Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian Delik Pers



            Di atas telah di uraikan tentang pengertian delik yang dikemukan oleh beberapa sarjana hukum, maka sekarang penulis menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan delik pers.
            Gambaran tentang arti teknis yuridis mengenai istilah ”delik pers” yang dalam kata-kata demikian tidak kita jumpai dalam perundang-undangan kita. Menurut Mr. Ny. Sutamijah Hadi mengemukakan adanya pandangan  yang sempit dan pandangan yang luas. Disertai pula di situ kenyataan bahwa pada umumnya para ahli memberikan kepada delik pers arti yang lebih sempit, sedangkan tampaknya pandangan yang luas dipandang identik dengan pemakaian istilah tersebut dalam bahasa sehari-hari. Maka dalam bahasa sehari-hari orang mengartikan delik pers sebagai semua kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang pers. Suatu perumusan yang sangat luas dan yang membawa akibat hukum yang sangat jauh. Ia dapat memasukkan di dalamnya misalnya pencurian atau pun pelanggaran lalu lintas, yang di lakukan oleh pers.
            Menurut disertasi Prof. Dr. Simons yang terkenal atau karangan Prof. Mr. W.F.C Van Hattum menjelaskan bahwa yang di maksudkan dengan arti yang luas dan sempit mengenai kata ”delik pers”, yang khususnya diambil dari kata-kata Pasal 7 Grondwet Belanda, Pasal 62, KUHP dan bukan dari Pasal 33 ”Drukpersreglement”, seperti dikemukakan penulis. Bukankah pasal tersebut memberikan tafsiran authentik mengenai arti ”barang cetakan”  dan hanya terbatas berlakunya, sekedar kita mempergunakan ”Drukpersreglement” sehingga arti tersebut tidak melampaui batas-batas dari peraturan tersebut.
            Perbedaan pokok yang ada antara kedua pendapat tersebut terletak pada tidak atau tidak adanya syarat publikasi sebagai unsur yang perlu dari delik yang originair. Syarat publikasi untuk dapat di pidanakan sebagai suatu delik inilah yang menentukan, apakah suatu delik dapat dikwalisifir sebagai ”delik pers” atau tidak.
            Maka, apabila dirumuskan secara tidak sempit, bahwa ”delik pers” itu adalah ”elke op zich zelf openbaring van de gedachten, aanhet publiek gericht en door middel van de drukpers geschied”.
            Menurut Ridwan J. Silamma mengemukakan bahwa yang di maksud dengan ”delik pers” ialah segala suatu perbuatan yang diancam pidana yang (hanya dapat) dilakukan oleh pers. Dalam arti sempit : menyangkut salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbit teratur/reguler (majalah, tabloid koran harian dan sebagainya) yang berfungsi sebagai sarana penyebarluasan informasi. Dalam arti luasnya beliau mengemukakan bahwa ”delik pers” menyangkut segala barang cetakan.
            Delik pers berasal dari dua kata delik dan pers. Delik berasal dari perkataan Belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Kata pers tentu sudah di ketahui dari penjelasan sebelumnya yaitu mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi sekarang, pengertian pers itu termasuk juga kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. Jadi, ”delik pers” artinya semua tindak pidana atau pelanggaran yang di lakukan melalui media massa.
            Padanan untuk delik pers dalam bahasa inggris adalah libel. The New Webster Internasional Dictionary mengartikannya sebagai ”a malicious writing or representation which brings its object into contempt or expose him ta public derision” (terjemahan bebasnya : tulisan atau pernyataan jahat yang menyebabkan objeknya berada dalam keadaan hina atau menyebabkan dia menjadi cemoohan publik).
            Sementara itu ada kamus Inggris lainnya yang mengartikan libel sebagai ”any written, printed, or pictorial statement that damages a person by defaming his character or exposing him to ridicule.” (terjemahan bebasnya : pernyataan apa pun melalui tulisan, barang cetakan, atau gambar yang merugikan seseorang dengan mencemarkan nama baiknya atau membuatnya menjadi bahan ejekan.”
            Mr. D. Hazewinkel suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht menyatakan bahwa “Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesainnya membutuhkan publikasi pers.”
            Baik definisi pertama maupun definisi kedua tentang libel kedua-duanya menekan pihak yang dirugikan yang bersifat orang-perorangan, sedangkan definisi delik pers oleh Suringa menekankan pihak yang melakukannya dan pihak yang dirugikan bisa siapa saja atau apa saja, orang atau lembaga, asalkan perbuatannya bisa di pidana. Dengan demikian, dalam konteks hukum kita, definisi Suringa rasanya lebih tepat karena sifatnya lebih luas, yaitu bahwa delik pers itu adalah delik pers yang bisa mendatangkan kerugian pada seseorang (private libel) atau bisa juga mendatangkan pada negara, masyarat, atau pemerintah (public libel).
            Memang ada perbedaan prinsip antara pengertian libel dan delik pers. Perbedaan ini terletak pada perbedaan tujuannya. Hukum yang menyangkut libel yang berasal dari Barat yang sistem politiknya bersifat liberal itu tujuannya terutama untuk melindungi individu-individu warga negaranya. Sedangkan hukum yang menyangkut delik pers yang dibentuk semasa pemerintahan Kolonia Belanda bertujuan selain untuk melindungi warga Negara tetapi juga untuk melindungi kepentingan penguasa waktu itu. Hal ini mengingat para pejuang kemerdekaan Indonesia sering mengutarakan pendapat atau mengkritisi pemerintah Kolonia melalui tulisan-tulisan di surat kabar.
            Jiwa kolonial yang masih tersisa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyangkut delik pers ini dapat dilihat misalnya dari beberapa pasalnya yang bukan saja mengatur pelanggaran yang merugikan orang perorangan (private libel), tetapi juga ada pula pasal-pasal yang mengatur pelanggaran atau kejahatan oleh pers terhadap negara dan pejabat negara serta terhadap masyarakat.
            Yang termasuk public libel antara lain “membocorkan rahasia Negara” (pasal 322 KUHP), “penghinaan terhadap presiden dan wakil presidan” (pasal 134 KUHP), “penghinaan terhadap kepala negara sahabat” (pasal 144 KUHP) “menodai bendera lambang Negara” (pasal 154a KUHP),”penodaan terhadap agama” (pasal 160 KUHP), “menghina penguasa dan badan umum (pasal 207 KUHP), dan “melanggar kesusilaan / pornografi” (pasal 282 KUHP).
            Contoh paling aktual mengenai kasus penghinaan terhadap presiden, menyangkut pengajuan penanggung jawab Harian Rakyat Merdeka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tuduhannya menyerang kehormatan presiden. Dalam tuntutannya, jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
            Selain dalam pasal-pasal KUHP, masih ada ketentuan lain menyangkut delik pers, yaitu pasal 1 ayat (3) Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang mencetak barang cetakan yang terlarang. Kemudian pasal 19 UU No. 21 tahun 1982 serta pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946 yang mencabut pasal 171 KUHP. Undang-undang yang disebut terakhir itu, selain mencabut aturan lama juga menetapkan ketentuan-ketentuan baru tantang penyiaran kabar bohong dan kabar-kabar yang tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran.
Delik pers yang dapat di golongkan sebagai private libel, yaitu delik pers terhadap orang perorangan, diatur dalam pasal-pasal KUHP mulai pasal 310 sampai pasal 315.Pasal 310 KUHP, misalnya, berbunyi:
(1)   Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)   Bila hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)   Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Contoh delik pers yang menyerang pribadi orang perorangan ini adalah dalam kasus pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, ia dijatuhi hukuman lima bulan penjara oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan gara-gara pemuatan gambar parodi Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Karim oleh pengadilan dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Kriteria delik pers:
1.    Harus dilakukan dengan barang cetakan
2.    Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan
3.    Harus dipublikasikan.
Syarat adanya publikasi bersifat mutlak. Artinya tanpa publikasi pikiran dan peranan tidak ada delik pers.
Pasal-pasal KUHP yang paling terkenal di zaman kolonial Belanda di kalangan para wartawan dan surat kabar-surat kabar pribumi adalah pasal-pasal tentang haatzaai-artikelen ini. Pasal-pasal yang menyangkut haatzaai-artikelen ini menjadi terkenal karena sifat karetnya. Delik pers yang dikategorikan haatzaai menyangkut kepentingan penguasa Kolonial di negeri jajahannya, sehingga ia harus dapat dilentur-lenturkan agar bisa menjerat para intelektual kita yang mengkritik penguasa kolonial melalui tulisan. Mantan pemimpin redaksi harian Sipatahunan yang juga sesepuh pers Jawa Barat, Mohammad Kurdi, pernah memperingatkan kepada penulis agar tidak menulis yang menyerempet-nyerempet bahaya sehingga tulisan dikategorikan ke dalam haatzaai-artikelen. Demikianlah gambaran kehati-hatian wartawan tempo dulu terhadap kemungkinan dijerat oleh haatzaai-artikelen.
Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya masing-masing : Haat = (benih) kebencian ; zaaien = menabur,menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang menabur benih kebencian” Pasal-pasal KUHP yang mengatur haatzaain-artikelen ini adalah pasal-pasal 154 hingga 157 dan 207.
Apa yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara jelas dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: ”Barangsiapa menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dari bunyi pasal 154 KUHP ini kita pun bisa menduga bahwa pasal yang masih terasa jiwa koloninya ini hanya diubah dengan mengganti kata Nederlands Indie dengan kata Indonesia saja di belakang kata Pemerintah. Di era Orde Baru pasal-pasal ini telah menelan korban antara lain pada tahun 1971 ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 2 September 1971 menghukum Tengku Hafaz, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara, dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun.
Selain Hafaz, juga ada Mochtar Lubis, wartawan terkenal dan satu-satunya wartawan Indonesia yang mendapat kehormatan menjadi honorary editor Majalah Times, pernah mendekam selama bertahun-tahun tanpa diadili pada zaman Orde lama karena dituduh  menulis haatzaai-artikelen ini pada surat kabarnya, Indonesia Raya. Muchtar lubis baru keluar dari penjara ketika rezim Orde Lama tumbang pada tahun 1965 untuk digantikan rezim Orde Baru.
Kalaupun ada pasal-pasal yang termasuk public libel  yang bertujuan melindungi warga seperti pasal 156 KUHP, yakni pelarangan menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap ras dan suku, itu hanya untuk mencegah berkobarnya kerusuhan yang menyulitkan penguasa.
Pasal yang menyangkut delik pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Karena Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999 yang mengatur kehidupan pers merupakan lex specialis, sehingga sepatutnya undang-undang inilah yang mengatur kehidupan pers. Sekarang ini hak-hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat pun memperoleh jaminan lebih rinci lagi dalam Amandemen ke-2 UUD 1945.

2 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter