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari tata urutan peraturan perundang-undangan dan diatur pada tingkatan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah dari UUD NRI Tahun 1945, adalah hal yang keliru.
Selain itu, pada ketentuan Pasal 4 UU Nomor 11 Tahun 2012 tersebut, juga  ditentukan bahwa ”Peraturan Perundang-Undangan yang di atur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya”. Dengan pengaturan yang demikian, penulis berpendapat bahwa dimasukkannya UUD NRI Tahun 1945 dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dengan Undang-Undang adalah hal yang tidak tepat. Terkecuali jika pengaturan terkait dengan tata urutan peraturan peraturan perundang-undangan diatur pada tingkatan Konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945, barulah dapat UUD NRI Tahun 1945 boleh di masukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Karena yang boleh mengatur kedudukan UUD NRI Tahun 1945 hanyalah peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi, atau setidaknya setingkat dengan UUD NRI Tahun 1945, termasuk di dalamnya UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri.
Selanjutnya penulis menempatkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang pada tingkatan Formell Gesetz. Selain itu penulis juga berpendapat agar dalam pengaturan terkait tata urutan (hierarki) sebagaimana di atur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-Undang ditempatkan pada jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya paling atas. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang di atur dalam Undang-Undang tersebut meliputi Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Jika pada Pasal 7 Ayat (1) diatur bahwa UUD NRI 1945 merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, maka hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 di atas. Sehingga idealnya peraturan yang berada pada urutan teratas pada  ketentuan tersebut adalah Undang-Undang yang kemudian di ikuti oleh peraturan perundang-undangan yang kedudukan lebih rendah.
Namun sekali lagi penulis tegaskan bahwa, tidak dimasukkannya UUD NRI Tahun 1945 dalam tata urutan peraturan perundang-undangan bukan berarti bahwa UUD NRI Tahun 1945 bukan merupakan bagian dari Peraturan perundang-undangan atau salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hanya saja karena pengaturan di Indonesia terkait tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di atur dengan peraturan  setingkat “undang-Undang”, maka Undang-Undang tersebut tidak boleh mengatur kedudukan hukum yang sifatnya Staatgrundgesetz atau aturan dasar Negara/aturan pokok Negara. Meskipun Undang-Undang berada pada urutan teratas dalam tata urutan peraturan perundan-undangan, UUD NRI Tahun 1945 tetap merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 yang menentukan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.”
Pengaturan pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut, bukanlah pengaturan yang sifatnya mengatur UUD NRI Tahun 1945, melainkan mengatur dirinya sendiri, dan peraturan yang ada di bawahnya agar menjadikan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar, sehingga materi muatan Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ketentuan yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Selanjutnya penulis menempatkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan derah untuk tingkatan Verordning & Autonome Satzung (aturan Pelaksana & aturan otonom), dengan pertimbangan bahwa Pengaturan jenis peraturan perundang-undangan ini berada di bawah undang-undang. Kedudukan peraturan-peraturan tersebut memang lebih rendah dari pada kedudukan Undang-Undang, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih dalam pengaturan tata urutannya.   Selain itu materi muatannya pun merupakan materi kelanjutan atas ketentuan yang lebih tinggi, sehingga sesuai dengan kategori Verordning & Autonome Satzung (aturan Pelaksana & aturan otonom).
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur bahwa materi muatan Peraturan pemerintah adalah untuk menjalankan ketentuan undang-undang, sementara materi Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan undang-undang, melaksanakan peraturan pemerintah dan untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sehingga kedua jenis peraturan tersebut sangat memenuhi kriteria sebagai aturan pelaksana. Sedangkan Materi muatan peraturan daerah berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan ketentuan tersebut, Peraturan daerah sangat memenuhi kriteria sebagai aturan otonom.
Gambar III :
Visualisasi Penjenjangan Norma die Theory Stufenordnung der Rechtsnormen oleh Hans Nawiasky dalam kaitannya dengan tata hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia












KESIMPULAN DAN SARAN
 Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV Karya Ilmiah ini,  maka penulis menyimpulkan bahwa materi muatan Ketetapan MPR terdiri dari norma hukum yang sifatnya beragam, yakni materi mautan peraturan perundang-undangan, materi muatan Keputusan Tata Usaha Negara, Materi Muatan Peraturan Kebijakan dan Meteri muatan yang khusus. Dalam kaitannya dengan teori hierarki hukum Negara die Theory Stufenordnung der Rechtsnormen sebagaimana dikemukakan oleh Hans Nawiassky, maka Pancasila berada pada kelompok Staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara), yang merupakan sumber segala sumber Hukum Negara. Diikuti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berada pada kelompok Staatgrundgesetz (aturan dasar Negara/aturan pokok Negara), yang merupakan Hukum Dasar dalam peraturan perundang-undangan; Selanjutnya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada pada kelompok Formell Gesetz (undang-Undang Formal); Serta Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah berada pada kelompok Verordning & Autonome Satzung (aturan Pelaksana &  aturan otonom).
Berdasar pada kesimpulan di atas, maka penulis memberikan beberapa rekomendasi yakni Lembaga MPR yang ada saat ini tidak lagi memiliki kewenangan untuk membentuk suatu ketetapan yang sifatnya mengatur dan mengikat keluar. Maka untuk waktu ke depan, tidak akan lagi ditemukan jenis peraturan perundang-undangan Ketepan MPR yang baru. Dalam rangka mewujudkan tertib hukum dalam pengaturan terkait jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, materi muatan Ketetapan MPR yang masih berlaku saat ini, di masukkan ke dalam Program Legislasi Nasional untuk diusulkan sebagai Rancangan Undang-Undang. Karena materi muatannya pun sama dengan materi muatan undang-undang, yakni pengaturan lebih lanjut mengenai isi Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. selain itu perlu dilakukan perubahan pada Pasal 10 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur terkait dengan materi muatan undang-undang, yakni melakukan penambahan agar yang menjadi salah satu materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi “Pengaturan lebih lanjut Ketetapan MPR/S.  Selanjutnya, tata urutan peraturan perundang-undangan yang semestinya diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni:
(1)   Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum;
(2)   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan;
(3)   Jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a.       Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(PERPU);
b.      Peraturan Pemerintah
c.       Peraturan Presiden;
d.      Peraturan Daerah Provinsi;
e.       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
Ketetentuan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan tetap memperhatikan ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal ini.

DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2004. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta :Kerja Sama Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
_______________. 2005. Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Kontitusi Press.
_______________. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers.
Lubis, Soly M. 1977.  Landasan Dan Teknik Perundang-Undangan. Bandung: Alumni.
Mahfud, Moh. MD.  2001.  Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu.
Rahardjo, Sajipto. 2009. Hukum Progresif  Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Ridwan, H.R. 2011, Hukum Administrasi Negara.  Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Ruslan, Achmad. 2011.  Teori  dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Yogyakarta: Rangkang Education.
B.     Karya Ilmiah
Agus Budi Setiyono, 2008, Karya Ilmiah-Tesis “Pembentukan Peraturan Hukum Daerah yang Demokratis oleh Pemerintah Daerah”, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Ahmad M. Ramli, (Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional), Makalah “Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan” Dipresentasikan pada Semiloka “Keselamatan dan Kesehatan Kerja” diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, Tanggal 11-13 Maret 2008.
Donna Okthalia Setia Beudi, 2010, “Disertasi: Hakikat, Parameter, dan Peran Nilai Lokal Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Rangka Tata Kelola Perundang-undangan yang Baik,” Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
C.    Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan.
D.    Website:
http://www.bphn.go.id
http://www.mpr.go.id
http://www.presidenri.go.id




[1] Achmad Ruslan, 2011,  “Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Rangkang Education, Yogyakarta. Hal. 19.
[2] Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif (Sebuah SIntesa Hukum Indonesia). Yogyakarta: Genta Publishing, Hal 5.
[3] Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, Hal. 151
[4],Ridwan, H.R. 2011, “Hukum Administrasi Negara”  Rajagrafindo Persada, Jakarta, Hal. 158.
[5] Philipus M. Hadjon Dkk. Op. Cit. Hal. 152.
[6] Philippus M. Hadjon Dkk. Op. Cit. Hal. 153. Dan Ridwan H.R. Op.Cit. Hal. 169.
[7] Ridwan H.R. Op. Cit. Hal. 158.
[8] Philipus M. Hadjon Dkk. Op. Cit. Hal. 152.
[9] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Op.Cit, Hal. 44.                                    
[10] Mesikupun banyak pakar berpendapat bahwa yang berada pada tingkatan Staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara) adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI 1945, dengan dalil bahwa dalam pembukaan tersebut termaktub juga isi Pancasila, namun penulis berpendapat bahwa itu hanyalah berupa penegasan saja, tetapi tetap esensi dari pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI 1945 merupakan ketentuan yang sifatnya aturan dasar/aturan pokok  Negara.  Bentuk-bentuk penegasan seperti itu banyak ditemukan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan delegasian dari peraturan yang kedudukannya lebih tinggi, baik yang tersirat maupun tersurat.
[11] Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undang…Op. Cit… Hal 117-118.

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter