Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Perjanjian Menurut Hukum Adat Terhadap Tanah Akkinanreang



               Seperti yang disebutkan pada bagian dari judul bab ini maka akan diuraikan beberapa batasan berkaitan dengan penggunaan yang menjadi tema pokok skripsi ini, yakni perjanjian bagi hasil terhadap tanah Akkinanreang. Hal ini pertama-tama dikemukakan mengingat pentingnya pemahaman penggunaan istilah dalam pembahasan selanjutnya yang dengan sendirinya diharapkan akan berguna untuk memberi kejelasan masalah dan kejernihan tujuan suatu masalah.

Menurut H. Ahmad Manggau ( 1985 : 1 ) bahwa :
“Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian antara pemilik tanah dan penggarap, dengan mana penggarap diperkenakan usaha pertanian di atas tanah pemilik dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.

                        Sedangkan menurut Ter Haar ( 2001 : 102 ) sebagai berikut :
“Saja ada sebidang tanah tapi ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya sebahagian hasil panennya”.

Selanjutnya Van Dijk ( 1982 : 69 ) mengemukakan sebagai berikut :
“Pertalian belah pinang adalah suatu perjanjian dalam si pemilik tanah mengizinkan orang lain mengerjakan, menanami, dan memetik hasilnya menurut perbandingan yang telah ditentukan sebelumnya itu”.

Menurut K. Wantijk Saleh ( 1982 : 51 ) melihat dari sudut hak yang timbul dari akibat perjanjian itu menyebutnya :
“Bahwa hak bagi hasil adalah hak seseorang untuk mengusahakan pertanian di atas hak tanah milik orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian”.

Dari beberapa uraian yang  memberi batasan tentang pengertian perjanjian dalam kaitannya dengan hukum adat seperti dikemukakan di atas, maka jelaslah bahwa kesepakatan yang dikaitkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama merupakan unsur yang sifatnya mendasar atau esensial dari suatu perjanjian.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya suatu perjanjian bagi hasil di daerah tertentu berbeda dengan daerah lain. Perbedaan itu terutama terletak pada kenyataan akan adanya perbedaan dalam isi perjanjian yang menyangkut perjanjian pembagian riil antara para pihak. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena kondisi geografis dan populasi petani serta tatanan sistem adat yang berbeda pada suatu daerah.
Ada banyak istilah yang dipakai untuk mengartikan perjanjian bagi hasil di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini mengikat bagi pihak yang membuatnya.
Bila diadakan perbandingan antara sistem perjanjian menurut hukum adat dan sistem perjanjian menurut hukum barat, maka akan ditemukan beberapa hal yang berbeda diantara keduanya, adalah :
1.    Titik tolak pada dasar kejiwaan. Pada hukum adat bertitik tolak pada dasar kejiwaan, kekeluargaan, kerukunan dan bersifat tolong-menolong, sedangkan pada hukum barat bertitik tolak pada dasar kepentingan individu dan kebendaan.
2.    Perjanjian pada hukum barat menerbitkan perikatan dengan cukup adanya kata sepakat, sedangkan pada hukum adat selain kata sepakat maka lazimnya disertai dengan tanda ikatan, sesuai dengan sifat hukum adat yang nyata ( konkrit )
3.    Perjanjian pada hukum barat hanya menyangkut dalam ruang lingkup harta kekayaan, sedangkan pada hukum adat selain hukum harta kekayaan juga menyangkut yang tidak bersifat kebendaan.
Ada banyak istilah yang dipakai untuk pengertian perjanjian bagi hasil di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini banyak disesuaikan dengan peristilahan adat daerah setempat di Indonesia yang tentu saja erat kaitannya dengan tata aturan atau tradisi hukum adat di daerah yang bersangkutan.
Sedangkan dalam perjanjian bagi hasil menurut kebiasaan dalam praktek yang terjadi di Kabupaten Sinjai, oleh masyarakat setempat dinamakan dengan nama Akkinanreang.
Istilah  Akkinanreang secara etimologi dan terjemahannya kurang begitu jelas, namun menurut kisahnya bahwa istilah tersebut dipakai secara turun temurun, dalam hal perjanjian sebidang tanah, dengan objek tanah kering (kebun) ataukah tanah basah (sawah).
Perjanjian tanah Akkinanreang menurut kebiasaan yang terjadi di Kabupaten Sinjai adalah suatu perjanjian yang dilakukan secara lisan, yang pelaksanaannya berdasarkan kebiasaan antara pihak yang mengadakan suatu perjanjian.
Selanjutnya pada umumnya kategori orang melakukan suatu perjanjian semestinya memenuhi persyaratan yang diatur secara tertentu. Syarat-syarat ini biasa diterapkan secara umum dan senantiasa dikenal dalam melakukan suatu perbuatan perjanjian, yakni pada subjek perjanjian hendaknya dapat dinilai mampu melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, artinya manusia yang sehat pikirannya dan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban masyarakat.
Dalam hubungan dengan semua pemaparan dan pengertian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam perjanjian bagi hasil pun semestinya para pihak yang mengambil peranan atau bagian dalam melakukan perjanjian hendaknya senantiasa memenuhi syarat bagaimana yang dituntut oleh aturan hukum maupun kebiasaan menurut hukum adat. Khususnya dilokasi penelitian yang penulis jadikan acuan perbandingan, yaitu daerah Kabupaten Sinjai. Pada umumnya setiap perjanjian memang dilakukan oleh para pihak yang telah memenuhi syarat yaitu orang dewasa, cakap bertindak  menurut hukum dan sehat akal pikiranya.
Setelah penulis menguraikan secukupnya tentang beberapa hal yang menyangkut perjanjian bagi hasil dalam kaitannya dengan hukum adat, maka selanjutnya akan disinggung mengenai karateristik atau ciri-ciri perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, di mana hukum adat mengenal adanya perjanjian bagi hasil. Ciri-ciri nya dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
a.    Tidak dilakukan secara tertulis. Pada umumnya perjanjian bagi hasil ini dilakukan dengan lisan dan tanpa mengenal semacam akta perjanjian.
b.    Penyaksian atau pengesahan maupun bantuan dari Kepala Desa atau Kepala Persekutuan adat tidak diperlukan. Hal ini berlainan dengan teransaksi tanah seperti jual lepas, jual gadai yang di mana bantuan Kepala Desa amat dibutuhkan. Oleh karena diketahui bahwa transaksi bagi hasil adalah transaksi yang berhubungan dengan tanah, maka tidaklah terjadi penyerahan tanah dalam arti peralihan kepemilikan tanah, sehinggah bantuan Kepala Desa/ Kepala Persekutuan tidaklah diperlukan.
c.    Hak ulayat tidak menjadi objek suatu perjanjian bagi hasil.
d.    Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat, jadi dapat saja berakhir setelah melewati satu masa panen.
e.    Terjadinya suatu transaksi dengan pihak ketiga, seperti misalnya peralihan dari pemilik.

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.net
    arena-domino.org
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter