Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian Putusan Pengadilan TUN



Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil putusan. Dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, tetapi bagaimana seorang hakim mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya.
            Menyangkut peraturan hukum yang diterapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa pada dasarnya menunjukkan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim melakukan penelitian dalam rangka penemuan hukum (judge made law/rechtvinding). Dengan demikian hakim telah berusaha secara maksimal untuk menjatuhkan putusan yang objektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsur apa pun kecuali sikap objektivitas dan rasa keadilan itu semata.
            Putusan tidak hanya apa yang diucapkan hakim dalam persidangan, termasuk juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebalum diucapkan  di persidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa di dalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis dan gewijsde; yang dimaksud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.
            Dalam kaitannya dengan Hukum Acara Pendilan TUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:
a.    Putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding;

b.    Putusan Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan kasasi;

c.    Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.

            Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap  pada dasarnya adalah putusan pengadilan yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum (banding dan kasai), namun sebagaimana disebutkan di atas banding dan kasasi adalah upaya hukum biasa, di samping itu masih terdapat upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut tetap masih bisa dilawan dengan upaya hukum istimewa itu. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya yakni dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa.
            Putusan Pengadilan TUN diatur dalam Pasal 97 UUPTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
(1)   Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.

(2)   Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada majelis hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan tersebut.


(3)   Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh hakim ketua majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

(4)   Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.

(5)   Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir hakim ketua majelis yang menentukan.

(6)   Putusan pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari yang lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.

(7)   Putusan pengadilan dapat berupa:
a.    gugatan ditolak;
b.    gugatan dikabulkan;
c.    gugatan tidak diterima;
d.    gugatan gugur

(8)   Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN.

(9)   Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a.    pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau
b.    pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau
c.    penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

(10)  Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.

(11)Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud daalm ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud daalm ayat (9) dan ayat (10) dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Ketentuan pasal tersebut diatas, dapat disebutkan memuat prosedur pengambilan putusan yang harus diambil dengan musyawarah di antara majelis hakim, putusan yang diambil dengan suara terbanyak baru dapat dikatakan, apabila musyawarah untuk mencapai kesepakatan bulat mengalami jalan buntu, apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak itu juga tidak dapat menghasilkan keputusan maka barulah putusan itu dapat diambil oleh ketua majelis. Pasal tersebut tidak secara transparan menyebutkan kriteria pengambilan keputusan secara musyawarah, sehingga baru dapat dilakukan pengambilan putusan dengan suara terbanyak, kemudian oleh ketua majelis hakim.
            Dari pasal 97 ayat (7) tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa isi putusan Pengadilan TUN dapat  berupa   gugatan ditolak,   gugatan   dikabulkan,
 gugatan tidak dapat diterima, dan gugatan gugur.
1.    Gugatan ditolak
            Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugatan penggugat berarti memperkuat keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat bukti yang diajukan pihak terguagat lebih kuat.
2.    Gugatan dikabulkan
            Suatu gugatan dikabulkan, adakalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak tergugat atau tidak membenarkan keputusan TUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari Pasal 3).
            Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, yang dapat berupa:
a.    Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan; atau

b.    Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan TUN yang baru; atau

c.    Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 2.

            Disamping kewajiban yang disebutkan di atas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3.    Gugatan tidak dapat diterima
            Putusan pengadilan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat, berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena alasan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
4.    Gugatan gugur
            Putusan pengadilan yang menyatakan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka telah dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan (daluwarsa).
            Dalam Pasal 109 UUPTUN disebutkan susunan isi putusan sebagai berikut:
(1)   Putusan pengadilan harus memuat:
a.    kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’;
b.    nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.    ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.    pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.    alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.     amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.    hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.

(2)   Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang turut bersidang.

(3)   Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua sidang berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangannya hakim ketua majelis hakim atau hakim ketua sidang tersebut.

(4)   Apabila hakim anggota majelis berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangani oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut.

            Dalam hukum acara perdata suatu putusan hakim terdiri 4 (empat) bagian yaitu; kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan, dan amar.
a.    Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
b.    Identitas para pihak
            Suatu putusan atau gugatan sekurang-kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak tersebut.
Dengan demikian huruf a pada pasal 109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai para pihak.
c.    Pertimbangan (considerans)
            Dalam hukum acara perdata suatu putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazim di bagi 2 (dua) bagian; pertimbangan tentang duduknya perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan dapat berniali objektif.
            Dengan demikian huruf c,d, dan e pada Pasal 109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai pertimbangan.
d.    Amar (diktum)
            Merupakan jawaban atas petitum dari gugatan, sehingga amar atau diktum juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
            Dengan demikian huruf f dari Pasal 109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai amar.


2 komentar:

  1. Mohon maaf sebelumnya .. si penulis sendiri tidak mencantumkan sumbernya darimana. Perlu diketahui para pembaca/ pengunjung blog ini bahwa yang si penulis diatas menrangkum materi yang bersumber dari buku Harahap, Zairin. (i)Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(/i). ... kalau yang saya punya sudah Edisi Revisi Tahun 2014 (Cetakan ke-8). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Terima kasih.

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter