Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 28 Mei 2012

TEORI PEMIDANAAN


TEORI PEMIDANAAN
A.   Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :
1.    Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
2.    Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
3.    Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Pada sat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP , UU No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.
Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan penjajah belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem pemidanaannya masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.
Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :
1.    Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam    tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
2.    Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.
            Dalam KUHP penjaTuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana pokok yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjaTuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (30) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya).
Mengenai maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima belas tahun dan hanya boleh dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara teratas adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi  satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan  dalam 3 golongan besar, yaitu :[1]
1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
2.    Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).
3.    Teori Gabungan (vernegins theorien).
B.   Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
            Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo polak.
            Menurut Kant mengemukakan bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.[2]
            Menurut Stahl mengemukakan bahwa : [3]
Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.
Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa :[4]
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan(sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)
Pendapat lain dikemukakan oleh Herbart  bahwa :[5]
Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.
2.    Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).
Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan harapan agar si terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.
Teori-teori yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh Lamintang  sebagai berikut : [6]
a.    Teori-teori yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran-pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum pidana.
b.    Ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman hukuman itu harus harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan tindak pidana, dalam arti apabila bahwa orang melakukan kejahatan mereka pasti dikenakan sanksi pidana, maka mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.
            Adapun menurut Van Hamel bahwa teori pencegahan umum ini ialah pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat jahat.[7]
            Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yakni :[8]
a.    Pidana adalah senantiasa untuk pencegahan khusus, yaitu untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan niatnya.
b.    Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjaTuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering).
c.    Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjaTuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
d.    Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat.
3.    Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Di samping teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah: [9]
Kelemahan teori absolut adalah:
a.    Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
b.    Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?


Kelemahan teori relatif adalah :
1.    Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
2.    Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3.    Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe Pompe menyatakan :[10]
Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan  menyatakan :[11]
”Pidana” bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Sementara ”tindakan” bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. [12]
Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat dari pada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.[13]
Terlepas dari berbagai teori di atas, penulis juga mengemukakan beberapa teori terkait tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai pakar ilmu hukum. Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri, tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah 3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General Deterrence.[14] Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:


Teori Pemidanaan 1D+3R
 1.    Reformation, berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain seperti pencegahan.
2.    Restraint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.  Jadi ada juga kaitannya dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan pendorong dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur hidup dan pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.
3.    Retribution, yakni pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu membuat magna carta bagi penjahat (Magna Charta For Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana, memang sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.
4.    Deterrence, yakni menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini mengatakan bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan  mencegah orang lain melakukan kejahatan terpidana dikorbankan untuk menerima pidana itu.
Selain remmelink dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan. Menurutnya pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur, yakni:[15]
1.    Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.
2.    Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
3.    Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang hukum kolektif, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.
C.   Jenis-Jenis Pidana
Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1.    Pidana Pokok
a.    Pidana mati;
b.    Pidana penjara;
c.    Pidana kurungan; dan
d.    Pidana denda.
2.    Pidana Tambahan
a.    Pencabutan hak-hak tertentu;
b.    Perampasan barang-barang tertentu;dan
c.    Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.    Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.    Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.    Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1)    Pidana Pokok
a.    Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu :
“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan  pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 14).
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan  Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)    Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2)    Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)    Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.
b.    Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.[16]
Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa :[17]
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah , yaitu :[18]
Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :
1)    Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2)    Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik;
3)    Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4)    Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain);
5)    Hak untuk mengadakan asuransi hidup;
6)    Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata;
7)    Hak untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka; dan
8)    Beberapa hak sipil yang lain.
c.    Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya  satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1)    Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delic culpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
2)    Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.[19]
d.    Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :[20]
Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
2)    Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :[21]
1)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2)    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3)    Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4)    Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.
a.    Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1)    Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2)    Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3)    Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)    Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5)    Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)    Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1)    Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2)    Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3)    Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
b.    Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1)    Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2)    Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3)    Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.

c.    Pengumuan Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:
“Apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :
1)   Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)   Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.
3)   Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4)   Penggelapan.
5)   Penipuan.
6)   Tindakan merugikan pemiutang.


[1] Adami Chazawi, op.cit. hlm. 153.
[2] Ahmad  Nindra Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar, hlm. 23.
[3] Adami Chazawi, op.cit. hlm. 155.
[4] Ibid. hlm. 156.
[5] Ibid.
[6] Ahmad  Nindra Ferry. Op.,cit. hlm. 25.
[7] Adami Chazawi. Op.,cit. hlm. 158
[8] Ibid., hlm. 162.
[9] Koeswadji, Hermien Hadiati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 11-12.
[10] Andi Hamzah., op.cit., hlm.36.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 37.
[13] Ibid.
[14] A.Z. Abidin dan Andi Hamzah. Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta. 2010, hlm.
[15] Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”. PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta., hlm. 70-71.
[16] Andi Hamzah. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 36.
[17] P.A.F Lamintang,1993, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1997. Bandung.
[18] Andi Hamzah. Op. Cit. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. hal. 38.
[19] Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 48-49.
[20] P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung. Hlm . 712.
[21] Hermien Hardiati Koeswadji, 1980. Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hal. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter