Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Rabu, 15 Februari 2012

Makalah Hukum Internasional : Tata Cara Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Yudisial
            Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihadirkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagai mana mestinya dengan memberlakukan kaedah-kaedah hukum. Metode Penyelesaian sengketa internasionaal adalah melalului pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
            Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh pengadilan internasional adalah mahkamah internasional( internasional court of justice/ ICJ) dan mahkamahpidan internasional ( internasional criminal court / ICC). Contoh pngadilan ad hoc atau pengadilan khusus adalah mahkamahinternasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda (Internasional Criminal Tribunal For The Farmer Yugoslavia / ICTY) dan ( Internasional Criminal Tribuna for Rwanda / ICTR). Pengadilan ad-hoc ini mempunya mandat terbatas pada waktu dan wilayahnya.

2.3.2. Penyelesaian Melalui Badan Peradilan Internasional
            Salah satu alternative penyelesaian sengketa internasional secara hukum atau judicial settlement  seperti yang telah diuraikan diatas adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau internasional court)[1].

2.3.2.1. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tidakk terpisahkan dengan Piagam PBB.[2]
Mahkamah internasional adalah organ utama lembaga kehakiman PBB, yang kedudukan di Den Haag, Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti MIP (mahkamahinternasional permanen)[3]. Fungsi utama MI adalah untuk menjelaskan kasus-kasus persengkataan intersional yang subjeknya adalah negara. Statuta adalah hukum-hukum yang terkandung.
      Pasal 9 Statuta Mahkamahinternasional menjelaskan, komposisi ICJ terdiri dari 15 hakim. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap dibidang hukum internasional, untuk memilih anggota mahkamah dilakukan pemungutan suara secara independen oleh majelis umum dan Dewan Keamanan (DK). Biasanya 5 hakim Mahkamah berasal dari anggota tetap DK PBB, tugasnya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan baik yang bersifat sengketa maupun yang bersifat nasihat.
Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
Mengenai penanganan Perkara di mahkamahinternasional,Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto [4] adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka. Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1.    Perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah.
2.    Pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3.    Adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
4.    Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.

Masalah yuridiksi atau kewenangan suatu pengadilan dakam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar.kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan pada kesepakatan dari negara- negara yang mendirikannya, berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional.
Biasanya perjanjian internasional ini menentukan pula siapa saja yang berhak menyerahkan sengketanya kepada pengadilan (ratione personae)[5] dan sengketa-sengketa apa saja yang biasa diserahkan dan diadili oleh pengadilan. Contohnya pertikaian antara indonesia- Australia mengenai landas kontinen kedua negara, tidak begitu saja diserahkan kepada The Eropean Court Of Human Right, yang khusus mengadili sengketa-sengketa pelanggaran hak asasi manusia diantara negara-negara the European Community.  Yurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal :
1.    Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkanny (contentious jurisdiction).
2.    Noncontentious jurisdiction atau yurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction).

a.    Contentious Jurisdiction
Yurisdiksi mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa atara dua Negara atau lebih, sengketa hukum yang memungkinkan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum internasional terhadapnya. Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa Negara sejalah yang bias menyerahkan sengketanya ke Mahkama. Dengan kata lain subyek-subyek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional,perusahaan multinasional,orang perorangan,pihak yang bersengketa, dan lain-lain tidak bias meminta mahkamahuntuk menyelesaikan sengketanya.
Jika  individu atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanya tindakan Negara lain maka agar sengketa tersebut dapat diserahkan dan tangani oleh Mahkamah, negara individu atau negara tempat perusahaan didaftarkan dapat mengambil alih sengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah.
Meskipun suatu negara adalah pihak atau peserta pada statute dan berhak untuk memanfaatkan proses persidangan hukum persidangan mahkamah. Namun tidak ada suatu negara pun dapat dipaksakan untuk menyelesaikan sengketanya kepada mahkamah tanpa kesepakatan negara itu sendiri[6].
Menurut Pasal 4 ayat 3 statuta , Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepada mahkamah, namun anjuran tersebut tidak dapat memaksa negara-negara agar sengketa mereka diselesaikan oleh mahkamah, kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi mahkamah.
Rekomendasi Dewan Keamanan sempat menarik perhatian ketika inggris dan Albania bersengketa[7]. Dalam sengketa ini Dewan Keamanan memberikan rekomendasi agar inggris dan Albania menyerahkan sengketanya kepada ICJ (internasional court of justice). Inggris berpendapat bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan alasan yang cukup untuk memberyurisdiksi kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus sengketa.
Namun ICJ berpandangan lain.ICJ melihat kehadiran Albania di sidan ICJ sudah menunjukkan bahwa negara tersebut telah menyepakati (secaradiam-diam) yurisdiksi ICj. Mayoritas hakim ICJ pada waktu itu tidak begitu memperdulikan argumentasi inggris tentang Statute Rekomendasi Dewan keamanan, namun demikian terdapat 7 hakim yang menyatakan bahwa pendapat inggris diatas keliru, alasan mereka  rekomendasi Dewan Keamanan tersebut tidak mengikat.

b.    Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
            Noncontentious (Advisory) jurisdiction ialah dasar hokum yurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan (Advisory) hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 (lima) badan atau hukum utama dan 16 (enam belas) badan khusus PBB. Mahkamah dapat memberikan pendapat atau nasehatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badan-badan mana pun yang diberi wewenan sesuai dengan piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.
            Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 93 ayat (2) piagam menyatakan bahwa negara-negara non-angota PBB dapat pula menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas rekomendasi dari dewan Keamanan[8].
            Swis misalnya bukan anggota PBB, pada tanggal 11 desember 1946 majelis umum mengesahkan, atas rekomendasi Dewan Keamanan, suatu resolusi 91 (1) 1946. Resolusi ini menyatakan bahwa swis dapat menjadi peserta pada statute ICJ dengan syarat-syarat berikut:
1.    Menerima ketentuan – ketentua statute ICJ.
2.    Menerima semua kewajiban sebagai anggota PBB berdasarkan pasal 94 pigam[9]
3.    Bersedia membayar ongkos-ongkos Mahkamahyang jumlahnya akan ditentukan oleh Majelis Umum dari waktu ke waktu setelah berkonsultasi dengan pemerintah Swis.
            Swis menerima persyaratan-persyaratan tersebut yang menyatakan dalam suatu dokumen yang diserahkan kepada secretariat PBB pada tanggal 28 juli 1948. Negara Liechtenstein dan San Marino menjadi peserta statute ICJ dengan persyaratan-persyaratan yang sama dengan menyerahkan pernyataan (deklarasi) penerimaan kepada secretariat PBB pada tanggal 29 maret 1950 dan 18 februari 1954.


c.    Sumber Hukum Mahkamah Internasional
            Statuta mahkamah internasional dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum internasional yang akan mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diserahkan kepadanya, sumber hukum tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) statuta mahkamah internasional, yaitu :
a)    Konvensi atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hokum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
b)    Kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai mana telah dibuktikan sebagai suatu praktik umum yang diterima ssebagai hokum.
c)    Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beragam.
d)    Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum subside (tambahan) untuk menetapkan kaida-kaidah hukum.

Menurut Moctar Kusuma Admaja, penyebutan sumber-sumber hukum tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertaama tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer, dua lainnya adalah sumber hukum tambahan atau subside.[10].
Adanya dua penggolongan tersebut secara teori menunjukkan bahwa Mahkamahpertama-tama akan menggunakan sumber hokum utama terlebih dahulu (perjanjian internasional) baru manakalah memeriksa sengketa dengan mengguanakan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya  jika sumber hukum tersebut kurang memberi gambaran maka sumber hukum subside akan berfungsi, yaitu prinsip-prinsip hukum umum dan putusan pengadilan terdahulu serta pendapat para ahli (doktrin).
Menurut piagam PBB asas-asas hukum umum tidak mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam lingkup internasional. Tetapi  ia mengacu kepada prinsip-prinsip hukum umum yang terdapat dalam hukum nasional atau terefleksikan dalam konsep-konsep dasar dari negara-negara beradap.
Moctar kusuma Atmadja menggungkapkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang mendasari system hukum modern. Yang  dimadsud  system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Negara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum romawi. Mahkamah akan menggunakan norma-norma hukum ini untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Adapun kasus-kasus yang perna disidangkan didepan mahkamah internasional :
1.    Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro);
2.    Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia);
3.    Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo);
4.    Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro);
5.    Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras);
6.    Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia);
7.    Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France);
8.    Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore);
9.    Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine);
10. Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua);

2.3.2.2 International Criminal Court (ICC)
Statuta Roma  atau the Rome Statute adalah constituent instrument bagi berlakunya International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Juli 2002 setelah Senegal meratifikasinya pada tanggal 1 Juli 2001. Jenis kejahatan yang yang diatur dan menjadi yurisdiksi ICC adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta. Keempat jenis kejahatan tersebut pada saat sekarang telah menjadi jenis-jenis atau Prototipe dari kejahatan internasional yang paling serius di muka bumi .
            Jenis kejahatan dalam ICC yaitu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan agresi memiliki dasar pembenar (opinion jurist) yang memiliki akuntabilitas hukum yang diterima secara umum. Kriminalisasi ketiga jenis kejahatan tersebut berasal dari konsensus masyarakat internasional ataupun dari kebiasaan internasional yang menempatkan individu sebagai pelaku utama sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam kapasitas aktif maupun pasif mereka. Akuntabilitas pertanggung jawaban pidana bagi individu yang telah melakukan kejahatan internasional di dalam ICC tersebut ditujukan tidak hanya kepada korban, keadilan, tetapi juga untuk dan atas nama masyarakat internasional secara keseluruhan.
            Dengan demikian, asumsi pembenaran (opinio juris necesitatis) dan praktek internasional (practice)  menjadikan pengaturan jenis kejahatan dalam ICC memiliki akuntabilitas hukum yang sangat tinggi karena didasari pada prinsip-prinsip tersebut di bawah ini :
1.    Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang;
2.    Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional;
3.    Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang;
4.    Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang;
5.    Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair;
6.    Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasional.

2.3.2.3. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY))
Berbeda dari Mahakamah Internasional yang merupakan suatu peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICTY adalah mahkamah yang didirikan oleh suatu keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam berkenan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Demikianlah melalui resolusi dewan keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993, PBB membentuk The International Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah bekas Yugoslavia. Sesuai mandatnya, yurisdiksi Mahkamah terbatas baik dari segi waktu maupun gografis. Mahkamah tidak dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1991 atau kejahatan-kejahatan yang telah terjai atau terjadi di luar wilayah negara bekas Yugoslavia. Yurisdiksi mahkamah meliputi komponen-komponen dasar hukum humaniter internasional, yaitu pelanggaran-pelanggaran berat terhnadap konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap kemanusiaan, dan tindakan-tindakan genosida.
Mahkamah mempunyai 16 hakim tetap yang dipilih oleh majelis umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun. Dua dari hakim-hakim tersebut dipilih oleh Sekertaris Jenderal PBB.mahkamah diketuai oleh Mr. Theodor Meron asal Amerika Serikat yang dipilih pada tanggal 14 Maret 2000 bersama dengan hakim-hakim lainnya. Di samping itu, melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1329 dibentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 27 orang oleh majelis umum untuk masa jabatan 4 tahun mengingat beratnya tugas yang dilaksanakan oleh mahkamah.
Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in absensia. Jika pengadilan tidak mampu menghadirkan terdakwa, maka penuntut dapat mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan bukti yang ada, selanjutnya majelis akan menentukan ada atau tidaknya dasar yang rasional untuk mempercayai bahwa terdakwa melakukan kejahatan dan dapat mengeluarkan jaminan penahanan internasional yang diberikan kepada semua negara. Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi-in absensia. Sampai sekarang ini, jumlah terdakwa yang telah diperiksa adalah sebanyak 35 orang dengan 32 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana, sedangkan tiga lainnya dibebaskan[11].
Demikianlah pembentukan mahkamah ini telah merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan aka nada mahkamah pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.


2.3.2.4. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR))
Kekerasan yang membinasakan Rwanda sejak awal 1994 menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sejumlah resolusi yang memberi peringatan telah terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional dan menentukan bahwa konflik tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 995 tanggal 8 November 1994 dibentuklah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berlokasi di Arusha, Tanzania[12]. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang-orang Rwanda di negara-negara tetangga, khususnya yang dilakukan oleh ekstrimis Suku Hutu sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994.
Mahkamah pada mulanya mempunyai 6 hakim tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB pada bulan Mei 1995. Selanjutnya melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1165 (1998) memutuskan untuk membentuk Trial Chamber ke-3 dengan menambah 3 hakim lagi sehingga 9. Kemudian melalui resolusi Dewan Kemanan No. 1329 (2000) ditambah lagi 2 hakim sehingga menjadi 11. Mahkamah diketuai oleh Mr. Eric Mose asal Norwegia. Disamping hakim-hakim tetap ini Dewan Keamanan melalui resolusi No. 1431 (2002) membentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 18 orang yang dipilih oleh Majelis Umum.
Melalui Statuta ICTR inilah secara tegas-tegas dirumuskan bahwa crimes against humanity tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi bisa terjadi di masa perang atau masa damai (no nexus with and armed conflict). Adapun persamaan dan perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: Pertama, baik ICTY maupun ICTR keduanya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Kedua, ICTR maupun ICTY merupakan subsidiary organs Dewan Keamanan. Ketiga, baik ICTY maupun ICTR memiliki struktur yang sama[13].
Sementara perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: pertama, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international armed conflict maupun internal armed conflict, sedangkan ICTR memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflict. Kedua, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan on national, political, athnics, racial, or other religion ground. Dengan demikian hal ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. Ketiga, ICTY mempunyai yurisdkisi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah “bekas Yugoslavia” sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki Yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda. Keempat, prosedur beracara ICTY mengikuti common law system, sedangkan ICTR mengikuti campuran antara common law dan civil law system[14]. Jumlah terdakwa yang diperiksa dalam ICTR sebanyak 16 orang dan 1 orang di antaranya diputus bebas sedang yang lain dijatuhi pidana dengan jumlah pidana terbanyak yang dijatuhkan adalah pidana penjara seumur hidup[15].


[1] Huala Adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,Jakarta:sinar grafika,2004. Hal 58
[2] http://bennysetianto.blogspot.com/2006/05/mahkamah-internasional.html akses pada tanggal 24 Mei, 2010, pukul 20.15 WIB

[3] PCIJ (permanent court of internasional of justice)pendahulu dari ICJ, yang dibentuk berdasarkan pasal 14 konvenan liga bangsa bangsa pada tahun 1922.
[4] ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 91 konvensi WINA 1969 tentang konvensi internasional.
[5] ratione personae  adalah pihak yang berhak menyerahkan sengketanya
[6]Huala adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,bandung,2004. Hal 69
[7] Dalam  the corfu chanel case,1948
[8] Dimungkinkannya Negara-negara yang bukan menjadi anggota PBB untuk menjadi anggota ICJ merupakan pengecualian terhadap prinsip hukum perjanjian internasional pacta tertis nec nocent nec prosunt,yang berarti bahwa perjanjian mengikat hanya terhadap para pihak yang membuat dan mengikatkan dirinya . ia tidak mengikat pihak ketiga yang berada diluar kesepakatan para pihak yang membuatnya.
[9] Pasal 94 piagam mensyaratkan smua anggota PBB untuk  menaati putusan yang dikeluarkan oleh MahkamahInternasional.
[10] Moctar Kusuma Admadja.op.cit., hlm 108
[11] Ibid,hal. 81.
[12] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalamm Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, hal.285.
[13] Mappasessu, 2005, Perbandingan Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),skripsi, sarjana hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hal. 62-65.
[14] Ibid,
[15] Dian Primayadi,2005, Pelaksanaan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) Serta Manfaatnya Terhadap Perkembangan Hukum di Bidang Kejahatan Internasional, skripsi, sarjana hukum, Fakultas \Hukum Universitass Hasanuddin, hal. 83.

Hukum Internasional : Makalah Sengketa Internasional



Sengketa adalah hubungan antara dua pihak baik individu atau kelompok yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sengketa juga dapat dikatakan sebagai sebuah keadaan yang terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Upaya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional di usahakan penyelesaiaannya sedini mungkin, dengan cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat merupakan tujuan hukum internasional sejak lama, dan kaedah kaedah serta prosedur-prosedur yang terkait sebagian merupakan kebiasaan dan praktek dan sebagian lagi serupa sejumlah konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti konvensi the Hague 1899 dan 1907 untuk penyelesaian secara damai sengketa-sengketa internasional dan charter perserikatan bangsa-bangsa  yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Salah satu tujuan pokok charter tersebut adalah membentuk organisasi persetujuan perserikatan bangsa- bangsa untuk mempermudah penyelesaiaan secara damai.
Dalam masyarakat internasional dikenal perinsip penyelesaiaan secara damai ini dituangkan dalam Pasal 1 konvensi Den Haag tahun 1907. Pada pasal 1 konvensi ini kemudian diambil alih oleh piagam perserikatan bangsa-bangsa yaitu Pasal 2 ayat 3 piagam PBB yang berbunyi :
All members shall settle their internasional disputes by peacefull means in such a manner that internasional peace and security,and justice, are not endagered.

Ketentuan Pasal 2 ayat 3 ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 Piagam PBB. Prinsip-prinsip penyelesaiaan secara damai kemudian diambil alih dalam deklarasi mengenai hubungan persahabatan kerja sama antar negara tanggal 14 oktober 1970 dan deklarasi Manila tanggal 15 november 1982 mengenai penyelesaiaan sengketa internasional secara damai[1].
Dalam  struktur masyarakat internasional tidak ada negara diatas negara dan tidak ada badan legislatif internasional yang membuat aturan-aturan untuk tingkah laku negara. Perbedan sanksi sipil dan pidana sangat buram pada tingkat internasional dibandingkan sanksi dalam hukum nasional, maka demikian tidak ada penyelesaan sengketa sebagaimana halnya dalam hukum nasional.penyelesaiaan sengketa dalam masyarakat internasional berada ditanggan mereka sendiri , masyarakat Internasional tidak mempunya penyelesaian sengketa seperti polisi, jaksa, dan pengadilan[2].
Pengadilan internasional seperti Mahkamah Internasional tidak dapat disamakan dengan pengadilan nasional, sebab Mahkamah internasional mempunyai kewenangan terbatas, wewenan untuk mengadilinya tergantung pada kehendak negara yang sedang bersengketa apakah akan menyerahkan sengketannya pada mahkama[3]. Mahkamah  Internasional tidak mempunyai kewenangan memaksa sebagaimana pengadilan nasional[4]. Dalam masyarakat internasional dibedakan antara sengketa politik dan sengketa hukum.sengketa yang bersifat politik adalah sengketa yang didasarkan atas pertimbangan pertimbanan politik, sehingga penyelesaiaannya harus didasarkan pada pertimbangan politik juga, sedangkan penyelesaian hukum dapat kita dilihat pada pasal 32 ayat 2 statuta Mahkamah Internasional, sengketa Hukum mengenai :
a)    Perjanjian internasional.
b)    Setiap persoalan hukum internasional.
c)    Adanya suatu fakta yang ada, bila ternyata  menimbulkan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
d)    Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena pelaggaran terhadap kewajiban inetrnasional.
Pada umumnya metode-metode penyelesaiaan sengketa digolongkan dalam dua kategori yaitu :
1.    Cara-cara penyelesaian damai yaitu apabila para pihak yang bersengketa telah dapat menyepakati untuk menemukan seuatu solusi yang bersahabat. Metode-metode penyelesaiaan sengketa-sengketa internasional secara damai atau persahabatan dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini :
a)    Abitrasi (arbiitrasion)
b)    Penyelesaian Yudisial (judicial settlement)
c)    Negosiasi,jasa-jasa baik (good office),mediasi,konsiliasi
d)    Penyelidikan (inquiry)
e)    Penyelesaian dibawah naungan organisasi perserikatan bangsa-bangsa

  1. Cara-cara penyelesaiaan sengketa-sengketa dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
a)    Retorsi (Retorsion)
b)    Tindakan pembalasan (Reprisals)
c)    Blockade secara damai (pacific blockade)
d)    Intervensi (Intervention)
e)    Perang dan tindakan bersenjata bukan perang (war and non war armed action)
Dalam penulisan skripsi ini ,penulis lebih menekankan kepada penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional.





[1] Boer Mauna, hukum internasional,pengertian,peranan dan fungsi dalam era globalisasi,(bandung: penerbi alumni,2000), hlm 187
[2] Sri setianingsi suwardi.penyelesaian senketa internasional (jakarta:universitas indonesia,2006), hlm 3

[3] Pasal 36 ayat 1 statuta MahkamahInternasional
[4] Pasal 36 ayat 2 statuta MahkamahInternasional. Selain itu sengketa yang dapat diajukan hanya sengketa hukum.

Makalah Hukum Internasional : Prosedur Penyelesaian Hukum, Arbitrase Dan Perdamaian Yang Berhubungan Dengan Jus Cogens Serta Akibat Yang Ditimbulkan Karena Tidak Berlakunya Suatu Perjanjian Yang Bertentantangan Dengan Jus Cogens.



Prosedur untuk menentut batalnya atau tidak berlakunya lagi suatu perjanjian yang berhubungan dengan jus cogens diatur secara bersamaan dengan penanguhan berlakunya perjanjian. Apabila cara-cara penyelesaan pertikaian menurut ketentuan Pasal 33 Piagam PBB telah  ditempuh namun tidak diperoleh penyelesaiannya, maka mulai dapat diterapkan ketentuan Pasal 66 konvensi.
Cara-cara penyelesaian pertikaian secara damai dibawah Pasal 33 Piagam PBB dapat berupa perundingan langsung, perantaraan pihak ketiga (Mediasi, Jasa-jasa Baik, mediasi, konsiliasi) ataupun melalui penyelesaian yudisial (pengadilan internasional / ICJ), tetapi cara ini baru dapat ditempuh apabila telah dilakukan pemberitahuan tetulis disertai alasan-alasan kepada pihak lainnya di mana pihak lainnya mengajukan keberatannya.
Penerapan Pasal 66 konvensi dimana ketentuan Pasal 65 ayat (3) telah dilakukan namun tidak diperoleh penyelesaian, maka dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diajukan keberatan, masing-masing pihak dalam sengketa yang menyangkut penerapan atau penafsiran ketentuan Pasal 54 dan Pasal 64 dapat mengajukan permohonan tertulis kepada mahkamah internasional untuk di putus , kecuali apabila para pihak bersepakat untuk menyerahkan persengketaan mereka pada badan arbitrase.
Selanjutnya dalam Sub b Pasal 66 dijelaskan, bahwa masing-masing pihak dalam suatu sengketa yang menyanggkut penerapan suatu penafsiran ketentuan-ketentuan dai bagian V dari konvensi inin dapat mengajukan prosedur yang terdapat pada annex dari konvensi dengan jalan mengajukannya kepada sekretaris jenderal PBB.
Penunjukan kepada Pasal 565 ayat (3) dalam ketentuan Pasal 66 sub a , yaitu sepanjang yang mengenai perkara yang diajukan di mahkamah internasional merupakan peringatan akan fungsi mahkamahsebagai pemberi nasehat hukum kepada para pihak yang menghendakinya. Dalam hal suatu perjanjian batal karena bertentangan dengan jus cogens maka para pihak sejauh mungkin mencegah akibat-akibat yang bertentanggan dengan jus cogens dan selanjutnya akan menyesuaikan atau menyelaraskan hubungan timbal balik mereka agar sesuai dengan jus cogens. Di lain pihak apabila suatu jus cogens baru timbul maka perjanjian mana pun yang bertenatngan denga norma itu menjadi batal dan tidak berlaku lagi. Hal demikian ini mempunyai akibat kepada para pihak dengan membebaskannya dari setiap kewajiban manapun untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut.
Akibat lainnya adalah tidak akan mempengaruhi hak, kewajiban atau keadaan hukum apa pun dari pihak yang lahir dari sebab perjanjian tersebut dengan ketentuan bahwa hak-hak , kewajiban atau keadaan hukum tersebut selanjutnya tidak bertentangan dengan jus cogens baru tersebut .

Makalah Hukum Internasional : Ruang Lingkup Jus Cogen (Pendapat Para Ahli)



2.1.1. Jus cogen
Prinsip Jus Cogens dalam hukum internasional adalah serangkaian prinsip/norma hukum internasional yang berlakunya tidak dapat diubah dan tidak boleh diabaikan, dan karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu perjanjian antar Negara-negara dalam hal perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip/norma tersebut. Dalam Pasal 64 Konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional ditentukan  bahwa, Jus cogens merupakan salah satu dari kebiasaan Hukum Internasional[1].
Prinsip jus cogens oleh para pakar disebut sebagai kaidah yang membatasi kehendak negara, seperti yang dikatakan oleh Rozakis :[2].
...Walaupun negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, kebebasan itu ada batasnya, terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak negara, Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh negara-negara yang bertentangan dengannya. kaidah hukum ini disebut dengan Jus cogens.[3]
           
Pada awalnya tujuan Konvensi Wina 1969 mengadakan suatu kodifikasi dari semua masalah-masalah hukum yang dapat timbul dari diadakannya suatu perjanjian internasional antar negara telah menghabiskan waktu yang cukup . internasional Law Commission ( ILC) sebagai suatu badan yang ditunjuk oleh PBB untuk menyelenggarakan tugas pengkodifikasian hukum perjanjian telah mendapat bantuan dari pada para ahli hukum terkenal yang ditugaskan sebagai special reporter dalam penyusunan draft naska perjanjian. Namun ternyata isi dari beberapa ketentuan konvensi masi menimbulkan pengertian yang samar-samar seperti misalnya beberapa ketentuan bagian V, khususnya tentang pengertian Jus Cogens. Namun beberapa prinsip atau asas sebagai suatu dasar permulaan bagi terwujudnya pembentukan suatu perjanjian agar para pihak terikat olehnya telah diletakkan oleh konvensi , seperti Asas kesepakatan,Itikad baik,dan Pacta sunt servanda[4], ketiga asas ini yang telah lama dikenal dan diakui secara umum.
Disamping itu konvensi menujuk pula beberapa prinsip penting dari piagam PBB sebagai prinsip yang harus dihormati. Demikian tinggi nilai-nilai dari asas-asas piagam PBB ini hingga hampir pada setiap perjanjian internasional yang penting dijadikan dasar pepijakan,bahkan didalam perjanjian militerpun selalu menunjuk pada piagam PBB. Sekalipun terdapat asas-asas bahwa perjanjian harus ditaati namun para pihak dapat melalui cara-cara tertentu untuk menyatakan batal, misalnya karena bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional (Jus Cogens) disamping alasan-alasan lainnya seperti yang diatur dalam bagian V konvensi[5].
Hanya sedikit sekali pasal-pasal dalam konvensi yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Jus Cogens konvensi[6] hanya mencantumkan Pasal 53 (Perjanjian yang batal karena bertentanan jus cogens dan batasan jus cogen), Pasal 64 (Timbul suatu Jus Cogens baru), Pasal 66 (Prosedur penyelesaian hukum), Pasal 71 (Akibat-akibat yang timbul karena batalnya suatu perjanjian yang disebabkan bertentangan dengan Jus Cogens).[7]

2.1.2. Pengertian Umum Jus Cogens ( Peremptory Norm of General Internasional Law)
Pengertiam Jus Cogens dalam sistematika Konvensi wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional dimuat dalam bagian ke V yang mengatur hal pembatalan, berhenti berlakunya, dan penundaan berlakunya. Dalam bagian ke V Konvensi WINA 1969 memiliki beberapa alasan dapat diajukan, misalnya untuk pembatalan suatu perjanjian dengan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari hukum nasional dengan peserta yang berkenaan dengan kuasa penuh dari negara pengirim (Pasal 46 dan 47 Konvensi), adanya unsur kesalahan (Pasal 48), adanya unsur penipuan (Pasal 49), dan unsur kelicikan (Pasal 50 ).
Suatu dasar lain yang dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian, adalah apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional umum (Peremptory Norm of General Internasional Law atau Jus Cogens). Konvensi menyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional umum (Pasal 53). Di dalam pasal ini pun konvensi memberikan suatu batasan apa yang dimaksud dengan norma dasar hukum internasional umum itu, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebab suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.
            Dalam laporannya Waldock ( sebagai seorang special reporteur dari yhe internasional Law commission ILC) memuat tiga kategori sebagai unsur yang dapat bertentangan dengan jus cogens yaitu :
1.    The use or threat of force in contravention of the principle of the UN charter.
2.    International crimes so characterrized by international Law.
3.    Act or Comissions whose suppression is regured by internasional law.
ILC sebagai badan yang ditugaskan untuk mengkodifikasikan hukum perjanjian internasional telah mendapat kesulitan dalam memberikan formulasi yang tepat apa yang dimaksu dengan Jus Cogens tersebut sehingga komisi menyatakan bahwa “ Internasional Jus Cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai Public-policy (ketertiban umum) dalam pengertian hukum nasional. Public-policy  (dan yang serupa dengan itu) dapat muncul dari setiap negara, Misalnya terdapat aturan-aturan yang bersifat melarang (prohibitory rules). Fungsi setiap aturan yang melarang ini bertujuan untuk menjaga atau mencegah para pihak mengadakan suatu tindakan karena adanya keinginan untuk berbuat sesuatu akan tetapi bertentangan dengan aturan-aturan yang mempunyai sifat melarang tersebut. Mengenai apa yang merupakan ketertiban umum sangat sukar defenisikan, hanya hakim saja (dalam kasus-kasus tertentu) yang dapat menentukan apa yang bertentangan dengan kepentingan umum atau keterlibatan hukum itu. Faktor tempat, waktu,falsafat kenegaraan (yang dianut oleh masyarakat hukun yang bersangkutan), sistem perekonomian, pola kebudayaan dan politik akan mempengaruhi pendapat mengenai ketertiban umum.
Sekalipun bahwa setiap negara pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan membuat suatu hukum atau perjanjian, Namun perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Jus Cogens. Apabila suatu jus cogens baru timbul, maka perjanjian mana pun yang bertentangan dengan norma itu menjadi batal dan tidak berlaku lagi.


2.1.3.  Beberapa pendapat para ahli hukum internasional yang memberikan pandangan dan defenisi mengenai jus cogen
            J.G Starke berpendapat bahwa Jus cogens merupakan serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah (Peremptory) yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma. Sesuai dengan  Pasal 53 Konvensi Roma mengenai Hukum Traktat tanggal 23 Mei 1969, terdapat suatu karakteristik tambahan dari norma jus cogens bawasanya norma itu hanya dapat diubah oleh norma hukum internasional yang timbul kemudian yang juga memiliki karakter yang sama.
Jadi maksudnya prinsip jus cogens dalam hukum internasional merupakan sesuatu yang diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, dan hanya dapat diubah oleh suatu prinsip yang mempunyai karakter yang sejenis yang muncul belakangan, dengan demikian maka suatu perhimpunan regional tidak dapat mengubah atau mengabaikan prinsip itu dalam hal tidak adanya suatu keputusan untuk tujuan tersebut oleh seluruh masyarakat internasional. [8]
            Rozakis memberikan arti norma Jus cogens itu sebagai suatu norma hukum internasional umum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan ,norma hukum internasional umum disini diartikan sebagai suatu norma yang diterapkan kepada sebagian besar negar-negara karena telah diterima sebagai suatu yang mengikat dan terhadap norma tersebut tidak boleh dilanggar.
            Arehurs, Berpendapat bahwa suatu perjanjian yang batal akibat bertentanggan dengan Jus Cogens (pasal 53dan 64) hendaknya dikembalikan kepada praktek negara – negara berdasarkan kebiasaan setempat ini memang tidak diatur oleh lonvensi karena konvensi hanya mengkodifikasi hukum perjanjian saja.
            Brownlie, Memberikan beberapa contoh atura-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang agresi, pelanggaran hukum Genocide, perdagangan dan perbudakan,pembajakan,kejahatan – kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan,Pelanggaran terhadap prinsip- prinsip  hak menentukan nasip sendiri, UN convention rasial discrimination dan UN declaration of permanent soverreignty over natiral resources.
            Akehurs  mengemukakan  bahwa suatu aturan hukum internasional tidak dapat menjadi Jus Cogens apabila tidak diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian praktek negara-negara yang berdasarkan local costum dalam hubungnnya dengan jus cogens derajatnya dapat naik apabila diterima demikian oleh masyarakat internasional.
            Dhokalia, memberikan pendapat tentang arti kalimat kedua dari Pasal 53 di mana terdapat kata-kata “accepted and recognized by international cummunity of states as a whole” hendak diartikan sebagai apabila mayoritas besar masyarakat internasional menerima dan mengakui. Dikemukakannya sebagai contoh adalah praktek majelis Umum PBB dalam mengeluarkan suatu resolusi.hal ini dapat diartikan, bahwa resolusi tersebut  merupakan suatu pengakuan Eksplisit dari pencerminan pandapat umum suatu asyarakat iinternasional secar keseluruhan.
            Schwarzenberger, Untuk membentuk Jus Cogens Internasional maka suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas-asas yang fundamental,misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai arti penting luar biasa (Exeptionally signicent) dalam hukum internasional disamping arti penting istimewa dibanding dengan asas-asas yan lainnya. Selain itu asas tersebut merupakan bagian esensial dari pada sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yan berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan maka akan timbul tujuan asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu :
a.     Kedaulatan;
b.     Pengakuan;
c.Itikat baik;
d.     Hak membela diri;
e.     Tanggung jawab internasional, dan
f.       Kebebasan dilaut lepas.
Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut (inalienable) karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila itu berkeinginan untuk exist dalam pergaulan masyarakat internasional. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat pada negara.lain halnya , apabila negara (sekalipun merdeka dan berdaulat) dapat dituntut dihadapan pengadilan apabila dalam status “iure-gestionis[9]”. Dalam hal  iure –gestionis ini negara tidak lagi berdaulat mutlak,kedaulatannya telah dikurangi dan ia dapat dituntut di hadapan pengadilan asing (terjadi semacam erosi kedaulatan).penakuaan sebagai asas kedua dinyatakan terhadap pembatasan penggunaan kekerasan senjata dan hak membela diri dapat diperluas dengan adanya suatu larangan terhadap hek untuk mengakui perubahan-perubahan wilayah yang bertentangan dengan tujuan diperkenankannya penggunaan kekerasan senjata. Hak mengakui semacan ini sebagai bertentangan dengan jus cogens.
Asas permufakatan dan itikad baik, adalah sesuatu dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) piagam PBB tidak dapat mengubah suatu resolusi yang telah dicetuskan dengan cara mengambil suatu tindakan tertentu terhadap resolusi tersebut dengan menggunakan kebebasan sedemikian rupa, dan karenanya harus menerimanya demikian sebagai suatu kewajiban yang telah dimufakatinya, yang tidak dapat dilanggar dengan kehendak sendiri.
Hak membela diri sebagai asas fundamental dalam hukum internasional telah mendapat pengaturan yang kuat pada piagam PBB sebagai suatu hak yang dipunyai negara untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadapnya. Hak membeladiri ini dapat silakukan secara perseorangan ataupun secara bersama-sama.
Tanggung jawab internasional dapat dilukiskan sebagai adanya penerimaan oleh majelis Umum PBB pada yahun 1946 terhadap prinsip-prinsip yang merupakan tanggung jawab masyarakat internasional, misalnya penerimaan prinsip-prinsip nurenberg (affirmation of the principle of internasional Law Recognizes by the carter of the Nurenberg Tribunal) dan prinsip-prinsip dari genocide convention (Resolution on the crime of genocide) dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa:
. . . taht members of the UN subsequently admitted are simillarly bound by theses consensual rules of the international public order.

            Verdross Apabila schwarzenberger mengemukakan tiga sifat universal dan tujuh asa fundamental dalam tubuh hukum internasional sebagai unsur-unsur dari norma Jus Cogens, maka Verdross mengemukakan tiga ciri aturan yan dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional, yaitu aturan-aturan dasar  yang timbul karena adanya kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk tujuan-tujuan kemanusian dan harus sesuai atau selaras dengan piagam PBB.
            Mac Nair berpendapat sekalipun tidak mengunakan kata- kata jus cogens, menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kateori hukum yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh negara-negara yang membuat perjanjian. Dari penjelasan Mac Nair tersebut kiranya dapat diartikan, bahwa Jus cogens dapat lahir dari hukum kebiasaan internasional yang mempunyai derajat lebih tinggi  dari hukum kebiasaan internasional biasa, dan yang dimadsu melindungi kepentingan umum masyarakat inetrnasional. Contoh-contoh yang dikemukakan adalah sejalan dengan yag dikemukakan Brownlie. Mac Nair  memberikan beberapa kriteria dimana suatu perjanjian tidak berlaku karena bertentangan dengan suatu aturan hukum kebiasaan inetrnasional atau bertentangan dengan Piagam PBB, misalnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 dan 4 . disamping itu, juga yang bertentangan dengan “rule of general convention law” dan bertentangan dengan “specific obligations created by other treties”. Kriteria dari Mac Nair ini lebih-lebih dimaksudkan kepada syarat-syarat umum tidak berlakunya suatu perjanjian dan tidak secara khusus berlaku untuk pengertian jus cogens saja.






[1] Yudha bhakti. Pengertian jus congens dalam konvensi WINA 1969 tentang hukum perjanjian internasional
[2] ibid
[3] ibid
[4] Asas pacta sunt servanda adalah Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan
[5] Konvensi WINA 1969 tentang hukum perjanjian
[6] ibid
[7] Pasal 53Perjanjian yang bertentangan dengan norma peremptory umum hukum internasional (jus cogens)Sebuah perjanjian menjadi batal jika, pada saat kesimpulan, hal itu bertentangan dengan norma peremptory umum hukum internasional. Untuk tujuan Konvensi ini, peremptory norma umum hukum internasional adalah suatu norma yang diterima dan diakui oleh komunitas internasional Serikat secara keseluruhan sebagai suatu norma dari penghinaan yang tidak diperbolehkan dan yang hanya dapat dimodifikasi oleh norma berikutnya umum hukum internasional yang memiliki karakter yang sama..


[8]  J.G Starke, pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh

[9] iure-gestionis” yaitu negara bertindak selaku pedagang 

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter