Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Kamis, 13 Juni 2013

Pengertian Hukum Pidana, Unsur-Unsur TIndak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, dan Teori Pemidanaan

BAB I
HUKUM PIDANA
A.   Pengertian Hukum Pidana
Sebelum membahas lebih jauh mengenai unsur-unsur tindak pidana dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, Justt_Everr akan membahas terlebih dahulu tentang apa hukum pidana itu sebenarnya, dan mengapa seseorang yang melakukan tindak pidana harus dipertanggungjawabkan secara pidana?tentunya Justt_Everr  memulainya dengan membahas istilah dan pengertian hukum pidana. Diharapkan pembahasan ini akan membuat para pembaca memahami betul tentang pemaknaan istilah hukum pidana, sehingga memudahkan pembaca untuk dapat memahami dan membedakan unsur-unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup  kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga  dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.
Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafrecht Straf berarti pidana,dan recht berarti hukum.
            Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk  pengertianburgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda. [1]
            Pengertian hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah Soedartoyang mengartikan bahwa:[2]
Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkankepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
Selanjunya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan pengertian hukum pidana, maka tidak terlepas dari KUHP yang memuat dua hal pokok, yakni:
1)    Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.
2)    KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan  tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.[3]
Satochid Kartanegara, mengemukakan:[4]
bahwa hukuman pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan  dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.
Selanjutnya  Prof. Moelyatno, S.Hmengartikan bahwa hukum pidanaadalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang  mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:[5]
1)    Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2)    Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yangtelah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3)    Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Selanjutnya Moeljatno menjelaskan dari pengertian hukum pidana tersebut di atas maka yang disebut dalam ke-1) adalah mengenal “perbuatan pidana” (criminal act). Sedang yang disebut dalam ke-2) adalah mengenai “pertanggungjawaban hukum pidana” (criminal liability atau criminal responsibility). Yang disebut dalam ke-1) danke-2) merupakan “hukum pidana materil” (substantive criminal law), oleh karena mengenai isi hukum pidana sendiri. Yang disebut dalam ke-3) adalah mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu hukum acara pidana (criminal procedure). Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana materil.[6]
Menurut Profesor Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti  objektif  atau strafrecht in objective zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Hukum Pidana dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan sebagai:
“het geheel van varboden en geboden , aan welker overtrading door de Staat of eenige andere openbare rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verbonden is, van de voorschriften, doorwelke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en toegepast”.
Yang artinya:
Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatupenderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjaTuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.

Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu:
a.    Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b.    Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukum.
Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius puniendi.[7]
                                                                     









Add caption

B.   Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil.Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut :[9]
a.    Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana.
b.    Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
Doktrin yang juga membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil, dikemukakan oleh J.M. Van Bemmelen  menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut:[10]
Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.





Tabel 1 :Perbandingan Objek Pidana Formil Dan Pidana Materil



Selanjutnya, hukum pidana formil maupun hukum pidana materil itu sendiri, masih terbagi sebagaimana digambarkan pada bagan berikut ini:




C.   Asas Legalitas
1.    Arti dan Makna Asas Legalitas
            Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat  (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana  (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu :[11]
Ø  Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
Ø  Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Ø  Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
            Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung 3 pokok pengertianyakni :
a.    Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;
b.    Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan analogi; dan
c.    Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut;
2.    Tujuan Asas Legalitas
            Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas diadakan bertujuan untuk :[12]
a.    Memperkuat adanya kepastian hukum;
b.    Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c.    Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana;
d.    Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e.    Memperkokoh penerapan “the rule of law”.
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:[13]
1.    Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:
a.    Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
b.    Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
2.    Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturanpidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
a.    Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b.    Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

3.    Pengecualian Asas Legalitas
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka / terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundanga-undangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :
1.    Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah. Perubahan undang-undang lain selain dari UU pidana walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini.
2.    Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan keyakinan  hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam UU pidana.
3.    Teori material tak terbatas yang  merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5 desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun perubahan yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).

BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TINDAKPIDANA
A.   Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istiah Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1.      STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa pidana;
2.      STRAFBARE HANDLUNG diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3.      CRIMINAL ACT diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit.Yang masng-masing memiliki arti:
Ø  Straf diartikan sebagai pidana dan hukum,
Ø  Baar diartikan sbagai dapat dan boleh,
Ø  Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan defenisi mengenai delik, yakni:[14]
Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”

Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit  sebagai berikut:[15]
Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”

Sementara Jonkers merumuskan bahwa:[16]
Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Strafbaarfeitjuga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai :[17]
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjaTuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.

Adapun Simons masih dalam buku yang sama merumuskan strafbaarfeitadalah :[18]
Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.Agar lebih jelasnya,Justt_Everr mengelompokkan dalam 5 kelompok istilah yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
Ke-1           :   Peristiwa pidanadigunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1962: 32),Rusli Efendi (1981: 46), Utrecht (Sianturi 1986: 206) dan lain-lainya;
Ke-2           :  Perbuatan pidana  digunakan oleh Moejanto(1983 : 54)dan lain-lain;
Ke-3           : Perbuatan yang boleh di hukum”  digunakan oleh H.J.Van Schravendijk(Sianturi 1986 :206)dan lain-lain;
Ke-4           :   Tindak pidana digunakan oleh Wirjono Projodikoro(1986 : 55),Soesilo (1979 :26)dan S.R Sianturi (1986 : 204) dan lain-lain;
Ke-5           :   Delik”digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1981 : 146    dan Satochid Karta Negara (tanpa tahun : 74) dan lain-lain.
Sarjana hukum tersebut di atas, menggunakan istilah masing-masing dengan disertai alasan dan pertimbangannya masing-masing. Moelijanto beralasan bahwa digunakannya istilah ”perbuatan pidana”karena kata ”perbuatan” lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan cabul,kata perbuatan jahat,dan kata perbuatan melawan hukum.[19] Lebih jauh Moeljantomenegaskan bahwa perbuatan menunjuk ke dalam yang melakukan dan kepada akibatnya,dan kata perbuatan berarti dibuat oleh seseorang yang dapat dipidana adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari starfbaarfeit.[20]
Lebih jelasnya Moeljanto menyatakan sebagai berikut:[21]
1.    Kalau utrecht,sudah lazim memakai istilah hukum, maka hukum lalu berarti: berecht, diadili yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan starf, dipidana karena perkara-perkara perdata pun diberech, diadili maka saya memilih untuk terjemahan strafbaar adalah istilah pidana sebagai singkatan dari”yang dapat dipidana”.
2.    Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang menunjuk lain pada yang melakukan maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjuk bahwa yang melakukannya adalah ”handling” atau ”gedraging” seseorang mungkin atau mungkin juga hewan atau alam dan perkataan tindak berarti langkah baru dan tindak tanduk atau tingkah laku.
H.J Van Schravendiik mengartikannya delik sebagai perbuatan yang boleh di hukum,sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana,karena istilah pidana menurut beliau meliputi perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan atau met doen,negatif/maupun akibatnya).[22]
S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana jelasnya Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut:[23]
Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada,tempat,waktu,dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).
Sianturiberpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan singkatan dari kata ”tindakan” artinya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan sebagai penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang,akan tetapi dalam banyak hal suatu tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan menurut golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai dan lain-lain sebagainya, jadi status/klasifikasi seorang penindak menurut Sianturiharuslah dicantumkan unsur”barang siapa”.[24]
Penggunaan terhadap istilah “tindak pidana” ini dikomentari oleh Moeljatno sebagai berikut:[25]
Meskipun kata tindak lebih pendek dari pada kata ”perbuatan” tapi ”tindak”tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,tapi hanya menyatakan keadaan konkrit sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan,tingkah laku,gerak-gerik,sikap jasmani seseorang,lebih dikenal dalam tindak tanduk,tindakan dan bertindak dan belakangan di pakai ”ditindak” oleh karena itu tindak sebagai kata tidak begitu di kenal,maka perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu di pakai kata ”perbuatan”.
            Andi Zainal Abidin mengemukakan pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah ”delik” yang berasal dari bahasa latin ”delictum delicta” karena:[26]
1.    Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2.    Bersifat ekonomis karena singkat;
3.    Tidak menimbulkan kejanggalan seperti ”peristiwa pidana”, ”perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya); dan
4.    Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) menurut Justt_Everr tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.
Demikian halnya dengan Satocid Kartanegara dimana dalam rangkaian kuliah beliau di Universitas Indonesia dan AHM/PTHM, menganjurkan istilah tindak pidana karena istilah tindak (tindakan) mencakup pengertian melakukan atau berbuat, (active handting) dan/atau tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passive handeling).[27]
Istilah perbuatan menurut Satochid adalah berarti melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan/ tidak melakukan, istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana staarbaarfeit yang setelah membahas uraian tentang pengertian delik, pada akhirnya pilihannya jatuh pada istilah delik.
Bukan saja Satocid dan Wirjono yang menerjemahkan delik (Starbaarfeit) seperti tersebut di atas, tetapi Andi Zainal Abidin pula selama kurang lebih dua puluh mendalami makna Starbaarfeit. Setelah membahas uraian tentang pengertian delik,yang pada akhirnya pilihannya jatuh pada istilah delik.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu  Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:[28]
“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut”
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “aturan hukum pidana” dimaksudkan  akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu :[29]
Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur  yaitu:[30]
a.    Subjek;
b.    Kesalahan;
c.    Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;
d.    Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;  dan
e.    Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege  (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), sebagaimana telah di bahas pada Sub-Bab sebelumnya.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawabkan atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar telah terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukannya, maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.

B.    Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yakni sebagai berikut:
a)  Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatanyang dimuat dalam buku II dan pelanggaranyang dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara.
Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
1)    Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.
2)    Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
3)    Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b)   Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. Perihal pembedaan ini, akan di bahas lebih lanjut pada Sub-Bab selanjutnya.
c)    Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja(culpa).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.
d)   Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.   
e)    Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
f)     Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.Dalam hal ini sebagaimana mata kuliah pada umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah delik-delik di dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP.
g)   Dilihat dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h)   Berdasarkan perlu tidaknya pengaduandalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yangdapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.          
i)     Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentukpokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:
1)    Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;
2)    Dalam bentuk yang diperberat; dan
3)    Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 
j)     Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya, sangat tergantungpada kepentingan hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan  (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya.
k)    Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan,dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.[31]


Bagan 7 : Jenis-Jenis Tindak Pidana



C.   Tindak Pidana Materil dan Tindak Pidana Formal
Meskipun telah dibahas sebelumnya, namun Justt_Everr menganggap perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai pembagian tindak pidana formil dan tindak pidana materil.Penggolongan terhadap tindak pidana formil dan materil ini, didasarkan atascara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu pengetahun hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materiel delict).
Berbeda halnya dengan tindak pidana formal (formeel delict), pada tindak pidana ini, perumusannya menyebutkan wujud dari suatu perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan dari perbuatan itu.
E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya memberikan penjelasan terkait penggolongan tindak pidana ini berdasarkan cara perumusannya, dijelaskan bahwa:[32]
Delik formalberhadapan dengan delik material.Pada delik formal, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya Pasal-Pasal: 160 (penghasutan), 209 (penyuapan), 247 (sumpah palsu), 362 (pencurian). Padapencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak. Lain halnya pada delik material, yang selain daripada tindakan yang terlarang dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dapat dikatakan  telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: Pasal-Pasal : 187 (pembakaran dan sebagainya), 338 (pembunuhan), 378 (penipuan), harus timbul akibat-akibat secara berurutan yakni, kebakaran, matinya korban, pemberian sesuatu barang. Perbedaan seperti ini sangat penting, dihubungkan dengan ajaran-ajaran locus dan tempus delicti, percobaan, penyertaan dan kadaluarsa.

Materi berarti “isi”, dan formal berarti “wujud”, maka dalam tindak pidana materil dirumuskan berupa akibat yang dilarang, sementara dalam tindak pidana formal yang dirumuskan adalah wujud pebuatan yang dilarang. Untuk lebih memberikan pemahaman mengenai perbedaan antara tindak pidana materil dan formal.Berikut Justt_Everr memberikan contoh dengan bagan sebagai berikut:

Ø  Contoh pasal dalam KUHP yang termasuk dalam tindak pidana Materiel,  yakni Pasal 338 KUHP (Pembunuhan Biasa) :

Bagan8 :Contoh Tindak Pidana Materil

Ø  Contoh pasal dalam KUHP yang termasuk dalam tindak pidana formal, yakni Pasal 362 KUHP:
Bagan 9:Contoh Tindak Pidana Formal

D.   Aliran dan Doktrin Terkait Unsur-Unsur Tindak Pidana
Untuk membahas lebih jauh mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, Justt_Everr akan membahasnya secara doktrinal dan berdasarkan aliran yang berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana.
1.    Aliran Monistis dan Dualistis
Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur perbuatan pidana, yaitu :[33]
a.    Pandangan Monistis
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).
Menurut D. Simons tindak pidana adalah :[34]
Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Dengan batasan seperti ini menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.    Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
2.    Diancam dengan pidana;
3.    Melawan hukum;
4.    Dilakukan dengan kesalahan; dan
5.    Oleh orang yang mampu bertanggungjawab;
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai :
“Kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.
Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :[35]
Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban pidana (criminal liability) dan mencakup kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab .
Menurut J. Bauman “perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.[36]
Sementara Menurut Wirjono Prodjodikoro yang juga berpandangan monistis menerjemahkan strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa, “suatu perbuatan yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku tersebut termasuk subyek tindak pidana”.[37]
Van Hammel yang berpandangan monistis  juga merumuskan strafbaarfeitsebagai, “perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang sebagai melawan hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten)” [38]
b.    Pandangan Dualistis
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal responbility, sementara menurut pandangan dualistis, yakni :
Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.
Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis yaitu sebagai berikut :
Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah “feit (tindakan, pen), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”. [39]
Maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur sebagai berikut:
a.  Adanya perbuatan (manusia);
b.  Memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP;
c.   Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).
Moeljatno yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai berikut:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut” [40]
Berdasarkan defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang diberikan tersebut di atas, bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility).
Namun demikian, Moeljatno juga menegaskan, bahwa :[41]
“untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak”.
Selain itu, untuk dapat di kategorikan sebagai tindak pidana sebuah perbuatan haruslah tidak memiliki alasan pembenar, yakni alasan pembenar (rechtvaadigingsrond)  sebagaimana  diatur dalam Pasal 48 KUHP tentang keadaan darurat (noodtoestand), Pasal 49 ayat (1) KUHP pembelaan tepaksa (Noodweer), Pasal 50 tentang “melaksanakan Undang-undang”dan Pasal 51 KUHP tentang “menjalankan perintah jabatan yg diberikan oleh penguasa yang berwenang.”
Alasan penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pembenar yang terdapat dalam  KUHP adalah :
1.    Keadaan darurat (Nootoestand):
Keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa relatif (vis compulsova) diatur dalam Pasal 48 KUHP. “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”


2.    Pembelaan terpaksa (Noodweer):
Diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP “ Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum “.
3.    Melaksanakan ketentuan Undang-undang.
Diatur dalam Pasal 50 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana.
4.    Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
Diatur dalam Pasal 51 KUHP “ Barangsiapa melakukan perbuatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Bagan 10: Perbedaan Pandangan Aliran Monistis dan Dualistis Terkait Unsur-Unsur Tindak Pidana


2.    Doktrin Terkait Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula harus dibahas adalah  suatu“tindakan manusia”,Karena dengan tindakan itulah seseorang dapat melakukan apa yang dilarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:[42]
1)    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2)    Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat(1) KUHP;
3)    Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4)    Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; dan
5)    Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana  menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1)    Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;
2)    Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
3)    Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1)    Diancam dengan pidana oleh hukum;
2)    Bertentangan dengan hukum;
3)    Dilakukan oleh orang yang bersalah; dan
4)    Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sementara A. Fuad Usfa, dalam bukunya Pengantar Hukum Pidana mengemukakan bahwa:[43]
Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:
1.    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2.    Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3.    Macam-macam maksud atau oogmerkseperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian;
4.    Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedang unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi:
1.    Sifat melanggar (melawan, pen.) hukum;
2.    Kualitas dari si pelaku, misalnya  keadaan seseorang sebagai pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.
3.    Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
Selain berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, yang pada umumnya membagi unsur tindak pidana ke dalam unsur objektif dan unsur subjektif, Loebby Loqman juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur tindak pidana. Menurut beliau unsur-unsur tindak pidana meliputi:[44]
1.    Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
2.    Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang;
3.    Perbuatan itu di anggap melawan hukum;
4.    Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan
5.    Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Selain Loebby Loqman, Moeljatno juga mengemukakan pendapatnya mengenai unsur tindak pidana. Menurut beliau bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar langgaran tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai  suatu hambatan  tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Dengan demikian, menurut Moeljatno dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1.    Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;
2.    Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
3.    Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum);
4.    Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan;
5.    Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat.

BAB III
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
A.   Ada Perbuatan (mencocoki rumusan delik)
Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit), yakni:[45]
1)    Perbuatan (feit) =terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu dikemudian dari yang lain.
2)    Perbuatan (feit) = perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh: seseorang di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian, kemudian ternyata ia sengaja melakukan pembunuhan, maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan kematian”. Vas tidak menerima pengertian perbuatan (faith) dalam arti yang kedua ini.
3)    Perbuatan (feit) = perbuatan material, jadiperbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.
Pada prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, Dengan kata lain, actus reus adalah elemen luar (eksternal element). [46]
Dalam kepustakaan hukumactus reus ini sering digunakan  padanankata “conduct” untuk perilaku yang menyimpang menurut kaca mata hukum pidana. Atau dengan kata lain, actus reusdipadankan dengan kata conduct.  Sementara itu, dalam kepustakaan hukum dikatakan bahwa actus reusterdiri atas “act and omission”atau“commission and omission”, di mana dalamkedua frasa tersebut, act sama dengan commission. Oleh karena pengertian actus reusbukan mencakup act atau commission saja, tetapi juga omission, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat lebih tepat  untuk memberikan padanan kata actus reus dengan kata perilaku. Perilakumenurutnya merupakan padanan kata dari dari kata conduct dalam bahasa inggris yang banyak dipakai untuk merujuk kepada perilaku yang melanggar ketentuan pidana. Selanjutnya actus reusseyogianya tidak dipadankan dengan kata “perbuatan” atau “tindakan” karena kata tersebut merupakan padanan dari kata actdalam bahasa  inggris.
Commissionadalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana, dan omission adalahtidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakukan. “Perilaku” lebih luas maknanya dari “perbuatan” atau “tindakan”, yang tidak lain sama artinya dengan  actatau commission. Pengertianperilaku bukan hanya terbatas pada makna “perbuatan untuk melakukan sesuatu” tetapi juga termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu.Dengan keterangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa “tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana” tidak dapat dikatakan “perbuatan” atau “tindakan” atau “act”atau “commission”. Namun demkian tetap termasuk perilaku melanggar hukum.
Baik commission maupunomissiontersebut tentulah harus tertuang sebagai unsur dalam sebuah rumusan pasal agar tidak  terjadi benturan dengan asas legalitas.

Contoh:
Bagan 11 : Unsur Perbuatan Dalam Rumusan Pasal
Pasal 362 KUHP yang unsur-unsurnya terdiri atas:


B.   Ada Sifat Melawan Hukum(wederrechtelijk)
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum (wederrechtelijk), yaitu:[47]
1.    Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai “bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara.
2.    Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (hukum subjektif).
3.    Menurut Hoge Raad dengan keputusannya tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum artinya “tanpa wenang” atau “tanpa hak”.
4.    Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana BPHN atau BABINKUMNAS dalam Rancangan KUHPN memberikan definisi “bertentangan dengan hukum” artinya, bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat, atau yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum.adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1)    Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
2)    Sifat melawan hukum materil (materielewederrechtelijk).
Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan undang-undangitu bersifat melawan hukum.bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Perbedaan yang pokok antara kedua pendapat tersebut di atas, adalah:
1)    Pendapat yang formil hanya mengakui adanya pengecualian (peniadaan) sifat melawan hukum dari perbuatan yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis). Seperti:
Ø  Pasal 48 KUHP (daya paksa/overmacht);
Ø  Pasal 49 ayat (1) KUHP (bela paksa/noodweer);
Ø  Pasal 50 KUHP (melaksanakan ketentuan undang-undang;
Ø  Pasal 51 ayat (1) KUHP (perintah jabatan yang sah).
Sedangkan pendapat material, mengakui adanya pengecualian (peniadaan) tersebut, selain daripada yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis) juga terdapat dalam hukum yang tidak tertulis.
2)    Perbedaan selanjutnya, menurut pendapat yang formil sifat melawan hukum tidak selalu menjadi unsur tindak pidana, hanya apabila dinyatakan dengan tegas dalam rumusan tindak pidana barulah menjadi unsur tindak pidana. Sedangkan menurut pendapat yang material sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana, juga bagi tindak pidana yang dalam rumusannya tidak dinyatakan dengan tegas.
Selain pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan pendapatnya terkait sifat melawan hukum (wederrechtelijk) ini. Nico Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukum Pidana di Undip Semarang pada tanggal 6 sampai dengan 12 agustus 1987 mengatakan bahwa dalam dogmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai empat makna yang berbeda, yakni:
1.    Sifat melawan hukum formil
Sifat melawan hukum formil berarti semua bagian dari rumusan delik telah terpenuhi, yang terjadi karena melanggar ketentuan pidana menurut undang-undang.Sifat melawan hukum formil ini merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas. Apakah rumusan delik telah terpenuhi, jadi apakah ada sifat melawan hukum formil, tidak begitu saja dapat disimpulkan dari bunyi rumusan delik .ini harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab pertanyaan apakah suatu bagian tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian tersebut.
2.    Sifat melawan hukum materil
Sifat melawan hukum materil berarti melanggar atau mebahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.Pada delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material, sifat melawan hukum material dimasukkan dalam rumusan delik sendiri dan karena itu bukti dari sifat melawan hukum material termasuk dalam bukti dari rumusan delik.Pada delik-delik ini, pengertian sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum material itu pada umumnya menyatu.Misalnya dalam rumusan delik pembunuhan, hanya dipenuhi kalau kepentingan hukum di belakangnya yaitu nyawa dilanggar.Sedangkan dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan secara formil sifat melawan hukum material itu tidak dimasukkan dalam delik sendiri, jadi tidak perlu dibuktikan.
3.    Sifat melawan hukum umum
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang) yang berarti bertentangan dengan hukum objektif. Hal ini pada umumnya terjadi jika perbuatannya  bersifat melawan hukum formil dan tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar ini mungkin ada, baik pada delik materil maupun pada deik formil. Pada delik formil contohnya; seseorang diserang secara melawan hukum dan satu-satunya jalan adalah membunuh penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus melanggar rumusan delik Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perbuatannya dengan mengingat semua keadaan, tidak bersifat melawan hukum.Pada delik formil, contohnya; seorang pengendara mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu dilakukannya atas perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan delik, namun perbuatannya tidak bersifat melawan hukum.
4.    Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) memiliki arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat melawan hukum menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu fase dari sifat melawan hukum umum.  Contoh;
Ø  Pasal 362 KUHP (pencurian) pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”.
Ø  Pasal 167 KUHP (mengganggu ketentraman rumah tangga) pada anak kalimat “memaksa masuk secara melawan hukum, atau berada disitu secara melawan hukum dan tidak pergi”.
Ø  Pasal 378 KUHP (penipuan) pada anak kalimat “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,  dll.
C.   Tidak ada alasan Pembenar
1.    Daya Paksa Absolut
Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang me­maksa. Kalimat aslinya berbunyi:
Met Strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacltt is gedrongen. "
Undang-undang tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan keadaan memak­sa (overmacht). Tidaklah jelas, apakah overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini telah berabad-abad dipersoalkan oleh para yuris dan filosof. Remmelink yang mengerjakan buku Haze­winkel-Suringa, cetakan ke 8, mengatakan, bahwa pada cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat dipi­dananya overmacht itu. Di dalam hukum alam katanya orang ber­pendapat bahwa perbuatan karena keadaan terpaksa itu berada di luar semua hukum. Necessitas no haber legem (Not kennt kein Gebot), kata hukum Kononik. Fichte berpendapat bahwa siapa yang membuat karena overmacht exempt von der Rechsordnung. Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.
Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutlak, biasa di­sebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban pak­saan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama 'sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertin­das dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertang­gungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.
Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak dapat berbuat lain.Di sini daya paksa itu datang dari luar. Mungkin dari manusia seperti tersebut di muka, mungkin pula dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan me­nimpa pula pesawat lain sehingga jatuh korban di pesawat lain itu. Menurut Vos, memasukkan vts absoluta ke dalam daya paksa adalah berkelebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang disadari dan orang yang memaksa itu bukan se­bagai pembuat tidak langsung tetapi sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi, kalau ia ditun­tut mestinya diputus bebas (yang sengaja atau kelalaian merupa­kan unsur delik) bukan lepas dari tuntutan hukum. Kecuali bebe­rapa hal dalam delik pelanggaran karena di situ kesalahan tidak secara tegas merupakan elemen delik. (Hal ini dapat dibanding­kan dengan strict liability (tanggung jawab mutlak).
Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa(overmacht) itu merupakan suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal di mana seseorang karena ancaman terpaksa melakukan delik.Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa.
Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenar­nya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit iaIah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.
Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan kapal seperti Tampomas l, orang melompat ke laut, dan ada yang mendapatkan sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang- papan itu supaya ia sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoe.stand).Contoh klasik ini diperkenalkan oleh Cicero di dalam bukunya Republica et de ifficio yang menunjuk tulisan filosof Yunani yang bernama Karneades.
Keadaan darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup.Kepentingan pertama yakniorang yang memegang papan untuk hidup, begitu pula yang hendak merebut papan itu, juga dengan kepentingan “untuk hidup”.
Keadaan darurat yang lain, yaitu pertentangan antara kepentingan,dan kewajiban, misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa izin. Di sini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati hukum (tidak memasuki rumah orang tanpa izin).Bentuk ketiga dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melaku­kan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya kewajiban seorang penjaga keamanan yang setiap saat harus selalu berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban untuk melapor­kan, permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahui­nya, (Pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi ten­tang adanya permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penja­gaannya yang berarti melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut Pasal 522 KUHP seseorang yang di­panggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan sah, diancam de­ngan pidana).[48]
Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Para Justt_Everr berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa semua bentuk daya paksa (overmacht), baik dalam arti sempit maupun keadaan darurat (nodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Alasannya ialah semua per­buatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demiki­an, diikuti oleh Moeljatno.
Dikatakan oleh Moeljatno:[49]
"Dari pendapat-pendapat tersebut di atas yang paling dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh daya paksa, di mana fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya. Yang masih menjadi persoalan tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan batin dari luar itu, untuk dapat dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaaf­kan. "
Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini daya paksa (overmacht) yang tercantum di dalam Pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut keadaan darurat (noodtoe,stand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini perbuatan di­benarkan, misalnya sopir (pengendara) yang memberhentikan kendaraannya di jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (reach tvaardigt) per­buatan-perbuatan yang jika pembuat itu sendiri tidak mempunyai pilihan yang lain selain melanggar peraturan sebagaimana contoh di atas.
Sedangkan daya paksa dalam arti sempit artinya ada paksaan dari orang lain, termasuk dalam dasar pemaaf.Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer, Hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.Hazewinkel-Suringa menunjuk putusan mengenai keadaan darurat (noodtoestand) yang paling termasyhur, yaitu arrest kaca mata (opticien arrest, H. R. 15 Oktober 1923 N.J. 1923. Putusan Pengadil­an Amsterdam melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan hukum, sesudah dibuktikan bahwa ia pada waktu toko sudah harus ditutup (menurut peraturan yang berlaku di Amster­dam), menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de Groothkarena kacamatanya ditiup oleh angin badai, sehingga kacamata tuan De Grooth jatuh dan pecah, jika penjual kaca mata tersebut tidak melanggar, maka ia membiarkan tuan De Gorthtidak dapat melihat apa-apa lagi dan oleh karena itu ia berada dalam keadaan berbahaya.[50]
Hazewinkel-Suringa selanjutnya menghubungkan putusan ini dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hati ini Hoge Raad telah menambah keadaan darurat dalam arti. sempit yang dahulu berupa daya paksa psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve overmacht).Di sini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan tidak dipidananya pembuattetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu tidak dipidananya perbuatan: Haze­winkel-Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.[51]
Jadi, jelaslah bahwa Hazewinkel-Suringa sama dengan Van Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang-­kadang berupa dasar pemaaf. la memberi contoh jika seseorang menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwa­nya sendiri, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal ini karena keadaan darurat merupakan salah satu dasar pemaaf. Sebaliknya jika seseorang meninggalkan pos penjagaan karena pergi melaporkan tentang terjadinya permufa­katan untuk melakukan kejahatan, maka di sini ada dasar pem­benar.
Kalau kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang baru, Notstaad terbagi  dua, yaitu Pasal 34 mengatur ten­tang dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan Pasal 35 mengatur dasar pemaaf (Entschuldigender Notstaad),
Lain halnya dengan Pompe, yang mengkategorikanseluruh daya paksa (overmacht) sebagai dasar pembenar. Alasannya ialah pemisahan antara "daya paksa" sebagai dasar peniadaan kesalahan dan "keadaan darurat" sebagai dasar pembenar tidak dapat di­terima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan (orang) yang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan, perundang-undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa di luar pembuat. Faktor psikis di dalam daya paksa memperlihatkan hubungan antara melawan hukum dan kesalahan .
Van Hamel pun mengatakan bahwa baik dorongan psikis merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar pembenar, karena pembuat tidak perlu memberi perlawanan. Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa daya paksa (over­macht) itu selalu datang dari luar diri pembuat yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah menunjuk­kan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat yang tidak dapat ia tidak berbuat. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya sebagai sebab luar dari tidak dapat di­pertanggungjawabkan.
Oleh karena itu keyakinan susila dan keberatan batin tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila menge­nai persiapan perang dan membunuh sesama manusia, dapat di­tuntut karena menghasut (H.R. 26 Juni 1916, N.J. 1916, him. 703).


2.    Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat (1) KUHP
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-­undang.

Pasal 49 (1) KUHP (terjemahan) mengatakan:
"Tidak dipidang barang siapa yang melakukan perbuatan pem­belaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, karena serangan sekejap itu atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum."
Pembelaan terpaksa KUHP Indonesia ini berbeda dengan WvS Belanda, karena KUHP Indonesia mengikuti WvS untuk golongan Eropa dulu (1898). la memperluas pengertian serangan bukan hanya yang sekejap itu seperti WvS Belanda (oogenblikke lijke) tetapi diperluas dengan ancamanseranganyang sangat dekat pada saat itu (onmiddelijke dreigende). Alasannya, karena situasi dan kondisi Indonesia (Hindia Relanda, waktu itu) berbeda dengan Belanda. Tetapi menurut Lemaire, maksud tersebut kurang ber­arti, hanya mempertegas saja, karena menurut Justt_Everr Belanda, Pasal 41 WvS (Pasal 49 KUHP) itu berarti juga ancaman serangan seketika itu.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu pem­belaan terpaksa (noodweer) tersebut:
1.    Pembelaan itu bersifat terpaksa;
2.    Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan ke­susilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain;
3.    Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu; dan
4.    Serangan itu melawan hukum.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional, tidak semua alat dapat digunakan ( hanya yang pantas, masuk akal saja).
Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menem­bak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembela­an itu harus sangat perlu. Kalau perlindungan cukup dengan lari maka pembelaan tidak perlu. Begitu juga putusan Hoge Raad 15 Januari 1957. Tetapi Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa lari jika mungkin itu kalau serangan datang dari orang gila.
Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormat­an kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan dankehormatan kesusilaan yang meliputi perasa­an malu seksual. Lebih sempit daripada kehormatan tetapi lebih luas daripada tubuh saja (Hoge Raad 8 Januari 1917 N.J. 1957 halaman 175).
3.    Menjalankan Ketentuan Undang-undang Pasal 50 ayat (1) KUHP
Pasal 50KUHP menyatakan (terjemahan):
"Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana."
Sederhana sekali bunyi undang-undang ini. Namun masih ter­dapat perbedaan pendapat sekitar istilah apa yang dimaksud dengan undang-undang di situ. Apakah hanya undang-undang dalam arti formal saja (yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan DPR) ataukah meliputi juga undang-undang dalam arti material sehingga meliputi pula Peraturan Pemerintah dan peratur­an yang .lebili rendah yang lain.
Kalau kita bandingkan dengan sejarahnya di Belanda, maka mula-mula Hoge Raad (27 Juni 1887, W5447)mengartikan undang-undang dalam arti formal yaitu yang dibuat oleh raja dan Staten Generaal ditambah dengan AMvB dan peraturan sebagai pe­lengkap undang-undang secara keseluruhan atau diperintahkan oleh undang-undang.
Kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan ke­tentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang menurut Undang-Undang Dasar atau undang­ undang (HR 26 Juni 1899 W7307; 30 Nov. 1914, N.J. 1915, 282, W3747). Arrest terakhir itu mengenai hal: Seorang yang bernama Rambonnet melanggar Pasal 7 Peraturan Air Leiding di Gemeente Doornspijk. Ia telah mengeluarkan perintah untuk menempatkan tanggul di waduk Eeksterbeek dan dengan itu mengganggu jalan air di anak sungai. Di dalam peraturan lain ditentukan bahwa Rambonnet berdasarkan syarat-syarat tertentu harus mengatur ke­adaan air di anak sungai itu. Rambonnet bertindak melaksanakan ketentuan perundang-undangan terakhir. Keistimewaan arrest ini ialah Hoge Raad mengakui di sini, bahwa sebagai ketentuan undang-undang ialah suatu peraturan yang berisi suatu aturan yang menyangkut satu orang.[52]
Menurut Pompe, ketentuan undang-undang meliputi peraturan (verordening) dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi ketentuan yang berasal langsung dari pembuat undang-undang, dari penguasa yang lebih rendah yang mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan yang berdasar undang-undang. Yang melaku­kan perbuatan itu merupakan kewajibannya, oleh karena itu undang-undang itu menyatakan: "dalam melaksanakan suatu . . ketentuan.[53]
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan menurut hukum acara pidana termasuk pengertian Pasal 50 ini.Hazewinkel-Suringa  menyatakan antara lain, bahwa ketentuan Pasal 50 ini sebagai dasar pembenar berkelebih­an (overbodig), karena bagi orang yang menjalankan ketentuan undang-undang dengan sendirinya tidak melawan hukum. Contoh orang yang tidak mempunyai wewenang menyidik (orang swasta) tetapi menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan, jika tidak termasuk ke dalam pengertian Pasal 50 KUHP, yaitu men­jalankan ketentuan undang-undang (KUHAP), ia toh tidak dapat dipidana karena tidak melawan hukum.
Menurut Hoge Raad 14 Oktober 1940, 1961No. 165 untuk penerapan Pasal 50 KUHP disyaratkan pelaksanaan kewajiban ber­dasarkan undang-undang.Menurut Hazewinkel-Suringa, kata feit (perbuatan) di dalam Pasal 50berarti perbuatan yang memenuhi isi delik. Bagaimana mungkin seseorang berbuat melaksanakan ketentuan undang­-undang bersamaan dengan itu melakukan delik. Sebenarnya ini berasal dari Code Penal, tetapi maksudnya khusus untuk delik kekerasan. Semula hanya perintah jabatan, tetapi kemudian ditam­bah dengan menjalankan ketentuan undang-undang di dalam WvS Belanda[54].
Di dalam KUHP Belgia, terdapat dalam satu pasal, yaitu Pasal 70, yang menyatakan tidak ada delik jika suatu perbuatan ditentu­kan dalam undang-undang (sebagai delik) dan oleh pemerintah di­perintahkan. Di KUHP Jerman "menjalankan ketentuan undang-­undang" dan "menjalankan perintah jabatan" tidak tercantum, karena ketentuan semacam itu dipandang berkelebihan (over­bodig).
Bagaimana jika seorang penyidik dalam menjalankan ketentu­an undang-undang misalnya akan menangkap tersangka, ia melukai bahkan membunuhnya karena melarikan diri atau melawan? Hal seperti ini bersifat kasusistis. Mungkin terjadi daya paksa (over­macht) mungkin pembelaan terpaksa (noodweer) mungkin pula pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) bagi petugas yang menjalankan ketentuan undang-undang itu. Dalam menjalankan ketentuan undang-undang harus patut, tidak berke­lebihan.
Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang adalah sah dan tidak melawan hukum, asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut.Menurut Vos, petugas tidak boleh me­nangkap orang yang melarikan diri, membunuh atau melukai berat, kecuali mengenai delik yang sangat serius, misalnya pembunuh massal.
4.    Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat (1) KUHP
Pasal 51 KUHP menyatakan:
(1)  Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Perintah itu karena jabatan. Jadi, antara yang memberi perin­tah dan yang diperintah ada hubungan hukum publik. Hoge Raad memutuskan bahwa perintah yang diberikan oleh Pengairan Negara kepada pemborong tergolong dalam sifat hukum perdata dan bukan perin­tah jabatan (HR 27 November 1933 W.12698, N.J. 1934 , 266). Tidaklah perlu hubungan jabatan tersebut hubungan atasan bawahan secara langsung. Misalnya pasal 525 KUHP ayat (1): "Barangsiapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau barang, atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongan oleh penguasa umum tetapi menolaknya padahal mampu untuk memberi pertolongan tersebut . . ." dan seterus­nya.
Jadi, kalau yang dimintai pertolongan tersebut angkatan ber­senjata oleh walikota, maka antara walikota dan anggota angkat­an bersenjata tersebut bukan atasan bawahan secara langsung.Sama halnya dengan "menjalankan ketentuan undang-undang", "menjalankan perintah jabatan" ini sebagai dasar peniadaan pidana adalah berkelebihan (overbodig), jika kita menerima bahwa me­lawan hukum merupakan unsur untuk menjatuhkan pidana (unsur delik menurut Vos).[55]
Hampir semua Justt_Everr berpendapat, bahwa Pasal 51 KUHP tidak perlu mengenai perintah konkret juga termasuk instruksi urnum (HR 17 Desember 1899 W.6603).
Pasal 51 ayat (1) KUHP termasuk dasar pembenar, karena unsur me­lawan hukum tidak ada, sedangkan Pasal 51 ayat (2) ialah dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak bersalah karena ia beritikad baik mengira menjalankan pe­rintah pejabat yang berwenang dan sah, padahal tidak sah.Justt_Everr menempatkannya di unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yang selanjutnya dibahas di Bab IV terkait unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.


BAB IV
UNSUR-UNSUR PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A.   Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.[56]
Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.  Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2.  Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3.  Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan :
1.    Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.
2.    Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat dan
3.    Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut:[57]
1.    Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya;
2.    Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara kemayarakatan adalah dilarang; dan
3.    Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaandisamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilahat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawab-pidanakan.
B.   Mampu Bertanggung Jawab
Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.  Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat dipertanggung-jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya :[58]
Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggung jawab mencakup:
a.    Keadaan jiwanya:
1)    Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
2)    Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan
3)    Tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidamdan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b.    Kemampuan jiwanya:
1)    Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2)    Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan
3)    Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa:[59]
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.[60]Petindak di sini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri, menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika tindakan merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya dan memakainya untuk keuntungan sendiri.
C.   Kesalahan
Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 (empat) unsur yaitu:[61]
1.  Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2.  Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab:
3.  Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa);    
4.  Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari:[62]
1.  Kesengajaan(opzet).
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak oleh karena biasanya, yang pantas mendapatkan hukuman pidana itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum.[63]Kesengajaanyang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
a)    Sengaja Sebagai Niat (Oogmerk)
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) si pelaku dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana ini lebih nampak apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief gevolg).
Sebagian pakarmengatakan, bahwa yang dapat di kehendaki ialah hanya perbuatannya, bukan akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanya dapat dibayangkan atau di gambarkan akan terjadi (voorstellen). Dengan demikian secara siakletik timbul dua teori yang bertentangan satu sama lain, yaitu:[64]
a.    Teori kehendak (wilstheorie); dan
b.    Teri bayangan (voorstellen-theorie).
Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana di kehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yang terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Contoh mengenai tindak pidana pencurian, menurut teori kehendak, si pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian oleh karena ia mengkhendaki, bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain, barang itu akan menjadi miliknya. Sedangkan menurut teori bayangan kesengajaan ini ada oleh karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik orang lain, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan akibat yang terbayang tadi.

b)   Sengaja Sadar Akan Kepastian atau Keharusan (zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Jika ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan menurut teori bayangan (voorstelling-theorie)keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk)oleh karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak  si pelaku, melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat pasti akan terjadi, maka juga kini ada kesengajaan.[65]
Oleh para Justt_Everr Belanda sebagai contoh selalu disebutkan peristiwa ”Thomas van Bremerhaven”, yaitu perbuatan seseorang berupa memasukkan dalam kapal laut, yang akan berlayar di laut, suatu mesin yang akan meledak apabila kapal itu sudah ada di tengah laut. Dengan peledakan ini kapal akan hancur, dan kalau ini terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi. Dalam merancangkan kehendak ini si pelaku dianggap tahu benar, bahwa apabila kapal hancur, para anak kapal dan penumpang lainnya akan tenggelam di tengah laut dan akan mati semua. Dengan demikian, meskipun kematian orang-orang ini tidak masuk tujuan si pelaku, namun tetap di anggap ada kesengajaan si pelaku itu, dan maka dari itu si pelaku dapat dipersalahkan malakukan tindak pidana pembunuhan.[66]
Menurut Van Hattum ”Kepastian” dalam kesengajaan semacam iniharus diartikan secara relatif oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian mutlak. Mungkin sekali para anak kapal dan penumpang dari kapal laut tadi tertolong semua oleh para nelayan yang ada di tempat meledaknya bom. Menurut Van Hattum, maksud ”kepastian” ialah suatu kemungkinan yang sangat besar sedemikian rupa, bahwa seorang manusia biasa menganggap ada kepastian, tidak ada kemungkinan besar saja.
c)    Sengaja Sadar Akan Kemungkinan (Dolus eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini ternyata tidak ada persamaan pendapat diantara para sarjana hukum belanda. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa, ada dua Justt_Everr belanda, yaitu Van Dijk dan Pompe yang mengatakan, bahwa dengan hanya ada keinsafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih dapat dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu, melainkan hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai berikut:
Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa di tuju, maka harus di tinjau sendainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau ini terjadi, maka dapat dikatakan, bahwa kalau perlu, akibat yang terang tidak dikhendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibat kemudian toh terjadi.[67]

2.  Kealpaan(Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.
Dalam pelayanan kesehatan misalnya  yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya.[68]
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam  yaitu:[69]
1)    Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;
2)    kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:
1.    Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2.    Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; dan
3.    Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, skema kelalaian atau culpa yaitu :[70]
1.    Culpa lata yang disadari (alpa)
CONSCIOUS : kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono  (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi;
2.    Culpa lata yang tidak disadari (Lalai)
UNCONSCIUS : kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir  (onnadentkend), lengah (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi.

Bagan 13:Kesalahan Dan Jenis-Jenisnya

D.   Tidak Ada Alasan Pemaaf
Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan tersebut, bukan sebagai aklibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.[71]
Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa :[72]
Tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan bertanggung jawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld).
Pompe mengatakan bahwa:[73]
hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.
Menurut Martiman Prodjhamidjojo[74] bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan.Unsur-unsur subjektif yaitu :
1.     Kesalahan;
2.     Kesengajaan;
3.     Kealpaan;
4.     Perbuatan; dan
5.     Sifat melawan hukum;
Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :
1.      Perbuatan; dan
2.      Sifat melawan hukum;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum,  yang berlaku kepada semua rumusan  delik yg disebut dalam Pasal 44, 48 – 51 KUHP, kedua adalah alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP. [75] Namun Pada kali ini, hanya akan di bahas mengenai alasan pemaaf saja, karena alasan pembenar sudah di bahas pada sub Bab sebelumnya.
Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu datang dari pejabat yang berwenang.
Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah ;
1.    Daya Paksa Relatif (Overmacht) ;
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Pemahas lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah Justt_Everr bahas pada Bab sebelumnya bagian daya paksa absolute.


2.    Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP
Pasal 49 ayat (2) menyatakan:
"Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung di­sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana."
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
Ø  Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui bataskarena keguncangan jiwa yang hebat, aleh karena itu,
Ø  Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap me­lawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena ke­guncangan jiwa yang hebat.
Ø  Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (nood­weer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pem­belaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional.Melampaui batas pembelaan ada dua macam. Per­tama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di­ serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke­guncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang me­lampaui batas.
3.    Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1)    Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik me­mandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang: dan
2)    Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuat­an seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada ayat (2) ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung).Menurut Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.


Bagan 14 : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

 (Andi Zainal Abidin Farid)





Tabel 2 : Dasar Peniadaan Pidana[76]



BAB V
TEORI PEMIDANAAN
A.   Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :
1.    Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
2.    Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
3.    Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Pada sat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP , UU No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.
Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan penjajah belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem pemidanaannya masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.
Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :
1.    Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya didalam    tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
2.    Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.
            Dalam KUHP penjaTuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana pokok yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjaTuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (30) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya).
Mengenai maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima belas tahun dan hanya boleh dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara teratas adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi  satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan  dalam 3 golongan besar, yaitu :[77]
1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
2.    Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).
3.    Teori Gabungan (vernegins theorien).
B.   Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
            Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo polak.
            Menurut Kant mengemukakan bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.[78]
            Menurut Stahl mengemukakan bahwa :[79]
Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdiatau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.
Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa :[80]
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan(sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)
Pendapat lain dikemukakan oleh Herbart bahwa :[81]
Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.
2.    Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).
Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan harapan agar siterpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.
Teori-teori yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh Lamintang sebagai berikut : [82]
a.    Teori-teori yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran-pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum pidana.
b.    Ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman hukuman itu harus harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan tindak pidana, dalam arti apabila bahwa orang melakukan kejahatan mereka pasti dikenakan sanksi pidana, maka mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.
            Adapun menurut Van Hamel bahwa teori pencegahan umum ini ialah pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat jahat.[83]
            Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yakni :[84]
a.    Pidana adalah senantiasa untuk pencegahan khusus, yaitu untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan niatnya.
b.    Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjaTuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering).
c.    Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjaTuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
d.    Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum didalam masyarakat.
3.    Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Disamping teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah: [85]
Kelemahan teori absolut adalah:
b.    Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
c.    Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?


Kelemahan teori relatif adalah :
1.    Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
2.    Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3.    Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe Pompe menyatakan :[86]
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan :[87]
”Pidana” bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Sementara ”tindakan”bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan.[88]
Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.[89]
Terlepas dari berbagai teori di atas, Justt_Everr juga mengemukakan beberapa teori terkait tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai pakar ilmu hukum. Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri, tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah 3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General Deterrence.[90] Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:
bagan 14: Teori Pemidanaan 1D+3R

1.    Reformation, berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain seperti pencegahan.
2.    Restraint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.  Jadi ada juga kaitannya dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan pendorong dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur hidup dan pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.
3.    Retribution, yakni pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu membuat magna carta bagi penjahat (Magna Charta For Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana, memang sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.
4.    Deterrence, yakni menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini mengatakan bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan  mencegah orang lain melakukan kejahatan terpidana dikorbankan untuk menerima pidana itu.
Selain remmelink dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan. Menurutnya pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur, yakni:[91]
1.    Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation)atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.
2.    Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
3.    Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang hukum kolektif, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.
C.   Jenis-Jenis Pidana
Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.    Pidana Pokok
a.    Pidana mati;
b.    Pidana penjara;
c.    Pidana kurungan; dan
d.    Pidana denda.
2.    Pidana Tambahan
a.    Pencabutan hak-hak tertentu;
b.    Perampasan barang-barang tertentu;dan
c.    Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.    Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.    Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.    Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1)    Pidana Pokok
a.    Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu :
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan  pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 14).
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan  Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)    Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2)    Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)    Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
b.    Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.[92]
Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa :[93]
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :[94]
Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1)    Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2)    Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik;
3)    Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4)    Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain);
5)    Hak untuk mengadakan asuransi hidup;
6)    Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata;
7)    Hak untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka; dan
8)    Beberapa hak sipil yang lain.
c.    Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya  satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1)    Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)    Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.[95]
d.    Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :[96]
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
2)    Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :[97]
1)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)    Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4)    Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a.    Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1)    Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2)    Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)    Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)    Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)    Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)    Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1)    Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)    Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)    Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b.    Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1)    Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2)    Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3)    Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.

c.    Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1)   Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)   Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3)   Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4)   Penggelapan.
5)   Penipuan.
6)   Tindakan merugikan pemiutang.





DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta.
Ahmad  Nindra Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar.
Andi Fuad Usfa. 2006. Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi. UMM Pers. Malang.
Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
_______________. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramit,. Jakarta.
Andi Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
_______________. 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta.
_______________.  dan Andi Hamzah. 2010.. Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.
Barda Nawawi Arif, 1993, Sari Kuliah “Hukum Pidana II”, Badan Penyediaan Bahan Kulah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”  Prenada Media, Jakarta.
Chazawi Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Djoko Prakoso. 1987. Pembharuan Hukum Pidana Indonesia. Liberty. Yogyakarta.
D.Schaffmeiste, N.Keijzer dan E.PH.Sutorius, 2007, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Eddy O.S. Hairiej, 2009, Asas Legalitas dan Penentuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.
Erdianto Effendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Refika Aditama. Bandung.
E.Y Kanter & S.R. Sianturi, 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di IndonesiaDan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Hermien HadiatiKoeswadji. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana “Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,Geamedia Pustaka Utama, Jakarta.
Komariah Emong Sapadjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia,Penerbit Alumni, Bandung.
Leden Marpaung. 2005, Asas-asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Mien Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung.
Moeljatno. 1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bina Aksara.
Moeljatno,2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Muladi dan barda Nawawi. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. PT. Alumni. Bandung.
Nico Ngani, 1984, Sinerama Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.
P.A.F.Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Refika Aditama. Bandung.
Pujiyono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.
Roeslan Saleh, 1981,Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta : Penerbit Aksara Baru.
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Jakarta.
Schaffmeister, 1995, Hukum Pidana, Lyberty, Yogyakarta.
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”. PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pdana I, Armico, Bandung.
Sudarto. 1997, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Gratifi Pers.
Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana “kumpulan Bahan Kuliah”, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.
Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusamedia, Bandung.
Teguh Sulistia, dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana “Horizon Baru Pasca Reformasi”  Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tim Dosen Pidana, 2007, Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Perpustakaan Fakultas Hukum Unhas, Makassar.
Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Prespektif Pembharuan. Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang. Malang.
Wirjono Prodjodikoro, 1986. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresko, Bandung.




[1] Wirjono Prodjodikoro 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1.
[2] Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, CV. Armico, hlm. 9.
[3]Ibid.,hlm. 10.
[4]Ibid.,hlm. 10.
[5] Moeljatno,2002,  Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, hlm. 1.
[6]Ibid.
[7]Simons dalam buku P.A.F.lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.
[8] H.M. Insan Anshari Al Aspary, 2012, TIndak Pidana Perpajakan, Jasa Offset, Jakarta., hlm. 153
[9] Laden Marpaung,  2005, Asas-asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.
[10]Ibid.
[11] Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, hlm. 39.
[12]Ibid.
[13] Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta, hlm. 18-19.
[14] Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 72, hlm. 88.
[15] Chazawi Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 72.
[16]Ibid., hlm. 75.
[17] Lamintang, P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 34.
[18]Ibid.,hlm. 35.
[19] Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta : Alumni, hlm. 207.
[20]Moeljatno. 1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bina Aksara, hlm. 56.
[21] Sianturi, S.R, op .cit.,hlm. 207.
[22]Ibid.,hlm 297.
[23]Ibid.,hlm 211.
[24]Ibid.,hlm 209.
[25]Moeljatno, op. cit., hlm. 55.
[26]Abidin, Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta, hlm. 146.
[27]Sianturi, op. cit., hlm. 207.
[28] Moeljatno, op.cit., hlm.55.
[29]Abidin, Andi Zainal 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 225
[30]Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002.Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, hlm. 211.
[31]Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007.Hlm. 56.
[32]Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. hal. 237.
[33]Sudarto.Op. Cit. hal. 31-32.
[34]Lamintang, Op.Cit.Hal. 185.
[35]Abidin, Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta.
[36]Sudarto. 1997, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung, hlm. 30.
[37]Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Refika Aditama. Bandung.hal. 55.
[38]Abidin Andi Zainal, Op. Cit.hal. 250.
[39]Sudarto.op.cit., hal.31-32.
[40]Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2002. hal. 54.
[41]Sudarto. Op.,cit.,. hal. 31-32.
[42]Lamintang, P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 193-194.
[43] Andi Fuad Usfa. 2006. Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi. UMM Pers. Malang, hlm. 45.
[44] Erdianto Effendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar.Refika Aditama. Bandung, hlm. 99.
[45] Zainal Abidin, op.cit.,hlm. 175.
[46] Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawan Pidana Korporasi, Grafiti Pers, hlm. 34.
[47] Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, CV Armico, Bandung, hlm. 151.
[48] Buku Ajar Hukum Pidana, op.cit. hlm. 66.
[49] Moeljatno, op.,cit. hlm. 58.
[50] Buku Ajar Hukum Pidana, op.cit.hlm. 68.
[51]Ibid. hlm. 70.
[52]Ibid.hlm. 360.
[53] Ibid.
[54]Ibid.
[55]Ibid, hlm. 397.
[56]Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresko, Bandung. hlm.55.
[57] P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,. hal.397.
[58]Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. hlm. 249.
[59]Ibid., hlm. 250.
[60]Roeslan Saleh,1981,Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta : Penerbit Aksara Baru. Hlm. 45.
[61]Moeljatno, 2002.Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,, hal.164.
[62] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.54.
[63] Wirjono Prodjodikoro, 1985, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. PT. Eresco., hlm. 61.
[64]Ibid., hlm.62.
[65]Ibid.,hlm. 63.
[66]Ibid., hlm. 63.
[67]Ibid.,hlm. 66.
[68]Bahder Johan Nasution, op.cit. hlm. 55.
[69] Ibid, hal.56
[70] D.Schaffmeiste, N.Keijzer dan E.PH.Sutorius,2007,Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.102  
[71] Zainal Abidin Farid Andi,1995. Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika.
[72]Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. hal. 25.
[73]Ibid. Hal. 25.
[74]Ibid.
[75]Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 143.
[76] Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 165.
[77] Adami Chazawi, op.cit.hlm. 153.
[78]AhmadNindra Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar, hlm. 23.
[79] Adami Chazawi, op.cit.hlm. 155.
[80]Ibid. hlm. 156.
[81]Ibid.
[82]Ahmad  Nindra Ferry. Op.,cit. hlm. 25.
[83] Adami Chazawi. Op.,cit. hlm. 158
[84]Ibid., hlm. 162.
[85]Koeswadji, Hermien Hadiati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung, hlm. 11-12.
[86] Andi Hamzah., op.cit., hlm.36.
[87]Ibid.
[88]Ibid., hlm. 37.
[89]Ibid.
[90]A.Z. Abidin dan Andi Hamzah.Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.2010, hlm.
[91]Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”.PT. Raja Gravindo Persada.Jakarta., hlm. 70-71.
[92] Andi Hamzah. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 36.
[93]P.A.F Lamintang,1993, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1997. Bandung.
[94] Andi Hamzah. Op. Cit. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia.hal. 38.
[95] Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 48-49.
[96] P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung.Hlm . 712.
[97] Hermien Hardiati Koeswadji, 1980.Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hal. 56.

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter