Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana



Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan korporasi menyangkut masalah kemampuan bertanggung jawab korporasi, kesengajaan atau kealpaan korporasi, dan alasan pemaaf korporasi .
Kesalahan (schuld) berkaitan erat dengan kejahatan yang dilakukan oleh manusia alamiah. Hal tersebut dikarenakan seseorang dapat dipidana tidak cukup dengan melihat orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi juga harus ada syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan.
Kesalahan merupakan hal yang fundamental dalam pemidanaan. Orang yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atau orang tersebut mempunyai kesalahan. Sudarto (Setiyono, 2005 : 102) menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan terdiri dari:
1.    Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
2.    Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3.    Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Berbicara mengenai masalah pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi atau kesalahan (schuld) korporasi maka akan membahas persoalan, bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila korporasi yang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana? Berkaitan dengan hal tersebut Suprapto berpendapat bahwa korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat perlengkapannya. Dimana kesalahan itu bukan bersifat individual tetapi kolektif karena korporasi menerima keuntungan. Sementara itu Van Bemmelen dan Remmelink berpendapat bahwa korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi kesalahan pengurus atau anggota direksi. Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mempertanggungjawabkan korporasi, asas tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen starf zondel schuld)  tetap tidak ditinggalkan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 84).
Sementara itu Roeslan Saleh berbeda pendapat dengan hal tersebut, beliau berpandangan dualistis. Artinya membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya. Roeslan Saleh berpendapat asas geen starf zondel schuld tidak mutlak berlaku, yaitu untuk mempertanggungjawaban korporasi tidak selalu memperhatikan kesalahan pembuat, akan tetapi cukup berdasar pada adagium res ipsa loquitoir yaitu fakta sudah berbicara sendiri (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 87).
Sementara itu Muladi dan Dwidja Priyatno (1991 : 87) meyatakan bahwa :
…dalam masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggung jawaban pidana asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium res ipsa loquitoir, fakta sudah berbicara.
Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro (Dwidja Priyanto, 2004 : 53), yaitu :
1.    Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
2.    Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
3.    Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 58), terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah :
1.    Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2.    Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
3.    Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
4.    Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah :
1.    Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.
2.    Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.
3.    Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.

Sementara itu ada dua ajaran pokok yang secara umum menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah:
  1. Doctrine of Strict Liability (Pertanggungjawaban Mutlak)
E. Sefullah Wiradipraja (Dwidja Priyatno, 2004 : 107-108) tentang masalah prinsip strict Liabillity menyatakan bahwa:
Prinsip tanggungjawab (liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya unsur kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.
Dianutnya strict Liabillity dalam hukum pidana didasarkan pada tiga premis, ketiga premis tersebut menurut L.B. Curzon (Hamzah Hatrik, 1996 : 13-14) adalah sebagai berikut :
1.       Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;
2.       Pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat;
3.       Tingginga tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.

Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (1991 : 88), doktrin “strict liability” (pertanggungjawaban yang ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (Mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Sedangkan mens rea menurut Roeslan Saleh (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 : 88)  “kata ini diambil dari suatu maxim yang berbunyi : Actus non est reus nisi mens sit rea, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah.”
Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan pihak yang melanggar suatu peraturan dikenal dalam ajaran tindak-tanduk yang nyata-nyata meresahkan masyarakat. Dalam hal ini Hooge Raad (Mahkamah Agung Belanda) berpendapat (Andi Abu Ayyub Saleh, tanpa tahun (7) : 8) :
Adalah sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana tanpa karena telah melakukan suatu pelanggaran, apabila orang tersebut secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.

Sementara itu, senada dengan hal tersebut di atas, Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 78) mengemukakan doctrine of strict liability, sebagai berikut :
Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelaku. Oleh karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan.

  1. Doctrine of Vicarious Liability (Pertanggungjawaban Pengganti)
Dalam membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi juga dikenal sistem pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liability is one person, though without personal fault, is more liable for the conduct of another).
Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief (Dwidja Priyanto, 2004 : 101), diartikan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.
Dari pendapat tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa doktrin vicarious liabilility, pertanggungjawaban pidana  seseorang dapat dibebankan kepada orang lain atas perbuatan dan kesalahan orang lain tersebut. Pertanggungjawaban seperti ini hampir semua dapat kita temukan pada delik pelanggaran terhadap undang-undang, dan maksud dari pembuat undang-undang tersebut (sebagaimana dapat kita baca dari ketentuan di dalamnya) bahwa delik ini dapat dilakukan baik secara vicarious maupun secara langsung, atau dengan kata lain, tidak semua delik  dapat dilakukan secara vicarious. Menurut doktrin ini, majikan atau employer adalah penaggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawannya yang telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya.
Menurut Boisvert, penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat diketahui dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya (Sutan Remy Sjahdeini, 2006 : 87)

3 komentar:

  1. terima kasih pencerahannya Mas

    ijin copy ya Mas

    BalasHapus
  2. permisi, ada referensi buku ttg subordinasi pidana militer ? kalau ada judul nya apa dan penulisnya siapa ? terimakasih

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter