Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian Tanah



Secara umum sebutan tanah dalam keseharian kita dapat dipakai dalam berbagai arti, karena itu dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1994) tanah dapat diartikan :
1.    Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2.    Keadaan bumi di suatu tempat
3.     Permukaan bumi yang diberi batas
4.    Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,batu cadas dan sebagainya)
Sedangkan menurut Budi Harsono (1999:18) memberi batasan tentang pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam Pasal 4 UUPA, bahwa :
Dalam hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA sebagaimana dalam Pasal 4 bahwa hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah.

Dengan demikian tanah dalam pengertian yuridis dapat diartikan sebagai permukaan bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho (1993:23) mengemukakan bahwa :
Tanah adalah suatu benda bernilai ekonomis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan guncangan dalam masyarakat, lalu ia jua yang sering menimbulkan sendatan dalam pelaksanaan pembangunan.

Berdasarkan pengertian tanah yang di kemukakan di atas dapat memberi pemahaman bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi sebagai benda yang bernilai ekonomis karena tanah selain itu bermanfaat pula bagi pelaksanaan pembangunan namun tanah juga sering menimbulkan berbagai macam persoalan bagi manusia sehingga dalam penggunaannya perlu dikendalikan dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan masalah dalam kehidupan masyarakat.
2.4.        Sistem Publikasi yang Digunakan Dalam Pendaftaran Tanah   

Sebelum membahas mengenai sistem publikasi yang diapaki dalam pendaftaran tanah di Indonesia, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa sistem publikasi yang dipakai di beberapa negara.
Menurut Ali Achmad Chomzah (2004:17) apabila dilihat dari aspek jaminan yang diberikan dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat ha atas tanah) sebagai alat pembuktian, maka rechts kadaster (pendaftaran tanah) ini mengenal 2 macam sistem, yaitu :
1.                                    Sistem Negatif

Yang dimaksud sistem negatif dalam pendaftaran tanah ini adalah suatu sistem bahwa kepada si pemilik tanah diberikan jaminan lebih kuat, apabila dibandingkan perlindungan yang diberikan kepada pihak ketiga. Menurut sistem negatif ini segala apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya di muka sidang pengadilan. Adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah asas nemo plus juris.
Menurut Irawan Soerodjo (2003:189) mengemukakan bahwa asas nemo plus juris merupakan asas di mana seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut adalah batal demi hukum (van rechts wegenietig). Dengan kata lain asas ini melindungi pemegang hak atas yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya.
Ciri pokok sistem negatif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang sebenarnya (Bachtiar Effendi, 1993:33). Negara yang menggunakan sistem publikasi negatif ini di antaranya : Belanda, Prancis dan Filipina.   
2.                                    Sistem Positif

Sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah adalah suatu sistem di mana kepada yang memperoleh hak atas tanah akan diberikan jaminan lebih kuat.
Menurut sistem ini suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlakunya sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Ciri pokok dari sistem positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan mutlak kepada buku tanah (Bachtiar Effendi, 1993:32). Negara yang menggunakan sistem ini di antaranya : Jerman, Swiss, Austria dan Australia.
Sistem publikasi yang digunakan di Indonesia menurut Boedi Harsono (1999:463) adalah tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hal ini membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum dalam surat tanda bukti tersebut adalah dianggap benar sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya yang menyatakan sertifikat tersebut tidak benar. Dengan sistem ini keterangan-keterangan itu apabila ternyata tidak benar, maka dapat diubah dan dibetulkan.
Ciri-ciri sistem ini menurut Ali Achmad Chomzah (2004:16) yaitu :
a.                                                    Nama yang tercantum di dalam buku tanah adalah pemilik yang benar dan dilindungi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda bukti hak yang terkuat, bukannya mutlak.

b.                                                           Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar beginsel).

c.                                                           Setiap persil batas diukur dan digambar dengan peta pendaftaran tanah, dengan skala 1:1000, ukuran mana yang memungkinkan untuk dapat dilihat kembali batas persil, apabila di kemudian hari ternyata terjadi sengketa batas.

d.                                                           Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat dapat dicabut melalui proses keputusan Pengadilan Negeri atau dibatalkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional apabila terdapat cacat hukum.

e.                                                           Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi pada masyarakat, karena kesalahan administrasi pendaftaran tanah.

Mengenai alat pembuktian yang kuat tersebut, Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
a.                                                    Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

b.                                                            Dalam hak atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut di atas bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan diatur sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertifikat sebagai tanda buktinya.
Kelemahan dari sistem publikasi ini adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu, tetapi kelemahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan lembaga yang dalam hukum adat disebut lembaga rechts verwerking.
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) tersebut dijelaskan tentang rechts verwerking tersebut, yaitu jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter