Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Proses Terjadinya Hak Gadai.



Secara umum dapat dikatakan bahwa hak gadai itu terjadi di dalam masyarakat karena di satu pihak kebutuhan uang sangat mendesak sehingga pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak lain yang memberikan uang padanya dengan perjanjian bahwa tanah itu akan kembali setelah ia mengembalikan uang dalam jumlah yang sama kepada pemegang gadai.   
Dalam perjanjian gadai menggadai tanah mengenai besarnya uang gadai tidak selamnya tergantung pada kesuburan tanahnya namun tergantung dari kebutuhan penggadai. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan harga yang rendah, begitu pula dengan tanah yang tingkat kesuburannya rendah digadaikan dengan uang gadai yang tinggi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebanyakan gadai itu diadakan dengan pertimbangan sangat merugikan penggadai dan menguntungkan pemegang gadai akan tetapi kadang-kadang pula dalam suatu perjanjian gadai yang diadakan justru pemegang gadai yang sangat dirugikan jika hal ini dibandingkan dengan uang gadai yang lepas, contohnya gadai terjadi pada tanah pertanian yang tingkat kesuburan tanahnya sangat rendah sehingga tidak dapat diambil hasilnya.
Dengan adanya penguasaan tanah yang luas oleh sebagian petani, maka akan membuka kemungkinan dilakukan usaha-usaha atau praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk, contohnya dengan jalan menggadai, membagi hasil dan lain-lain. pada umumnya orang yang menguasai tanah-tanah yang luas tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga tanah-tanah yang dikuasainya dibagi hasilnya kepada petani yang tidak mempunyai tanah atau tidak cukup tanahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya bahkan tidak jarang dalam hubungan gadai para petani yang pemilik tanah kemudian menjadi penggarap dengan jalan bagi hasil.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 hak gadai dimasukkan ke dalam hak-hak yang bersifat sementara yang diharapkan akan hapus dalam waktu tidak terlalu lama, namun dalam kenyataannya masih tetap berlaku hingga saat ini.
Menurut hukum adat bahwa dalam perjanjian gadai menggadai tanah biasanya dengan bantuan Kepala Desa atau Kepala Adat, kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat bagi sahnya proses gadai menggadai tersebut, melainkan dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan dan dengan demikian mengurangi risiko pemegang gadai jika dikemudikan hari ada sanggahan atau keberatan dari salah satu pihak.
Proses terjadinya gadai menggadai pada umumnya juga tidak dibuatkan akta atau bukti tertulis sehingga menimbulkan kesulitan bagi si pemberi gadai, jika waktu tanahnya akan ditebus pemegang gadai menolak dengan lasan bahwa yang mereka lakukan dan perjanjikan dahulu bukanlah gadai menggadai melainkan jual lepas terlebih lagi akan menimbulkan permasalahan lebih besar apabila pemegang gadai dan pemberi gadai sudah meninggal dunia dan hubungan gadainya kemudian dilanjutkan oleh para ahli waris masing-masing pihak.
Dalam praktek gadai menggadai tanah setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 120 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah yang mengharuskan pendaftar tanah bagi yang bermaksud memindahkan hak atas tanahnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 19 Peraturan tersebut yang tertulis sebagai berikut :
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan baru hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya harus dibuktikan dengan suatu uang yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut pejabat).

Perkembangan zaman yang terus mengalami kemajuan juga mengakibatkan banyaknya perubahan dan juga pencabutan terhadap suatu peraturan perudang-undangan termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tersebut yang digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran, Peralihan dan Pembebasan Hak, dalam Bab V Pasal 37 tertulis sebagai berikut :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan lainnya, kecuali pemindahan hak lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.   

Sesuai ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka setelah para pihak yang berkepentingan mengadakan perjanjian gadai di hadapan PPAT, maka para pihak diwajibkan mendaftarkan ke kantor Agraria untuk dibuat aktanya.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini bahwa gadai yang hanya dilakukan di hadapan Kepala Desa atau Kepala Adat dan tidak didaftar di kantor Pendaftaran Tanah tidak dijamin kepastian hukumnya, akan tetapi untuk menghapus adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak mudah terutama apabila disadari bahwa hukum adat itu adalah suatu ketentuan hukum asli dari masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter