Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Perceraian Dalam Prespektif Peraturan Perundang-Undangan



Dalam KUH perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai Istilah ‘pembubaran perkawinan’ (ontbindinng des huwelijks) yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian,  yaitu tentang ‘pembubaran perkawinan pada umumnya’ (Pasal 199),  tentang ‘pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan pisah ranjang,  (Pasal 200-206b),  tentang ‘perceraian perkawinan’ (Pasal 207-232a),  dan yang tidak dalam hukum adat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi ialah Bab XI tentang ‘ pisah meja dan pisah ranjang’ (Pasal 233-249).
Menurut KUH Perdata perkawinan itu bubar dikarenakan ‘kemtian’,  ‘tidak hadirnya suami atauisteri dalam 10 tahun yang diiringi perkawinan baru isteri atau suami’,  ‘keputusan hakim setelah pisah meja dan pisah ranjang dean pendaftaran pernyataan pemutusan perkawinan dalam daftar-daftar catatan sipil’,  dan karena ‘perceraian’ (Pasal 199).
Selanjutnya dikatakan ‘ jika suami isteri pisah meja dan ranjang,  baik karena salah satu alas an dari alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 233,  maupun atas permohonan kedua pihak,  dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun tanpa ada perdamaian antara kedua pihak,  maka mereka masing-masing bebas menghadapkan pihak lain kepengadilan dan menunutut perkawinan mereka dibatalkan (Pasal 200).  Tuntutan itu harus segera ditolak apabila pihak tergugat,  setelah tiga kali dari bulan ke bulan dipanggil kepengadilan tidak muncul-muncul atau datang dengan  mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu atau menyatakan bersedia berdamai dengan pihak lawan (201).
Gugatan perceraian harus diajukan ke pengadilan negeri yang didaerah hukumnya si suami memiliki tempat tinggal pokok pada saat mengajukan permohonan termasuk  dalam 831 reglemen acara perdata ataau tempat tinggal sebenarnya bila tidak memiliki tempat tinggal pokok.  Jika pada saat mmengajukan surat permohonan permohonan tersebut  di atas si suami tdak memiliki tempat tinggal pokok atau sesungguhnya di Indonesia,  maka gugatan itu harus diajukan kepada pengadilan negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207),  perceraian perceraian sekali-kali tidak dapat terjadi atas persetujuan bersama (Pasal 208).
Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian  perkawinan hanya sebagai berikut :
1.    Zina;
2.    Meninggalkan  tempat tinggal bersama dengan itikat tidak baik;
3.    dikenakan hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman lebih berat lagi,  setelah dilangsungkan perkawinan;
4.    pencederaan berat atau penganiayaan,  yang dilakukan yang     dilakukan salah seorang dari suami atau isteri atau lainnya sedenikian rupa,  sehingga membahayakan keselamata jiwa atau mendatangkan kuka-luka yang membahayakan;
Jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian ,  si suami atau si isteri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang.  Gugatan untuk itu dapat  juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran,  penganiayaan atau penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah satu dari suami isteri atau yang lainnya (Pasal 233). Gugatan itu diajukan, diperiksa dan diselesaikan dengan cara yang sama seperti gugatan perceraian perkawinan (Pasal 234).
            Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus akibat kematian,  perceraian dan atas keputusan pengadilan (Pasal 38).  Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelahpengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.  Untuk melakukan prcerain harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tersebut tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.  Tata cara perceraian di depan siding pengadilan diaur dalam peraturan perundangan tersendiri. (Pasal 29 ayat (1) sampai ayat (3)).  Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.  Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundanga tersendiri (Pasal 40 ayat 1 dan 2).
       

            Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ditentukan bahwa:
Peeceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.    Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan;
c.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri;
f.     Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. 7.     Perceraian dalam hukum agama
Dari semua Agama yang terdapat di Indonesia,  hanya Agama Islam yang banyak mengatur tentang perceraian,  menurut hukum Islam istilah perceraian disebut dalam bahasa Arab yaitu “Talak” yang artinya ‘melepaskan ikatan’ (Sulaiman Rasjid,  1989: 371).  Hukum asal dari talak adalah ‘Makruh’ (tercela).  Sebagaimana hadist riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar bertanya kepada Rasulullah SAW mengatakan ‘sesuatu yang halal (Boleh) yang sangat dibenci Allah adalah Talak’.
Menurut Hukum Islam Perkawinan itu putus karena kematian,  dan kareana perceraian (Thalak,  Khuluk,  Fasakh,  Akibat Syqaq dan pelanggaran Ta’lik Talak).  Talak dapat dijatuhkan kepada isteri ialah Talak Satu,  Talak Dua,  Talak Tiga.  Cara menjatuhkan Talak ialahdengan lisan,  dengan isyarat bagi orang bisu atau dengan tulisan.  Baik Talak dengan lisan maupun yang tertulis jangan dibuat main-main,  oleh karena jika terucap kata talak atau cerai,  walaupun dengan main-main (olok-olok) atau keseleo lidah karena marah,  bisa berarti jatuh Talak Satu pada isteri,  demikian pendapat para ulama.  Walaupun pendapat Mazhab Maliki dan Hambali Talak dengan main-main (olok-olok) itu tidak sah.  Jadi kata talak itu jangan dijadikan buah bibir kepada isteri.  Kalau juga suami terlalu jengkel ayau benci perbuatan isteri,  nasehatilah dengan baik,  siapa tahu kejengkelan itu menimbulkan kebaikan.  Sebagaimana Firman Allah SWT: ‘dan bergaullah kepada mereka (isterimu) secara patut.  Jiak kamu tidak senang pada mereka (sabarlah) karena mungkin sesuatu yang kamu tidak sukai itu,  padaha Allah menjadikan kebaikan padanyayang banyak (QS IV: 19).  ‘Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya (meninggalkan kewajiban suami isteri),  nasehatilah mereka dan (bila perlu) pukullah mereka (yang tidak meninggalkan bekas).  Kemudian jika mereka (telah berubah) dengan mentaati kamu,  janganlah kamu mencari –cari jalan untuk menyusahkannya (QS IV: 35).
Jadi isteri yang nyeleweng semau dia hendaknya diberi nasehat degan baik terlebih dahulu,  jika tidak berubah juga berpisalah dari tempat tidurnya,  jika tidak berubah juga kalau perlu dipukul  asal tidak meninggalkan bekas,  dan kalau masih tidak berubah juga mengucapkan Talak sebagai usaha terakhir dengan melepaskan perkawinan.
 Alasan-alasan bagi suami untuk sampai pada ucapan Talak adalh jika isteri berbuat zina,  nusyuz (suka keluar rumah yang mencurigakan),  suka mabuk,  berjudi dan atau berbuat sesuatu yang mengganggu ketentraman dalam rumah tangga,  atau sebab-sebab lain yang tidak memungkinkan pembinaan rumah tangga yang rukun dan damai.
Jika dijatuhkan talak,  mulailah dengan talak satu,  kemudian talak dua dan terakhir talak tiga.  Janganlah sekaligus dijatuhkan tiga.  Talak satu dan dua berarti isteri dapat rujuk kembali dengan suami tanpa melakukan akad nikah baru,  sedangkan talak tiga isteri tidak dapat dirujuk kembali apabila belum menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercampur (bersetubuh) kemudian bercerai dan sudah habis masa Iddah-nya.  Dasar hukum talak ada pada Firman Allah SWT yang artinya:
Talak (yang dapat rujuk kembali) dua kali,  setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang Ma’ruf atau mencerainya dengan tata cara yang baik’ (QS 2:229).
Kemudian jiak si suami mentalak (sesudah talak kedua),  maka wanita itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain.  Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,  maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jiak keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah’ (QS 2:230).
2.7.1.   Talak  Raj’i
Talak terbagi  menjadi  dua: Talak  raj’ dan  talak  ba’i.  para  ulama  mashab  sepakat  bahwa  yang  dinamakan talak raj’i  ialah  talak  yang  suaminya  masih  memiliki hak  untuk  kembali  kepada  isterinya (rujuk)  sepanjang  isterinya  tersebut  masih  dalam  masa  iddah, baik  isteri  tersebut  bersedia  dirujuk  atau  tidak.  Salah  satu  diantara  syaratnya  adalah  si isteri  sudah  dicampuri, sebab  isteri  yang   bercerai  sebelum  dicampuri, tidak  mempunyai   masa  iddah, berdasarkan  firman  Allah   yang  artinya:
Wahai  orang-orang  yang  beriman, apabila  kamu  menikahi  perempuan-perempuan  yang  beriman, kemudian  kamu  ceraikan  mereka  sebelum  kamu  mencampuri  mereka, maka  sekali-laki  tidak  wajib  atas  mereka’iddah  bagimu   yang   kamu  perhitungkan  atas  mereka
(QS. Al-Ahzab:49)
            Yang  juga  termasuksyarat  talak raj’I  adalah  bahwa  talak  tersebut  tidak  dengan  menggunankan   uang (pengganti)  dan  tidak  pula  dimaksudkan  untuk  melengkapi  talak  tiga.
            Wanita  yang ditalak  raj’I  hukumnya  seperti  isteri. mereka  masih  mempunyai  hak-hak  suami-isteri, seperti  hak  waris  mewarisi  antara  keduanya (suami-isteri) manakala  salah  satu  diantara  keduanya  ada  yang  meninggal  sebelum  selesai  masa  iddah. Sementara  itu, mahar  yang  dijanjikan  untuk   dibayar, kecuali  sesudah  habis  masa  iddahnya  dan  sisuami  tidak  menambil  si isteri  kembali  kepangkuanya. singkatnya  , talak  raj’I  tidak  menimbulkan  ketentuan-ketentuan  apapun  kecuali  sekedar  ‘idddah  dalam  tiga  talak.
2.7.2.  Talak  Ba’in 
            Sedangkan  talak  ba’in  adalah  talak  yang  suami  tidak  memiliki   hak  untuk  rujuk  kepada  isteri  yang  ditalaknya  yang  mencakup  beberapa  jenis:
1.    Wanita  yang  ditalak  sebelum  dicampuri (jenis  ini  disepakati  oleh  semua  pihak)
2.    Wanita  yang  dicerai  tiga (juga  ada  kesepakatan  pendapat)
3.    Talak  khulu;Sebagian  ulama  mazhab  mengatakan  bahwa  khulu’adalah  faskh nikah, bukan  talak.
4.    Wanita  yang  telah  memasuki  masa  menaupause  khususnya  pendapat  imammiayah  karena  wanita  menaupause  yang  ditalaknya  tidak  mempunyai  idda. hukumannya  sama  dengan  wanita  yang  belum  dicampuri.

Adapun  surat   AL-THALAQ  ayat 4  berbunyi “dan  perempuan-perempuan  yang  putus  haidh  diantara  perempuan-perempuanmu, jika  kamu  ragu-ragu (tentang  hal  itu),  maka’iddah  mereka  adalah  tiga  bulan, dan  begitu(pula)  perempuan-perempuan  yang  belum  haidh,  ”tdaklah  dimaksudkkan   sebagai  wanita  yang-wanita  yang  betul-betul  tidak  diketahui  keterputusan   haidh nya,  tetapi  dimaksudkan  untuk  menunjukkan  wanita-wanita  yang  telah  berhenti  masa  haidhnya  tanpa  diketahui   apakah  berhenti  karena  penyakit  atau  usia  tua. wanita-wanita  seperti  ini  iddahnya  adalah  tiga  bulan.  Keragu-raguan yang  ada  diatas  bukan  mengenai  hukum  tentang   orang-orang  yang  telah  diketahui  keterputusan  haidhnya  berdasarkan  kalimat ”jika  kamu  ragu-ragu”,  yang  tidak    diketemukan  dalam  keputusan  syari’  apabila  ingin  memutuskan  suatu  hukum,   ia  berkata. ”kalau  kamu  ragu-ragu  tentang  hukum, maka  hukumannya  seperti ini”maka  dapat  dipastikan  bahwa yang  dimaksudkan  ayat  diatas  adalah”apabila  kamu  ragu-ragu  tentang  diri  seorang  wanita, apakah  terputus  haidhnya  atau  belum, . maka  hukumnya  dia  harus  beriddah  selama  tiga  bulan” sedangkan  yang  dimaksud  kalimat “dan  begitu  pula  perempuan-perempuan  yang  belum  haidh”  yang  dimaksud  adalah  gadis  gadis  yang   sudah  masuk  masa  iddahnya   tapi  haidhnya  terhenti  karena  sesuatu  dan  lain  sebab.  Terdapat  banyak  riwayat   yang  diterima  dari  para  imam  ahlul-bait  yang  menafsirkan  ayat  dengan  arti  seperti  diatas. 
Hanafi  mengatakan:
khalawat  dengan  isteri  tanpa  melakukan  percampuran, menyebabkan  adanya  kewajiban  ‘iddah. akan  tetapi laki-lakiyang  menceraikannya  tidak  boleh  rujuk  kepadanya  pada  saat  wanita  tersebut  pada  masa  iddah, sebab  talaknya  adalah  talak  ba’in.
Hambali  mengataklan  :
khalawat  itu  sama  seperti  mencampuri  dalam  kaitannya  dengan   kewajiban  ‘iddh  bagi  siwanita, dan  kebolehan  rujuk  bagi  laki-laki.
            Pada  bagian  lainnya  saya  telah  jelaskan  bahwa  khalawat, bagi  imammiya  dan  syafi’I, tidak  melahirkan  akibat  hukum  apapun.
Hanafi  mengatakan:
Apabila  seorang  suami  mengatakan  kepada  isterinya  “engkau  kutalak  dengan  talak   ba’in  atau  talak  berat  atau  talak  segunung, talak  yang  paling  buruk  atau  talak  yang  paling  hebat”dan  ungkapan-ungkapan  lain   sejenis, maka  yang  jatuh  adalah  talak  ba’in  yang  tidak  memungkinkan  bagi  si suami  untuk  rujuk  ketika  isterinya  masih  dalam  masa  iddah-ny. begitu  pula  ketika  suami  menjatuhkan  talak  dengan  perkataan-perkataan  kiasan  yang  mengandung  arti  perpisahan  semisal”engkau  kulepaskan  selepas-lepasnya” atau ”engkau  putus  hubungan  denganku. ”

            Para  ulama  mazhab  sepakat  bahwa  seorang  laki-laki  yang  mencerai  tiga  isterinya, maka  isterinya  itu  tidak  halal  baginya  sampai  ia  menikah  terlebih  dahuludengan  cara  yang  benar, lalu  dicampuri  dalam  arti  sesungguhnya. ini  berdasarkan  firman   yang  berbunyi:
            “kemudian  jika  si suami  menalaknya (sesudah  talak  yang  kedua), maka  perempuan  itu  tidak  halal  baginya  hingga  dia  kawin  dengan  suami  yang  lain. (QS.  Al-Baqarah:230)
            Imamiyah  dan  maliki  mensyaratkan  bahwa, laki-laki  yang  menjadi  muhallil(penyelang)  itu  haruslah  balgh, sedangkan  syafi’I  dan  hanafi  memandang   cukup  bila  dia  (muhallil) mampu  melakukan  hubungan  seksual, sekalipun  dia  belum  baligh.
Imamiyah  dan  hanafi  mengatakan:
apabila  penyelang  diberi  syart  yang  diucapkan  dalam  akad, misalnya  muhallil   mengatakan “saya  mengawini  engkau  dengan  syarat  penjadi  penghalal  bagisuami  lamamu” maka  syarat  seperti  ini  batal  dan  akad  nikahnya  sah. akan  tetapi  hanafi   mengatakan  bahwa  apabila  si  wanita  taut  tidak  ditalak  oleh  si muhallil, maka  ia  boleh  mengatakan  kepada  simuhallil  tadi  “saya  kawinkan  diri  saya  dengan  syarat  masalah  talaknya  ada  ditangan  saya”  lalu  simuhallil  menjawab:”saya  terima  nikahnya  dengan  syarat  tersebut”delam  kasus  ini  akad   tersebut  dinyatakan  sah  dengan  si  wanita  sebagi  pemegang  hak  untuk  menalak  diri-nyakapan  saja   ia  mau. akan  tetapi  bila  si  muhallil  yang  mengatakan”hendaknya  engkau  menikahkan  dirimu  kepadaku  dengan  syarat  bahwa  urusan  dirimu (talak)berada  ditanganmu”  maka  akadnya  sah  dan  syaratnya  tidak  berlaku.
Maliki,  syafii  dan  hambali  mengatakan :
Akad  tersebut  batal  sama  sekali  manakala  ada  syarat  tahlil(perpisahan) didalamnya. bahkan  maliki  dan  hambali  mengatakan bahwa:Apabila  ada  kehendak  tahlil  walaupun  tidak  diucapkan  dalam  akad  tersebut  batal. maliki  dan  sebagian  para  ulama  mazhab  imammiah  mensyaratkan  agar   suami  kedua  mensyaratkan  agar  suami  kedua  tersebut  mencampuri  isterinya  itu  secara  halal  misalnya  si  isteri  harus  tidak  dalam  keadaan  haidh  atau  nifas  ketika  dicampuri, dan  keduanya  tidak  sedang  berpuasa  dibulan  ramadhan. Akan  tetapi  sebagian  mazhab  imamiyah  tidak  menganggapo  perlu  syrat  tersebut, sebab  mencampuri  dalam  keadaan  seperti  di  atas  sekalipun  hukumnya  haram  dipandang  cukup  bagi  tahlil.
            Betapapun, kapanpun wanita  tersebut  ketika  dicerai  oleh  suami  kedua, baik  cerai  mati, ataupun  talak  biasa, kemudian  habis  masa  iddahnya, maka  bekas  suami  pertama  boleh melakukan  akad  nikah  dengannya. jika  peristiwa  terulang  dan  dia  ditalak  tiga  kembali, maka  haram  dikawini  poleh  suami  pertamanya  tersebut  hingga  dia  dikawini  oleh  laki-laki  lainnya. (muhallil), biarpun  seratus kali  berulang -ulang  tetap  saja  harus  diselingi  oleh  muhallil  baru  bisa  di nikahi  oleh  suami pertama.
Akan  tetapi  imamiyah  mengatakan  :
apabila  wanita  tersebut  ditalak  sesudah  itu  maka dia  haram  selama-lamanya(bagi  laki-laki tersebut). yang  dimaksud  talak  iddah  para  ulama  mazhab imamiyah  tersebut  adalah  bahwa , laki-laki  tersebut  menalak  isterinya, kemudian  merujuk  kembali  dan  mencampurinya. lalu  menalaknya lagi ketika  isteri  dalam  keadaan  suci, kemudian  dirujuknya  kembali  lalu  dicampuri, lalu ditalaknya  kembalidan  diselingi  oleh  muhallil. seterusnya (sesudah  wanita  tersebut  diceraikan  oleh  muhallil) dia  dikawini  oleh  suami  pertama  dengan  akad  yang  baru, tapi  ditalaknya  lagi  dengan  tiga  talak ‘iddah. lalu  diselingi  oleh  muhallil, dan  sesudah  itu  ia  dikawini  lagi  oleh  suami  pertama  lagi, maka  kemudian  ia  diutalak  lagi, sehingga  iddahnya  sembilanmaka  wanita  tersebut  haram  untuk  selama-lamanya  bagi  laki-laki  yang  telah  menalaknya  Sembilan  kali  itu.  Akan  tetapi  jika  bukan  talak  iddah, misalnya  habis  ditalak, dirujuk  lagi  talak, rujuk  lagi  tanpa  dicampuri  oleh  muhallil  maka  tidak  haram  selamanya, meskipun talaknya tidak  terhitung  banyaknya.

            Para  ulama  mazhab  sepakat  bahwa  manakala  terjadi  keraguan  dalam  jumlah  talak, apakah  baru  satu  kali  atau  lebih, maka  yang  ditetapkan  adalah  yang  sedikit, kecuali  maliki  yang  mengatakan  bahwa  yang  diambil  adalah  jumlah  terbanyak  dari  jumlah  yang  diragukan.
imamiyah, syafii dan  hanafi  mengatakan:
kalau  seorang  wanita  telah  dicerai   tiga  kali  lalu  bekas  suaminya  tersebut  meninggalkanya  atau  siwanita  yang  meninggalkan  bekas  suaminya  itu  dalam  beberapa  waktu  yang  lama, kemudian  si  wanita  mengatakan  bahwa  ia  telah  kawin (dengan  laki-laki lain)dan ditalak  oleh  suaminya  yang  kedua  itu, serta  masa  iddahnya  telah  habis, sementara  waktu   yang  dilewatinya  memang  memungkinkan  untuk  terjadi  semua  itu, maka  pernyataan  itu  harus  diterima  tanpa  dia  harus  disumpah. sedangkan  bekas  suaminnya  yang  pertama  boleh  menikahinya  manakala  ia  yakin  atas  kebenaran itu(pernyataan  wanita itu)  tanpa  dia  harus  mencari  bukti-bukti  lebih  dulu. (lihat Al-jawahir dan ibn ‘abidin, serta Maqshad Al-nabiy).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter