Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Selasa, 14 Februari 2012

TINJAUAN YURIDIS ATAS KEWENANGAN PENGAWASAN TERHADAP JAKSA SELAKU PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Peraturan Jaksa Agung NO.PER-069/A/JA/07/2007 )


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Perkembangan kondisi negara yang berubah menuju kearah yang lebih baik patut didukung. Kepeloporan pemimpin negeri ini ditambah dengan aparatnya, serta masyarakatnya yang bekerja keras, jujur dan tanpa pamrih adalah suatu keharusan. Hal tersebut juga berlaku dalam dunia peradilan yang sejalan dengan perkembangan dunia kejahatan, maka profesionalisme aparat penegak hukum yang mau bekerja keras, jujur dan tanpa pamrih merupakan jawaban atas perkembangan kriminalitas.
Dewasa ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan sangat rendah. Hal ini terlihat dengan maraknya unjuk rasa di pengadilan, angka tindakan main hakim sendiri yang meningkat serta banyaknya laporan ke pengawas lembaga peradilan yang bersangkutan. Fenomena ini demikian merupakan implikasi dari ketidakmampuan aparat peradilan bekerja dengan baik yang disebabkan oleh sistem maupun personnya.
Dalam sistem peradilan pidana peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Sedemkian pentingnya posisi jaksa bagi proses penegakan hukum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam bidang hukum, perdata dan Tata Usaha Negara (TUN), yaitu dapat mewakili negara dan pemerintah dalam perdata dan TUN. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Secara umum KUHAP tidak memberikan kewenangan bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan, dengan demikian Indonesia dapat dikatakatan satu-satunya Negara dimana jaksa atau penuntut umumnya tidak berwenang untuk melakukan penyidikan walaupun sifatnya insidential. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 butir 1 KUHAP telah menyatakan bahwa “penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penuntutan hanya dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan kewenangan nyang dimilikinya (Andi Hamzah, 1990:70).
Namun pelaksaan wewenang penyidikan tidak sepenuhnya menjadi milik kepolisian sebagai penyidik tunggal, karena apabila diperhatikan bunyi Pasal 284 ayat (2) KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dikecualikan dari penerapan KUHAP ini, yang menetapkan sebagai berikut :
“dalam waktu dua  tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan hukum acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagai peraturan pelaksanaan KUHAP, menyatakan bahwa :
Penyidik menurut ketentuan hukum acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagai pendukung atas ketentuan di atas maka ditetapkan Keputusan Presiden yang mengatur perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia melalui Keputusan Presidan No. 86 Tahun 1999.
Pasal 5 ayat (1) Kepres tersebut mengatur mengenai tugas dan kewenangan dari Jaksa agung yang antara lain menyebutkan :
a.    Memimpin dan mengendalikan kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna;
b.    Menetapkan dan mengendalikan kebijaksaan dan pelaksaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.    Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d.    Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh presiden;
e.    Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam ataupun ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, pengedaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan;
f.     Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha Negara, mewakili pemerintah dan Negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan Negara di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh presiden.
g.    Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentigan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha Negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;
h.    Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan;
i.      Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan presiden;
j.      Membentuk satuan tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari instansi sipil, TNI, dan POLRI untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan;
k.    Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga Negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya.
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan dan mengkoordinasikan dengan instansi terkait dalam hal penanganan perkara pidana tertentu dalam hal ini tindak pidana pidana korupsi. Kewenangan Jaksa Agung tersebut dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Keppres tersebut menyatakan :
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Peran penting yang dimainkan oleh lembaga kejaksaan tak lepas dari perwujudan representasi Negara dalam melidungi warga Negaranya. Untuk itulah, aspek penghormatan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal dalam menjalankan tugas menjadi unsur yang sangat menentukan. Howard Abadinsky (Harkristuti Harkrisnowo, 2001:2), menyatakan bahwa tugas dan mandat publik yang diberikan kepada Jaksa yaitu :
1.    To enforce the law on behalf of the people in the name of the state, and
2.    To ensure that justice accomplished by not prosecuting those for whom evidence is lacking or whose guilt is in serious doubts. 
Pendapat tersebut secara jelas menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsinya, jaksa bekerja sama atas nama rakyat dalam melakukan tugas menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk itu, jaksa diberikan kewenangan yang tidak dimiliki oleh setiap penegak hukum. Tetapi dalam menjalankan kewenangan tersebut kerap kali kejaksaan melanggar hak asasi manusia.
Dari uraian di atas telah jelas bahwa dalam tindak pidana khusus, khususnya tindak pidana korupsi kewenangan penyidikan dan penuntutan berada dibawah “satu atap”. Dengan diletakkannya kewenangan tersebut kepada lembaga yang sama dalam hal ini lembaga kejaksaan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh lembaga yang bersangkutan.
Dalam menjalankan kewenangannya, Jaksa bisa saja melakukan penyimpangan terhadap aturan bahkan melakukan abuse of power. Hal tersebut  dapat terjadi karena tingkat pengetahuan masyarakat mengenai proses beracara sangat rendah ditambah dengan kurang efektifnya pengawasan internal di lembaga kejaksaan.
Sebagaimana penyitaan Jaksa Agung terdahulu M. A. Rahman bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan selama ini dirasakan mengecewakan. Penilaian lain juga dapat dibaca dari hasil audit yang dilakukan oleh pricewaterhuose cooper dan British institute of international and comparative law yang menyatakan bahwa kejaksaan sebagai “poor reputation” yang berkaitan dengan professionalism, integrity, dan inefficiency para jaksa. Penilaian yang senada juga dapat kita baca dari pernyataan Ketua Forum 2004, Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa “Lembaga Kejaksaan sekarang ini mengalami degradasi kepercayaan publik” (Suhardibroto, 2004:2).
Melihat hasil pemantauan yang sudah dicapai dalam pemantauan kinerja dan perilaku jaksa, khususnya dalam proses persidangan, penyimpangan-penyimpangan masih saja terjadi. Dengan kata lain, jaksa sebagai penuntut umum kurang dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal dan fungsi pengawasan di internal lembaga berjalan kurang efektif (Abdul Azis, 2004:3).
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah kewenangan pengawasan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana korups pada Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007i?
2.    Kendala apakah yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi pada Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007?
C.   Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis dapat mengemukakan tujuan dan kegunaan penelitian adalah :
1.    Tujuan Penelitian
a.    Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan pengawasan terhadap Jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi.
b.    Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi
2.    Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi pihak yang berkompeten di bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum pidana pada khususnya terutama bagi yang berhubungan dengan penanganan tindak pidana korupsi. Hasil penelitian ini juga sebagai sarana untuk memperluas wawasan bagi para pembaca mengenai tindak pidana korupsi, serta untuk mengkaji secara yuridis tentang bentuk dan pelaksanaan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Tinjauan Umum Tentang Kewenangan
1.  Teori Kewenangan
 Kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu bidang tertentu saja. Jadi, kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang. Misalnya wewenang menandatangani suatu surat keputusan oleh seorang pejabat menteri sedangkan kewenangnnya tetap berada ditangan menteri. Dalam hal yang demikian yang terjadi adalah pemberian mandat, dimana tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pemberi mandat (Marbun: 2004: 1954).
Lebih lanjut dikatakan bahwa wewenang merupakan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh UU yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Menurut H. D. Stout (Ridwan: 2006: 73), wewenang tak lain adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Menurut Bagirmanan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), se angkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.
Sifat wewenang pemerintahan adalah jelas maksud dan tujuannya serta terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis maupun pada hukum yang tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan dan dapat pula bersifat konkrit dalam bentuk suatu keputusan atau suatu rencana, misalnya membuat Rencana Tata Ruang serta memberikan nasehat.
Wewenang atau kekuasaan diperoleh dari Undang-Undang (Azas Legalitas), sesuai dengan prinsip negara hukum yang meletakkan Undang-Undang sebagai sumber kekuasaan. Badan pemerintah tanpa dasar peraturan umum tidak mempunyai wewenang untuk melaksanakan perbuatan administrasi. Dengan demikian semua wewenang hukum admistrasi pemerintah harus berlandaskan atas peraturan umum dan dalam peraturan itu harus pula dicantumkan wewenangnya (Marbun: 2004: 74).
Sementara itu dikenal pula adanya wewenang pemerintahan bersifat fakultatif  yaitu apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat dipergunakan. Jadi, badan /pejabat tata usaha Negara tidak wajib menggunakan wewenangnya  karena masih ada pilihan (alternatif) dan pilihan itu hanya dapat dilakukan setelah keadaan atau hal-hal yang ditentukan dalam peraturan dasarnya terpenuhi. Untuk mengetahui apakah wewenang itu bersifat fakultatif atau tidak tergantung pada peraturan dasarnya.
Lain pula halnya dengan wewenang pemerintahan yang bersifat terikat (gebondeng bestuur) yaitu, apabila peraturan dasarnya menentukan isi  suatu keputusan yang harus diambil secara terperinci, sehingga pejabat tata usaha tersebut tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan ketentuan secara harfiah seperti dalam rumusan dasarnya, misalnya suatu ketentuan yang berbunyi: pejabat yang berwenang ”wajib” memberikan cuti kepada bawahannya. Jadi, pejabat tersebut harus memberikan cuti dan tidak ada alternatif lainnya. Berbeda halnya dengan wewenang yang bersifat “bebas” (discretioner), dimana peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada badan/pejabat tata usaha Negara untuk menolak atau mengabulkan, dengan mengaitkannya atau meletakkannya pada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, misalnya ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1974 menentukan : “pejabat yang berwenang memiliki wewenang untuk memberikan cuti kepada bawahannya”. Rumusan seperti ini pada akhirnya meletakkan pemberian wewenang cuti kepada pejabat tata usaha Negara dan pemberian cuti itu diberikan atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang pejabat tata usaha Negara tersebut (Merbun: 2004: 156).                    
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh badan dan perorangan untuk mengatur berbagai hal.
2.  Sumber Dan Cara Memperoleh Wewenang
Seiring dengan pilar utama Negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau  het beginsel van wetmatigheid van bestuur),maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenagn pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara teoretik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperolh melaui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat, yang defenisinya adalah sebagai berikut :
a.    Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.
b.    Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c.    Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek ( Ridwan,2006:756) menyebutkan bahwa :
“hanya 2 cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelumpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada orang lain. Jadi delegas secara logis selalu didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang apapun, namun yang ada hanyalah hubungan internal.

Dalam mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring denagn salah satu prinsip dalam Negara hukum  yaitu “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”.
            Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, akan tersirat didalamnya pertanggunjawaban-pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan perolehan kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan
            Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dimana tanggung jawab intern pelaksanaan wewenang tersebut diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang( atributaris).
            Menurut Ridwan ( Ridwan, 2006:77)
“Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepejabat yang lain . tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi dlegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris) . semetara pada mandat, penmerima mandate (mandataris)hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berad pada mandans karena pada dasarnya penerim mandate tersebut bukan pihk lain dari pemberi mandat “ 

B.   Pengertian Istilah Pengawasan
Dalam Black’s Law Dictionary, (O. C. Kaligis, 2006:41) control atau pengawasan memiliki pengertian : Power or authority to ménage, direct, superintend, regulate, govern, administer, or oversee. W.J.S. Poerwadarminta (1990:99) dalam Kamus Bahasa Indonesia Pengawasan diartikan : “pemilikan dan penjagaan”. Sedangkan dalam pengertian manajemen , (O. C. Kaligis, 2006:41), pengawasan atau kontrol adalah :
“Proses mencocokkan antara aktivitas yang sesungguhnya dilakukan dengan rencana yang dibuat. Jadi pengawas adalah proses mengevaluasi keefektifan tindakan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengarahan (leading).”
Menurut ismail Saleh (1988:2) yang dimaksud dengan pengawasan adalah sebagai berikut :
“Pengawasan adalah sesuatu yang bersifat kodrati, yang diperlukan dalam kehidupan manusia maupun dalam kehidupan organisasi. Pengawasan adalah bagian dari mekanisme sistem suatu mata rantai yang mempunyai peran tertentu”.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu pengertian pengawasan, yaitu suatu tahap pengevaluasian mengenai keefektifan dan keefesienan suatu kegiatan hal ini menyangkut apakah suatu kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan atau tidak.
Demi terciptanya suatu konsep pengawasan yang efektif maka konsep tersebut haruslah dilakukan secara terbuka, terdapat keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi, pelaku pengawasan sendiri haruslah bersih, ada kemampuan teknis dan keberanian moral, ada tahapannya serta dilakukan dengan konsisten (O. C. Kaligis, 2006:42).
Pengawasan memiliki arti lahirilah dan bathiniah atau dengan kata lain disebut pengawasan luar dan dalam. Pengawasan luar adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang lain. Sedangkan pengawasan dari dalam berlangsung dalam diri sendiri. Pengawasan seperi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pengawasan melekat.
Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang sersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif, agar pelaksanaan tugas bawahan dapat berjalan secara efektif dan efesien sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan dalam pemerintahan tersebut telah menjelma dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 15 Tahun PI83 tanggal 4 Oktober 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, telah menginstruksikan kepada seluruh Menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI dan para pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan para Gubernur Daerah, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pengawasan dilingkungan pemerintah masing-masing secara terus-menerus dan menyeluruh. Tugas koordinasi pengawasan tersebut diserahkan kepada Menteri Koordinator Ekuin dan dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dengan demikian, secara jelas maksud pengawasan dalam Instruksi tersebut mengarah pada pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan keuangan negara atau korupsi.
Dalam tata pemerintahan Negara, umumnya dikenal 4 (empat) jalur pengawasan, yaitu :
·         Pengawasan Rutin oleh inspektorat Jendral;
·         Pengawasan pimpinan;
·         Pengawasan khusus atau pemeriksaan terhadap suatu kasus yang dilaporkan; dan
·         Pengawasan yang bersifat mendadak atau lebih dikenal dengan istilah “sidak”.
Menurut Sjahrir (1986:15), masalah pengawasan dalam upaya mengatasi dan mencegah korupsi dalam struktur pemerintahan Indonesia dapat dipilah dalam 2 (dua) masa. Pada masa tahun 1970-an pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan unsur-unsur “luar” seperti mahasiswa, pers, dan lain-lain. Hal ini terlihat dari serangkaian peristiwa-peristiwa demonstrasi, seperti pada saat peristiwa Malari, atau pembentukan Komisi Empat untuk Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain.
Sedangkan pada kurun waktu 1980-an, upaya pengawasan menjadi pendekatan yang sistematik, yaitu pengawasan dalam suatu sistem struktur pemerintah itu sendiri. Namun, dengan pengawasan seperti ini; kegiatan dan antusiasme masyarakat luas mengenai pemberantasan korupsi praktis telah sirna, karena perhatian masyarakat dan mahasiswa serta pers lebih tertarik kepada masalah-masalah politik dan ekonomi.
C.   Pengertian Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Khusus
Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pengertian korupsi sebagai tindak pidana khusus maka terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan bahwa asal kata serta pengertian korupsi menurut para pakar.
Menurut Fockema Andrea (Andi Hamzah, 2006:4) istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu sendiri berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping itu dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dari bahasa Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.
Arti korupsi yang telah diterima  dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia iti disimpulkan oleh W.J.S. Poerdarwinta (1990:514) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang, sogok, dan sebagainya.
Disamping itu, istilah korupsi di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan, ini dilihat dari istilah dibeberapa negara yakni: Gin Moung (Muangthai), yang berarti “makan mangsa”, tanwu (Cina), yang berarti “keserahan bernoda” Oshuko (Jepang) yang berarti “kerja kotor” (Martiman Prajohamidjojo, 2001:8).
Sukarton Marmosudjono (1989:68) mengemukakan bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung dari mana kita menyorotinya, apakah ditinjau dari segi asal kata, hukum, sosiologis, ekonomi, dan lain-lain. Arti harfiah dari istilah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapakan yang menghina atau memfitnah.
Hal di atas ditegaskan kembali oleh Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa dan Moch. Yamin, 1987:6) yang mengemukakan dan memandang korupsi dalam bidang materil, bidang politik dan bidang ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum.
Lebih lanjut dijelaskan :
Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang materil sedangkan korupsi di bidang politik dapat terwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si murid (siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang seharusnya atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ ciptaan ilmu pengetahuan atas namanya adalah ciptaan orang lain.
Selo Sumarjan (Robert Kitgaard, 1998:xiii) mengemukakan bahwa:
“korupsi jika seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk dan menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif, sistem penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian pinjaman, dan lain-lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana. Korupsi bisa jarang atau meluas, bahkan di sejumlah negara sedang berkembang korupsi telah meresap ke dalam sistem ketatanegaraan”.
O.C. Kaligis (2006:60) mengemukakan bahwa dalam birokrasi atau suatu lembaga kejaksaan, korupsi dapat mengambil bentuk sebagai berikut :
a.    Korupsi Ekternal
1.    Pembayaran untuk jasa-jasa wajib (payment for licit service), misalnya seorang pegawai kejaksaan meminta sumbangan sukarela untuk mengrimkan surat panggilan saksi.
2.    Pembayaran bagi jasa-jasa yang tidak halal (payment for illicit services), misalnya upaya untuk tidak memeriksa atau mengesampingkan saksi a charge.
3.    Pungutan uang untuk mejamin agar klien tidak dirugikan (extortion of bribes for refraining doing harm to the client) misalnya seorang saksi yang terpaksa ikut menyuap jaksa dan polisi demi melindungi posisinya, karena ada kemungkinan kesaksiannya tersebut menyudutkan dirinya sendiri (dituduh ikut melakukan/made dader).

b.    Korupsi internal, dilakukan dengan cara-cara :
1.    Pemalsuan catatan;
2.    Mencetak label secara berlebihan;
3.    Penipuan personalia, jabatan dipengaruhi dengan korupsi;
4.    Menunda setoran;
5.    Korupsi terhadap pengawasan internal, dengan menyuap pegawai yang bertugas menyidik, agar kasus korupsinya dihentikan atau tidak dilanjutkan penyidikannya.
Sementara menurut Tim Prenzler dan Janet Ransley (O. C. Kaligis, 2006:60), korupsi dikalangan penegakan hukum dapat dibedakan atas 4 jenis, yaitu :
1.    Korupsi klasik, sebagaimana umumnya dikenal, termasuk suap atau pemberian uang atau hadiah agar seseorang tidak mejalankan tugasnya. Dalam hal ini juga termasuk “uang keamanan” atau “perlindungan” yang diberikan dari aparat penegak hukum kepada orang-orang tertentu. Termasuk juga mencuri barang-barang bukti, menjual narkoba hasil sitaan atau menjual suatu informasi penting.
2.    Korupsi proses, misalnya dalam hal penegakan hukum dapat memilih siapa-siapa yang ingin dituntutnya dan siapa yang tidak akan dituntut atau dihadirkan sebagai saksi.
3.    Brutally corruption; dan
4.    Miscellaneous misconduct.
Dari apa yang telah penulis uraikan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung dari sudut pandang yang melakukan. Korupsi dapat berupa janji, ancamana, atau keduanya; dapat pula dimulai oleh seorang pegawai negeri atau pihak lain yang mempunyai kepentingan. Dapat mencakup tindakan penghilangan jejak ataupun komisi; dapat melibatkan jasa yang sah maupun yang tidak sah; dan dapat terjadi di dalam atau di luar organisasi pemerintah. Batas-batas korupsi sebagai suatu tindak pidana sangatlah sulit untuk dirumuskan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara yang akan mengaturnya.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi maka dapat kita katakana bahwa perbuatan korupsi tersebut sangat merugikan terutama bagi perekonomian negara. Menurut Arief Sritua (1986:44), perbuatan korupsi menciptakan 4 efek negatif yang telah melanda kehidupan sosial ekonomi, yaitu :
1.    Berkembangnya naluri komsumtif ke seluruh lapisan masyarakat yang ditimbulkan oleh pelemparan uang panas atau pembelanjaan pendapatan gelap (black income) oleh para pelaku korupsi dan demonstration effect yang menyertainya.
2.    Pengalihan sumber-sumber nasional ke luar negeri oleh pelaku-pelaku korupsi disebabkan adanya kekhawatiran timbulnya gejolak sosial yang ditimbul di dalam negeri. Ini membuat kemampuan ekonomis negara-negara dengan pemerintah yang korup sangat lemah, dalam memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat dalam proses pembangunannya.
3.    Pergeseran pendapatan yang bersifat semakin regresif setelah memperhitungkan pendapatan dari hasil korupsi yang tidak tercatat; pendapatan dari hasil korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang bersifat terselubung dan diselubungkan, menyebabkan pendapatan ini tidak dapat masuk dalam jaringan objek perpajakan langsung.
4.    Penyempitan sosial dalam pemanfaatan jasa harta-harta sosial atau barang-barang dan jasa-jasa umum. Ini terjadi akibat berlangsungnya suatu proses penentuan harga barang dan jasa yang tidak wajar dalam masyarakat yang timbul dari adanya ketidakwajaran di segi penyediaan dan permintaan.
Dalam kongres PBB ke-6 mengenai the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1980, maka tindak pidana korupsi diklasifikasikan sebagai jenis tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law). Hal ini terjadi karena aparat penegak hukum relatif tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan menghadapi jenis tindak pidana ini, karena dua alasan, yaitu :
1.    Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari si pelaku (the high economic of political status of their perpetrators); dan
2.    Keadaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut (the circumstances under which they had been commited were such as to decrease the likehood of their being reported and prosecuted).                        (O. C. Kaligis, 2006:67).
Karena akibat yang sangat merugikan dari perbuatan korupsi dan masih kurangnya pengaturan mengenai hal ini, dalam kodifikasi peraturan pidana materil (KUHP) serta Hukum Acara Pidana di Indonesia (KUHAP) maka perbuatan korupsi dimasukkan dalam kategori tindak pidana khusus. Menurut M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan KUHAP. M. Yahya Harahap (2002:257) membagi pemberlauan hukum acara pidana pada tindak pidana khusus ke dalam dua kategori yaitu :
1.    Merupakan gabungan antara hukum acara pidana umum (KUHAP) dengan hukum acara khusus yang diatur sendiri dalam tindak pidana khusus tersebut. Jika terjadi penggabungan yang seperti ini, biasanya hal itu ditegaskan dalam tindak pidana khusus, dengan jalan menyebutkan bahwa disamping hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalamnya, diperlukan juga hukum acara pidana umum dengan cara menggabungkan keduanya. Dengan demikian terjadilah dua kewenangan penyidikan antara instansi kepolisian dan kejaksaan sebagai pengecualian terhadap prinsip kewenangan tunggal penyidikan kepada instansi kepolisian.
2.    Disamping penggabungan hukum acara tersebut di atas, tindak pidana khusus mengatur sendiri hukum acara pidana dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan pembuktian. Hal seperti ini dapat dilihat dalam tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas pemerintah merasa perlu untuk mengupayakan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan membuat  peraturan hukum khusus yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi pertama kali dianggap tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya undang-undang ini tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Dalam perkembangannya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami beberapa kali perubahan diantaranya Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pindana Korupsi, yang merupakan undang-undang tindak pidana korupsi terbaru berupaya memperluas pengertian tindak pidana korupsi dan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu :
1.    Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi ini terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20. Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(a)  Delik korupsi dirumuskan dalam Pasal 2 (1) dan Pasal 3
(b)  Delik dalam KUHP Pasal, 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan pasal 453 yang diangkat menjadi delik korupsi masing-masing dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12.
(c)  Delik penyuapan aktif, dalam Pasal 13.
(d)  Delik korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi dalam Pasal 14
(e)  Delik  korupsi percobaan, pembantuan, pemufakatan dalam Pasal 15
(f)   Delik korupsi dilakukan di luar teritori Negara Republik Indonesia dalam Pasal 16
(g)  Delik korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam Pasal 20.
2.    Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24, yaitu :
(a)  Mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan/penuntutan pengadilan.

(b)  Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengkualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Setiap ortang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.

(c)  Pelanggaran Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, 421, 429, dan Pasal 430 KUHP, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

(d)  Pelanggaran Pasal 24 Undang-Undang 31 Tahun 1999, diancam dengan pidana sanksi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 31 melarang saksi atau orang yang bersangkutan dengan pidana korupsi menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor (Martiman Promohamidjojo, 2001:19).

D.   Tugas dan Wewenang Kejaksaan R.I
Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI dilihat dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang  Kejaksaan RI, sebagaimana yang hendak diketengahkan di bawah ini, yaitu :
(1)  Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a.    Melakukan penuntutan;
b.    Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.    Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
e.    Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)  Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3)  Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a.    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.    Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.    Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.    Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e.    Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.     Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakum untuk menempatkan terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Kemudian Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang dalam undang-undang ini, kejaksaan  dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Setela mencermati isi beberapa pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1.    Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a.    Melakukan penuntutan;
b.    Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.    Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
e.    Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.    Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.
3.    Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a.    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.    Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.    Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.    Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e.    Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; dan
f.     Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
4.    Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak;
5.    Membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan bagdan Negara lainnya;
6.    Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Jika dikaitkan dengan wewenang kejaksaan dalam hal melakukan penuntutan perkara pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang :
a.    Menerima dan memeriksa berkas penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.    Melakukan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP. Dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan penyidik;
c.    Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.    Membuat surat dakwaan;
e.    Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.     Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.    Melakukan penuntutan;
h.    Menutup tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut Undang-Undang ini;
i.      Melaksanakan penetapan hakim;
Secara garis besar wewenang penuntut umum menurut KUHAP dapat diinventarisir sebagai berikut :
a.    Menerima pemberitahuan dari penyidik mengenai suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1), dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan demi hukum);
b.    Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap dan kedua sebagaimana dimaksud oelh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b KUHAP. Dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima langsung dari penyidik pembantu;
c.    Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) KUHAP dengan memperhatikan ketentuan  materi Pasal 110 (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP;
d.    Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (2)) melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (20); Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 29, melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2)); penahanan kota (Pasal 23) KUHAP;
e.    Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan syarat yang ditentukan (Pasal 131) KUHAP;
f.     Meminta diadakan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan Negara untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80) KUHAP;
g.    Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (pasal 139) KUHAP;
h.    Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat 1) membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat 1) KUHAP;
i.      Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (SP3) (Pasal 140 ayat (2) huruf a) KUHAP, dikarenakan :
1.    Tidak terdapat cukup bukti
2.    Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
3.    Perkara ditutup demi hukum
j.      Menentukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutannya dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d) KUHAP;
k.    Mengadakan penggabungan perkara dan membuatkannya dalam surat dakwaan (Pasal 141) KUHAP;
l.      Mengadakan pemisahan penuntutan (Splitseng) terhadap suatu berkas perkara  yang membuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142);
m.  Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1)) KUHAP;
n.    Membuat surat dakwaan (Pasal 143 (2)) KUHAP;
o.    Untuk maksud penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, penuntut umum dapat mengubah dakwaan sebelum pengadilan menentukan hasil sidang yang dimulai (Pasal 144) KUHAP.
E.   Jaksa Sebagai Penyidik dan Penuntut Umum dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam lingkup peraturan hukum Indonesia, pada waktu Herziene Inland Reglement (HIR) masih berlaku sebagai hukum acara pidana di Indonesia, penyidikan dianggap sebagai bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. Apabila jaksa melakukan sendiri tindakan penyidikan terhadap suatu perkara, untuk menangani perkara tersebut tidak diperlukan lagi penyidik Polri atau Penyidi Pegawai Negeri Sipil (PPNS) agar tidak terjadi duplikasi.
Hal di atas tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Neil C. Chalin (Indriyanto Seno Adji, 2001:5) yang menyatakan bahwa “sistem peradilan pidana  terdiri dari 3 (tiga) subsistem, yaitu polisi, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan”. Serta pendapat Norval Morris (Marjono Reksodiputro, 2000:8), yang menempatkan kejaksaan sebagai salah satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat) subsistem, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang harus dilakukan secara bersinergi.
Oleh karena itu perlu adanya pembaharuan ketentuan perundang-undangan di bidang hukum acara pidana. Dengan dicabutnya HIR dan digantikan oleh KUHAP pada tahun 1981 melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia. Kelahiran KUHAP disambut dengan gembira dan diakui oleh dunia hukum sebagai tonggak terjadinya pembaharuan hukum, khususnya hukum acara pidana korupsi di Indonesia. KUHAP menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, serta hakim (bahkan termasuk penasihat hukum), di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam persidangan di pengadilan. Di dalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan berada di tangan lembaga kepolisian, sedangkan penuntutan berada di tangan lembaga kejaksaan. Dengan dilakukannya pemisahan kewenangan lembaga kepolisian sebagai penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum, maka telah tercermin adanya suatu sistem pengawasan, agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan. Meskipun secara yuridis-normatif telah diatur mengenai tugas dan kewenangan masing-masing lembaga, namun perselisihan dan ketidakharmonisan tugas dan kewenangan antar lembaga dalam sistem peradilan pidana masih sering timbul.
Salah satu perselisihan tugas dan kewenangan tersebut antara lain berada di bidang penyidikan. Pada waktu HIR masih berlaku, penyidikan dapat dilakukan oleh banyak instansi. Setelah berlakunya KUHAP, wewenang penyidikan hanya dibebankan kepada Polri sebagai penyidik tunggal, walaupun masih ada penyidik lain, yaitu Penyidik Pegawai Negeri SIpil (PPNS) yang kewenangannya sangat terbatas dan di bawah koordinasi penyidk Polri. Masih ada penyidik lain selain penyidik yang disebutkan di atas, yaitu jaksa yang melakukan penyidikan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Hal ini tersirat pengaturannya dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP :
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini digunakan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus dengan acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Adapun yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana” sebagaimana termaktub dalam undang-undang tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagai diatur dalam undang-undang tindak pidana, misalnya tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi (Marwan Effendy, 2005:145).
Setelah diberlakukan Undang-Undang No. 5 tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI dengan Pasal 27 ayat (1) huruf d, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan (nasporing) yang berbeda dengan pemeriksaan lanjutan (osporing). Kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang diberikan oleh undang-undang tersebut terbatas terhadap permintaan keterangan terhadap saksi dan ahli serta upaya lain berupa penggeledahan dan penyitaan, sedangkan pemeriksaan lanjutan (nasporing) dapat dilakukan juga terhadap tersangka. Baik pemeriksaan tambahan maupun penyidikan lanjutan hanya dilakukan terhadap berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana dimaksud oleh KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b.
Menurut Harun M. Husein (1991:7) ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983, Kewenangan Jaksa tidak hanya meliputi tugas penuntutan sebagaimana diatur oleh KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat khusus. Jadi, memang benar jika dikatakan bahwa undang-undang yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat khusus, yaitu mengenai kewenangan jaksa untuk penyidikan dan penuntutan. Perlu juga dipahami, bahwa kewenangan tersebut tidak bersifat mutlak, karena sekalipun KUHAP yang memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, dapat dikesampingkan berdasarkan prinsip lex-specialis derogate legi generali oleh ketentuan undang-undang khusus tersebut. Undang-undang khusus tersebut juga tidak pernah membatasi kewenangan polisi untuk menyidik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dengan perkataan lain, tidak pernah terdapat ketentuan acara pidana yang menyatakan bahwa penyidik Polri tidak berwenang untuk menyidik suatu tindak pidana apapun.
F.    Bentuk-Bentuk Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi

1.   Kewenangan Pengawasan Menurut KUHAP
                 Pengawasan di dalam KUHAP antara lain terdapat dalam pasal 101 ayat (2) yaitu  :
                 Penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai pentunjuk untuk dilengkapi. Pengawasan lain berbentuk berita acara pemeriksaan sesuai pasal 75 KUHAP. Yang dibuat oleh penyidik, dalam pengawasan jaksa terhadap penyidik terdapat pada pasal 138 ayat (2) KUHAP yang berbunyi  :
Dalam hasil penyidikan ternyata belum lengkap penuntut umum mengembalikan berkas perkaranya kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal pengembalian berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum.
     
            Jika mengutip pendapat Ismail Saleh ( 1988:7 ) bahwa  :
      Salah satu unsur pengawasan adalah keterpaduan atau kebersamaan dalam kordinasi, maka hubungan antara kejaksaan dan kepolisian tercermin dalam sebuah kelompok MAHKEJAROL (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisiaan), yang merupakan wadah bagi pimpinan masing-masing lembaga yang mempunyai kaitan dengan penegakkan hukum di Indonesia untuk saling bertukar Informasi, berdiskusi memecahkan masalah-masalah yang memerlukan penanganan bersama. Kelompok ini penting untuk mengatasi berbagai perbedaan antara instansi yang sering kali menyebabkan lemahnya menegakkan hukum di Indonesia.
                
                 Dalam Pasal 109 KUHAP terkandung nilai pengawasan, yaitu pengawasan jaksa kepada tindakan penyidikan polisi. Bentuk pengawasan ini juga tercermin dalam pasal 80 KUHAP, dimana jaksa dapat digugat praperadilan jika menghentikan penuntutan. Dalam hal kepolisian sudah melimpahkan berkas hasil penyidikan kepada kejaksaan, dan Kejaksaan sudah mengatakan berkas tersebut lengkap tetapi menghentikan penuntutan dengan surat P-21 yang seharusnya diteruskan dengan membuat penuntutan. Hal ini cukup baik dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena selain kepolisian dapat diawasi oleh kejaksaan, kepolisian juga dapat mengawasi pihak kejaksaan jika hasil penyidikan yang telah P-21 tidak juga diajikan ke Pengadilan. Kedua Lembaga ini tentunya akan sangat hati-hati dalam mengambil sebuah keputusan dan ini akan membuat kedua lembaga akan bekerja dengan baik.
                 Pemberitahuan oleh penyidik kepada penuntut umum dimulai sejak dimulainya penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP  :
      Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
           Lebih lanjut Harum M. Husain ( 1991 : 208 ) menambahkan bahwa:
Dalam Praktik sering terjadi adanya pemberitahuan dimulainya penyidikan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian apakah penyidikan itu dihentikan atau berkasnya akan diserahkan kepada penuntut umum. Untuk mengatasi permasalah ini, diperlukan rumusan yang jelas mengenai pemberitahuan perkembangan penyidikan :
a.    Penyidik memberitahukan tentang perkembangan penyidikan kepada penuntut umum, atau
b.    Penuntut umum meminta penjelasan kepada penyidik atas perkembangan penyidikan.
                
                 Dengan demikian, seharusnya fungsi Kontrol atau pengawasan tersebut berjalan dua sisi atau timbal balik, bukan hanya pada saat penyidik melaporkan kepada penuntut umum pada saat dimulainya penyidikan, namun penuntut umum berhak mempertanyakan atau meminta penjelasan kepada penyidik mengenai perkembangan penyidikan suatu perkara, tetapi dalam praktek jarang sekali terjadi.
                 Dalam KUHAP mekanisme pengawasan terhadap tindakan penuntut umum hanya dapat dilakukan dalam hal  :
-      Kewajiban untuk menyelesaikan penuntutan paling lama 20 ( dua puluh) hari dan segera melimpahkannya kepada pengadilan, jika jangka waktu itu terlampaui dan penuntut umum selesai, maka demi hukum si tersangka harus dilepaskan dari tahanan. Apabila penuntut umum masih memerlukan waktu dari dua puluh hari, maka penahanan si tersangka dapat diperpanjang atas perintah ketua Pengadilan Negeri Untuk masa paling lambat 30 ( tiga puluh ) hari.
-      Dalam hal penuntut umum menghentikan proses penuntutan (Sp-3) sesuai dalam pasal 140 ayat (2)  :
a.    Dalam penuntut umum memutuskan untuk menghentikan benuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa bukan tindak pidana atau ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan dalam surat ketetapan.
b.    Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c.    Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik dan Hakim.
d.    Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
                 Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, adalah pengawasan yang tersirat dari pasal-pasal KUHAP, sementara tidak satupun pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur pengawasan terhadap penuntut umum dalam membuat dan mengajukan tuntutannya, kondisi ini menjadi titik lemah dalam pelaksaan KUHAP yang membuka kesempatan untuk terjadinya praktik-­praktik manipulasi dan korupsi.
                 Karena tidak adanya di dalam pasal-pasal KUHAP yang mengatur bagaimana fungsi pengawasan terhadap penuntut umum secara umum dan jaksa secara khusus, dalam menjalankan tugas-tugasnya dibidang pradilan pidana. Tidak adanya fungsi pengawasan atau kontrol terhadap lembaga kejaksaan telah menimbulkan berbagai penyimpangan dan penyelewengan.
2.    Komisi Kejaksaan Sebagai Lembaga Pengawasan Terhadap Jaksa
                 Akuntabilitas sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya deviasi (penyalahgunaan) kewenangan oleh aparat kejaksaan saat menjalakan tugas dan wewenangnya menegakkan hukum. Untuk menciptakan akuntabilitas tersebut, perlu adanya pengawasan agar terbentuk aparat yang bersih penuh tangung jawab, baik secara moral, agama dan hukum dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, terlebih terjadinya krisis kepercayaan terhadap kinerja lembaga kejaksaan khususnya dalam memberantas Korupsi.
                 Pada dasarnya    pertanggungjawaban kejaksaan adalah pertanggungjawaban institusi kejaksaan dan pertanggungjawaban jaksa Perorangan pertanggung jawab kejaksaan Republik Indonesia ini langsung kepada Presiden, hal ini diamanatkan dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1991 dan undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan kedudukan jaksa agung ditetapkan setinggi Menteri di Negara, sebagai pembantu Presiden, yang secara tegas dinyatakan diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada presiden sedangkan secara individu jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berada dibawah pengawasan jaksa agung muda pengawasan (JAMWAS) selain itu fungsi pengawasan terhadap lembaga kejaksaan secara fungsional External oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang masih terbatas jangkauannya, sehingga produk yang dihasilkan dianggap sempit dan sektrol, belum menyentuh subtansi fungsi yudisial, begitu juga JAMWAS sebagai aparat pengawas fungsional external meskipun jangkauan pengawasanya lebih menyeluruh termasuk kinerja institusi dan individu yang menyangkut fungsi yudisial, akan tetapi terbatas pada aparatur Eselon struktur atau fungsional tertentu.
                 Berdasarkan hal diatas dan krisis kepercayaan terhadap kinerja lembaga kejaksaan menjadi latar belakang dibentuknya komisi kejaksaan, sebagai komisi yang bertugas mengawasi kinerja lembaga kejaksaan dan para jaksa, dengan tujuan mewujudkan lembaga kejaksaan yang mendiri dan profesional.
                 Komisi kejaksaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Perisiden Nomor 18 Tahun 2005 sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan, komisi kejaksaan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Prisiden yang terdiri dari unsur Pimpinan dan anggota yang  seluruhnya berjumlah tujuh orang yang berada dari beberapa orang kaingan Pesiunan Jaksa, akademisi, Praktisi,dan tokoh masyarakat.
                 Sesuai dengan Pasal 3 PERPRES No. 18 Tahun 2005 mengenai kedudukan dan susunan Komisi Kejaksaan adalah  :
1.    Komisi kejaksaan merupakan lembaga pemerintah Non-struktural yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
2.    Komisi kejaksaan berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
                 Sedangkan dalam Pasal 4 mengenai susunan Anggota dari komisi kejaksaan adalah:
1.    Komisi kejaksaan terdiri atas pimpinan dan anggota yang seluruhnya berjumlah 7 orang.
2.    Pimpinan komisi kejaksaan terdiri atas ketua dan seorang wakil ketua yang merangkap anggota.
3.    Anggota komisi kejaksaan adalah pejabat publik.
4.    Keanggotaan komisi kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Mantan Jaksa, Praktisi Hukum, Akdemisi dan anggota masyarakat.
                 Apabila melihat dari segi jumlah keanggotaan dari Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas terhadap Kejaksaan hampir dapat dipastikan komisi kejaksaan tidak akan efektif menjalankan fungsi pengawasan terhadap seluruh aparat kejaksaan.                                           Kordinasi antara kejaksaan dan komisi kejaksaan adalah elemen penting dalam rangka mewujudkan mekanisme pengawasan yang efektif, agar tidak terjadi tumpang tindih, komisi kejaksaan dengan komisi kejaksaan yang dalam tugas bekerja sama dan saling melengkapi.
                 Komisi kejaksaan yang dibentuk sebagai badan yang mengawasi kinerja jaksa komisi ini memberikan rekomondasi baik tertang penjatuhan sanksi  kepada jaksa yang bermasalah, maupun rekomendasi pemberian reward kepada jaksa yang dinilai berprestasi, komisi kejaksaan yang bertugas melakukan pengawasan, pemantau dan penilaian terhadap sikap dan sikap dan prilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik didalam mapun diluar tugas kedinasan, melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dilingkungan kejaksaan.
                 Sesuai dengan PerPers No. 18 tahun 2005 pasal 10 mengenai tugas dan wewenang komisi kejaksaan adalah  :
3.    Komisi kejaksaan mempunyai tugas  :
a.      Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya.
b.      Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan prilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik di dalam maupun diluar tugas kedinasan.
c.      Melakukan pematauan dan penilai atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan.
d.      Menyampaikan masukkan kepada jaksa agung hasil pemantauan, dan penilaian sebagai tersebut huruf a, b, dan huruf c untuk ditindak lanjuti.
4.    Dalam melaksakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi kejaksaan wajib :
a.    Mentaati norma hukum dan ketentuan peraturan Undang-undang.
b.    Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia komisi kejaksaan yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
                 Sedangkan dalam pasal 11 dalam pelaksanaan tugas komisi kejaksaan  berwenang sebagai berikut  :
                 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), Komisi kejaksaan berwenang  :
a.    Menerima laporan masyarakat tentang perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun diluar kedinasan.
b.    Meminta Informasi dari badan pemerintah, organisasi, atau anggota masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja dilingkungan kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasaan kejaksaan maupun berkaitan dengan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan didalam atau diluar kedinasan.
c.    Memanggil dan meminta keterangan kepada jaksa dan pegawai kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan / atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan.
d.    Meminta Informasi kepada badan di lingkungan kejaksaan berkaitan dengan kondisi organisasi, personalia, sarana, dan parsarana.
e.    Menerima masukkan dari masyarakat tentang kondisi organisasi kelengkapan sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan.
f.     Membuat laporan, rekomendasi atau saran yang berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi lingkungan kejaksaan atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden.
                 Pasal 12 ayat (2) Perpers Nomor 18 Tahun 2005 Komisi Kejaksaan berwenang mengambil ahli fungsi dan dapat mengambil ahli pemeriksaan atas perilaku atau pelanggaran peraturan kedinasan apabila memenuhi ketiga syarat dalam pasal 12 ayat (2) sebagai berikut  :
2)    Komisi Kejaksaan dapat mengambil alih pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila  :
a.    Pemeriksaan oleh aparat internal tidak menunjukkan kesungguhan atau berlarut-larut.
b.    Hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal dinilai tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh jaksa atau pegawai Kejaksaan yang diperiksa dan/ atau.
c.    Terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal.







BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulselbar, adapun alasan memilih lokasi tersebut oleh karena Kejaksaan Tinggi Sulselbar merupakan salah kejaksaan tinggi diluar pulau jawa yang banyak menagani perkara korupsi.
B. Jenis dan Sumber Data
a.   Data Primer, yaitu data yang diperoleh dan hasil wawancara langsung, dalam hal ini berupa data yang terhimpun dan responden.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dan hasil kajian pustaka, berupa buku-buku, bahan-bahan laporan, majalah-majalah, artikel serta bahan literature lainnya.
C. Teknik Pengumpulan Data
a.   Penelitian Pustaka (Library Research)
Penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan landasan teoritis dengan mempelajari buku, karya ilmiah, hasil penelitian terdahulu, artikel-artikel, serta sumber-sumber bacaan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dan data primer diperoleh di Kejaksaan Tinggi Sulselbar.

b.   Penelitian Lapang (Field Research)
Teknik pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini dilakukan dengan Wawancara, Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersifat primer dan ada relevansinya dengan permasalahan. Teknik wawancara tidak didasarkan pada daftar pertanyaan tertulis dan tersusun, tetapi wawancara langsung tanpa membacakan daftar pertanyaan. Wawancara dilakukan secara terpisah dengan mendatangi para responden.
D.   Analisis Data
Penulis dalam menganalisa data yang diperoleh dan hasil penelitian menggunakan teknik analisa data pendekatan kualitatif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata, yang diteliti dan dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh, sepanjang hal itu sebagai sesuatu yang nyata.








BAB IV
PEMBAHASAN

A.   Kewenangan Pengawasan Terhadap Jaksa Penyidik Dalam Tindak Pidana Korupsi pada Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-069/A/JA/07/2007
Dalam peraturan Jaksa Agung Ini, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1, telah ditentukan secara limitatif mengenai defenisi pengawasan, yaitu:
Pengawasan adalah kegiatan berupa pengamatan, penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban, pemeriksaan, penindakan, dan pemantauan terhadap pelaksanaan tugas semua unsur kejaksaan, serta sikap perilaku, dan tutur kata pegawai Kejaksaan sesuai dengan peraturan peraundang-undangan, Rencana Strategis,serta kebijakan yang telah ditetapkan oleh jaksa Agung Republik Indonesia.

Berdasarkan defenisi di atas, penulis beranggapan bahwa dibentuknya Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 merupakan salah satu upaya pimpinan Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai kejaksaan yang dilakukan secara internal. Hal ini cukup positif guna penegakan hukum di Indonesia, hal ini dikarenakan, pengawasan terhadap jaksa tidak hanya dilakukan mengenai kinerja jaksa menyangkut tugas pokok dan fungsinya, melainkan juga mencakup keseharian seorang jaksa diluar jam kerja.
Tujuan pengawasan telah dipaparkan lebih jelas dalam Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa:
Tujuan pengawasan:
a.    Agar kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, kebenaran, berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan.
b.    Agar setiap pegawai kejaksaan mengemban tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab serta menghindarkan diri dari sikap, perilaku dan tutur kata yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, juga disebutkan bahwa sasaran pengawasan meliputi:
a.    Pelaksanaan tugas baik rutin maupun pembangunan oleh setiap satuan kerja apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Rencana strategis serta kebijakan yang ditetapkan oleh jaksa Agung Republik Indoinesia.
b.    Penggunaan, pemeliharaan, serta kebutuhan atas sarana prasarana serta biaya yang diperlukan dalam mendukung kegiatan organisasi.
c.    Sikap, perilaku, dan tutur kata pegawai kejaksaan.

Jika kita melihat baik tujuan maupun sasaran pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pegawasan ini pada hakikatnya dilakukan untuk mengawasi pegawai kejaksaan secara umum, tanpa memprioritaskan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi. Namun, sebagai pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap jaksa seharusnya mampu memprioritaskan fungsi pengawasan terhadap jaksa yang berkaitan dengan penuntutan terutama pada perkara tindak pida korupsi, mengingat bahwa perkara tindak pidana korupsi di Indoneisa sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan.
1.    Bentuk Pengawasan Yang Diatur Dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007.
a.    Pengawasan Melekat.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif, agar pelaksanaan tugas bawahan dapat berjalan secara efektif dan efesien sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 pengawasan melekat diartikan sebagai pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja terhadap bawahannya untuk mengarahkan seluruh kegiatan pada setiap unit kerja agar rencana strategis Kejaksaan dapat dicapai secara afektif dan efesien.
Dalam pegawasan melekat ini, pihak yang berwenang melakukan pengawasan adalah :
a.    Tingkat Kejaksaan Agung:
1.    Jaksa Agung Republik Indonesia;
2.    Pejabat Eselon I;
3.    Pejabat Eselon II;
4.    Pejabat Eselon III;
5.    Pejabat Eselon IV;
b.    Tingkat Kejaksaan Tinggi:
1.    Kepala kejaksaan Tinggi dan Wakil kejaksaan Tinggi;
2.    Pejabat Eselon III;
3.    Pejabat Eselon IV;
4.    Pejabat Eselon V;
c.    Tingkat Kejaksaan Negeri:
1.    Kepala Kejaksaan Negeri;
2.    Pejabat Eselon IV;
3.    Pejabat Eselon V;
Pengaturan pihak yang berwenang melakukan pengawasan ini diberikan kepada satuan kerja sampai dengan dua tingkat kebawah, tentunya pengaturan ini bukan tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pihak yang melakukan pengawasan tidak berada di bawah tekanan dikarenakan persoalan kepangkatan, oleh sebab itu pihak yang berwenang melakukan pengawasan selalu diberikan kepada pihak yang lebih tinggi kepangkatannya dari pada pihak yang diawasi. Namun walaupun demikian ada baiknya selain pengawas dari pihak kejaksaan, perlu juga adanya pengawas dari luar instansi kejaksaan, seperti KPK atau pihak kepolisian yang diberikan kewenangan mengawasi pihak kejaksaan, terutama dalam perkara tindak pidana korupsi.
Adapun yang menjadi fungsi pengawasan melekat yang di atur dalam Pasal 6 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007   adalah:
a.    Melakukan pengawasan preventif agar tugas rutin dan pembangunan serta sikap, tutur kata pegawai kejaksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana strategis, dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
b.    Menegakkan Disiplin, meningkatkan etos kerja, dan membangun kerja sama.
c.    Melakukan langkah-langkah pembinaan, pemberdayaan penertiban, dan pemantauan terhadap kekurangan dan penyimpangan yang ditemukan sebagai upaya optimalisasi pelaksanaan tugas pada satuan kerja masing-masing.
d.    Mengambil langkah-langkah pemberian rekomendasi penghargaan terhadap prestasi kerja yang ditemukan.


Dalam pengawasan melekat ini, peranan pengawas sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai kejaksaan, jika pengawas tidak dapat memberikan contoh perilaku yang baik dan sesuai dengan tujuan pengawasan melekat ini, maka pihak yang diawasi tentunya akan berperilaku sama dengan pengawasnya, hal ini dikarenakan pihak yang diawasi akan tidak takut dan tunduk lagi pada pengawas karena saling mengetahui kesalahan dan bersama-sama menyembunyikan kesalahannya agar tidak diketahui oleh pihak pengawas yang lebih tinggi, apalagi antara pengawas dan pihak yang diawasi berada dalam satu atap.
Tata cara pengawasan melekat yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 ini adalah:
(1)  Pengawasan melekat dilaksanakan terus menerus dengan memperhatikan sistem pengendalian manajemen.
(2)  Pengawasan melekat dilaksanakan ditempat satuan kerja sampai dua tingkat ke bawah.
(3)  Terhadap jaksa pengawasan melekat juga dilaksanakan dengan instrumen Penilaian kinerja jaksa yang menilai unsur penanganan perkara dan administrasi perkara.
(4)  Dalam melaksanakan pengawasan melekat, terutama mengenai tugas yang saling berkaitan dengan satuan kerja lainnya, amsing-masing pimpinan satuan kerja wajib memperhatikan:
a.    Adanya kesamaan dan kesatuan bahasa.
b.    Adanya kesamaan dan kesaruan tafsir.
c.    Adanya kesamaan dan kesatuan tindak.
(5)  Pimpinan satuan kerja yang melaksanakan pengawasan melekat dan memperoleh temuan yang ada kaitannya dengan satuan kerja lainnya, wajib secepatnya menyampaikan temuan tersebut kepada pimpinan satuan kerja yang bersangkutan.

Tata cara pengawasan sebagaimana disebutkan diatas dianggap oleh penulis cukup efektif. Dengan cara pengawasan seperti ini, pegawai kejaksaan akan terus menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan tepat sasaran. Apalagi mengingat bahwa tindak pidana yang sering dilakukan seorang jaksa terkait dengan jabatannya adalah melakukan negosiasi atau tawar menawar dengan pihak tersangka, keluarga dan pengacaranya dengan tawaran bahwa kasus tersebut dapat dikeluarkan SP3, atau dengan menggantung status seseorang atau memperlambat proses pemeriksaan dengan harapan menunggu tersangka menghubungi dengan ancaman mau lanjut atau stop. Jadi status dapat dinegosiasikan dengan jaksa apakah menjadi saksi atau tersangka. Jika terdakwa bisa menyediakan sejumlah uang yang sesuai dengan bobot kasusnya maka kasus itu dapat dihentikan dan diterbitkan P18 dengan alasan utama tidak cukup bukti Abdul Asiz (2004:1).
b.    Pengawasan Fungsional
Dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 pengawasan Fungsional diartikan sebagai:
Pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat fungsional terhadap pelaksanaan tugas semua unsur Kejaksaan Serta sikap, perilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan.

Pejabat pengawasan sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari;
a.    Tingkat Kejaksaan Agung
1.    Jaksa Agung Muda Pengawasan.
2.    Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengwasan.
3.    Inspektur.
4.    Inspektur Pembantu.
5.    Pemeriksa.
b.    Tingkat Kejaksaan Tinggi:
1.    Asisten Pengawasan;
2.    Pemeriksa;
c.    Tingkat Kejaksaan Negeri Yang memiliki Cabang Kejaksaan Negeri:
1.    Pemeriksa.



Sama halnya dengan pengawasan melekat, kewenangan pengawasan pada bentuk pengawasan fungsional ini diberikan kepada pihak internal kejaksaan, namun hal yang lebih positif adalah pihak yang berwenang melakukan pengawasan bukan merupakan pimpinan pada instansi kejaksaan yang bersangkutan. Penulis menganggap hal ini baik karena pengawas tidak memiliki kepentingan yang berpengaruh terhadap hasil laporan, sehingga laporan hasil penelitian bukanlah merupakan manipilasi dari pengawas, terkecuali ada campur tangan lain. Berbeda dengan pengawasan melekat, tentunya untuk mendapatkan penghargaan dan tidak dinyatakan gagal dalam memimpin kejaksaan tinggi maupun negeri, pengawas dalam hal ini salah satunya adalah kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan negeri akan senantiasa memberikan laporan baik guna keberhasilan kepemimpinannya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai kejaksaan yang tidak menganggap serius pelaksanaan pengawasan ini.
Funsi pengawasan fungsional  seabgaimana ditentukan dalam Pasal 12 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
a.    Melakukan pengawasan secara represif agar tugas rutin dan pembangunan serta sikap, perilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan sesuai dengan peraturan perundang-undanggan, rencana kerja dan program kerja serta kebijakan yang ditetapkan oleh jaksa agung Republik Indonesia.
b.    Mengambil langkah-langkah berupa pemeriksaan, penertiban, dan penindakan terhadap penyimpangan yang ditemukan.
c.    Menindaklanjuti Laporan pengawasan melekat sebagai salah satu dasar pelaksanaan pengawasan fungsional.

Adapun bentuk-bentuk pengawasan fungsional adalah:
1)    Pengawasan di belakang meja:
Pengwasan di belakang meja merupakan penelitian dan pemberian petunjuk atas surat-surat dan atau laporan yang diterima. Adapun tata cara pengawasan dibelakang meja ini  adalah :
1)    Penelitian, pengujian, bimbingan, penertiban, dan pertimbangan atas surat-surat dari satuan kerja, laporan pengaduan atau sumber-sumber lainnya yang diterima.
2)    Pemeriksaan dibelakang meja dilakukan atas surat-surat dari satuan kerja meliputi kecepatan, ketetapan, pengiriman, format dan materi laporan.
3)    Pemeriksaan dibelakang meja, atas laporan pengaduan adalah pemeriksaan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada perbuatan tercela yang dilakuakn oleh pegawai kejaksaan.
4)    Hasil penelitian dituangkan dalam telaahan untuk diteruskan kepada pimpinan di tingkat:
a.    Kejaksaan Agung Republik Indonesia kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan.
b.    Kejaksaan Tinggi Kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
c.    Kejaksaan Negeri Kepada Kepala Kejaksaan Negeri.
Jika dikaitkan dengan permasalahan seringnya berkas penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi  tertunda untuk di ajikan ke pengadilan, maka bentuk pengawasan di belakang meja ini dapat dikatakan cukup efektif dan dapat menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan masalah terlambatnya sebauh perkara tindak pidana korupsi diajukan ke pengadilan.
2)    Inspeksi umum
Inspeksi umum adalah pemeriksaan terhadap semua satuan kerja kejaksaan berdasarkan program kerja pengawasan tahunan (PKPT) yaitu program kerja yang disusun dan direncanakan untuk tahun mana yang bersangkutan yang merupakan jadwal inspeksi umum dalam satu tahun sebagaimana tersebut dalam rencana straregik Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tata cara pengawasan inspeksi umum ini adalah:
1)    Inspeksi umum dilaksanakan sekurang-kurangnya satu hari untuk satu satuan kerja.
2)    Pimpinan inspeksi memberitahukan kepada pimpinan satuan kerja tentang inspeksi yang akan dilaksanakan.
3)    Setelah tiba ditempat satuan kerja, pimpinan dan anggota inspeksi mengadakan pertemuan singkat dengan pimpinan satuan kerja yang di inspeksi beserta staff dan memberitahukan maksud dan tujuan inspeksi serta menyerahkan Surat Perintah Inspeksi.
4)    Selesai pertemuan tersebut selanjutnya dilanjutkan dengan inspeksi berdasarkan Program Kerja Pemeriksaan (PKP) yang telah dipersiapkan.
5)    Selesai melaksanakan inspeksi, pimpinan inspeksi memberitahukan kepada pimpinan satuan kerja tentang temuan inspeksi dan memberikan pokok-pokok petunjuk penertiban.
6)    Pemberitahuan hasil temuan inspeksi dapat juga dihadiri oleh seluruh atau sebagian pegawai satuan kerja tersebut.
7)    Setelah inspeksi umum, pimpinan inspeksi wajib segera melaporkan secara lisan dan atau tertulis mengenai hal-hal penting/menarik perhatian kepada atasannya langsung untuk mendapat perhatian dan tindak lanjut.
Dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi, penulis menilai bahwa inspeksi umum ini tidak terlalu berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya sebuah perkara diajukan ke pengadilan, atau apakah pasal yang diterapkan kepada terdakwa tindak pidana korupsi sudah sesuai atau belum. Hal ini dikarenakan inspeksi umum ini hanya memprioritaskan kepada terlaksananya program kerja tahunan dan rencana strategis yang dilakukan oleh satuan kerja pada tiap kantor kejaksaan.
3)    Inspeksi Pimpinan
Inspeksi pimpinan adalah inspeksi yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan atau Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan atas perintah Jaksa Agung Muda Pengawasan dengan obyek periksa megenai pelaksanaan pengawasan di daerah serta kepemimpinan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Asisten Pengawasan Dalam melaksanakan tugas rutin dan pembangunan. Adapun tata cara inspeksi pimpinan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 adalah sama dengan tata cara inspeksi umum. Tentunya hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap kenerja jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi, dalam penyampaian laporan kerja seorang pimpinan akan senantiasa memberikan laporan kinerja yang baik. Hal ini dimaksudkan agar kepemimpinannya dianggap tidak gagal dan dapat memperoleh penghargaan atas laporan kinerja yang baik.
4)    Ispeksi Kasus
Inspeksi kasus merupakan pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya perbuatan tercela yang dilakukan oleh pegawai kejaksaan. Adapun tata cara inspeksi kasus ini adalah:
1)    Petunjuk adanya penyimpangan dan perbuatan tercela diperoleh dari hasil temuan pengawasan melekat atau berdasarkan laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh Pejabat Pengawasan Fungsional Kejaksaan.
2)    Petunjuk tersebut diteliti dan diolah dalam bentuk telaahan untuk menjadi bahan pertimbangan Jaksa Agung Muda Pengawasan/Kepala Kejaksaan Tinggi/ Kepala Kejaksaan negeri dalam mengambil keputusan perlu tidaknya dilaksanakan inspeksi kasus.
3)    Apabila Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kepala Kejaksaan Tinggi/Kepala Kejaksaan Negeri menganggap perlu dilaksanakan isnpeksi kasus, maka pemeriksaan dilakukan oleh Pejabat Pengawasan Fungsional pada:
a.    Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia atas perintah jaksa Agung Republik Indonesia.
b.    Kejaksaan Tinggi atas perintah Kepala Kejaksaan Tinggi.
c.    Kejaksaan Negeri atas perintah Kepala Kejaksaan Negeri.
Jika dicermati, inspeksi kasus yang dimaksudkan ini merupakan upaya Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap pegawai kejaksaan menyangkut etika dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis beranggapan bahwa hal ini dimaksudkan agar pegawai kejaksaan dapat terus menjaga citra kejaksaan di mata masyarakat. Secara umum Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 ini memang kebanyakan mengatur mengenai pegawai kejaksaan dalam kaitannya dengan tingkah laku pegawai kejaksaan, hanya sebagian kecil saja aturan yang menyangkut kinerja pegawai kejaksaan dalam kaitannya dengan jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi.
2.    Bentuk Tindak Lanjut
Dalam sebuah pengawasan, hasil yang dicapai baik itu berupa pelanggaran, maupun berupa prestasi akan ditindak lanjuti. Tentunya jika ditemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan tertentu harus ada tinjak lanjut yang dilakukan guna memberikan efek jera terhadap pelanggar dan pelanggar tidak mengulangi perbuatannya. Sebaliknya jika pegawai kejaksaan ternyata memberikan prestasi akan diberikan penghargaan guna memacu pegawai lainnya bisa memperoleh prestasi yang sama atau lebih. Tindak lanjut hasil pengawasan ini dituangkan dalam bentuk petunjuk penertiban, nota pengawasan, penindakan atau pemberian penghargaan.
Pejabat yang berwenang memberikan menjatuhkan hukuman di lingkungan kejaksaan adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dan pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Penjatuhan hukuman terhadap hasil pengawasan ini diatur pada Pasal 34 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
1)    Pegawai Kejaksaan yang berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata melakukan beberapa perbuatan tercela terhadapnya dapat dijatuhi satu hukuman disiplin yang terberat.
2)    Pegawai kejaksaan yang pernah dijatuhi hukuman disiplin kemudian dalam tenggang waktu tertentu melakuakn perbuatan tercela, dijatuhi hukuman disiplin lebih berat.
3)    Tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas dihitung sejak yang bersangkutan menjalankan hukuman disiplin dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    6 bulan untuk tingkat hukuman disiplin ringan.
b.    1 tahun untuk hukuman disiplin sedang.
c.    2 tahun untuk tingkat hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980.
Selain pemberian sanksi kepada pegawai kejaksaan, tentunya kepada mereka yang menorehkan serangkaian prestasi diberikan penghargaan guna memacu pegawai kejaksaan lainnya. Pemberian penghargaan tersebut di atur dalam Pasal 38 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu;
1)    Pemberian penghargaan diberikan atas dasar temuan pengawasan tentang prestasi.
2)    Pemberian penghargaan disusun oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan kepada jaksa Agung Republik Indonesia
3)    Pemberian penghargaan diatur lebih lanjut dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.

Apa yang penulis paparkan di atas merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dilakukan penulis dari berbagai literatur. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada Kejaksaan Tinggi SulSelBar  tanggal 29 Juli 2010, penulis juga menemukan hal serupa. Arif Syarifudin selaku jaksa tindak pidana korupsi menyebutkan bahwa;
Yang berwenang melakukan pengawasan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 5 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
a.    Tingkat Kejaksaan Agung:
1.    Jaksa Agung Republik Indonesia;
2.    Pejabat Eselon I;
3.    Pejabat Eselon II;
4.    Pejabat Eselon III;
5.    Pejabat Eselon IV;
b.    Tingkat Kejaksaan Tinggi:
1.    Kepala kejaksaan Tinggi dan Wakil kejaksaan Tinggi;
2.    Pejabat Eselon III;
3.    Pejabat Eselon IV;
4.    Pejabat Eselon V;
c.    Tingkat Kejaksaan Negeri:
1.    Kepala Kejaksaan Negeri;
2.    Pejabat Eselon IV;
3.    Pejabat Eselon V;
Namun agar pengawasan ini dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan kerja sama yang baik antara stakeholders, termasuk didalamnya adalah kepolisian dan juga KPK. Bentuk pengawasan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana korupsi terbagi menjadi 3 bagian yaitu, pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat.

Dalam wawancara yang sama, lanjut Arif Syarifudin menegaskan bahwa:
Kewenangan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana korupsi secara teknis sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pada tataran kenyataan, apa yang diharapkan belum dapat terlaksana secara maksimal. Hal ini dikarenakan belum terbentuknya sinegritas yang bagus antara stakeholder yaitu masyarakat, pihak swasta, pemerintah, kepolisian, KPK, termasuk didalamnya pihak Kejaksaan itu sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik pada tindak pidana korupsi masih sangat lemah. Kewenangan pengawasan yang dilakukan selama ini sebenarnya bukanlah kewenangan yang spesifik, akan tetapi hanya berupa kewenangan pengawasan secara umum dalam hal ini pemberdayaan penertiban, dan pemantauan terhadap kekurangan dan penyimpangan yang ditemukan sebagai upaya optimalisasi pelaksanaan tugas pada satuan kerja masing-masing. Penulis berpendapat bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah termasuk dalam tahap yang memprihatinkan, sehingga sudah seharusnya dibentuk suatu lembaga yang kewenangannya ksusus mengawasi jaksa maupun penyidik yang manangani perkara tindak pidana korupsi.
B.   Kendala Yang Dihadapi Dalam Kewenangan Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Dalam Tindak Pidana Korupsi.
Dalam upaya pengawasan terhadap jaksa tentunya kewenangan ini menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh. Siapa yang berwenang, apa jabatannya dan apa kewenangannya merupakan hal yang harus dipertimbangkan secara baik, agar pelaksanaan pengawasan ini dapat berjalan sebagaimna mestinya. Dari berbagai peraturan yang terkait mengenai kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi, banyak kendala yang mungkin terjadi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis di Kejaksaan tinggi SulSelBar pada tanggal 29 Juli 2010 dengan Amir Syarifudin, menyatakan bahwa:
Salah satu problema besar yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan ini adalah terjadinya penghentian proses penyidikan dikerenakan kurang cukupnya barang bukti. Hal ini dapat saja dilakukan oleh seorang penyidik, tanpa diketahui oleh pengawasan penyidik. Sehingga pengawas penyidik pun tidak dapat melakukan tindakan apa-apa, sekalipun tidak cukupnya barang bukti tersebut merupakan hasil rekayasa oleh jaksa selaku penyidik setelah bekerja sama dengan tersangka. Sementara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, baik itu pengawasan fungsional maupun pengawasan melekat hanya melakukan pengawaan melalui pemeriksaan berkas saja. sementara kecurangan-kecurangan bisa saja terjadi pada tataran praktek dan berkas/laporan dapat dimanipulasi, dalam hal ini pegawai kejaksaan yang memberikan laporan tidak bersifat kooperatif.

Penulis berpendapat bahwa perlu adanya kewenangan lebih yang diberikan kepada pengawas agar pengawasan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini terkait dengan proses penyidikan, pengawas semestinya diberikan kewenangan untuk dapat ikut melakukan penyidikan dan mempertanyakan perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh seorang pegawai kejaksaan.
Lebih lanjut dalam wawancara  yang sama Amir Syarifudin menambahkan:
Bahwa salah satu faktor yang juga menghambat kewenangan pengawasan yang dilakukan dalam lingkup kejaksaan adalah adanya intervensi tugas pengawasan yang dilakukan oleh pihak legislatif dan eksekutif. Hal ini tentunya akan sangat mengganggu kinerja dan proses pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi. Tindakan ini jelas sangat tidak diharapkan, Apalagi ditambah dengan munculnya lembaga KPK,  jelas bahwa pihak eksekutif sangat meragukan kredibilitas dari pihak kejaksaan. Semestinya pihak legislatif dan eksekutif  mempercayakan wewenang pengawasan itu sendiri pada pihak kejaksaan. Namun hal ini bukan berarti bahwa pihak eksekutif dan legislatif lepas tangan, tetap mengawasi hanya saja mohon dikurangi, jangan sedikit-sedikit memanggil pihak kejaksaan ke DPR untuk di interogasi.

Jika di amati, apa yang disampaikan oleh Amir Syarifudin selaku jaksa merupakan bentuk kekecewaan kepada pihak legislatif dan eksekutif yang tidak mempercayai pihak kejaksaan dalam upaya pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik pada perkara tindak pidana korupsi. Namun penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pihak eksekutif dan legislatif adalah hal yang sangat wajar, mengingat banyaknya perkara tindak pidana korupsi yang sering dihentikan di tingkat penyidikan, selain itu hal ini dapat memberikan dorongan kepada seorang jaksa agar senantiasa bekerja tepa waktu dan tepat sasaran. Sehingga tidak menjadikan pegawai kejaksaan yang menjadi penyidik dapat melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara.
Namun, penulis membenarkan juga apa yang disampaikan Amir Syarifudin mengenai pemanggilan mendadak yang dilakukan oleh pihak legislatif dan eksekutif. Hal ini bukanlah suatu tindakan yang dapat membantu, melainkan sangat dapat menggangu pekerjaan seorang jaksa dalam upaya penanganan perkara tindak pidana korupsi. Agar proses pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif dan legislatif ini tidak menggangu, ada baiknya indikasi terjadinya kesalah penggunaan wewenang diselesaikan sesuai dengan prosedur yang ada. Baik itu setelah suatu perkara tindak pidana di proses, atau pun meminta keterangan melalui kepala kejaksaan.






BAB V
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi meliputi pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Kewenangan untuk melakukan pengawasan diberikan kepada satuan kerja sampai dengan dua tingkat kebawah, hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan pengawasan, pihak yang berwenang tidak berada dalam tekanan. Dalam hal melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, pengawas berwenang meminta laporan mengenai perkembangan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh seorang jaksa.
2.    kendala yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi adalah :
a.    Tidak kooperatifnya seorang jaksa penyidik tindak pidana korupsi dalam memberikan laporan kepada pihak yang berwenang melakukan pengawasan.
b.    Adanya campur tangan dari pihak eksekutif dan legislatif yang dapat membuat proses penyidikan menjadi terhambat dikarenakan penyidik dimintai laporan pada saat proses penyidikan belum selesai.
B.   Saran
Adapun saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1.    Ada baiknya kewenangan melakukan pengawasan terehadap jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi diberikan juga kepa pihak yang berasal dari luar kejaksaan. Hal ini dimaksudkan agar transparansi mengeanai kinerja kejaksaan dapat diketahui oleeh masyarakat umum dan juga dapat lebih meningkatkan pelaksanaan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik pada tindak pidana korupsi.
2.    Agar proses penyidikan tidak terhambat, ada baiknya pihak eksekutif maupun legislatif yang ingin melakukan pengawasan terhadap kinerja jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi tidak melakukan pemanggilan terhadap jaksa yang bersangkutan pada saat proses penyidikan sementara berlangsung.








DAFTAR PUSTAKA
Azis, Abdul, Pemantauan Terhadap Kinerja Kejaksaan Terhadap Proses Peradilan Pidana. Tulisan disampaikan pada Workshop Pemantauan Kejaksaan diselenggarakan oleh MaPPI dan Yayasan TIFA di Jakarta. 28-30 Juni 2004.
Baharuddin Lopa dan Moch. Yamin. 1987. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alumni. Bandung.
Effendi, Marwan, 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif HUkum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hamzah, Andi, 1984. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. PT. Gramedia.Jakarta.
­­­­­­­­­­­­­­­__________ 1990. Pengatur Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta.
__________ 2000. Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Cetakan II. Sinar Grafika. Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo. Membangun Strategi Kinerja Kejaksaan bagi Peningkatan Produktivitas, Profesionalisme, dan Akuntabilitas Publik: Suatu Usulan Pemikiran. Makalah disampaikan pada Seminar Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supermasi HUkum. Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung di Jakarta. 22 Agustus 2001.
Harun M. Husein. 1991. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
O.C. Kaligis. 2006. Pengawasan terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. O.C. Kaligis & Associates. Jakarta.
Prodohamidjojo, Martiman, 2001. Penerapan pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Mandar Maju. Bandung
Reksodiputro, Marjono, Kedudukan Advokad dalam Sistem Peradilan Pidana (dalam Rangka Integrated Judicary System). Makalah disampaikan pada Semiloka di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 13 Desember 2000.

Ridwan, HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Robert Klitgaard. 1998. Membasmi Korupsi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Supandji, Hendarman, Peningkatan Peran Masyarakat Melalui Program Pemantauan GUna Penguatan Fungsi Pengawasan Internal Kejaksaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan Kejaksaan diselenggarakan oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta. 28-309 Juni 2004.
Sritua, Arief, 1986. Korupsi. Lembaga Studi Pembanguna. Jakarta.
Seno Adji, Indriyanto, 2001. Arah Sistem Peradilan Pidana. Kantor pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan. Jakarta.
Saleh, Ismail, 1988. Ketertiban dan Pengawasan. Haji Masagung. Jakarta.
Sjahrir, Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi? Tulisan dalam Buletin Prisma Edisi No. 3 Maret 1986. Tahun XV. LP3ES. Jakarta.
Suhadibroto. Kualitas Aparat Kejaksaan dalam Upaya Melasanakan Penegakan Hukum. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan Kejaksaan diselenggarakan oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta. 28-30 Juni 2004.
W. J. S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Undang-undang No. 16 th 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-undang No. 15 th 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
SUMBER LAIN
http://www.bpk.co.id/. Tugas dan Wewenang BPK
http://www.geogle.com/. Meissy Subardiah, Pembaharuan Pengawasan di kejaksaan : Suatu Tinjauan Hukum, Peradilan.
Http://www.geogle.com/. Topo Santoso, Polisi dan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter