Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertain dan Hak Asasi Anak



            Secara umum peraturan perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka Suryana Hamid (2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak delapan sampai delapan belas tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8 tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila umur antara 12 sampai 18 tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea, Filipina, Malaysia dan Singapura.
            Selanjutnya Task Force on Juvenile Delinquency Prevention menentukan bahwa batas umur anak yang bisa dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana adalah berumur 10 sampai 18 tahun. Resolusi PBB Nomor 40/33 tentang Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice, menentukan batas umur anak 7 sampai 18 tahun.
            Sedangkan bila bertitik tolak dari laporan penelitian  Katayen H Cama  (Lilik Mulyadi, 2005:16-17) batas umur minimal bervariasi dari umur 7 – 15 tahun. Hal ini dipertegas dengan redaksional sebagai berikut:
Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan  Katayen H. Cama, Hakim Pengadilan Anak Bombay, India yang mengadakan research untuk Departemen Sosial dari Perserikatan Bangsa-bangsa atas permintaan Social Commison dari Economic and Social Council menyatakan, bahwa:
-       Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di bawah usia 7 tahun dianggap tidak melakukan kejahatan;
-       Di Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak kurang dari 14 tahun tidak dapat dihukum;
-       Di Filipina, anak-anak di bawah 9 tahun, dan di Muangthai anak-anak di bawah 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kriminal;
-       Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di antara umur 7 tahun dan di bawah 12 tahun dan Filipina seorang anak di antara umur 9 tahun dan di bawah 15 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.

            Sedangkan untuk batasan umur maksimum 18 tahun dirasakan cukup representatif dengan kebanyakan hukum positif Indonesia (UU 1/1974, UU 12/1995, UU 3/1997) serta juga identik pada ketentuan umur di 27 Negara Bagian Amerika Serikat, kemudian Negara Kamboja, Taiwan, Iran serta sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) dari Sidang Majelis Umum PBB yang diterima tanggal 20 November 1989 dan di Indonesia disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 36 Tahun 1990 (LNRI Tahun 1990 Nomor 57) tanggal 25 Agustus 1990.            
            Berbagai batas umur seperti diuraikan di atas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak apabila batas minimal berumur 7 tahun dan batas maksimal 18 tahun, walaupun demikian ada juga negara yang mematok usia anak terendah 6 tahun dan tertinggi 20 tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dari negara tersebut.
            Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.
            Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana, b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
           
            Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

            Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
            Dengan demikian apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah termasuk yang masih dalam kandungan.
B.   Hak Asasi Anak
Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya Perang Dunia I.  Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktifis perempuan dalam pawai protes mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang (Unicef, 2003:12). Pada tahun 1942 untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini dikenal juga sebagai “Deklarasi Jenewa”. Pada tanggal 20 November 1989 Majelis Umum PBB mensahkan Konvensi Hak Anak dan pada tanggal 2 September 1990 mulai diberlakukan sebagai hukum internasional, sesuai ketentuan Pasal 49 ayat 1, “ Konvensi hak anak ini akan diberlakukan pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa instrumen ratifikasi atau keikutsertaan yang keduapuluh.”
Gagasan mengenai hak anak ini juga tercantum dalam Declaration Universal of Human Rights (DUHAM) yang bersifat universal, dalam arti setiap hak-hak yang diatur didalamnya berlaku untuk semua umat manusia di dunia tanpa terkecuali serta pemenuhannya tidak ditentukan oleh batas usia. DUHAM merupakan suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat  dengan senantiasa mengingat deklarasi ini akan berusaha dengan cara mengajarkan dan mendidik untuk memajukan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang progresif baik secara nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan pematuhannya secara universal dan efektif, baik diantara bangsa-bangsa negara anggota maupun bangsa-bangsa dari wilayah-wilayahnya yang berada dibawah kekuasaan hukum mereka.
DUHAM merumuskan pengakuan atas martabat kodrati dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian manusia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus memajukan serta melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia, seperti tercantum dalam konvensi tersebut. Dimulai dengan mendiseminasikan definisi anak sebagai: “…setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Kecenderungan timbulnya kebingungan akan masa pemberlakuan definisi tersebut membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Dalam mukadimah konvensi tersebut dijelaskan bahwa “Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran”. Definisi tersebut berlaku semenjak anak masih dalam kandungan hingga mereka mampu mencapai kematangan mental, sosial, dan fisiknya. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 ayat 1 dan 2 :
“Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak  anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum sejak anak dalam kandungan.”
Sejak ditetapkannya Undang-Undang No.23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, perlindungan anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap dan cukup banyak dicantumkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut antara lain adalah:
Pasal 4 :    Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 :    Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 13 : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.    Diskriminasi
b.    Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c.    Penelantaran
d.    Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e.    Ketidakadilan
f.     Perlakuan salah lainnya.

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam pasal 64 ayat (3) :
a.      Upaya rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
b.      Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
c.      Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun sosial.
d.      Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter