Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Selasa, 18 September 2012

EKSEKUTIF REVIEW



A.   Teori Kewenangan
1.      Pengertian
Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “wewenang” memiliki arti :
1.    Hak dan kekuasaan bertindak; kewenangan
2.    Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain,
3.    Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan
Sedangkan “kewenangan” memiliki arti :
1.    Hal berwenang
2.    Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu

Soerjono Soekanto menguraikan bahwa beda antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan “wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban. Wewenang menurut Stout adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dan hubungan hukum publik. Kemudian Nicholai memberikan pengertian tentang kewenangan yang berarti kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu).[4]
Sementara itu, Marbun memberikan pengertian berbeda antara kewenangan dan wewenang. Menurutnya, kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang secara bulat. Sedangkan wewenang (competence, bevoedheid) hanya mengenai bidang tertentu saja. Dengan demikian, kewenangan kumpulan dari wewenang-wewenang (rechtsbevoegeden). Menurutnya, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan peraturan perundang-undangan untuk melakukan hubungan hukum. Sedangkan kewenangan dalam konteks penyelenggaraan negara terkait pula dengan paham kedaulatan (souveregnit).[5]  Dengan demikian wewenang pemerintahan meliki sifat-sifat antara lain: [6]
a.    Pelaksanaan yang cepat;
b.    Jelas maksud dan tujuannya;
c.    Terikat pada waktu tertentu;
d.    Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis;
e.    Isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkrit;
Lanjut H. D. Stout berpendapat wewenang tak lain adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Menurut Bagirmanan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan. ).[7]
2.      Sumber Dan Cara Memperoleh Wewenang
Seiring dengan pilar utama Negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau  het beginsel van wetmatigheid van bestuur),maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenagn pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara teoretik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperolh melaui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat, yang defenisinya adalah sebagai berikut :
a.    Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.
b.    Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c.    Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutkan bahwa:[8]
“hanya 2 cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelumpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada orang lain. Jadi delegas secara logis selalu didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang apapun, namun yang ada hanyalah hubungan internal.

Dalam mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring denagn salah satu prinsip dalam Negara hukum  yaitu “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”.
Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, akan tersirat didalamnya pertanggunjawaban-pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan perolehan kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan
Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dimana tanggung jawab intern pelaksanaan wewenang tersebut diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang( atributaris).
Lanjut Ridwan menegaskan bahwa: [9]
“Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepejabat yang lain . tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi dlegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris) . semetara pada mandat, penmerima mandate (mandataris)hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berad pada mandans karena pada dasarnya penerim mandate tersebut bukan pihk lain dari pemberi mandat “ 
Terkait wewenang pemerintah, Usep Ranuwijaya mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi bagi bangsa indonesia bersumber kepada:[10]
a.    Kedaulatan Rakyat, yaitu pelaksanaan kekuasaan Negara di dasarkan pada pemberi kuasa oleh rakyat sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
b.    Kedaulatan hukum, yaitu hukum menjadi dasar dari kekuasaan negara yang bersumber dari kesadaran masyarakat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
c.    Kedaulatan Negara, yaitu negara sebagai sumber kekuasaan sendiri karena negara adalah bentuk tertinggi kesatuan hidup.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum; “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. [11]
B.    Peraturan Daerah
1.      Pengertian Peraturan Daerah
Peraturan daerah merupakan hasil kerja sama antar pihak Legislatif daerah (DPRD) dengan Eksekutif (Kepala Daerah) yang di dalamnya mengatur kepentingan umum yang ada di daerah bersangkutan. Keputusan Kepala Daerah adalah suatu bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah (Bupati dan Walikota).
Menurut Irawan Sujito bahwa : [12]
Pada hakikatnya baik keputusan maupun peraturan dan peraturan daerah itu adalah keputusan dalam arti luas yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang menetapkannya, sebab ketiganya merupakan perwujudan kehendak penguasa tersebut harus mengambil keputusan. 
Sedangkan menurut Bachsan Mustafa dalam bukunya tentang Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara mengatakan bahwa peraturan adalah : [13]
Peraturan merupakan hukum (in abstracto) atau (generalnorms) yang sifatnya mengikat umum atau berlaku, sedangkan tugasnya mengatur hal-hal yang umum atau hal-hal yang masih abstrak, agar peraturan ini dapat dilaksanakan haruslah dikeluarkan ketetapan-ketetapan yang membawa peraturan ini ke dalam peristiwa konkrit, yang nyata tertentu.
Jadi, jika persoalan tersebut ditarik masuk ke dalam konteks daerah, maka tentunya peraturan daerah mengatur hal-hal yang abstrak dan untuk dapat dilaksanakan masih memerlukan tindakan lain agar peraturan daerah dimaksud menjadi konkrit.
Irawan Soejito membuat skema peraturan yang di dalamnya membedakan antara keputusan dalam arti sempit dan peraturan dalam arti luas, kemudian dibedakan lagi antara peraturan dalam arti luas atas peraturan dalam arti sempit dan peraturan daerah, dengan penjelasan sebagai berikut : [14]
Keputusan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai suatu perwujudan kehendak dari seorang penguasa atau pejabat umum yang ditugaskan untuk melaksanakan suatu norma hukum tata usaha tertentu (wilsuiting voor een bepaald geyal), dapat juga dikatakan bahwa keputusan dalam arti sempit itu merupakan norma untuk hal khusus atau tertentu saja, sehingga dengan diambilnya keputusan itu berakhirlah pula fungsi keputusan tersebut (uitgewerkt).
Peraturan dalam arti luas adalah keputusan yang merupakan norma buat setiap hal yang dapat dimasukkan ke dalamnya, dengan perkataan lain, peraturan dalam arti luas itu sifatnya umum dan dimaksudkan untuk berlaku umum.
Peraturan daerah adalah peraturan sebagai diuraikan di atas yang ditetapkan oleh penguasa tertentu, yakni Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, dan harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu untuk dapat mempunyai kekuatan hukum dan mengikat.

Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian di atas, maka nampak bahwa yang dimaksud peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah yakni Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 1 angka 10 ditentukan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan Peraturan Daerah, yaitu :
Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
Untuk menyamakan pendapat atau setidak-tidaknya menjelaskan pemahaman mengenai peraturan daerah, maka berikut ini akan di kemukakan pengertian peraturan perundang-undangan karena harus diingat bahwa peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Menurut Abdul Latif mengatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah : [15]
Setiap keputusan tertulis yang bersifat atau mengikat secara umum. Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status ataupun suatu tatanan. Oleh karena hal-hal yang diatur bersifat umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak. Secara singkat lazim disebut bahwa ciri-ciri peraturan perundang-undangan adalah abstrak umum atau umum abstrak.
Lanjut  M. Solly Lubis juga mengemukakan  mengenai pengertian perundang-undangan yaitu : [16]
Proses pembuatan peraturan negara, dengan tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan.
Demikian pula pendapat yang di kemukakan oleh K. Wantjik Saleh bahwa perundang-undangan yaitu : [17]
Yang dimaksud perundang-undangan adalah undang-undang dalam arti luas atau yang dalam ilmu hukum disebut undang-undang dalam arti materiil yaitu segala peraturan yang tertulis yang dibuat oleh penguasa (baik pusat maupun daerah) yang mengikat dan berlaku umum, termasuk dalamnya undang-undang darurat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, penetapan presiden, peraturan propinsi, peraturan kota madya dan lain-lain.
Selain itu secara khusus dikenal pula undang-undang dalam arti sempit atau yang dalam ilmu hukum disebut undang-undang dalam arti formil yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh penguasa sebagai suatu badan negara yang secara tertentu diberi kekuasaan untuk membentuk undang-undang yaitu pemerintah, bersama dengan persetujuan DPR dan biasa disebut undang-undang.

Lebih lanjut oleh Irawan Soejito memberikan pengertian peraturan daerah yaitu :[18]
Suatu peraturan yang ditetapkan oleh penguasa tertentu yakni Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan yang harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu dapat mempunyai kekuatan hukum dan mengikat.

Lain halnya dengan pendapat yang di kemukakan oleh Muh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim yang memberikan pengertian dari segi tata urutan perundang-undangan, menggolongkan Peraturan Daerah ke dalam Peraturan Pelaksanaan lainnya bahwa :[19]
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah bentuk-bentuk peraturan yang ada setelah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPR-RI/ 1966 dan harus bersumber kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi, umpamanya Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 137 dijelaskan mengenai asas-asas pembentukan gan peraturan perundang-undangan yang berlaku.ran yang lebih tinggi tingaktannya uan DPRD dengan memperhatikaPeraturan Daerah yang meliputi:
a.    kejelasan tujuan;
b.    kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.    kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.    dapat dilaksanakan;
e.    kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.     kejelasan rumusan; dan
g.    keterbukaan.

Sedangkan dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan materi muatan perda mengandung asas sebagai berikut :
(1)  Materi muatan Perda mengandung asas:

a.    pengayoman;
b.    kemanusiaan;
c.    kebangsaan;
d.    kekeluargaan;
e.    kenusantaraan;
f.     bhineka tunggal ika;
g.    keadilan;
h.    kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.      ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.      keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2)     Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa pengertian Peraturan daerah yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa XXX.

2.      Kewenangan Membuat Peraturan Daerah
Sebelum penulis menyebutkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewenangan membuat Peraturan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terlebih dahulu akan di kemukakan beberapa ketentuan yang pernah berlaku dan mengatur tentang pemerintahan daerah.
Menurut penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ditegaskan bahwa yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, namun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Mengenai siapa yang berwenang membuat dan menetapkan Peraturan Daerah, pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan  dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang mempunyai wewenang menetapkan Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 38 bahwa Kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam Pasal 136 ayat (1) bahwa yang berwenang membuat dan menetapkan Peraturan Daerah adalah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa :
(1)  Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota.
(2)  Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/ Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3)  Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.

Sedangkan dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa :
(1)  Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Peranan Kepala Daerah beserta seluruh perangkatnya memang sangat dibutuhkan dalam pembuatan suatu produk perundang-undangan seperti Peraturan Daerah karena apabila Peraturan Daerah tersebut telah disahkan, maka yang menjalankan peraturan tersebut adalah Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan di mana ia memimpin, Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya membuat Peraturan Daerah tentunya dibantu oleh perangkat daerah yang berkompeten di bidang tersebut, oleh karena itu keberadaan bagian hukum dalam suatu pemerintahan daerah merupakan hal yang mutlak tetapi tentunya harus diimbangi dengan kemampuan yang maksimal utamanya kemampuan untuk membuat suatu rancangan peraturan daerah.
3.      Dasar Hukum Pembuatan Peraturan Daerah
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa peraturan daerah adalah merupakan produk perundang-undangan pemerintah daerah atau merupakan hasil kompromis antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah yang tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karenanya baik DPRD maupun Kepala daerah secara sendiri-sendiri tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah, akan tetapi harus melalui mekanisme yang ada yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD terlebih dahulu.  
Dasar hukum pembentukan peraturan daerah didasarkan pada tiga landasan sebagaimana diungkapkan oleh M. Solly Lubis  yaitu : [20]
a.    Landasan Filosofis
b.    Landasan Yuridis
c.    Landasan Politis

Oleh karena itu dalam pembuatan peraturan daerah harus termuat di dalamnya landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis.
Lebih lanjut M. Solly Lubis mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan landasan filosofis yaitu : [21]
Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah ke dalam suatu rencana atau draf peraturan negara.

Dari pengertian tersebut di atas, jika dihubungkan dengan Negara Republik Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filsafat perundang-undangan. Sehingga tidak boleh ada suatu peraturan daerah yang bertentangan dengan dasar falsafah tersebut, dalam hal ini Pancasila.
Sedangkan pengertian landasan yuridis menurut M. Solly Lubis yaitu : [22]
Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, misalnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjadi landasan yuridis bagi pembuatan undang-undang organik, sedangkan UU itu menjadi landasan yuridis bagi pembuatan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Peraturan daerah dan lain-lain.

Jadi suatu kebijaksanaan pemerintah daerah yang akan dituangkan ke dalam suatu peraturan daerah harus mempunyai dasar hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebagai dasar hukum pembuatan peraturan daerah adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 136 sampai Pasal 149 serta Undang-Undang lain yang berkaitan dengan muatan Peraturan Daerah yang akan diatur misalnya apabila peraturan daerah tersebut menyangkut pajak daerah, maka dasar hukumnya haruslah ketentuan tentang perpajakan dan diatur dalam ketentuan yang lebih tinggi derajatnya.
Di dalam menempatkan landasan yuridis dalam peraturan daerah harus memperhatikan tata urutan perundang-undangan, jika terdapat dua atau lebih landasan yuridis suatu peraturan daerah yang tingkatannya sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih lama ditempatkan di atas. Selain landasan yuridis tersebut terdapat pula beberapa ketentuan yang menjadi dasar atau pedoman dalam pembuatan suatu peraturan daerah sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah antara lain :
1.    Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 21 November 1983 Nomor 188.34/3771/PUOD perihal petunjuk penyusunan Ranperda.
2.    Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 1983 tentang Penyusunan Ranperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
3.    Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 14 Tahun 1974 tentang bentuk Peraturan Daerah.
4.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1983 tentang bentuk peraturan daerah.
5.    Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 2 Mei 1975 Nomor Pem 7/5/38 perihal penjelasan dan penegasan atas penafsiran terhadap peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974.
Sedangkan yang dimaksud dengan landasan politis menurut M. Solly Lubis adalah : [23]
Garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara.
Tertib peraturan perundang-undangan di daerah tergantung pada tertib kenegaraan yang berpuncak pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta batang tubuhnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka segala kebijaksanaan pemerintah daerah termasuk di dalamnya segala kebijaksanaan yang akan dituangkan dalam peraturan daerah harus sesuai dan sejalan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan garis kebijaksanaan politik bagi segenap kebijaksanaan pemerintah daerah.
Dengan jelasnya dasar hukum suatu peraturan daerah, maka diharapkan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak utamanya dipatuhinya peraturan tersebut karena tidak mempunyai cacat yuridis sehingga dapat berlaku efektif dalam masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.
4.    Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah
Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baik tentunya akan menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan  tercapainya tujuan-tujuan Negara yang di  inginkan. Sedangkan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan adanya persiapan-persiapan yang  matang dan mendalam antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam perundang-undangan yang akan dibuat, dan bagaimana menuangkan materi muatan tersebut didalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara singkat tetapi jelas,dengan suatu bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis, tanpa meninggalkan tata cara sesuai dengan kaidah bahasa indonesia dalam penyusunan kalimatnya.
Adapun proses pembentukan suatu peraturan daerah meliputi 3 tahap yaitu:
1.     Proses penyiapan rancangan peraturan daerah adalah merupakan proses penyusunan rancangan dilingkungan pemerintah daerah (eksekutif), atau dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (dalam hal rancangan peraturan daerah usul inisiatif).
2.     Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3.     Proses pengesahan oleh Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Prinsip utama pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah dikenal adanya asas pembentukan sehingga peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu sehingga terjaga keabsahan penerbitannya dan diakui secara formal oleh masyarakat.
Asas-asas yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembentukan peraturan daerah adalah:
1.  Asas kejelasan tujuan artinya untuk apa suatu peraturan daerah tersebut dikeluarkan dan apa tujuan diterbitkan, dalam hal ini membicarakan tentang ketepatan letak dari suatu peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintah, serta tujuan khusus suatu peraturan yang akan dibentuk dan juga tujuan-tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk.
2.  Asas manfaat  berarti bahwa bahwa setiap pembuatan peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah harus benar-benar memebri manfaat yang jelas bagi kehidupan rakyat.Tidak perlu ada peraturan daerah jika itu tidak bermanfaat bagi masyarakat dalam pelaksanaannya.
3.  Asas kelembagaan yaitu setiap jenis peraturan daerah harus dibuat oleh lembaga atau pejabat dan ini dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang,misalnya saja pemerintah Kabupaten/Kota telah menetapkan satu peraturan daerah yang bukan merupakan kewenangan dari pemerintah Kabupaten/Kota maka peraturan itu akan dibatalkan oleh menteri Dalam Negeri sebab peraturan itu bukan merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota tapi merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat.  .
4.  Asas kesesuaian antar jenis dan materi muatan yaitu dalam pembentukan peraturan daerah harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
5.  Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan ini berarti bahwa setiap peraturan daerah dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6.  Asas kejelasan rumusan artinya bahwa setiap peraturan daerah harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7.  Asas keterbukaan yaitu dalam proses pembentukan peraturan daerah mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan daerah.
8.  Asas efisiensi yaitu dibentuknya peraturan derah karena dipandang dapat menyelesaikan secara efektif problema di masyarakat.
Lanjut Rozali Abdullah mengemukakan bahwa Perda yang baik adalah yang memuat ketentuan antara lain: [24]
1.    Memihak kepada kepentingan rakyat banyak;
2.    Menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
3.    Berwawasan lingkungan dan budaya.
Sementara M. Guntur Hamzahmengemukakan ada 6 (enam) karakteristik perda yang baik, yaitu: [25]
1.    Dibuat untuk menjawab kebutuhan masyarakat;
2.    Dilakukan melaui proses yang transparan dan terbuka (memberi ruang dan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi);
3.    Dilakukan melalui studi/riset yang matang;
4.    Bersifat responsif abgi seluruh stakeholders;
5.    Berparadigma “social Suporting” dan berbasis “Bottom-Up”;
6.    Dirumuskan secara sistematis, jelas, lugas, dan tidak tumpang tindih serta taat asas.
Terkait dengan pelibatan masyarakat dalam hal pembuatan perda, Aan Seidman menyatakan bahwa: [26]
Pelibatan kelompok-kelompok masyarakat yang terkait (stakeholders) adalah penting akrena 3 (tiga) alasan. Pertama, pada dasarnya para stakeholders memiliki kepentingan dalam perundang-undangan yang diusulkan, maka mereka memiliki motif utama untuk bekerja sama. Kedua, karena yang terlibat memiliki pengetahuan sendiri tentang masalah yang terkait, dan lingkungan dimana permasalahan tersebut timbul, maka mereka dapat memainkan peranan penting dalam mengumpulkan fakta. Dan ketiga, menggunakan stakeholders dalam penelitian pengembangan kemampuan mereka untuk bekerja sama dalam mencari pemecahan masalah perundang-undangan untuk permasalahan sosial lainnya yang mungkin saja timbul.

5.      Maksud dan Tujuan Pembuatan Peraturan Daerah
Sebelum dijelaskan mengenai tujuan dari pembuatan Peraturan Daerah, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang tujuan hukum yang di kemukakan oleh para pakar. O. Notohamijojo merumuskan tujuan hukum yaitu sebagai berikut : [27]
Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, (dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum. 
Sedangkan menurut Mahadi bahwa tujuan hukum yang semestinya dicapai yaitu: [28]
mengadakan keselamatan dan tata tertib dalam suatu masyarakat”.
Achmad Ali mengklasifikasikan tujuan hukum kedalam 3 aliran konvesional, masing-masing : [29]
1.     Aliran etis, yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
2.    Aliran utilities yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan  atau kebahagiaan warga.
3.    Aliran normatif-dogmatif yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Berdasarkan tiga aliran konvensional di atas, Achmad Ali menganut asas prioritas kasuistis. Achmad Ali berpendapat bahwa tujuan hukum haruslah disesuaikan dengan konsteks sebauh perundang-undangan. Sementara Radbruch juga mengemukakan tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, masing-masing keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, dalam penerapannya Radbruch menggunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, kemudian kemanfaatan, dan yang terkhir adalah kepastian hukum. [30]
Berdasarkan beberapa pengertian dan konsep dari tujuan hukum tersebut di atas, maka peraturan daerah yang merupakan produk perundang-undangan pemerintah daerah bertujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan sehingga dengan demikian pada dasarnya peraturan daerah adalah merupakan sarana komunikasi timbal balik antara Kepala daerah dengan masyarakat di daerahnya, oleh karena itu setiap keputusan yang penting dan menyangkut pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah yang tertuang dalam peraturan daerah harus mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa :
(1)Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2)Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.

Dengan dilibatkannya masyarakat dalam proses pembuatan rancangan peraturan daerah, maka diharapkan nantinya setelah rancangan peraturan daerah tersebut disahkan menjadi peraturan daerah dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat sehingga tujuan yang diingin dicapai dapat terwujud dan juga tidak ada hak-hak masyarakat terabaikan.
C.   Konsepsi Otonomi Daerah
1.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan.Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik beratkan aspirasi daripada kondisi. Koesoemahatmadja berpendapat, bahwa: [31]
“Menurut perkembangan sejarah di Indonesia otonomi selain mengandung arti  perundangan (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur)”.
Dalam literatur Belanda otonomi berarti “pemerintahan sendiri” (Zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat Undang- undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri). [32]
Pengertian istilah otonomi dengan pemaknaan yang lebih terbebas dari etimologinya, dikemukakan oleh Logeman yaitu kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan pemerintahan daerah, menghendaki pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [33]  
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menentuka pengertian Daerah Otonom sebagai:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai denagn peraturan perundang-undangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam, sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi, timbullah daerah daerah otonom. Mula-mula otonom atau berotonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/ kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga disebut hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan atau legislatif sendiri). Kemudian arti istilah otonomi ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang- undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri. Dengan demikian daerah otonom adalah daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur mengurus rumah tangganya sendiri.
Hal yang diatur dan diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakannya sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya sendiri.
Teknik yang dipergunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang mana merupakan wewenang pemerintah daerah, adalah sebagai berikut:
1.    Sistem Residu
Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan terlebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Sistem ini dianut oleh Negara Negara di daratan Eropa seperti Prancis, Belgia, Belanda, dan sebagainya.
Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan keperluan baru, Pemerintah Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dianggap perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat.
Sebaliknya sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas.
2.    Sistem Material
Dalam sistem ini, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitativbe atau rinci. Di luar dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Sistem ini lebih banyak dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat.
Cara ini kurang begitu fleksibel karena, karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit belit. Ini akan menghambat kemajuan bagi daerah mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan.
3.    Sistem Formal
Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mengcakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintrah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya, tidak boleh diurus atau diatur lagi oleh daerah. Dengan perkataan lain, urusan rumah tangga Daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4.    Sistem Otonomi Riil
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan atas keadaan yang riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali pada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam:
a.    Daerah provinsi sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi, terdiri dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12(dua belas) mil laut yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Daerah provinsi yang dahulu disebut Provinsi daerah Tingkat I sekarang disebut Provinsi.
b.    Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang bersifat otonom, yaitu Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi, berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sebutan Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II yang berlaku selama ini diganti dengan sebutan Kabupaten atau Kota.
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ada 3 (tiga) Prinsip yang dipakai yaitu:
a.   Digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
b.   Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di  Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
c.   Asas Tugas Pembantuan dapat dilaksanakan di daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, daerah Kota dan Desa. [34]
Prinsip-prinsip tersebut di atas menunjukkan bahwa khusus untuk Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,  prinsip yang selama ini dijalankan yaitu asas desentralisasi berdampingan dengan asas dekosentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah tidak berlaku lagi, karena penyelenggaraan asas desentralisasi di daerah Kabupaten dan Daerah Kota dilaksanakan secara bulat dan utuh.
2.    Dasar Hukum Otonomi Daerah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan dalam negara Republik Indonesia telah diatur kerangka landasannya dalam Undang- Undang Dasar 1945, antara lain adalah:
a.    Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
b.    Pasal 18 yang menyatakan :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,yang tiap-tiap Provinsi, kabupaten, mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ditetapkan antara lain :
1.    Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Provinsi dan Provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
2.    Di daerah yang bersifat otonom (streek and localerecht gemeenshapper) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.
3.    Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan gambaran bahwa besar dan luasnya daerah otonom, serta hubungan wewenang dengan Pemerintah Pusat dan Daerah dibatasi dengan menghindari daerah-daerah otonom yang menjadi negara dalam negara.
Namun demikian, walaupun Pasal 18 Undang-Undang dasar 1945 tidak mengatur mengenai pemerintahan wilayah atau dekonsentrasi, sama sekali tidak mengandung arti bahwa dekonsentrasi adalah sesuatu yang tidak perlu atau kurang penting mengingat dekonsentrasi adalah mekanisme untuk menyelenggarakan urusan pusat di Daerah. [35]
Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang sudah banyak Peraturan Perundang-undangan yang diberlakukan yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, antara lain:
a.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
b.   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok    Pemerintahan Daerah.
c.   Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Indonesia Timur.
d.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
e.   Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) tentang Pemerintahan Daerah.
f.    Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD-Gotong Royong dan Sekretariat Daerah.
g.   Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
h.   Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.
i.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah.
j.     Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa .[36]

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat di era reformasi kemudian mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah melaksanakan asas desentralisasi berdampingan asas dekonsentrasi, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih mengutamakan desentralisasi.
Adapun pokok pikiran dalam penyusunan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :
a.   Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.   Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Provinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
c.   Pembagian Daerah di luar Daerah Provinsi dibagi habis ke dalam Daerah otonom. Dengan demikian wilayah administrasi yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
d.   Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.
Sejalan dengan waktu diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tidak lama kemudian dibuatlah revisi Undang-undang Nomor 22 tersebut yang menciptakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga tentang Pemerintah Daerah. Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, di samping karena adanya Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan dan Keputusan MPR.
Secara garis besar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur lebih rinci atau detail mengenai kewenangan tiap daerah untuk mengurus daerahnya masing-masing.seperti yang tertuang dalam dasar pemikiran Undang-undang 32 Tahun 2004 dimana Pemerintah Daerah diharapkan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, serta perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara.

D.   Tugas, Fungsi, dan Kewenangan DPRD menurut Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004.
1.      Tugas
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah dimana telah di atur dalam pasal 42 Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 sebagai berikut :
a.    Membentuk Peraturan Daerah (PERDA) yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b.    Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c.    Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d.    Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e.    Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
2.    Fungsi
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 41 merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah kabupaten/kota, yang telah membagi fungsi DPRD Kabupaten/kota yaitu :
1.        Legislasi
Yang dimaksud fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD kabupaten/kota untuk membentuk peraturan daerah bersama bupati.
2.        Anggaran
Yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi DPRD kabupaten/kota bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD kabupaten/kota
3.        Pengawasan
Yang disebut dengan fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan terhadap anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), pelaksana undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan kepala daerah serta kebijakan yang ditetapkan oleh daerah
3.    Kewenangan.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahu 2004 Pasal 42 menerangkan bahwa DPRD mempunyai kewenangan sebagaiman yang diatur oleh perundang-undangan sebagai berikut:
a.    Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
b.    Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah
c.    Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
d.    Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah
e.    Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
f.     Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
g.     
E.   Teori Pengujian Peraturan perundang-undangan
Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama dalam berbagai tradisi hukum global (global legal tradition), sehingga ada yang dikenal dengan istilah toetsingsrecht  dan ada pula istilah judicial review. Bilamana diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Dari kedua istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, yaitu kewenangan menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah Judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh lembaga pengadilan. Tidak demikian dengan toetsingsrecht yang dapat saja oleh otoritas lain di luar lembaga peradilan. [37]
1.  Kewenangan Pengujian Terhadap Peraturan Perundang-undangan
a.    Pengujian Terhadap Undang-Undang
Sebagaimana telah di bahas sebelumnya, bahwa yang berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan tersebut diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa:
Mahakamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Proses dan sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar  1945 dilakukan sejak dari mengadili pada tingkat pertama hingga tingkat terakhir yang putusannya bersifat final. Final yang dimaksudkan disini berarti tidak ada upaya hukum  lainnya terhadap/atas putusan tersebut.
Dasar  kewenangan Mahkamah Konstitusi juga dapat ditemukan pada Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang menentukan :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal menguji UU terhadap UUD 1945.

b.    Pengujian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Di bawah  Undang.
Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang  atau yang dikenal dengan istilah executive act, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Deerah. Lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang ini adalah mahkamah Agung. Dasar kewenangan Mahkamah Agung ditentukan pada Pasal 24A UUD 1945, yaitu:
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perrundang-undangan dibawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.

Lebih lanjut kewenangan MA dalam hal melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, juga diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman yang menentukan bahwa:
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Kemudian kewenangan Mahkamah Agung lebih dijabarkan lagi ke dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 31, yang menegaskan: [38]
1)    Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
2)    Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-udangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
3)    Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
4)    Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5)    Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

2.    Pengujian Norma Hukum
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam praktik dikenal adanya 3 macam norma hukum yang dapat di uji atau biasanya disebut sebagai  norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: [39]
a.  Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling).
b.  Keputusan Normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
c.   Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.
Ketiga bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat di uji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justisial), proses inilah yang disebut dengan Judicial review atau pengujian oleh lembaga yudisial atau pengadilan. Seringkali dalam praktek terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) dengan istilah judicial review, yang menganggap kedua-duanya adalah identik. Sesungguhnya kedua-duanya terdapat perbedaan, yaitu: [40]
1.    Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan Judicial review tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan tetapi juga Legislative act, executive act, administrative act dan judgement terhadap UUD.
2.    Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya di miliki oleh hakim, tetapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan Judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan.
Sebutan yang tepat tergantung kepada lembaga mana kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht diberikan. Toetsingsrecht atau hak untuk menguji, jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai lembaga legislatif, maka proses pengujian demikian tersebut lebih tepat disebut sebagai Legislative review. Demikian juga jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada pemerintah, maka proses pengujiannya disebut sebagai executive review.
Dalam mengadili gugatan-gugatan perkara tata usaha negara terhadap keputusan administrasi negara, para hakim Amerika Serikat menggunakan istilah judicial review.  Begitu juga dalam sistem yang berlaku di Inggris, istilah pengujia terhadap keputusan-keputusan administrasi negara yang bersifat individual and concrete (beschickking) disebut sebagai judicial review. Hanya saja, di inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review  terhadap undang-undang (Legislative act) yang ditetapkan oleh parlemen. Sebaliknya justru bangsa Amerika Serikat yang pertama mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang buatan kongres, dimulai dengan putusan atas kasus marbury versus Madison pada tahun 1803. [41]
3.  Objek Pengujian
a.    Produk Legislatif (Legislative act)
Produk legisslatif adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat baik sebagai legislator ataupun colegislator. [42] Dalam pembentukan undang-undang tersebut, DPR lah yang disebut sebgai legislator, sedangkan pemerintah sebagai colegislator, karena setiap rancangan undang-undang untuk ditetapkan menjadi sebuah undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden.
Pemerintah disebut sebagai eksekutif, karena tugasnya melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang. Bahkan pemerintah dalam arti yang lazim, meliputi semua lembaga negara dan pejabat negara yang mendapatkan delegasi kewenangan dari undang-undang untuk melakukan suatu kewenangan sebagai pelaksana undang-undang atau yang dikenal sebagai eksekutif. Artinya, kedudukan suatu lembaga sebagai lembaga eksekutif di dasarkan pada apa kewenangan yang ia peroleh dari delegasi kewenangan berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu, lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan, dan lain sebagainya juga adalah lembaga eksekutif. Semua lembaga eksekutif ini jika mendapat delegasi kewenangan untuk membuat aturan atau untuk mengatur, dapat disebut sebagai self regulatory body dimana produk pengaturan (regulasi) yang dibuatnya dapat disebut sebagai executive acts atau regulative acts, dan bukan merupakan produk legislative (legislative acts).
b.    Produk Regulatif (Executive Acts)
Produk regulatif adalah pengaturan (regulasi) oleh lembaga eksekutif yang menjalankan peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif dengan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut materi produk legislatif yang dimaksud ke dalam peraturan pelaksanaan yang lebih rendah tingkatannya. [43] Dalam hal ini sebagaimana dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU  Nomor 10 Tahun 2004  Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan salah satu bentuk peraturan pelaksanaan adalah Peraturan Daerah.
4.  Bentuk pengujian
a.    Hak Menguji Formal
Hak menguji formal (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.Pengujian secara formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. [44]
Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan dari segi formalnya adalah sejauhmana  peraturan perundang-undangan itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat, oleh institusi yang tepat, dan menurut prosedur yang tepat. Jika dijabarkan, ketiga kriteria pengujian formal ini mencakup: [45]
1.    Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan  undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan rancangan suatu undang-undang atau suatu peraturan pemerintah penganti undang-undang menjadi undang.
2.    Pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang.
3.    Pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang.
b.    Hak Menguji Materil
Hak menguji secara materil (materiele toetsingsrecht)  adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasan tertentu (verordenendemacht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian secara meteril berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut  kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. [46]
Ketentuan mengenai pengujian materil ini juga dapat dilihat pada Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
(1)   Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.  perorangan warga negara Indonesia;
b.  kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara  Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.   badan hukum  publik atau privat; atau
d.  lembaga negara.
(2)   Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a.  pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b.  materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

F.    Kewenangan Pengujian PERDA
1.      Pengujian Perda Oleh Mahkamah Agung (Judicial Review)
Mahkamah Agung merupakan lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Bila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji:
1.  Peraturan Pemerintah;
2.  Peraturan Presiden; dan
3.  Peraturan Daerah.
Landasan hukum kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 19454, kemudian Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu:
1.    karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil); atau
2.    pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil)

Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999  tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam Perma ini kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk Perda.
Dalam menjalankan kewenangannya itu, Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Bila suatu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).
Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 hari pengundangan peraturan tersebut. Hal lain yang perlu dicermati adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Dengan menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama.
2.      Pengujian Perda Oleh Pemerintah (Executive Review)
Pengujian Perda oleh Pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) Pemerintahan Daerah. Dalam rangka pengawasan terhadap daerah, UU No.32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kemudian pada Pasal 145 ayat (2) menentukan bahwa:
(1)   Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2)   Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3)   Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)   Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(5)   Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(5) (6)  Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(6)   Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Dalam rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif terhadap Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif terhadap Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tata ruang Provinsi dilakukan oleh Pemerintah (Pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh Pemerintah Daerah, termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif. Dengan demikian dimungkinkan dalam satu Perda dilakukan dua pengawasan tersebut.
Berbeda dengan judicial review Perda yang dilakukan oleh satu lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan melalui beberapa lembaga negara departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan terhadap Perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap Perda Tata Ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap Perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku “pembina” Pemerintah Daerah.
UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah Pusat, namun dalam pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu yang lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah.
Standar pengujian Perda oleh Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahakamah Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah melakukan pengujian perda dilakukan dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.
Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 tentukan bahwa :
Yang dimaksud dengan ‘bertentangan dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.”

Bentuk hukum pembatalan Perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 adalah Peraturan Presiden. Namun dalam praktiknya, Pembatalan Perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan demikian, pembatalan Perda melalui (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri. Lagi pula sangat janggal karena perda yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking. Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Perda tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Perpres. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Perpres untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku.












DAFTAR PUSTAKA
Aan Seidman, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, Jakarta:ELIPS, 2002. Makassar:Perpustakaan FH-UH, 2010.

Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta:P.T. Radja Grafindo Persada, 2005.

Abdul latif, Pembentukan Peraturan perundang-undangan Indonesia, Makassar: PT.UMI TOHA,Ukhuwah Grafika, 1997.

Abd. Malik Magola, Tesis “Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Pembentukan Perda no. 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku,

Ali,Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama,1996.

Bachan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1985.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Press,1994.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil , Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara,2003.

Djoko Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan beberapa Proses Penyempurnaannya,Jakarta:Halia Indonesia, 1985.

Irawan Suujito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Jakarta: Yayasan Karya Dharma IIP,1978.

 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung:P.T. ALUMNI, 2008.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006.

------------------------, Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005.
Krhisna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Trias Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan Dan Pelaksanaan, Bandung: Citra Adhitya bhakti, 2003.

K. Wantjik Saleh, Perkembangan Perundang-undangan, Jakarta: Ikhtiar, 1973.

Muh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1981.

M. Soly Lubis, Landasan Dan Teknik Perundang-Undangan, Bandung: Alumni, 1977.

O.Notohamijojo, Makna Negara Hukum,Jakarta:Badan Penerbit Kristen, 1970.

Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2006.

R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 1982.

Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makassar: PuKAP-Indonesia, 2008.

Sarundajang, Pemerintahan Daerah Di Berbagai Negara, Jakarta:Pustaka Sianar Harapan, 2000.

SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan upaya Administratif di Indonesia, yogyakarta: UII Press, 2003.







PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor  2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Nomor  24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.14 Thn 1985 tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.2 Thn 1986 tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Nomor  10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999  tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004


[1] Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta:Konstitusi Press, 2000, hlm. 4.
[2] Ibid., hlm. 7.
[3]I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung:P.T. ALUMNI, 2008, hlm. 69.
[4] Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makassar: PuKAP-Indonesia, 2008, hlm. 61-63.

[5] SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan upaya Administratif di Indonesia, yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 50.
[6] Ibid.,hlm.50.
[7] Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 2006, hlm. 73.
[8] Ibid., hlm. 75.
[9] Ibid., hlm. 75.
[10] Krhisna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Trias Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan Dan Pelaksanaan, Bandung: Citra Adhitya bhakti, 2003, hlm. 43.
[11] Ibid., hlm. 75.
[12] Irawan Suujito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Jakarta: Yayasan Karya Dharma IIP,1978, hlm. 3.
[13] Bachan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 95-96.
[14] Irawan Soejito, op.cit, hlm. 8-9.
[15] Abdul latif, Pembentukan Peraturan perundang-undangan Indonesia, Makassar: PT.UMI TOHA,Ukhuwah Grafika, 1997, hlm. 2.
[16] M. Soly Lubis, Landasan Dan Teknik Perundang-Undangan, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 13.
[17] K. Wantjik Saleh, Perkembangan Perundang-undangan, Jakarta: Ikhtiar, 1973, hlm. 12-13.
[18] Irawan Soejito, op.cit, hlm. 8.
[19] Muh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1981, hlm. 8.
[20] Djoko Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan beberapa Proses Penyempurnaannya,Jakarta:Halia Indonesia, 1985, hlm. 44.
[21] Ibid., hlm. 45.
[22] Ibid., hlm. 46.
[23] Ibid., hlm. 47.
[24] Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta:P.T. Radja Grafindo Persada, 2005, hlm. 133.
[25] Abd. Malik Magola, Tesis “Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Pembentukan Perda no. 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, Makassar:Perpustakaan FH-UH, 2010, hlm. 71.
[26] Aan Seidman, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, Jakarta:ELIPS, 2002, hlm. 214.
[27] O.Notohamijojo, Makna Negara Hukum,Jakarta:Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 80.
[28] Djoko Prakoso, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan beberapa Proses Penyempurnaannya,Jakarta:Halia Indonesia, 1985, hlm. 44.
[29] Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama,1996, hlm. 84-95.
[30] Ibid., hlm. 95.
[31] Sarundajang, Pemerintahan Daerah Di Berbagai Negara, Jakarta:Pustaka Sianar Harapan, 2000, hlm.33.
[32] Ibid., hlm. 33.
[33] Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
[34] Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
[35] Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintahan Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Press,1994, hlm. 160-161.
[36] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil , Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara,2003.
[37]I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op.cit, hlm. 117.
[38]I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op.cit, hlm. 124.
[39] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 1.
[40]I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op.cit, hlm. 120.
[41] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Kostitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Kontitusi Press, 2005, hlm. 24-25.
[42] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian......Op.Cit., hlm. 30.
[43] Ibid., hlm. 39.
[44] R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 1982, hlm. 5-6.
[45] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian......Op.Cit., hlm. 64.
[46] R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Materil......Op.Cit., hlm. 30.

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter