Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Selasa, 14 Februari 2012

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP MALPRAKTIK MEDIK YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT (Studi Pada Rumah Sakit Lagaligo Kab. Luwu Timur)


BAB I
PENDAHULUALAN
A.   Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945.
Pelayanan kesehatan di Indonesia merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk mengurangi jumlah kematian dan meningkatkan persentase kesembuhan masyarakat yang dirawat di rumah sakit. Keberhasilan upaya kesehatan tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai.
      Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
      Untuk mendukung terciptanya pelayanan kesehatan yang baik pemerintah mengeluarkan berbagai macam aturan baik yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri.
Pada tahun 1978 setelah dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV Tahun 1978 tentang Garis Besar Haluan Negara dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III, dimana sejak itu kesehatan menempati bagian tersendiri  dalam pembangunan nasional secara keseluruhan, sebelumnya bidang kesehatan disatukan dalam bidang Keluarga Berencana (Sri Praptianingsih, 2006:1). Hal ini dilaksanakan karena pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi yang bersifat dinamis. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan telah terjadi perubahan orientasi, baik terhadap tata nilai maupun pemikiran, sehingga menyebabkan makin kompleksnya permasalahan dalam bidang kesehatan.
Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat hukum yang dinamis. Untuk menyikapi hal ini pada tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 tentang praktik kedokteran pada tahun 2004. Kedua undang-undang ini yang menjadi acuan dalam pemberian perlindungan hukum, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien itu sendiri dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan.
      Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004, ditentukan bahwa “praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan”, dan dalam Pasal 3 dijelaskan mengenai pengaturan praktik kedokteran yang bertujuan untuk:
      a.   memberikan perlindungan kepada pasien;
      b.   mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi;dan
      c.   memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
           
Dalam Pasal 50 dan 51 (UU 29/2004), ditegaskan mengenai hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi. Dalam Pasal 50 dikatakan bahwa :
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
      a.   memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
      b.   memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
      c.   memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
           keluarganya; dan
      d.   menerima imbalan jasa.
           
Selanjutnya pada Pasal 51, Undang-Undang tersebut menegaskan mengenai kewajiban seorang dokter, bahwa:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
      a.   memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
      b.   merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
      c.   merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
      d.   melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin bila ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan  
      e.   menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
           
Sedangkan hak dan kewajiban pasien diatur dalam Pasal 52 dan 53, di dalam Pasal 52 Undang-Undang tersebut mengatakan tentang hak pasien, yaitu :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
      a.   mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis ;
      b.   meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
      c.   mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
      d.   menolak tindakan medis; dan
      e.   mendapatkan isi rekaman medis.
           
Sedangkan dalam Pasal 53, dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa:
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
      a.   memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah 
           kesehatannya;
      b.   mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
      c.   mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
      d.   memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
     
Berdasarkan Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang tersebut menjelaskan mengenai adanya persetujuan medis antara dokter dan pasien yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam perjanjian ini dokter harus berusaha dengan segala ikhtiar dan usahanya, mengerahkan segenap kemampuan, keterampilan dan ilmu pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Dokter juga harus memberikan perawatan dengan berhati-hati dan penuh perhatian sesuai dengan standar pelayanan medis. Sebab penyimpangan dari standar berarti pelanggaran perjanjian. Makna dari perjanjian tersebut adalah bahwa dokter harus mengambil alternatif untuk menunjuk dokter dan atau sarana kesehatan lainnya manakala ia merasa tidak mampu untuk melanjutan upaya pengobatan dan perawatan pasien tersebut.
            Dalam keempat pasal itu juga disebutkan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan, jadi pada dasarnya persetujuan tindakan medis merupakan prosedur dalam pelayanan kesehatan yang merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan.
      Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu profesi yang merupakan pemberian pertolongan terhadap pasien berdasarkan keahlian, keterampilan dan ketelitian yang menimbulkan hubungan hukum.
      Dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh rumah sakit, dokter dan perawat merupakan tenaga kesehatan yang memegang peranan penting. Dokter berwenang melakukan tindakan medis tertentu berdasarkan ilmu kedokteran, sedangkan perawat adalah orang yang dididik menjadi tenaga paramedis untuk menyelenggarakan perawatan terhadap pasien atau secara khusus untuk mendalami bidang perawatan tertentu, seperti ahli anestesi dan ahli perawatan ruang gawat darurat.
Seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan, biasanya dibantu oleh perawat. Keberadaan perawat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah karena perawat merupakan pegawai rumah sakit yang tugasnya memberikan pelayanan keperawatan berdasarkan ilmu keperawatan yang dimilikinya dan membantu dokter dalam melaksanakan tindakan medis tertentu bagi pasien.
Tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk kesembuhan pasien yang dilakukan dengan cara pengobatan ataupun tindakan operasi, sedangkan tindakan keperawatan bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan optimal pasien.
Perawat dalam melaksanakan tugasnya haruslah selalu di bawah pengawasan dokter, sebab dalam praktik keperawatan terdapat fungsi depeden, dimana dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medis. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan dalam hal  pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan oleh dokter, seperti permasangan infus, pemberian obat dan melakukan suntikan.
Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter dengan tidak mengabaikan hak pasien, tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.
Dalam beberapa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit terdapat beberapa kesalahan medis dan atau tindakan malpaktek dikarenakan kesalahan dan kelalaian yang dilakukan  oleh tenaga kesehatan. Kesalahan dan kelalaian itu biasanya terjadi dikarenakan perawat sebagai bawahan dokter, yang bertugas mengurus pasien, lalai dalam mendiagnosa pasien atau salah menetapkan dosis obat.
Sayangnya hanya sebagian kecil pasien yang dirugikan melaporkan peristiwa yang mereka derita akibat dari kelalaian perawat tersebut, kalaupun ada pasien yang melaporkan kasusnya tidak akan sampai di pengadilan, sebab adanya berbagai jalan damai yang ditawarkan oleh pihak rumah sakit.
Pada dasarnya, kesalahan dan kelalaian dalam melaksanakan profesi medis merupakan suatu hal penting untuk dibicarakan. Hal ini disebabkan karena kesalahan dan kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi pasien dan masyarakat pada umumnya.
Untuk dapat memahami ada atau tidaknya kesalahan dan kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan dan kelalaian dalam pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi. Di samping itu, harus pula diperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik.
Langkah dan upaya meletakkan kesalahan dan kelalaian pelaksanaan profesi berhadapan dengan kewajiban profesi, bertujuan untuk mengetahui:
1. Apakah hak dan kewajiban dalam pelaksanaan profesi dilaksanakan 
    sesuai dengan standar profesi atau tidak?
2. Apakah tindakan medis yang diberikan kepada pasien, sudah memenuhi pengetahuan yang biasanya dimiliki oleh seorang dokter yang mempunyai kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama?
Dengan cara seperti diatas akan terlihat bahwa adanya kewajiban berarti ada pula tanggung jawab. Konsekuensi dari tanggung jawab ini adalah membuka kemungkinan akan terjadi kesalahan dan kelalaian yang bisa ditinjau dari sudut hukum, baik itu dari sudut hukum perdata, pidana, maupun hukum administrasi.
Dilihat dari segi hukum pidana, persoalan pokok antara hukum kesehatan dengan hukum pidana ialah adanya kesalahan. Sejauh mana kesalahan itu terjadi, apakah benar peristiwa yang terjadi pada pasien merupakan akibat dari suatu kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan tersebut, terlebih dahulu harus dibuktikan melalui pendekatan medis.
Hal ini disebabkan karena pertanggungjawaban seorang dokter dalam hukum pidana sangat erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh dokter, yaitu berupa langkah-langkah atau tindakan terapeutik dan diagnostik yang diikat oleh lafal sumpah jabatan dan kode etik profesi. 
Oleh karena tinjauan hukum yang penulis gunakan dari sudut pandang hukum pidana, maka yang menjadi pokok pembahasan adalah masalah pidananya, dan dalam hubungannya dengan Undang-Undang tentang Kesehatan, Praktek Kedokteran dan hukum keperawatan, dalam hal kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh dokter dan perawat, maka penulis mengambilnya sebagai objek penelitian dengan judul:
tinjauan kriminologis terhadap Malpraktik medik yang dilakukan oleh perawat


B.   Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka untuk menghindari pembahasan yang tidak sistematis, penulis mengidentifikasikan rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya Malpraktik medik yang dilakukan  perawat?
2.    Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Malpraktik medik oleh perawat?
C.   Tujuan dan kegunaan Penelitian
a.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
A.  Untuk mengetahui  faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Malpraktik medik oleh perawat
B.   Untuk mengetahui  upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Malpraktik medik oleh perawat.
b.    Kegunaan Penelitian  
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain :

1.    Dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan  pelayanan kepada masyarakat, utamanya  yang tidak mampu.
2.    Memperluas wawasan pengetahuan penulis dan lebih mengetahui sejauh mana penulis dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh dibangku perkuliahan.
3.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat untuk memahami mengenai pelayanan kesehatan baik di rumah sakit pemerintah maupun di rumah sakit swasta.
4.    Dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan pelayanan kesehatan.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Pengertian dan Ruang Lingkup Kriminologi
1.    Pengertian Kriminologi
Menurut Soejono D (1985:4) mengemukakan bahwa :
Dari segi etimologis istilah kriminologis terdiri atas dua suku kata yakni crimes yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan jadi menurut pandangan etimologi maka istilah kriminologi berarti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu tentang kejahatan dan kejahatan yang di lakukannya
Kriminologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum pidana yang  memberikan  pemahaman yang mendalam tentang fenomena kejahatan, sebab          dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi kejahatan,yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan.Seorang Antropolog yang berasal dari Perancis, bernama Paul Topinard (Topo Santoso,2003:9), mengemukakan bahwa :
Kriminologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan. Kata Kriminologi itu sendiri berdasarkan etimologinya berasal dari dua kata, crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Kriminologi bukanlah suatu senjata untuk berbuat kejahatan, akan tetapi untuk menanggulangi terjadinya kejahatan. Untuk lebih memperjelas pengertian kriminologi, beberapa sarjana memberikan batasannya sebagai berikut :
Demikian pula menurut W.A. Bonger (Topo Santoso,2003:9), mengemukakan bahwa “Krimonologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”
Lanjut Paul Moedigdo Meoliono  (Topo Santoso,2003:11) memberikan definisi kriminologi:
Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.
Wolffgang Savita dan Jhonston dalam The Sociology of Crime and Deliquency (Topo Santoso, 2003 :12) memberikan definisi kriminologi sebagai berikut :
Kriminolgi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Menurut Michael dan Adler (Topo Santoso, 2003 :12), mengemukakan bahwa definisi kriminologi adalah :
Keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggta masyarakat
Wood (Abd Salam,2007:5),merumuskan definisi kriminologi  bahwa “Sebagai Ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu”.
Berdasarkan rumusan para ahli di atas, penulis dapat melihat penyisipan kata kriminologi sebagai ilmu – menyelidiki - mempelajari. Selain itu, yang menjadi perhatian dari perumusan kriminologi adalah mengenai pengertian kejahatan. Jadi kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan secara lengkap, karena kriminologi mempelajari kejahatan, maka sudah selayaknya mempelajari hak-hak yang berhubungan dengan kejahatan tersebut (etiologi, reaksi sosial). Penjahat dan kejahatan tidak dapat dipisahkan,hanya dapat dibedakan.
            Menurut Wood (Abd Salam,2007:5), bahwa kriminologi secara ilmiah dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu :
1.     Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah yuridis yang menjadi obyek pembahasan Ilmu Hukum Pidana dan Acara Hukum Pidana.
2.     Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah antropologi yang menjadi inti pembahasan kriminologi dalam arti sempit, yaitu sosiologi dan biologi.
3.     Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah teknik yang menjadi pembahasan kriminalistik, seperti ilmu kedokteran forensik, ilmu alam forensik, dan ilmu kimia forensik.
            Selanjutnya untuk memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai kriminologi, penulis akan menguraikan lebih lanjut beberapa pengertian mengenai kejahatan.
            Seperti dikatakan bahwa kriminologi membahas masalah kejahatan, maka timbul pertanyaan sejauh manakah suatu tindakan dapat disebut kejahatan? Secara formal kejahatan dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana (Misdaad is een ernstige anti sociale handeling, seaw tegen de staat bewust reageer). Dalam hal pemberian pidana ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu adalah ketertiban masyarakat dan masyarakat menjadi resah. Terkadang tindakan itu tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, yang dimana masyarakat bersifat dinamis, maka tindakan pun harus dinamis sesuai dengan irama perubahan masyarakat. Ketidaksesuaian tersebut dipengaruhi oleh faktor waktu dan tempat. Masyarakat menilai dari segi hukum bahwa sesuatu tindakan merupakan kejahatan sedang dari segi sosiologi (pergaulan) bukan kejahatan. Inilah yang disebut kejahatan yuridis. Sebaliknya bisa terjadi suatu tindakan dilihat dari segi sosiologis merupakan kejahatan, sedang dari segi yuridis bukan kejahatan. Inilah yang disebut kejahatan sosiologis (kejahatan kriminologis).
            Usaha untuk merumuskan dan mendefinisikan kejahatan dalam kriminologi hampir setua bidang pengetahuan ilmiah itu sendiri. Hal itu menyangkut sejumlah pendapat-pendapat kontroversial dan beberapa benturan pendapat ilmiah yang pada dasarnya merupakan bagian proses perkembangan suatu ilmu. Kejahatan pada mulanya tidak secara resmi dirumuskan dan tidak menyangkut suatu tindakan resmi terhadapnya, melainkan hanya merupakan masalah pribadi. Seorang yang melakukan kesalahan memperoleh pembalasan baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap keluarganya.
2.    Ruang Lingkup Kriminologi
Menurut Topo Santoso (2003:23) mengemukakan bahwa:
Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial sehingga sebagai pelaku kejahatan tidak terlepas dari interaksi sosial, artinya kejahatan menarik perhatian karena pengaruh perbuatan tersebut yang dirasakan dalam hubungan antar manusia. Kriminologi merupakan kumpulan ilmu pengetahuan dan pengertian gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Lanjut menurut Topo Santoso (2003 : 12) mengemukakan bahwa objek studi Kriminologi meliputi :
1.      Perbuatan yang disebut kejahatan
2.      Pelaku kejahatan
3.     Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan       maupun terhadap pelakunya
Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat. Untuk lebih jelasnya akan diterankan sebagai berikut :
1)   Perbuatan yang disebut kejahatan
a.  Kejahatan dari segi Yuridis
Kata kejahatan menurut pengertian orang banyak sehari-hari adalah tingkah laku atau perbuatan yang jahat yang tiap-tiap orang dapat merasakan bahwa itu jahat seperti pemerasan, pencurian, penipuan dan lain sebagainya yang dilakukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan Rusli Effendy (1978:1):
Kejahatan adalah delik hukum (Rechts delicten) yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-Undang sebagai peristiwa pidana, tetapi dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Setiap orang yang melakukan kejahatan akan diberi sanksi pidana yang telah diatur dalan Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya di singkat KUHPidana) ,yang dinyatakan didalamnya sebagai kejahatan. Hal ini dipertegas oleh J.E. Sahetapy (1989:110), bahwa :
Kejahatan, sebagaimana terdapat dalam Perundang-Undangan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh Negara.
Moeliono (Soedjono Dirdjosisworo, 1976:3) merumuskan kejahatan adalah “pelanggaran terhadap norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan, dan tidak boleh dibiarkan.”
Sedangkan menurut Edwin H. Sutherland (Topo Santoso,2003:14):
Bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah pelaku yang dilarang oleh negara karena merupakan  perbuatan yang merugikan bagi negara dan terhadap perbuatan itu negara beraksi dengan  hukum sebagai upaya pamungkas.
J.E Sahetapy (1989:11) memberikan batasan pengertian kejahatan sebagai berikut “Kejahatan sebagaimana terdapat dalam Perundang Undangan adalah setiap perbuatan termasuk kelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi diberi sanksi berupa pidana oleh Negara”.
Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.
b.  Kejahatan dari segi Sosiologis
  Menurut Topo Santoso (2003:15) bahwa :
Secara sosiologi kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat, walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama.
Sedangkan menurut R. Soesilo (1985:13) bahwa :
Kejahatan dalam pengertian sosiologis meliputi segala tingkah laku manusia, walaupun  tidak atau bukan ditentukan dalam Undang-Undang, karena pada hakikatnya warga masyarakat dapat merasakan dan menafsirkan bahwa perbuatan tersebut menyerang dan merugikan masyarakat.
            Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang dilarang Undang- Undang, oleh karena perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya dapat dikenakan pidana.
2)    Pelaku Kejahatan
Gejala yang dirasakan kejahatan pada dasarnya terjadi dalam proses dimana ada interaksi sosial antara bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan.
Dalam khasanah terminologi orang tidak akan melupakan seorang sarjana bernama Cesare Lambrosso(1835-1909). Ia merupakan orang pertama yang meletakkan metode ilmiah dan mencari penjelasan tentang sebab kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
Penjahat merupakan para pelaku palanggar hukum pidana dan telah diputus  oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut Garofalo (W.A. Bonger, 1982:82) bahwa:

Para pelaku kejahatan biasanya dikarenakan bukan karena pembawaan tetapi karena kecenderungan,kelemahan,hawa nafsu dan karena kehormatan atau keyakinan.
B.   Pengertian Kesalahan
Menurut Simons (Moeljatno, 1993: 158), kesalahan adalah:
”adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”.

Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana, kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 unsur (Moeljatno, 1993: 164), yaitu:
1.  melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2.   diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab:
3.   mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa);          
4.   tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana (Bahder Johan, 2005: 54), bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari:
1.    Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:
a.         kesengajaan dengan maksud, dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan akan timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi;
b.        kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja;
c.         kesengajaan bersyarat sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan disengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi;
2..  Kealpaan, sebagaimana dirumuskan dalam KUHP, yaitu ”seharusnya mengetahui atau dapat mengetahui atau menyadari”

Jadi, kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.
Dalam pelayanan kesehatan yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah ”karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian dokter dan atau tenaga kesehatan lainnya pada waktu melaksanakan pelayanan medis” (Bahder Johan, 2005: 55).
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam (Bahder Johan, 2005: 56), yaitu:
a.   kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;
b.   kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.

Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:

1.   pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2.   pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang;
3.   perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.

Sedangkan menurut S.Schaffmeister (Acmad Ali, 2004: 219), skema kelalaian atau culpa yaitu :
1. CONSCIOUS : kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono  (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi;
2.   UNCONSCIUS : kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir  (onnadentkend), lengah (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.

Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter maupun perawat. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan dokter atau perawat tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalam situasi yang sama.



C.   Pengertian dan Unsur-unsur Malpraktik
Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.
Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir (1999: 87), Malpraktik adalah:
”kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional)”.

Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir, yaitu:
1.   adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan   dalam menjalankan profesinya;
2.   adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3.   adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia;
4.   adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
      Contoh-contoh Malpraktik adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan:
a.   meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;
b.   melupakan keteter di dalam perut pasien;
c.   menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya;
d. menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;
e.   tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.
Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004;97), ”setiap minggu ada korban Malpraktik dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan pengawasan praktek kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori diatas  kertas”.
Untuk  membawa kasus Malpraktik ke pengadilan banyak menemui kendala. Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua rumah sakit dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara Malpraktik ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.
Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter, korban mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat Malpraktik sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan Malpraktik sampai tuntas.
Akan tetapi jalan damai tidak cukup membuat para dokter jera dalam melakukan kesalahan, karena cukup dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu bukanlah masalah besar bagi dokter atau rumah sakit, lain halnya bila kasusnya dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah.
Dampaknya antara lain, dokter dan rumah sakit akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, yang menyebabkan dokter dan pengelola rumah sakit akan mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat jarang atau bahkan tidak mau lagi berobat ke tempat praktik dokter dan rumah sakit yang mempunyai kasus Malpraktik. Hasilnya, mereka tentu bakal berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.
D.   Tanggung Jawab Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk meningkatkan kondisi kesehatan. Namun demikian, adakalanya perawat dalam melaksanakan tugasnya tidak memperbaiki kondisi kesehatan pasien, tetapi tindakannya justru memperburuk keadaan pasien atau menyebabkan pasien cacat bahkan meninggal dunia.
Aspek hukum pidana dalam upaya pelayanan kesehatan oleh perawat berkaitan dengan tanggung jawab perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kemampuan bertanggung jawab berkaitan erat dengan perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkungan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dari alasan tersebut terdapat tiga unsur perbuatan pidana, yaitu :
1. perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkungan delik,
2. bersifat melawan hukum, dan
3. dapat dicela
Unsur pertama, perbuatan dibatasi hanya perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan delik. Pembatasan yang termasuk dalam pembatasan rumusan delik sesuai dengan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa “tiada perbuatan pidana dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Hanya perbuatan yang telah dilakukan dalam UU sebagai perbuatan tercela dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Berdasarkan asas legalitas, maka hanya perbuatan yang telah ditentukan undang-undang saja yang dapat dikenai sanksi pidana. Oleh karena itu, setiap perbuatan perawat yang menimbulkan kerugian dalam upaya pelayanan kesehatan baik dalam menjalankan perintah dokter, melaksanakan fungsi kolaborasi maupun mandiri, perawat hanya dapat dipidana apabila hal itu telah diatur dalam UU. Apabila ketentuan yang dilanggar harus ditentukan dalam kode etik, standar profesi maupun lafal sumpah dan belum diatur dalam UU maka terhadap perbuatan perawat yang menimbulkan kerugian tidak dapat dikenai sanksi pidana.
Suatu perbuatan pidana mempunyai sifat melawan hukum baik yang objektif maupun subjektif. Sifat melawan hukum yang objektif tampak dari perbuatan yang nyata melanggar hukum, disebut pula sifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan sifat melawan hukum yang subjektif tidak tampak secara nyata karena melekat pada sanubari terdakwa
Istilah ‘bersifat melawan hukum’ berarti :
1.   bertentangan dengan hukum;
2.   bertentangan dengan hak orang lain;
3.   tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak harus bertentangan dengan hukum.
Dari pengertian tersebut, pada prinsipnya suatu tindakan yang disebut bersifat melawan hukum tidak terbatas pada pelanggaran positif (undang-undang), tetapi juga pada hukum tidak tertulis, kepatutan dan kesusilaan. Bersifat melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana. Unsur melawan hukum (subjektief onrecht elemen) menentukan ada tidaknya perbuatan pidana tetapi tidak menentukan dipidana tidaknya seseorang yang melakukan kesalahan.
Bagi perawat yang melakukan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit, dengan pengertian melawan hukum sebagaimana disebutkan diatas, apabila ternyata perawat melanggar kode etik, standar profesi, standar praktik atau lafal sumpah, maka dia sudah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi tidak serta-merta yang bersangkutan melakukan pidana karena perbuatan yang dilakukannya belum tentu telah ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana. Disamping unsur telah memenuhi asas legalitas yang mempunyai sifat melanggar hukum, untuk dapat dipidananya perawat dalam upaya pelayanan kesehatan adalah adanya unsur kesalahan yang berupa kesengajaan atau kelalaian.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LNRI Nomor 74 tahun 1970 TLNRI Nomor 2952) menentukan bahwa “tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. Berdasarkan ketentuan ini, maka unsur kesalahan menjadi unsur yang sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang.
Ada tidaknya kesengajaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan akibat pelanggaran kode etik, standar profesi, standar praktik atau lafal sumpah oleh perawat sebagai tenaga kesehatan diteliti dan ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat MDTK). Hasil penelitian MDTK mengenai kesengajaan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan standar profesi diserahkan kepada pejabat kesehatan yang berwenang untuk memberikan tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi sehingga menimbulkan kerugian pada pasien atau keluarga pasien.
Menurut Sudharto (Sri Praptianingsih, 2006:120), kesalahan mempunyai arti sebagai berikut:
a.         kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawaban dalam hukum pidana; di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya”.
b.         kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa:
            1)         kesengajaan (dolus, opzet, vorzsatz atau invention),
                     atau
            2)         kealpaan (culpa, anachtzaamheid, nelatigheid, atau
                     negligence).
c.         kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan (culpa).
Terhadap ketiga arti kesalahan tersebut Sudharto menyarankan agar penggunaan istilah kesalahan dalam arti sempit sebaiknya dihindarkan dan menggunakan istilah “kealpaan”.
Kesalahan itu sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu:
      a.         adanya kemampuan bertanggung jawab pada diri si pembuat;
      b.         adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa dolus atau culpa; ini disebut bentuk kesalahan; dan
      c.         tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
       
Apabila ketiga unsur tersebut dipenuhi, perawat yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit bisa dinyatakan bersalah sehingga ia dipandang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
Berdasarkan KUHP seseorang dipandang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan apabila;
1.   pada waktu melakukan perbuatan telah berumur 18 tahun (UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak);
2.   tidak terganggu/cacat jiwanya (Pasal 44 KUHP);
3.   tidak karena pengaruh daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP);
4.   bukan karena melakukan pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP);
5.   tidak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP);
6.   tidak karena perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).

Apabila ketentuan tersebut diberlakukan pada perawat yang bekerja di rumah sakit, ketentuan usia 18 tahun tentulah terpenuhi karena perawat dengan pendidikan SPK pada umumnya sewaktu kelulusannya berusia 18 tahun dengan asumsi masuk SD pada usia 16 tahun.
Ketentuan tentang tidak terganggu/cacat jiwanya secara umum dipenuhi oleh perawat yang melakukan pekerjaan memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena pada umumnya rumah sakit menentukan syarat sehat jasmani dan rohani bagi tenaga kesehatan yang direkrutnya.
Maksud daya paksa berdasarkan memori penjelasan Pasal 48 KUHP adalah tiap daya, tiap dorongan, tiap paksaan yang tidak dapat dilawan. Daya paksa ini merupakan tekanan yang dialami perawat sehingga ia mau melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukannya. Oleh karena itu, perawat harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya apabila perbuatannya itu dilakukan tidak dibawah tekanan/paksaan.
Pembelaan terpaksa menurut ketentuan Pasal 49 KUHP dilakukan karena ada serangan atau ancaman serangan yang melanggar hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan maupun harta benda. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh perawat bukan karena adanya serangan atau ancaman yang mengharuskan melakukan pembelaan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan maupun harta benda merupakan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya pada Pasal 50 KUHP ditentukan bahwa ”barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Secara acontrario, perawat harus bertanggung jawab hanya terhadap perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-undang. Asuhan/pelayanan keperawatan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh perawat karena pekerjaan perawat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dibuktikan dengan ijazahnya. Oleh karena itu, dalam asuhan keperawatan sudah seharusnya perawat memikul beban pertanggung jawaban manakala melakukan kelalaian atau kesalahan.
Seseorang yang melakukan perbuatan karena melakukan perintah jabatan tidak dapat dimintai pertanggungan jawab atas kerugian/kesalahan yang ditimbulkan. Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa ”seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Sementara itu, ayat (2)-nya menentukan bahwa “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Terkait dengan tanggung jawab perawat, maka perawat tidak bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatannya apabila perbuatan dilakukan sesuai dengan perintah atasannya, baik dokter maupun direksi rumah sakit.
Demikian pula apabila perintah itu diberikan di luar batas kewenangan pemberi perintah, tetapi perawat dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan berdasarkan kewenangan yang sah dan pelaksanaannya dalam bidang upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dengan perkataan lain, apabila yang dilakukan perawat tidak sesuai dengan perintah yang diterima atau dia melakukan perbuatan tanpa menerima perintah dari atasannya, dia harus mempertanggung jawabkan setiap kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian yang dilakukannya.
Faktor-faktor yang menentukan kemampuan pertanggung jawaban tersebut menjadi tolak ukur atas perbuatan seseorang. Ketidakmampuan bertanggung jawab seseorang merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf, artinya meskipun perbuatan pidana telah dilakukan, tetapi perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dalam dirinya terkandung salah satu dari enam hal yang menentukan kemampuan bertanggung jawab seseorang, sebagaimana ditentukan dalam Buku I Bab III KUHP, maka berlaku perbuatan pidana tidak dipidana. Perbuatan pidana dan tanggung jawab merupakan unsur yang harus dipenuhi agar terhadap seseorang yang melakukan kesalahan yang berupa kesengajaan atau kelalaian dapat dikenakan sanksi pidana.
Terkait dengan fungsi perawat, maka perawat mempunyai kemampuan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi yang mandiri dalam asuhan keperawatan, sementara dalam fungsi kolaborasi tanggung jawab pada Ketua Tim Kesehatan dan dalam fungsi dependen tanggung jawab berada pada dokter yang berwenang melakukan tindakan medis tertentu pada pasien.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti tanggung jawab adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya”. Sedangkan bertanggung jawab, berarti “berkewajiban menanggung segala sesuatunya dan memikul tanggung jawab”. Yang dimaksud dengan segala sesuatunya dalam arti tersebut, lebih mengarah pada keadaan yang tidak menyenangkan. Berkait dengan pekerjaan perawat, segala sesuatu tersebut misalnya ketidakpuasan pasien, kegagalan pelayanan keperawatan, kerugian pasien dan keluarganya.
Mencermati pengertian-pengertian tersebut, apabila dikaitkan dengan istilah yang dipergunakan pada Kode Etik Keperawatan Indonesia, maka perawat wajib untuk menanggung segala kegagalan, kerugian, dan keadaan tidak menyenangkan lain yang dialami pasien selama menjalani perawatan, baik dalam lapangan hukum pidana (tanggung jawab) maupun perdata (tanggung gugat). Dari penjelasan tersebut tampak bahwa istilah tanggung jawab termasuk dalam konteks hukum, baik pidana (responsible) maupun perdata (liable).
Di dalam Kode Etik Keperawatan, meskipun perawat telah memberikan asuhan keperawatan dengan baik, yang sesuai dengan standar profesi dan standar asuhan keperawatan, tetapi apabila pasien merasa tidak puas dan atau dirugikan atas pelayanan keperawatan yang diterimanya, perawat berdasar Kode Etik Keperawatan masih berkewajiban untuk menanggungnya. Wajib bagi perawat untuk memikul tanggung jawab karena Kode Etik Keperawatan menentukan demikian.
E.   Teori-Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan permasalahan yang sangat menarik. Berbagai teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh para ahli dari berbagai disiplin dan bidang ilmu pengetahuan. Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban penyelesaian yang memuaskan.
Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif maupun dengan pendekatan kausal, sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakukan penyelidikan sebab musabab kejahatan, karena sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor penyebab pembawa risiko yang lebih besar atau lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu maupun secara berkelompok.
Sebagaimana telah di kemukakan, kejahatan merupakan problem bagi manusia karena meskipun telah ditetapkan sanksi yang berat kejahatan masih saja terjadi. Hal ini merupakan permasalahan yang belum dapat dipecahkan sampai sekarang.
Separovic (Weda, 1996:76) mengemukakan, bahwa :
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keteransingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu.

Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor berusaha menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran itu, berkembanglah aliran atau mazhab-mazhab dalam kriminologi. Sebenarnya menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pandangan ini kemudian ditinggalkan dan muncullah beberapa aliran, yaitu aliran, yaitu aliran klasik, kartografi, tipologi dan aliran sosiologi berusaha untuk menerangkan sebab-sebab kejahatan secara teoritis ilmiah.
Aliran klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar luaskan ke Eropa dan Amerika. Dengan aliran ini adalah psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Perbuatan berdasarkan pertimbangan untuk memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu penderitaan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih banyak mendatangkan kesenangan dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan, walaupun dengan pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan.
Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang mengemukakan bahwa setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Sementara itu Bentham (Weda, 1996:15) menyebutkan bahwa the act which i think will give me mosi plesseru. Dengan demikian, pidana yang berat sekalipun telah diperhitungkan sebagai kesenangan yang akan diperoleh.
Aliran kedua adalah kartographik para tokoh aliran ini antara lain Quetet dan Querry. Aliran ini dikembangkan di Prancis dan menyebar ke inggris dan Jerman. Aliran ini memperhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah tertentu berdasarkan faktor geografik dan sosial. Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi sosial yang ada.
Aliran ketiga adalah sosialis yang bertolak dari ajaran Marx dan Engels, yang berkembang pada tahun 1850 dan berdasarkan pada determinisme ekonomi (Bawengan, 1974:32). Menurut para tokoh aliran ini, kejahatan timbul disebabkan adanya sistem ekonomi kapitalis yang diwarnai dengan penindasan terhadap buruh, sehingga menciptakan faktor-faktor yang mendorong berbagai penyimpangan.
Aliran keempat adalah tipologik. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam aliran ini yaitu Lambrossin. Mental tester, dari psikiatrik yang mempunyai kesamaan pemikiran dan mitologi, mereka mempunyai asumsi bahwa beda antara penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu pada kepribadian yang mengakibatkan seseorang tertentu berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi kecenderungan berbuat kejahatan mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dari sifat-sifat kepribadian dan keadaan sosial maupun proses-proses lain yang menyebabkan adanya potensi-potensi pada orang tersebut (Dirjosisworo, 1994:32).
Ketiga kelompok tipologi ini berbeda satu dengan yang lainnya dalam penentuan ciri khas yang membedakan penjahat dan bukan penjahat. Menurut Lambroso kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu dikatakan bahwa “criminal is born not made” (Bawengan, 1974).
Ada beberapa proposisi yang di kemukakan oleh Lambroso, yaitu : (1) penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe yang berbeda-beda, (2) tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut panjang yang jarang dan tahan terhadap rasa sakit tanda ada bersamaan jenis tipe penjahat, tiga sampai lima diragukan dan di bawah tiga mungkin bukan penjahat, (3) tanda-tanda lahirilah ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal.
Ciri-ciri ini merupakan pembaharuan sejak lahir, (4) karena adanya kepribadian ini, maka tidak dapat menghindar dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan, dan (5) penjahat-penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan oleh tanda tertentu.
Setelah menghilangnya aliran Lambroso, muncullah aliran mental tester. Aliran ini dalam metodologinya menggunakan tes mental. Menurut Goddart (Weda, 1996:18), setiap penjahat adalah orang yang feeble mindedness (orang yang otaknya lemah). Orang yang seperti ini tidak dapat pula menilai akibat perbuatannya tersebut. Kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir serta penyebab orang melakukan kejahatan.
Kelompok lain dari aliran tipologi adalah psikiatrik. Aliran ini lebih menekankan pada unsur psikologi, yaitu pada gangguan emosional. Gangguan emosional diperoleh dalam interaksi sosial oleh karena itu pokok ajaran ini lebih mengacu organisasi tertentu daripada kepribadian seseorang yang berkembang jauh dan terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat tetap akan menghasilkan kelakuan jahat, tanpa mengingat situasi-situasi sosial.
Aliran sosiologis menganalisis sebab-sebab kejahatan dengan memberikan interpretasi, bahwa kejahatan sebagai “a function of environment”. Tema sentral aliran ini adalah “that criminal behaviour results from the same processes as other social behaviour”. Bahwa proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku yang baik. Salah seorang tokoh aliran ini adalah Sutherland. Ia mengemukakan bahwa perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial. Semua tingkah laku sosial dipelajari dengan berbagai cara.
Munculnya teori Asosiasi diferensial oleh Sutherland ini didasarkan pada sembilan proposisi (Atmasasmita, 1995:14-15) yaitu :
a)    Tingkah laku kriminal dipelajari
b)    Tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunitas.
c)    Bagian yang terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang intim/ dekat.
d)    Ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap.
e)    Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak
f)     Seseorang menjadi delikuen karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum.
g)    Asosiasi diferensial itu mungkin bervariasi tergantung dari frekuensinya, durasinya, prioritasnya dan intensitasnya.
h)   Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan arti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain.
i)     Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.
Pada awal 1960-an muncullah perspektif label. Perspektif ini memiliki perbedaan orientasi tentang kejahatan dengan teori-teori lainnya. Perspektif label diartikan dari segi pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya (Dirdjosisworo, 1994:125).
Menurut Tannenbaum (Atmasasmita 1995:38) kejahatan tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kekurang mampuan seseorang tetapi dalam kenyataannya, ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
Lemert (Purnianti, 1994:123) menunjukkan adanya hubungan pertalian antara proses stigmatisasi, penyimpangan sekunder dan konsekuensi kehidupan karir pelaku penyimpangan atau kejahatan. Yang diberi label sebagai orang yang radikal atau terganggu secara emosional berpengaruh terhadap bentuk konsep diri individu dan penampilan perannya.
Pendekatan lain yang menjelaskan sebab-sebab kejahatan adalah pendekatan sobural, yaitu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktur yang merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam setiap masyarakat (Sahetapy, 1992:37). Aspek budaya dan faktor struktural merupakan dua elemen yang saling berpengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, kedua elemen tersebut bersifat dinamis sesuai dengan dinamisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti, kedua elemen tersebut tidak dapat dihindari dari adanya pengaruh luar seperti ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya. Kedua elemen yang saling mempengaruhi nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dengan demikian, maka nilai-nilai sosial pun akan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan aspek budaya dan faktor struktural dalam masyarakat yang bersangkutan.                
F.    Upaya Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut.

Menurut Hoefnagels (Arif, 1991:2) upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara :
a)    Criminal application : (penerapan hukum pidana)
Contohnya : penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya.

b)    Preventif without punishment : (pencegahan tanpa pidana)
Contohnya : dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan prevensi (pencegahan) kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat.

c)    Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media).
Contohnya : mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.

Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Kaiser (Darmawan, 1994:4) memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.
Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat (Sudarto, 1981:114).
Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi (Arief, 1991:4), ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar.
Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka. Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.     















BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Pada penyusunan skripsi ini penulis melakukan penelitian di Rumah Sakit Lagailgo Kab. Luwu Timur. Untuk menambah bahan dan data tentang Malpraktik, penulis melakukan penelitian pustaka dengan mempelajari buku-buku, tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan, serta sumber-sumber lainnya yang terkait dengan tindakan Malpraktik yang dibahas oleh penulis.

B.   Jenis dan Sumber Data
1.  Jenis data
          Jenis data yang diperoleh ada dua macam:
1.    Data primer berupa data yang diperoleh penulis melaului wawancara dengan perawat pada Rumah Sakit Lagaligo Kab. Luwu Timur, dan penelitian secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah Malpraktik yang penulis bahas dalam skripsi ini.
2.    Data sekunder berupa data yang diperoleh penulis dari bahan   dokumentasi dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

2.  Sumber data
          Sumber data yang diperoleh penulis bersumber dari:
1.    Penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung dengan melakukan wawancara terhadap pihak yang terkait dengan tindakan Malpraktik yang pernah terjadi di Rumah Sakit Lagaligo Kab. Luwu Timur.
2.    Penelitian kepustakaan yaitu penelitian pustaka yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku, tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan, serta sumber-sumber lainnya yang terkait dengan tindakan Malpraktik yang dibahas oleh penulis.
C.   Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian baik penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan sebagai berikut:
1.   Teknik wawancara yaitu pengumpulan data secara langsung melalui tanya jawab yang dilakukan dengan wawancara terhadap perawat pada Rumah Sakit Lagaligo kab. Luwu Timur.
2.   Teknik dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen, dan catatan-catatan yang terdapat di Rumah Sakit Lagaligo Kab. Luwu Timur.
D.   Analisis Data
Dari data primer dan data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian akan dideskriptifkan mengenai permasalahan Malpraktik yang diangkat dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai tindakan Malpraktik.          















BAB IV
PEMBAHASAN
A.   Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktik medik yang dilakukan  perawat.
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatarbeklakanginya, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk emncapai kebutuhan dasar tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spritual), mulai dari tingkat individu utuh mencakup seluruh siklius kehidupan sampai pada tingkatan masyarakat.
Perawat dihadapkan pada suatu situasi untuk mengidentifikasi sejauh mana kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi dan berbagai upaya untuk membantu klien dalam emmenuhi kebutuhan dasar. Hal ini dilakukan dalam proses interaksi perawat dengan kliennya. Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah makhluk hidup yang samapai saat ini belum semua aspeknya terungkap melalui ilmu pengetahuan, hal ini bberarti bahwa perawat senantiasa dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.
Sebagaimana dikemukakan bahwa keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan atas ilmu dan kiat keperawatan. Hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan. Tenaga keperawatan yang profesional ditandai dengan pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan diteliti, serta pelayanan/asuhan pada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi (Julianus:2003,28). Pelayanan keperawatan yang tidak profesional akan sangat memungkinkan seorang perawat melakukan kesalahan pada pasiennya sehingga berujung pada Malpraktik.
Berbicara mengenai malpraktik yang dilakukan oleh perawat, hal mendasar yang perlu dipahami adalah bahwa segala kejahatan yang terjadi baik itu malpraktik, maupun kejahatan-kejahatan lainnya merupakan sesuatu yang terjadi bukan tanpa sebab. Mengutip pendapat Separovic (Weda, 1996:76) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Pertama, faktor personal dan faktor psikologis, faktor biologis yang meliputi umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain, sementara faktor psikologis dalam hal ini adalah agretivitas, kecerobohan dan keterasingan. Kedua, faktor situasional seperti situasi konflik, temapt dan waktu.
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Caffee (1991) dalam Vestal, K,W, (1995) mengidentifikasi 3 (tiga) area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu meliputi tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (Planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut;
1.    Assessment Errors, yaitu kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan.
2.    Planning Errors, terbagi atas beberapa hal yaitu:
a.    Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalain menuliskan dalam rencana keperawatan.
b.    Kegagalan mengkomuniksasikansecara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak dipahami perawat lain dengan pasti.
c.    Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
d.    Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
3.    Intervention errors, yaitu kegagalan menginterpretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter. Termasuk kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca/pesan/order, mengidentifikasi pasien belum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat dan terapi pembatasan (restrictivetherapy). Dari seluruh kegiatan ini, yang paling berbahaya adalah pemberian obat secara tidak tepat. Oleh karena itu, harus ada komunikasi yang baik antara anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.

Sebelum kita membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perawat sehingga melakukan malpraktik, tentunya terlebih dahulu perlu diketahui apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban seorang perawat. Hak dan kewajiban perawat telah diatur secara limitatif dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Hak dan kewajiban perawat tersebut meliputi:

a.    Hak perawat adalah:
1.    Memperoleh perlindungan hukum yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi;
2.    Mendapat jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya;
3.    Mendapat perlakuan adil dan jujur oleh pimpinan sarana kesehatan, klien/pasien, dan atau keluarganya;
4.    Menerima imbalan jasa pelayanan keperawatan;
5.    Mendapat hak cuti dan hak kepegawaian;
6.    Memperoleh kesempatan mengembangkan diri melalui pendidikan formal dan informal;
7.    Menjaga privasi profesional sebagai perawat;
8.    Mendapat pelayanan pemeriksanaan secara rutin;
9.    Menuntut jika nama baiknya dicemarkan oleh klien/pasien atau tenaga kesehatan lainnya;
10. Menolak pihak lain yang memberi anjuran atau permintaan tertulis untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, standar profesi, dan kode etik profesi;
11. Mendapat informasi yang benar dan jujur dari klien;
12. Dilibatkan secara aktif dalam penyusunan kebijakan kesehatan di sarana kesehatan;dan
13. Memperoleh kesempatan dalam pengembangan karir sesuai bidang profesi di sarana kesehatan.
b.    Kewajiban perawat adalah:
1.         Perawat wajib memiliki Surat Ijin Perawat (SIP), Surat Ijin Kerja (SIK), dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP);
2.         Perawat wajib menghormati hak pasien;
3.         Perawat wajib merujuk pada kasus yang tidak dapat ditangani;
4.         Menyimpan rahasia klien;
5.         Memberikan informasi kepada klien sesuai batas kewenangannya;
6.         Meminta persetujuan setiap tindakan keperawatan;
7.         Mencatat/mendokumentasikan semua tindakan keperawatan;
8.         Mematuhi standar profesi dan kode etik keperawatan;
9.         Meningkatkan pengetahuan;
10.      Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa pasien/klien;
11.      Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan;
12.      Menaati semua peraturan perundang-undangan;
13.      Mengumpulkan angka kredit profesi;dan
14.      Menjaga hubungan kerja dengan sesama perawat dan tenaga kesehatan lainnya.
Adapaun yang menjadi hak-hak pasien adalah :
a.    Wanita hamil
      Wanita hamil termasuk dalam kategori kelompok khusus karena pada saat wanita mengalami kehamilan terjadi berbagai perubahan fisik maupun psikologis. Adapun yang menjadi hak-hak wanita hamil adalah sebagai berikut:
1.    Memperoleh informasi tentang obat yang diberikan kepadanya dan pelaksanaan prosedur oleh petugas kesehatan yang merawatnya, terutama yang berkaitan dengan efek-efek yang mungkin terjadi secara langsung maupun tidak langsung, risiko bahaya yang mungkin terjadi pada diri atau bayinya selama masa kehamilan, melahirkan dan lataksi.
2.    Mendapatkan informasi tentang hal-hal yang menyangkut persiapan kelahiran dan cara-cara mengatasi ketidaknyamanan dan stres serta informasi sedini mungkin tentang kehamilan.
3.    Berhak untuk mendapatkan informasi tentang obat-obatan yang diberikan kepadanya secara langsung maupun tidak langsung terhadap bayi yang dikandungnya.
4.    Wanita hamil yang akan di operasi sesar,  sebaiknya diberikan premedikasi sebelum operasi dilaksanakan.
5.    Memperoleh informasi tentang pengaruh terhadap fisik, mental maupun neurologis terhadap pertumbuhan bayinya.
6.    Mengetahui nama obat dan nama pabriknya, bila diperlukan sehingga dapat memberikan keterangan kepada petugas kesehatan yang profesional bila terjadi reaksi pada obat tersebut.
7.    Membuat keputusan tentang diterima atau ditolaknya suatu terapi yang dianjurkan setelah mengetahui kemungkinan risiko yang akan terjadi pada dirinya tanpa ada tekanan dari pihak lain.
8.    Mengetahui nama dan kualifikasi orang yang memberikan obat atau melakukan prosedur selama melahirkan.
9.    Memperoleh informasi tentang keuntungan suatu prosedur bagi bayi dan dirinya sesuai indikasi medis.
10. Didampingi oleh orang yang merawatnya selama dalam keadaan stres kehamilan.
11. Memilih posisi melahirkan yang tidak menimbulkan stres bagi bagi diri sendiri maupun bayinya.
12. Meminta agar perawatan bayinya dilakukan satu kamar dengannya bila bayinya normal.
13. Mendapatkan informasi tentang orang yang menolong persalinannya serta kualifikasi profesionalnya untuk kepentingan surat keterangan kelahiran.
14. Mendapatkan informasi tentang kondisi diri sendiri dan bayinya yang dapat menimbulkan masalah atau penyakit dikemudian hari.
15. Mendapatkan dokumen lengkap tentang diri dan bayinya termasuk catatan perawat yang disimpan dalam kurun waktu tertentu.
16. Menggunakan dokumen medis lengkap, termasuk catatan perawat dan bukti pembayaran selama dirawat dirumah sakit.
b.    Pasien Lanjut Usia
      Yang termasuk kelompok lansia adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun, pada umumnya tidak dapat melakukan kegiatan dan minatnya sebagaimana mestinya karena telah mengalami perubahan-perubahan psikologis. Hal ini dapat mengakibatkan lansia menyadari kehilangan kemampuannya, merasa makintergantung pada orang lain, sulit menerima kenyataan. Namun demikian ada juga lansia yang sudah mempersiapkan dirinya secara mental dengan menekuni hobi sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi. Kemunduran yang terjadi pada lansia terdapat pada:
1.    Fungsi panca indra yang menurun;
2.    Keterampilan motorik berkurang;
3.    Keterampilan intelektual yang sebenarnya mungkin dapat dipertahankan lebih lama.
     Karena proses kemunduran tersebut di atas, sebagian besar lansia mengalami perubahan-perubahan kepribadian seperti:
1.    Kurang sabar dalam menghadapi sesuatu;
2.    Cepat marah dan tersinggung;
3.    Keras kepala dalam mempertahankan kemauannya;
4.    Tidak mau mengikuti apa yang harus dilakukannya, walaupun demi kepentingan dirinya sendiri;
5.    Tetap merasa tidak tergantung secara mental kepada orang lain;
6.    Mudah tersinggung dan sedih apabila dianggap menjadi beban orang lain, misalnya pada waktu muda dulu, ia merupakan orang penting dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang besar;dan
7.    Merasa kesepian dan taerkadang menderita gangguan mental. Hal ini dapat trerlihat ketika lansia tidaka koperatif dan susah diajak berkomunikasi.
     Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka perawat perlu mengetahui hak-hak mereka, yaitu sebagai berikut:
1.    Hak untuk diperlukan sebagai manusia yang mempunyai harga diri dan martabat;
2.    Hak menikmati kehidupan pada masa tua tanpa adanya tekanan;
3.    Hak mendapatkan perlindungan dari keluarga dan instansi berwenang;
4.    Hak mendapatkan perawatan dan pengobatan yang optimal;
5.    Hak untuk tinggal di lingkungan keuarga atau panti bila ia menginginkannya;
6.    Hak memperoleh pendidikan yang dibutuhkannya untuk menghabiskan sisa hidupnya, misalnya pendidikan agama;
7.    Hak untuk berekreasi dan mengatur hobinya, bia ia mengkhendaki;
8.    Hak untuk dihargai dan menghargai dirinya dan orang lain; dan
9.    Hak menerima kasih sayang dan anak, keluarga dan masyarakat.
            Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perawat melakukan malpraktik, penulis melakukan wawancara dengan beberapa perawat pada Rumah Sakit Lagaligo. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2010 dengan Niriawati, perawat tersebut mengatakan bahwa:
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perawat sehingga melakukan malpraktik, diantaranya adalah tingkat pengetahuan perawat yang masih sangat minim sehingga dalam mengambil tindakan atau menangani pasien perawat harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu, dan akan memakan waktu yang lama. Sehingga pasien yang membutuhkan tindakan segera/cepat harus menunggu terlebih dahulu, apalagi jika kamar tempat pasien dirawat berjauhan dengan ruangan dokter. Hal ini dapat berdampak pada kondisi pasien, bahkan dapat menyebabkan kematian, jika perawat mengambil tindakan karena menganggap pasien harus segera ditolong, sementara tindakan yang diambil oleh perawat itu ternyata salah. Yang menyebabkan hal ini terjadi dikarenakan pada saat menjalani pendidikan keperawatan, seorang calon perawat jarang diberikan pengalaman praktik. Sehingga ketika sudah menjadi perawat mereka baru menemukan hal2 yang seperti ini.

Kemudian dalam waktu yang sama penulis juga melakukan wawancara dengan Dokter Nasrun selaku Dokter Umum pada Rumah sakit Lagaligo. Beliau menyatakan bahwa:
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik, diantaranya adalah salah melakukan perencanaan terhadap perawatan pasien. Kejadian ini adalah hal yang sangat sering terjadi dalam proses perawatan pasien. Kesalahan dalam mendiagnosa pasien sehingga obat yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. Hal yang juga sering terjadi adalah kurangnya tenaga perawat sehingga untuk melakukan kontrol terhadap kondisi pasien terkadang tidak tepat pada waktunya. Kemudian juga dalam hal pemberian makanan, perawat juga terkadang tidak tepat pada waktunya. Sehingga akan menggangu perencanaan kesembuhan pasien.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa hal-hal  yang mempengaruhi perawat sehingga melakukan malpraktik adalah;
1.    Kurangnya tingkat pengetahuan perawat;
2.    Kurannya mendapatkan pengalaman praktik pada saat menjalani pendidikan keperawatan;
3.    Kurangnya komunikasi antara perawat dengan dokter.
         Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa perawat dan juga dokter pada Rumah Sakit Lagaligo, tidak ada satupun yang mengatakan bahwa dirumah sakit tersebut pernah terjadi kasus malpraktik. Namun demikian, pada tanggal 10 September 2010 penulis mencoba melakukan kuesioner pada beberapa pasien yang ada pada ruangan D. Matano Rumah Sakit Lagaligo dengan mempertanyakan apakah hak-hak mereka telah terpenuhi, dan penulis menemukan :

HAK PASIEN WANITA HAMIL
YA
TIDAK
1.    Memperoleh informasi tentang obat yang diberikan kepadanya.


3

7
2.    Mendapatkan informasi tentang hal-hal yang menyangkut persiapan kelahiran.

9


1

3.    Berhak untuk mendapatkan informasi tentang obat-obatan yang diberikan kepadanya secara langsung maupun tidak langsung terhadap bayi yang dikandungnya.

3



7


4.    Wanita hamil yang akan di operasi sesar,  sebaiknya diberikan premedikasi sebelum operasi dilaksanakan.

-

-

5.    Memperoleh informasi tentang pengaruh terhadap fisik, mental maupun neurologis terhadap pertumbuhan bayinya.

10

-

6.    Mengetahui nama obat dan nama pabriknya, bila diperlukan sehingga dapat memberikan keterangan kepada petugas kesehatan yang profesional bila terjadi reaksi pada obat tersebut.



0



10

7.    Mengetahui nama dan kualifikasi orang yang memberikan obat atau melakukan prosedur selama melahirkan.


3


7

8.    Memperoleh informasi tentang keuntungan suatu prosedur bagi bayi dan dirinya sesuai indikasi medis.


10


-

9.    Didampingi oleh orang yang merawatnya selama dalam keadaan stres kehamilan.


10

-
10. Memilih posisi melahirkan yang tidak menimbulkan stres bagi bagi diri sendiri maupun bayinya.

10


-

11. Meminta agar perawatan bayinya dilakukan satu kamar dengannya bila bayinya normal.

10


-

12. Mendapatkan informasi tentang kondisi diri sendiri dan bayinya yang dapat menimbulkan masalah atau penyakit dikemudian hari.


10



-

Apa yang ditemukan oleh penulis dari kuesioner diatas, dapat di  simpulkan bahwa di rumah sakit Lagaligo masih terjadi hal-hal yang penulis kategorikan sebagai tindakan malpraktik. Jika di cermati, hak-hak pasien yang tidak terpenuhi di atas pada umumnya adalah hal-hal yang bersifat sepeleh, namun demikian hal ini akan berdampak besar, mengingat kegiatan yang dilakukan oleh perawat merupakan tindakan yang menyangkut nyawa seseorang.
B.   Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Mencegah Terjadinya Malpraktik Medik Oleh Perawat.
Vestal , K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik. Pedoman-pedoman itu adalah sebagai berikut;
1.    Memberikan kasih sayang kepada pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.
2.    Menggunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakannya dengan benar.
3.    Utamakan kepentingan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan dengan tim keperawatan guna memberikan amsukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4.    Tanyakan saran/pesan yang diberikan oleh dokter jika perintah tidak jelas, mengenai tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan pada kondisi kesehatan pasien.
5.    Tingkatkan pengetahuan perawat secara terus menerus, sehingga pengetahuan dan kemampuan perawat yang dimiliki senantiasa up-to-date.
6.    Jangan melakukan tindakan yang belum dikuasai oleh perawat.
7.    Laksanakan asuhan keperawatan berdasarkan model proses keperawatan. Hindari kekurang hati-hatian dalam memebrikan asuhan keperawatan,
8.    Mencatat rencana keperawatan dan respons pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakan secara jelas dan lengkap. Catat sesegera mungkin fakta yang di observasi secara jelas.
9.    Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya, biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
10. Pelimpahan tugas secara bijaksana dan mengetahui lingkup tugas masing-masing. Perawat disarankan tidak menerima atau meminta orang lain menerima tanggung jawab yang tidak dapat ditanganinya.
Apa yang disampaikan oleh vestal di atas, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dokter Nasrun selaku Dokter Umum pada Rumah sakit Lagaligo. Beliau menyatakan bahwa:
Ada banyak hal yang dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam upaya menanggulangi terjadinya malpraktik. Pertama, pihak rumah sakit merancang kamar pasien yang diduga dapat mengalami perubahan kesehatan secara tiba-tiba agar di letakkan dekat dengan ruangan dokter, sehingga dalam upaya pelayanan perawat dapat lebih berkomunikasi dengan dokter dalam mengambil tindakan. Kedua, meningkatkan pengetahuan perawat, agar perawat tidak salah dalam mendiagnosa pasien. Ketiga, mengintropeksi ulang rencana perawatan pasien yang akan dilakukan oleh perawat. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah perencanaan keperawatan sudah berjalan dengan baik atau belum.

Apa yang disampaikan oleh dokter Nasrun di atas merupakan rangkaian usaha Pihak Rumah Sakit lagaligo dalam upaya melakukan pencegahan terhadap terjadinya malpraktik yang dilakukan oleh perawat. Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa upaya yang harus dilakukan untuk menaggulangi terjadinya malpraktik adalah sebagai berikut:
a.    Perawat harus melakukan komunikasi intensif kepada dokter, dalam hal memberikan tindakan medis kepada pasien.
b.    Tidak mengambil tindakan medis mengenai hal-hal yang belum dikuasai oleh perawat sebelum berkonsultasi dengan dokter.
c.    Perawat harus meningkatkan pengetahuannya mengenai ilmu keperawatan agar dapat memberikan perawatan yang tepat kepada pasien.
d.    Memeriksa ulang hasil diagnosa pasien, agar tidak salah dalam pemberian obat, dan dapat merencakan perawatan pasien dengan tepat.






BAB V
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkah bahwa:
1.    Hal-hal yang mempengaruhi perawat sehingga melakukan malpraktik adalah:
a.    Kurangnya tingkat pengetahuan perawat;
b.    Kurannya mendapatkan pengalaman praktik pada saat menjalani pendidikan keperawatan; dan
c.    Kurangnya komunikasi antara perawat dengan dokter.

2.    Upaya-upaya yang dilakukan puhak Rumah Sakit dalam menanggulangi terjadinya malpraktik adalah:
a.    Perawat harus melakukan komunikasi intensif kepada dokter, dalam hal memberikan tindakan medis kepada pasien.
b.    Tidak mengambil tindakan medis mengenai hal-hal yang belum dikuasai oleh perawat sebelum berkonsultasi dengan dokter.
c.    Perawat harus meningkatkan pengetahuannya mengenai ilmu keperawatan agar dapat memberikan perawatan yang tepat kepada pasien.
d.    Memeriksa ulang hasil diagnosa pasien, agar tidak salah dalam pemberian obat, dan dapat merencakan perawatan pasien dengan tepat.
B.   Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut;
1.    Meningkatkan pengetahuan perawat mengenai bidang keilmuannya, baik pada saat menjalani proses pendidikan keperawatan, maupun pada saat telah menjadi perawat, agar tidak melakukan kesalahan pada saat memberikan pelayanan kepada pasien.
2.    Diharapkan perawat tidak melakukan tindakan medis kepada pasien, yang tidak diketahuinya dengan baik, serta tidak menerima tanggung jawab perencanaan perawatan pasien yang tidak dapat ditanganinya.



DAFTAR PUSTAKA
Ann, Helm. 2006. Malpraktik Keperawatan. Buku kedokteran EGC, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukun dan Kebijakan Penegakan Penanggulangan kejahatan. Jakarta : Kencana

Alam.A.S.1992.Bahan Kuliah Kriminologi.Fakultas Hukum Unhas,Ujung Pandang

Bentham, Jeremy. 2006. Teori Perundang-Undangan (Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Bandung : Nusa Media dan Nuansa

Bonger, A.W. 1981. Pengantar Tentang Kriminologi. Ghalia Indonesia,    Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Penanggulangan Kejahatan. Alumni. Bandung

--------------------- Soedjono. 1983. Sinopsis Kriminologi Indonesia. Bandung : CV.Mandar Maju

Effendi, Rusly. 1978. Asas-asas Hukum Pidana. LEPPEN – UMI. Ujung Pandang.

Ismani, Nila. 2000. Etika Keperawatan. Widya Medika. Jakarta


Julianus, 2003. Malpraktik Dalam Keperawatan. Buku kedokteran EGC, Jakarta.

Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja. PT Gravindo Persada, Jakarta

Mimin Emi Suhaeni. 2004. Etika Keperawatan, Aplikasi Pada Praktik. Buku kedokteran EGC, Jakarta.

Mulyana,W.Kusuma.1984.Kriminologi Dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung

Sahetapy, J.E dan D. Marjdjono Reksodiputro. 1989. Paradoks dalam Kriminologi. Rajawali Press. Jakarta.

Salam,Abd. 2007.Kriminologi.Restu Agung.Jakarta

Santoso, Topo dan Eva Achjani Ulfa. 2003. Kriminologi. Cetakan Ketiga. PT.Grafindo Persada. Jakarta.

Soesilo, R. 1977. Pokok-pokok hukum Pidana, Peraturan Umum, Dan Khusus. Politea. Bogor

--------------- 1985. “Kriminologi” (Pengantar tentang Sebab-sebab Kejahatan). Politea. Bandung..
Soekanto, Soerjono. 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat.  CV. Rajawali Jakart.

--------------- 1985. “Kriminologi” (Pengantar tentang Sebab-sebab Kejahatan). Politea. Bandung.

Tan Han Tjay, Kirana Rahardjo. 1986. Obat-Obat Penting, Nasehat Penggunaan dan Efek Sampingnya, Edisi IV TTP. 1986

Weda, Made Darma. 1996. “Kriminologi”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter