Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian Perkawinan


A.    Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
1.    Pengertian Perkawinan
Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteteles (seorang filsuf Yunani) bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk hidup bersama. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang lain.[1]
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam hal ini alam pikiran orang tidaklah mesti atau selalu ditujukan pada hal bersetubuh antara dua orang manusia tadi, meskipun pada umumnya dapat dikatakan, hal bersetubuh ini merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapatkan anak turunannya sendiri maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Selanjutnya dikatakan, hidup bersama ini berakibat sangat penting di dalam masyarakat dan akibat paling dekat ialah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini hanya sekedar menyendirikan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat dan akibat lebih jauh ialah kalau kemudian mereka mempunyai anak-anak, dengan anak-anaknya itu mereka merupakan keluarga tersendiri.
Berhubung dengan akibat yang sangat penting inilah dari hidup bersama, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan dari hidup bersama ini yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama itu.Dan peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan, yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.Dengan ini teranglah, bahwa pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hayat (biologi).Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang di tiap-tiap Negara berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorang perempuan dan seorang laki-laki”.[2]
Untuk mengetahui definisi perkawinan, penulis mengacu pada pendapat para ahli hukum. Beberapa ahli hukum yang memberi definisi mengenai perkawinan antara lain:
a.    Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, SH: Perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.[3]
b.    Menurut Paul Scholten mendefinisikan perkawinan sebagai berikut : “ Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”[4]
c.    Menurut Prof. Subekti, SH, mendefinisikan perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[5]
d.    Menurut K. Wantjik Saleh, SH: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri.[6]
e.    Menurut Prof. Ali Afandi, SH: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.[7]
Dari pendapat-pendapat yang diterangkan diatas dapat dilihat bahwa perkawinan menurut hukum tidak hanya mementingkan aspek perdata saja tetapi juga menyinggung aspek lain seperti aspek biologis maupun aspek agama. Ketentuan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut Burgelijk Wetboek / BW) menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam BW dan syarat-syarat serta peraturan Agama itu dikesampingkan.[8]Jadi suatu perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat menurut BW dan telah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil merupakan suatu perkawinan yang sah menurut hukum meskipun bertentangan dengan peraturan Agama.
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui unsur-unsur perkawinan sebagai berikut :
a.    perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang
b.    perkawinan berasaskan monogamy
c.    perkawinan pada dasarnya harus berlangsung kekal dan abadi.
a.    Pengertian Perkawinan Menurut UUP
Menurut UUP yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dari bunyi pasal 1 UUPtesebut diatas, tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. “Arti“ perkawinan dimaksud adalah: ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah: membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perkawinan terdiri dari lima unsur, yaitu :[9]
1.    Ikatan lahir batin, berarti ikatan tersebut tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Melainkan keduanya harus terpadu erat-erat,[10] ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum antara suami dan istri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan formal. Ikatan lahir tersebut mengikat diri suami dan istri, serta pihak ketiga. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak, suatu ikatan yang hanya dapat dirasakan suami dan istri.[11]
2.    Antara seorang pria dan seorang wanita, menunjukkan bahwa perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita. Dengan demikian perkawinan antara seorang pria dengan seorang pria adalah tidak memungkinkan. Demikian juga perkawinan antara seorang wanita dengan seorang wanita juga tidak dimungkinkan. Selain itu unsur kedua ini menunjukkan bahwa UUP menganut asas monogami.[12]
3.    Sebagai suami istri, adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu perkawinan terbagi menjadi syarat intern dan syarat extern. Syarat interen berkaitan dengan para pihak yang melakukan perkawinan sedangkan syarat exteren berkaitan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.[13]
4.    Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini adalah satu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.[14] Suatu keluarga yang dibentuk diharapkan akan memberikan kebahagiaan bagi tiap anggota keluarga. Selain itu diharapkan keluarga yang terbentuk tersebut akan berlangsung untuk selamanya, kecuali dipisahkan oleh kematian.
5.    Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, UUP menganggap bahwa perkawinan berhubungan erat dengan agama atau kerohanian.[15] Sehingga pasal 2 ayat (1) UUP menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
b.    Pengertian  perkawinan menurut BW
BW tidak memuat suatu ketentuan arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 26 BW “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Dengan kata lain bahwa BW masih menjunjung tinggi nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan.
c.    Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
            Menurut Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut KHI), pasal 2 memberikan pengertian perkawinan sebagai pernikahan, yaitu akad nikah yangsangat kuat ataumissaaqan qholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah.[16]
Nikah adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua bela pihak dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi kasih sanyang dan ketentraman dengan cara cara yang diridhoi Allah.
Perkawinan menurut pandangan Islam mengandung tiga aspek yaitu:[17]
a.    Dari aspek hukum
Perkawinan merupakan suatu perjanjian. Dalam bahasa Al-Quran perkawinan adalah yang sangat kuat disebut dengan katamissaqan qholidhan.
b.    Dari aspek sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian umum iyalah bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dari mereka yang tidak kawin.
c.    Dari aspek agama
Perkawinan itu dianggap suatu lembaga suci dalam agama Islam. Upacara perkawinan adalah upacara suci yang kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Menurut hukum asal pekawinan itu adalah mubah atau boleh, namun dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu sebagai berikut:
a.    Wajib yaitu bagi orang orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau tidak kawin.[18]
b.    Sunnah yaitu apabila seseorang dilihat dari segi jasmanianya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai, maka bagi orang yang demikian itu sunnahlah baginnya untuk kawin. Artinya kalau dia kawin akan mendapat pahala sedang tidak kawin dia tidak berdosa atau tidak mendapat apa apa.[19]
c.    Makruh yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun merasa ia akan berbuat curang dalam perkawinan itu.[20]
d.    Haram  kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang dinikahi.[21]
Dari berbagai pengertian perkawinan yang telah dikemukaakan diatas tidak terdapat pertentangan pengertian yang satu dengan yang lainnya.Sebab pada dasarnya syariat Islam itu bersumber kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Hukum perkawinan adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hal ikhwal perkawinan yaitu bagaimana prosedur menuju terbentuknya ikatan perkawinan,  bagaimana cara menyelenggarakan aqad perkawinan menurut hukum,  bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang mengancam ikatan lahir batin antara suami dan isteri,  bagaimana proses dan prosedur dari berakhirnya perkawinan serta akibat yuridis dari berakhirnya perkawinan baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami dan isteri,  anak-anak mereka dan harta mereka.  Untuk tercapainya hal tersebut jika memasuki jenjang pernikahan maka dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang; kematangan fisik,  psikis,  maupun spritual.
2.    Syarat-Syarat Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan ialah:
a.    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b.     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
c.    Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
d.    Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e.    Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
f.     Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepeanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai adalah adanya persetujuan bebas, tanpa ada paksaan lahir dan batin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan dalam UUP dan BW pada prinsipnya adalah sama, hanya ada sedikit perbedaan yaitu dalam masalah umur untuk kawin. Dalam UUP batas umur untuk kawin pria adalah 19 tahun; sedangkan wanita adalah 16 tahun.Bila dibandingkan dengan BW untuk pria adalah 18 tahun; sedangkan untuk wanita adalah 15 tahun.
Dalam BW prinsip monogami adalah mutlak, sedangkan dalam ketentuan Pasal 3 UUP mengenal asas monogami tidak mutlak, yaitu :Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dariseorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan Sahnya suatu perkawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila perkawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan itu belum terdaftar, maka perkawinan itu belum dianggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama.
Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan tersebut dan tidak menentukkan sah atau tidaknya perkawinan. Apabila diteliti ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan sesuai yang tercantum dalam Pasal 2 UUP adalah sebagai berikut:
1)    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu
2)    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikan tidak ada lagi perkawinan di luar hukum agama  masing-masing. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Uandang-undang ini. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri.Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu, Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.Maka untuk suatu sahnya perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya.
Pasal 2 ayat (2) UUP menentukan :”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini berarti pencatatan perkawinan yang beragama Islam dicatat oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk, sedangkan bagi non Islam, dicatat di Kantor Catatan Sipil (Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975). Apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka perkawinan itu tidak terbukti, karena menurut hukum suatu perkawinan itu baru terbukti dengan adanya buku nikah. Bila tidak ada Buku Nikah maka seseorang tidak dapat mengurus perceraian, pensiun janda, menuntut bagian dari harta suami atau mengurus akta kelahiran anak-anak sebagai anak sah, menuntut warisan dari si ayah tersebut.
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan dalam waktu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan harus memberitahukan kehendaknya itu baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Setelah itu diteliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang. Selanjutnya diteliti pula akta kelahiran atau surat kenal lahir,yang bila tidak ada dapat diganti dengan keterangan dari kepala desa yang menyatakan umur atau asal usul dari calon mempelai, nama, agama, pekerjaan orang tua; ada tidaknya izin tertulis dari Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UUP.
Apabila semua persyaratan telah terpenuhi, maka perkawinan dilangsungkan pada hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dan perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Setelah perkawinan berlangsung, kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawi pencatat dan turut ditandatangani pula oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan.Bagi yang beragama Islam ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili.Dengan demikian perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 10 dan 11 PP No. 9 tahun 1975).
Akta perkawinan ini adalah merupakan bukti tentang adanya perkawinan. Akta ini dibuat dalam rangkap dua, helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wliayah kantor pencatat analisis terhadap perkawinan. Kepada suami atau isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 12 dan Pasal 13 PP No. 9 tahun 1975).
Baik BW maupun UUP mengenal dua syarat perkawinan, yaitu:
1.    Syarat Materil, yang dimaksud syarat materil adalah syarat yang mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat yang mengenai diri pribadi calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan ini, yang merupakan syarat materiil dapat dibedakan menjadi :
a.    Syarat Materiil Umumialah syarat yang mengenai diripribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang harusdipenuhi oleh seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil umum itu lazim juga disebut dengan istilah syarat materiil absolute untuk melangsungkan perkawinan, karena tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami-isteri tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan.
b.    Syarat materiil khusus suatu perkawinan ialah syarat yang mengenai diri pribadi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku untuk perkawinan tertentu. Syarat materiil khusus lazim juga disebut dengan syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan, yang berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu yang harus dimintai izin dalam perkawinan dan larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan.
2.    Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan. Dengan demikian syarat formil ini berupa :
a.    Syarat formalitas sebelum berlangsungnya perkawinan:
1)    Adanya pemberitahua, Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib memberitahukan niatnya kepada pejabat pencatat perkawinan di tempat dimana perkawinan tersebut akan dilangsungkan. Dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis
2)    Adanya penelitian
3)    Adanya pengumuman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Memuat atau berisi hal-hal yang mdenyangkut ortangorang yang akan melangsungkan perkawinan, tempat dan waktu akan dilangsungkan perkawinan. Pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya perkawinan. Apabila hal itu diketahui bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan atau bertentangan dengan  undang-undang yang berlaku
b.    Syarat formalitas pada saat berlangsungnya perkawinan :
1)    Perkawinan dilangsungkan menurut tatacara yang ditentukan dalam agama masing-masing dean kepercayaan para pihak yang bersangkutan
2)    Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah hari yang kesepuluh sejak pengumuman hendak kawin
3)    Perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan 2 (dua) orang saksi
4)    Setelah perkawinan selesai dilangsungkan menurut tatacata yang berlaku, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan, begitu pula pencatat dan saksi-saksi yang hadir
5)    Dengan selesainya penandatangan naskah, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.   
3.    Asas-asas Perkawinan
Dalam UUP ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a.    Tujuan perkawinan;
b.    Sahnya perkawinan;
c.    Monogami;
d.    Kematangan calon suami istri;
e.    Mempersulit perceraian;
f.     Keseimbangan kedudukan suami istri.
Dalam UUP dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. UUP menentukan bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, artinya bahwa tidak dapat dibenarkan sesuatu perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama.
Pegawai pencatat nikah baru mencatat setelah memeriksa dan menyaksikan bahwa perkawinan itu telah dilangsungkan sesuai dengan hukum agama.Pencatatan itu diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum.UUP menganut asas monogami tetapi apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama dari yang bersangkutan oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Poligami merupakan suatu hal yang tidak disenangi, karena poligami cenderung menimbulkan persoalan-persoalan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.Tanggung jawab moral dan materiil seorang suami yang beristri lebih dari seorang adalah lebih berat jika dibandingkan dengan suami yang beristri hanya seorang.Oleh karena itu UUP menetapkan bahwa poligami baru dapat dilakukan apabila ada izin dari pengadilan.
Izin dari Pengadilan diberikan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a.    Istri tidak dapat menjalankan tugas sebagai seorang istri.
b.    Istri dapat mencatat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.     Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri, dan anak-anaknya.
UUP juga menganut prinsip bahwa calon suami istri itu telah termasuk jiwa raganya, agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan dapat mendapatkan keturunan yang baik pula, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri  yang masih dibawah umur, disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang terlalu rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju perkawinan yang tinggi.
UUP mementingkan batas umur untuk kawin baik dari pria maupun wanita, bagi pria batasnya adalah 19 tahun, bagi wanita 16 tahun, namun hendaknya perkawinan dilakukan dalam usia yang lebih tinggi untuk memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sejahtera, maka Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Hak-hak istri dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak-hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat diputuskan bersama oleh suami istri.
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu :[22]
a.    Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah mengadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b.    Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c.    Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d.    Perkawinan pada dasarnya adalah untuk satu keluarga rumah tangga yang tentram.
e.    Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami. Kalau dibandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut UUP maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsip.
4.    Tujuan Perkawinan
 Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, dan merupakan  sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan bahkan dianggap sebagai bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa.Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Bila dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, maka hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.
Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 UUP, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.
Rumusan tujuan perkawinan yang terkandung pada Pasal 1 UUP, mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan, akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara tetapi kebahagiaan yang kekal, yang hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pihak.Dengan dasar pandangan itu maka pembuat undang-undang memberikan pembatasan yang ketat terhadap pemutusan perkawinan selain dari kematian.[23]
Menurut hukum Islam, di dalam Al-Quran dan hadits,  perkawinan dan anak-anak sangat ditekankan. Allah S.W.T menyatakan dalam Al-Quran: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.” (QS 30:21). Perkawinan menurut agama Islam mempunyai unsur-unsur ibadah, melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.[24]
Dalam hukum Islam, perkawinan memiliki tujuan tertentu, dan tujuan itu adalah :
a.    Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
b.    Untuk membentengi ahlak yang luhur
c.    Untuk menegakkan rumah tangga yang islami
d.    Untuk  meningkatkan ibadah kepada Allah
e.    Untuk mencari keturunan yang shalih
5.    Akibat Hukum dari Perkawinan
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungan suami istri dan timbul hak dan kewajiban masing-masing timbal-balik yang merupakan akibat hukum dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita.Adapun hak-hak yang dimaksud :
a.    Hak-hak Bersama
Hak-hak bersama antara suami dan istri adalah sebagai berikut:
1)    Halal bergaul antara suami dan istri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
2)    Terjadi hubungan mahram semenda; istri menjadi mahram ayah  suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu istri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
3)    Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan istri sejak akad nikah dilaksanakan. Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan istri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaulan suami istri.
4)    Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
5)    Bergaul dengan baik antara suami dan istri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai.  Mengenai hak dan kewajiban bersama suami istri, UUP menyebutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut: “Suami istri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
b.    Hak-hak Istri
Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, berbuat adil di antara pria para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
1)    Mahar (Maskawin)
Dengan demikian, mahar yang menjadi hak istri dan kewajiban atas suami itu hanya merupakan symbol kesanggupan suami untuk memikul kewajiban-kewajibannya sebagai suami dalam hidup perkawinan yang akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Jadi bukan uang pembelian dan bukan pula sebagai upah bagi istri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
2)    Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Menggauli istri dengan baik dapat mencakup:
a)    Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
b)    Melindungi dan menjaga nama baik istri. Suami berkewajiban melindungi istri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutup-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada istri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan istri kepada orang lain.
c)    Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri Hajat bilogis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini.
c.    Hak-hak Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh.
B.   Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan
1.    Pengertian Pembatalan Perkawinan
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak syah (No Legal force or declared Void), dan sesuatu yang dinyatakan no legal force, maka keadaan itu dianggap tidak pernah ada (never exizted). Dari pengertian pembatalan ini dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
1)    Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force)
2)    Juga dengan sendirinya diangggap tidak pernah ada (never existed)
3)    Oleh karena itu, si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.[25]
Oleh karena itu perlu dipahami perbedaan antara pembatalan dan pencegahan perkawinan.Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan, disebabkan karena adanya syarat-syarat perkawinan belum terpenuhi.Pencegahan atau menghalang-halangi (stuiting) perkawinan merupakan usaha untuk menghindari adanya suatu perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.[26]Sedangkan, pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.Sehingga, pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan itu dilangsungkan, sedangkan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan apabila perkawinan telah dilangsungkan.Dalam Pasal 22 UUPmerumuskan: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menetukkan lain.
 Dari pengertian yang tersebut diatas, dapat kita pahami, apabila perkawinan telah dilaksanakan akan tetapi sesudah terjadinya pelaksanaan perkawinan baru diketahui bahwa perkawinan yang terlaksana itu rupa-rupanya masih terdapat kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan undang-undang. Kata “dapat” disini tidak bisa dipisahkan dari kata dibatalkan yang berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah, kemudian baru menjadi batal karena adanya putusan pengadilan (vernietigbaar) sebagai lawan batal demi hukum.Jadi kalau kita mengikuti alam pikiran Pembentuk Undang-undang maka suatu perkawinan itu ada yang bisa dibatalkan dan ada yang tidak bisa dibatalkan atau ada perkawinan yang sah dan ada perkawinan yang keabsahannya diragukan sehingga dapat dibatalkan.
Perkawinan yang melanggar syarat-syarat formil dan materiil maka perkawinan itu dapat dibatalkan.Oleh karena itu sebelum berlangsungnya suatu perkawinan perlu diadakan pemeriksaan dan penelitian terlebih dahulu terhadap wali nikah dan calon suami-isteri tersebut, untuk mengetahui apakah syarat perkawinan yang diperlukan telah dipenuhi atau tidak ada halangan yang merintangi pelaksanaan perkawinan itu.Apabila ternyata ada syarat-syarat perkawinan yang tidak terpenuhi, maka pelaksanaan perkawinan itu harus dicegah.Hal ini untuk melindungi kepentingan dari calon suami-isteri dan agar tidak menimbulkan kerugian yang diderita oleh para pihak yang berkepentingan di kemudian hari.Sebab perkawinan tidak semata-mata menyangkut kepentingan pribadi dari orang-orang yang terikat pada perkawinan tersebut akantetapi juga menyangkut kepentingan yang lebih luas.
Oleh karena itu terhadap pegawai pencatat nikah, prinsip ketelitian dan sikap hati-hati, sifatnya adalah mutlak.Namun apabila perkawinan tersebut telah terlaksana, maka harus diadakan pembatalan terhadap perkawinan yang bersangkutan. Ketentuan tentang pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UUP, serta dalam Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 9 tahun 1975. Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan yang daerah kekuasannya meliputi tempat dilangsungkannya suatu perkawinan itu, atau di tempat tinggal kedua mempelai, atau ditempat tinggal suami atau isteri.
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan oleh yang berhak mengajukannya. Dan juga ditentukkan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pemanggilan, pemeriksaan, dan putusan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36UUP. Sehingga dapat lebih jelaslah cara untuk melakukan pembatalan perkawinan, yaitu sama halnya cara gugatan perceraian yang secara terinci diatur pula dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 UUP, sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu.
2.    Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan (vernitigen) diatur dalam pasal 23 dan pasal 24 UUPmenentukkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan yaitu:
a.    Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri. Ketentuan ini korkondan dengan oknum-oknum yang dapat memberi izin atau menjadi wali terhadap calon mempelai
b.    Suami atau isteri. Ini berarti si suami atau isteri sesudah perkawinan dapat mengajukan pembatalan disebabkan oleh keadaan-keadaan yang disebutkan dalam Pasal 27 UUP.
c.    Oleh Pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang hanya dapat meminta pembatalan selama perkawinan belum diputuskan. Jika telah ada putusan pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebutkan pada sub a dan sub b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh lagi mengajukan pembatalan. Jadi pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan selama belum ada putusan pengadilan.
d.    Salah seorang dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan dapat mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru. Ketentuan pasal ini hampir bersamaan dengan Pasal 15 UUP, yaitu hal yang berhubungan dengan pencegahan perkawinan. Tapi oleh karena pasal 24 dengan penjelasan pasal 15 UUP, pembatalan ini hanya berlaku mutlak bagi laki-laki saja sebagaimana bagi seorang isteri mutlak tidak boleh kawin dengan laki-laki lain selama dia masih mempunyai seorang suami yang sah. Akan tetapi, bagi seorang laki-laki sesuai dengan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UUP dapat saja melakukan perkawinan poligami jika telah dipenuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UUP. Jadi seorang isteri baru dapat mempergunakan ketentuan pasal 24 UUP selama dia belum memberikan izin persetujuan atas perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang suami. Akan tetapi bagi seorang suami selamanya tanpa suatu persyaratan apapun dapat mempergunakan hak untuk pembatalan kapanpun atas perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang isteri.
e.    Pembatalan dapat juga dimintakan oleh pihak kejaksaan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1)UUP, apabila perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat yang tidak berwenang atau apabila wali yang bertindak adalah wali yang tidak sah atau apabila perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi.
3.    Prosedur Pembatalan Perkawinan
Setiap orang yang hendak mengajukan pembatalan perkawinan mengajukan permohonan itu kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan, atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.UUP menganut prinsip bahwa “tidak ada suatu perkawinan yang dengan sendirinya batal menurut hukum”.Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.Dengan dibatalkannya suatu perkawinan oleh Pengadilan maka perkawinan tersebut menjadi batal.
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ialah Permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. Dalam Pasal 37 PP No 9 Tahun 1975: “batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”. Selanjutnya mengenai tatacara memajukan permohonan dan panggilan untuk pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 38 PP No 9 Tahun 1975 yang menentukkan:
a)    Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
b)    Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan perceraian
c)    Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan pasal 36 PP No 9 Tahun 1975
Sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 PP No 9 Tahun 1975 diatas, segala sesuatu yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan sama prosedurnya dengan tatacara perceraian. Untuk tidak berlebihan persoalannya akan dibicarakan sehubungan dengan persoalan yang menyangkut perceraian. Berdasarkan hal tersebut, maka kiranya dapat disimpulkan tata cara permohonan pembatalan perkawinan sebagai berikut :
a.    Permohonan pembatalan perkawinan oleh pemohon atau kuasanya diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kediaman termohon, yang isinya memberitahukan niatnya untuk membatalkan perkawinan tersebut disertai dengan alasan-alasan yang dipergunakan untuk menuntut pembatalan perkawinan tersebut. Dalam hal termohon tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, permohonan pembatalan perrkawinan diajukan ke Pengadilan ditempat pemohonan. Dalam hal termohon berada di luar negeri, maka Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan pembatalan perkawinan tersebut kepada termohon melalui Perwakilan Republik Indonesia di Negara tempat tiggal termohon.
b.    Pengadilan memanggil termohon secara tertulis dengan melampirkan permohonan mengenai pembatalan perkawinan, yang harus disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum persidangan pemeriksaan dilakukan (Pasal 38 PP No. 9 tahun 1975 jo. Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975);
c.    Pengadilan memeriksa permohonan pembatalan perkawinan tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan (Pasal 38 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 jo. Pasal 29 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975). Jika termohon berada di luar negeri maka pemeriksaan ditentukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak gugatan diterima di Pengadilan Negeri;
d.    Pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan jika perdamaian tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dilakukan dalam siding tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam siding terbuka;
e.    Apabila keputusan Pengadilan telah mempunyai kekuataan yang tetap, Panitera Pengadilan menyampaikan satu lembar dari keputusan itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, untuk selanjutnya oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dicatat pada daftar yang diperuntukkan untuk itu;
f.     Jika pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama, Panitera Pengadilan Agama itu berkeharusan meminta dikukuhkan putusan itu oleh Panitera Pengadilan Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan itu mempunyai kekuataan hukum yang tetap, dan pengadilan berkewajiban untuk mengembalikan putusan tersebut ke Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya putusan itu untuk dikukuhkan, dengan menyebutkan “dikukuhkan”, serta keputusan yang dikukuhkan itu ditanda tangani oleh Hakim serta di cap dengan cap jabatan.
4.    Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan
Alasan-alasan pembatalan itu diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UUP :
a.    Pihak yang melakukan perkawinan kedua kali masih terikat dirinya dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain.
b.    Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencacat perkawinan yang tidak berwenang
c.    Perkawinan tanpa izin dari orang yang harus memberi izin perkawinan, maka perkawinan dapat dituntut pembatalannya oleh orang yang harus memberikan izin.
d.    Apabila wali nikah yang bertindak menjadi wali adalah wali yang tidak sah. Dan adanya kemungkinan apabila para wali menghalangi perkawinan calon mempelai dapat minta perwalian kepada Hakim sendiri. Kecuali secara mutlak wali itu memang tidak termasuk dalam urutan susunan prioritas, dalam hal ini tak perlu penelitian yang berhati-hati.
e.    Apabila perkawinan itu dilangsung tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Dalam hal ini sudah jelas tidak memenuhi ketentuan undang-undang yang mengakibatkan tidak sahnya perkawinan dan memang beralasan sekali untuk minta pembatalan.
f.     Alasan yang didasarkan atas dilangsungkannya perkawinan disebabkan adanya ancaman yang melanggar hukum. Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas (vrii willig) dari salah seorang calon mempelai. Dan mempunyai pengertian yang lebih luas dari pengertian ancaman kekerasan yang bersifat tindak pidana. Dapat kita katakan segala macam ancaman apa pun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai, termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UUP tersebut sifat ancaman itu berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum, yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan. Batas jangka waktu ini memang perlu untuk adanya kepastian hukum (rechtzekerheid)
g.    Alasan salah sangka (dwaling) mengenai “diri” suami atau isteri. Pasal 27 ayat (2)UUPini tegas disebut salah sangkanya harus mengenai “diri”. Jadi mengenai orangnya atau personnya. Sebab itu kekeliruan yang dimaksudkan dalam hal ini tidak mengenai “keadaan” orangnya, yang menyangkut status sosial ekonomis. Dan jangka waktu salah sangka ini pun tidak lebih dari 6 bulan dan mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri, dengan lewat jangka waktu tersebut gugurlah hak yang bersangkutan untuk minta pembatalan berdasar salah sangka (Pasal 27 ayat (3)UUP).
h.    Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan (pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun).
Pembatalan yang disebut dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UUP ini adalah alasan-alasan yang agak limitatip tapi tidak secara mutlak. Terutama alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 27 UUP tersebut tidak membatasi kemungkinan-kemungkinan alasan-alasan yang mungkin dapat dipergunakan berdasar kepatuhan dalam batas-batas perikemanusiaan dan kesusilaan.
UUP menghendaki perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Karena dengan adanya persetujuan kedua calon mempelai tersebut berarti telah dipasang suatu pondasi yang kuat untuk membina suatu rumah tangga.Hendaklah persetujuan itu merupakan suatu persetujuan yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai sendiri, bukan karena suatu paksaan.[27]
Pelanggaran terhadap persetujuan tersebut, seperti dinyatakan di dalam Pasal 27 UUP, yaitu berupa kemungkinan adanya suatu ancaman yang melanggar hukum dan salah sangka mengenai diri suami atau isteri, memberi kemungkinan kepada suami atau isteri tersebut untuk meminta pembatalan perkawinan. Apa yang dimaksud ancaman dan salah sangka tersebut, tidak terdapat suatu penjelasan resmi. Oleh karena itu harus diartikan secara seluas mungkin, bukan saja ancaman yang bersifat jasmani tetapi juga rohani.Begitu juga mengenai salah sangka, bukan saja perpangkal dari calon itu sendiri tetapi juga bisa berasal dari orang lain, umpamanya tipuan.
5.    Saat Berlakunya Pembatalan dan AkibatnyaTerhadap Anak
Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan terhitung sejak tanggal hari keputusan Pengadilan tentang pembatalan itu mempunyai kekuataan hukum yang tetap.Dan keputusan itu berlaku surut sejak tanggal hari dilangsungkan perkawinan (pasal 28 ayat (1)UUP). Selama keputusan pengadilan tersebut belum mempunyai kekuataan hukum yang tetap, maka suatu perkawinan akan tetap sah walaupun ada cacat di dalamnya dan hal itu telah diajukan permohonan pembatalan oleh orang yang berhak untuk menuntut pembatalan.
Adapun tujuan undang-undang mengatur demikian adalah untuk menjamin kepastian hukum tentang ada atau tidaknya suatu perkawinan. Kepastian hukum dalam suatu perkawinan dapat dikatakan merupakan syarat yang utama, oleh karena perkawinan tidak hanya menyangkut pribadi orang-orang yang terikat dalam perkawinan tersebut, melainkan juga mengikat kepentingan umum.[28]
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak terlindungi oleh hukum. Karena dengan adannya kekurangan-kekurangan persayaratan atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah, sehingga secara sepintas terkesan kedudukan hukum anak yang dilahrikan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum.
Dengan berlakunya UUP, sah tidaknya suatu perkawinan oleh Negara ditentukan pula oleh sah atau tidaknya perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pada dasarnya UUP tidak mengatur secara panjang lebar mengenai masalah akibat hukum dari pembatalan perkawinan. Begitu juga di dalam PP No. 9 tahun 1975, tidak mengatur lebih lanjut mengenai akibat pembatalan perkawinan.
Di dalam pasal 28 ayat (1) UUP menyatakan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan Pengadilan mempunyai kekuataan hukum yang tetap. Dengan adanya keputusan yang berkekuataan tetap perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum perkawinan itu ada. Pembatalan itu tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut terhadap :
a)    Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan. Hal ini adalah pantas berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak pantas dipikulkan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orang rua mereka. Oleh karena itu pembatalan perkawinan tidak mengakibatkan hilangnya status anak-anak.
b)    Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila perkawinan itu didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Pihak-pihak yang beritikad baik dilindungi dari segala akibat-akibat batalnya perkawinan, sehingga akibat yang bisa menimbulkan kerugian akibat pembatalan harus dipikulkan kepada pihak-pihak yang beritikad tidak baik yang menjadi sebab alasan pembatalan perkawinan, kecuali terhadap harta bersama. Sepanjang mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dianggap sah sebagai harta kekayaan perkawinan yang pelaksanaan pemecahan pembahagiannya dipedomani ketentuan pasal 37 UUP. Yaitu harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
c)    Juga terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut. Karena itu segala ikatan-ikatan hukum dibidang keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang diperbuat oleh suami isteri sebelum pembatalan adalah ikatan-ikatan dan persetujuan yang sah yang dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami-isteri yang telah dibatalkan perkawinannya secara tanggung-menanggung (hoofdelyke), baik terhadap harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi.[29]
Dalam perkawinan yang telah dikarunia anak. Maka mengenai kedudukan anak dalam hal perkawinan orangtuanya menjadi persoalan tersendiri. Karena antara orang tua dan anak ada kewajiban-kewajiban yang diatur oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 45 ayat (1) UUP bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya dan berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban tersebut terus berlangsung meskipun antara mereka telah putus perkawinannya, dimana putusnya atau berakhirnya perkawinan itu karena kematian, perceraian dan putusnya pengadilan.
Menurut Prof. Subekti “Perkawinan hapus jikalau salah satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.”[30]
Apabila dalam perkawinan dilahirkan anak-anak, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang akibat putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya tetap merupakan anak sah walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.Karena anak dan orang tuanya mempunyai hubungan kekeluargaan dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas diri anak tersebut. Apabila suatu perkawinan dinyatakan tidak sah, maka anakanak yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak sah akan menjadi anak yang tidak sah juga. Undang-undang memberikan pengaturan terhadap status (kedudukan) anak yang perkawinan orang tuanya dibatalkan oleh Pengadilan.
Undang-undang dalam hal ini tidak saja memberikan perlindungan terhadap suami-isteri yang bertindak dengan itikad baik, tetapi juga perlindungan mengenai status (kedudukan) anak disamping perlindungan terhadap pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam Pasal 28 ayat (2) sub a UUP yang juga sama dengan yang terdapat pada pasal 95 BW, diatur mengenai kedudukan anak akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap terhadap pembatalan perkawinan. Dalam pasal tersebut di atas intinya menyebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Jadi walaupun perkawinan kedua orangtuanya oleh pengadilan telah dibatalkan, akan tetapi putusan pengadilan tidak mempengaruhi kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dan mereka tetap dianggap anak sah yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah.
Pengertian “anak” yang dimaksud dalam hal ini adalah tidak hanya anak-anak yang dilahirkan saja akan tetapi juga anak yang dibenihkan sepanjang proses pembatalan hingga perkawinan dinyatakan batal oleh Pengadilan, juga pengesahan anak-anak luar kawin menurut ketentuan Pasal 272 BW. Demikian juga apabila ada anak adopsi yang dilakukan oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka yang perkawinan mereka dinyatakan batal, anak adopsi tetap akan sah dan tidak menjadi batal karena adanya putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tua mereka. Kedudukan anak yang dilahirkan tersebut, dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuataan hukum yang tetap, tidak terpengaruh dengan ada atau tidak adanya tindakan yang dilakukan dengan itikad baik dari kedua orang tuanya.
Orang tua tetap mempunyai kewajiban terhadap anak-anaknya, demikian juga anak-anaknya tetap mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi kepada orangtuanya, karena walaupun keputusan pembatalan tersebut menganggap suatu perkawinan tidak pernah ada, tetapi kewajibankewajibannya sebagai orang tua akan tetap ada dan keputusan pembatalan perkawinan tersebut tidak mengakibatkan kewajiabnnya sebagai orang tua menjadi hapus juga, akan tetapi keputusan pembatalan perkawinan tersebut akan tetap berakibat apabila tidak ada itikad dari kedua orang tuanya.
Apabila suatu perkawinan yang dilakukan dengan itikad buruk dan dinyatakan batal oleh Pengadilan maka tidak ada akibat hukum sama sekali, sehingga keputusan Hakim berlaku surut sampai pada saat perkawinan dilangsungkan dan anak-anak dari hasil perkawinan dianggap sebagai anak-anak luar kawin. Pengesahan atas anak-anak tersebut dianggap batal, demikian pula terhadap anak-anak adopsi dianggap batal. Karena dianggap sebagai anak luar kawin maka ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) UUP).
Walaupun pada prinsipnya pembatalan perkawinan tersebut berarti menganggap suatu perkawinan tidak pernah terjadi, tetapi undang-undang dengan jelas telah menetapkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan, untuk itu ia tetap berhak menerima apa yang menjadi haknya sebagai anak sah, yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya.Anak tersebut juga tetap berhak mewaris dari kedua orang tuanya, sebagaimana anak sah.Kekuasaan orang tua juga tetap berlangsung sampai anak tersebut dewasa.



[1] Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal.1

[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia,Cet. 9,(Bandung : Sumur Bandung, 1991), hal. 7

[3] Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1984), hal.36
[4] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 5, (Bandung:Alumni, 1986), hal.13
[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.26 (Jakarta:Intermasa, 1994), hal.23
[6] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta :Ghalia Indonesia,1960), hal.14,
[7] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kelurga, Hukum Pembuktian, cet IV,(Jakarta :Rineka Cipta, 1997), hal.94

[8]  Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,1985), hal 23
[9] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia (Airlangga University Press, 1988) hal. 38
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13]Ibid., hal. 39
[14]Ibid., hal. 42
[15]Ibid., hal. 43
[16]Endang, sumiarni, Kedudukan Suami Istri dalam Hukum Perkawinan, (Yogyakarta: Wonderful Publising Company, 2005), hal. 65
[17]Sayuti, Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Depok: UI Press, 2007), hal. 47
[18]Amir, Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group), hal. 46
[19]Soemyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty), hal 20
[20]Amir, Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group), hal. 46
[21]Abdullah, Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1983), hal 32
[22]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty, 1982), hal. 5
[23]Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hal. 20.
[24]  R. Tama dan Rusli, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1984, hal. 21.
[25] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :Zahir Trading, 1975), hal       71
[26] Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdara Barat, (Jakarta, Gitama jaya, 2005), hal 33

[27]  K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta :Ghalia Indonesia,1960), hal 25

[28]Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkainan dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta : Rizkita, 2002),hal 70

[29] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :Zahir Trading, 1975), hal 81

[30] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,1985), hal. 42

1 komentar:

  1. Pada artikel Status Perpajakan Suami Istri sudah dibahas mengenai status perpajakan apa saja yang terdapat pada suami istri, salah satunya Pisah Harta. Pisah Harta merupakan keadaan di mana suami-istri yang tidak bercerai tetapi sepakat di hadapan hukum melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Suami dan istri harus memiliki NPWP sendiri-sendiri dan melaporkan SPT secara terpisah. Pada pembahasan kali ini akan dibahas tentang ketentuan apa saja untuk wanita yang sudah kawin dan memilih untuk Pisah Harta. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1124/ketentuan-perpajakan-untuk-wanita-kawin-pisah-harta/

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter