Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Kekerasan Terhadap Anak


The Social Work Dicionary, Barker dalam Abu Huraerah (2006:36) mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial baik yang dialami individu atau kelompok.
Richard J. Gelles dalam Abu Huraerah (2006:36) kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan terhadap anak meliputi berbagai bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan dasar anak. Sebagai sebuah masalah sosial, tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak pada awalnya kurang memperoleh perhatian publik secara serius, karena tindakan ini biasanya dianggap hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang secara psikologis bermasalah.
Pada kasus kekerasan terhadap anak, sang anak sebagai korban berada dalam posisi benar-benar tidak berdaya. Dari segi fisik, anak jelas tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi manusia dewasa yang seolah-olah adalah raksasa baginya.
Bagong Suyanto (2003:15) menyatakan secara konseptual kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo (1999) tindak kekerasan yang dialami anak-anak dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis :
1.    Tindak kekerasan fisik.

Kekerasan fisik umumnya menyangkut prilaku-prilaku yang berupa penganiayaan dan pembunuhan, yang dapat dilakukan baik oleh orang tua sendiri, saudara ( paman,kakek, dan lain-lain) maupun orang lain ( misalnya majikan).

2.    Tindak kekerasan seksual.
Tindak kekerasan ini mencakup berbagai tindakan yang melanggar kesusilaan dan atau yang berkenaan dengan kegiatan seksual.
3.    Tindak kekerasan psikologis.
Walaupun pernah dianggap sebagai suatu prilaku yang “biasa saja” dan tidak mempunyai dampak yang berarti pada anak, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sikap tindak, kata-kata dan gerakan yang dilakukan terutama oleh orang tua mempunyai dampak negatif yang serius bahkan traumatis, yang mempengaruhi perkembangan kepribadian/psikolog anak.
4.    Tindak kekerasan ekonomi.
Tidak memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang sewajarnya bagi anak, kadangkala tidak dapat dihindari karena kemiskinan orang tua. Namun kondisi ini tetap merupakan tindak kekerasan terhadap anak secara ekonomis, karena mempunyai pengaruh bagi perkembangan anak. Salah satu akibatnya adalah larinya anak dari rumah dan menjadi anak jalanan dengan resiko yang amat besar.

 Kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia sangat dini anak-anak sudah dikenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari yang verbal, fisikal hingga seksual. Pengalaman anak-anak berhadapan dengan kekerasan sangat beraneka ragam baik dari segi bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, pelaku kekerasan, tempat kejadian dan sebab-sebab terjadinya kekerasan.
Sementara itu dari hasil  field review di seluruh Indonesia yang dilakukan Departemen Sosial RI, diperoleh indikasi bahwa ciri-ciri tindak kekerasan pada anak yang dipahami oleh semua unsur terkait tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, meskipun dari beberapa Organisasi Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat di daerah cenderung menekankan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan tidak sengaja bukanlah sebagai perilaku tindak kekerasan. Pada umumnya berpendapat bahwa cedera fisik, mental dan sosial yang mengakibatkan korban tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya termasuk dalam kategori tindak kekerasan.
Departemen Sosial RI (2002:9) menyatakan ciri-ciri yang teridentifikasi menggambarkan bahwa tindak kekerasan memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.     Perilaku kekerasan yang dimanifestasikan dalam bentuk perlakuan salah (abuse), pemerasan (exploitation),penelantaran (negletion), pembedaan (discrimination), dan membiarkan orang berada dalam situasi berbahaya (emergency situation);
2.     Bersifat verbal dan non verbal dalam bentuk perbuatan merusak atau mencederai pihak lain;
3.     Bervariasi antara serangan fisik, mental, sosial, ekonomi, maupun seksual atau kombinasi diantara varian tersebut;
4.     Bertentangan dengan norma sosial yang berlaku dan/atau yang melanggar hak asasi manusia;
5.   Mempunyai akibat langsung terhadap korban, sehingga fungsi sosialnya mengalami gangguan atau mengalami hambatan untuk mengaktualisasi dirinya secara layak bagi kemanusiaan karena dampak trauma psikososial yang dialaminya.
Hasballah M. Saad (2000:2) menyatakan bahwa dalam kondisi sulit seperti yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini, oleh beberapa pengamat dan pemerhati anak diduga banyak anak-anak yang tidak dapat mendapatkan haknya seperti hak sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan serta belum mendapatkan perlindungan dalam hukum sebagaimana mestinya. Sejumlah faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab kondisi demikian antara lain :
1.    Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan sebagian orang  tua tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
2.    Perubahan persepsi masyarakat terhadap anak ; adanya pergeseran nilai yang berkenaan dengan intimitas dalam komunitas, menyebabkan meningkatnya kehidupan yang individualistik. Hal ini ditandai dengan berkembangnya urban kultur yang tampak lebih dominan daripada rural kultur yang lebih bersifat komunal. Kondisi yang demikian sering menyebabkan anak kehilangan pegangan hidup dan terpaksa harus mengatasi dirinya sendiri.
3.    Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hak-hak anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
4.    Keterbatasan pemerintah dalam memenuhi hak-hak anak korban kekerasan dalam rumah tangga.

Irma Setyowati (1990:23) menyatakan bahwa lingkungan terdekat anak adalah keluarga. Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keluarga dalam keseluruhannya. Oleh sebab itu usaha-usaha mewujudkan kesejahteraan anak tidaklah dapat dipisahkan dari usaha mewujudkan kesejahteraan keluarga dalam arti keseluruhan.
Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran atas perbuatan penyalahgunaan anak oleh orang tua. Salah satunya adalah alasan klasik dan masih tetap aktual sampai sekarang yaitu masalah ekonomi atau lebih spesifik lagi kemiskinan. Para orang tua hanya berpikir bahwa hari ini mereka harus makan. Masalah kesejahteraan dan perlindungan serta hak-hak anak mereka untuk memperoleh pendidikan yang tepat tidak pernah terpikirkan oleh mereka.
Parsudi Suparlan (1989;12) menyatakan kemiskinan sering diidentikkan dengan kesulitan serta ketidakmampuan dibidang ekonomi dan sumber daya. Secara definitif, kemiskinan adalah suatu standar hidup yang rendah dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (1989:16) menyatakan tentang kemiskinan, sebagai berikut :
Kekurangan menurut ekonomi sebagian terbesar bersumber kepada sistem ekonomi yang berlaku dimasyarakat yang lebih luas di mana masyarakat yang miskin hidup. Kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang lebih luas tersebut terhadap kehidupan orang miskin dan adaptasinya terhadap kondisi kemiskinan yang mereka hadapi dalam kehidupan yang nyata, dan bagaimana kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki tersebut mempengaruhi sikap-sikap mereka dalam menghadapi kesempatan yang terbuka untuk memperbaiki taraf hidup dan mengubah cara hidup yang berdasarkan pada kebudayaan kemiskinan.

Berkaitan dengan fungsi keluarga ini, negara menghormati tanggung jawab hak dan kewajiban orang tua atau para anggota keluarga besar (bila dapat diterapkan) atau masyarakat sebagaimana yang ditentukan oleh adat istiadat setempat, wali yang sah atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan untuk memberi pengarahan dan bimbingan yang layak kepada anak dalam penerapan hak-haknya yang diakui oleh Konvensi Hak Anak dengan cara yang sesuai dengan kemampuannya.
Oscar Lewis dalam Parsudi Suparlan (1989:20) menyatakan negara juga akan berupaya sebaik-baiknya untuk menjamin pengakuan atas prinsip bahwa kedua orang tua memiliki tanggung jawab bersama untuk membesarkan dan membina anak. Orang tua  atau walinya yang sah memikul tanggung jawab utama untuk membesarkan dan membina anak yang bersangkutan, kepentingan terbaik anak akan menjadi perhatian utama. Untuk menjamin dan meningkatkan hak-hak anak yang dinyatakan dalam konvensi ini, negara akan memberi bantuan yang layak kepada orang tua atau wali yang sah dalam pelaksanaan tanggung jawab mereka mengasuh anak dan menjamin pengembangan lembaga-lembaga, fasilitas dan pelayanan untuk perawatan anak.

1 komentar:

  1. Akhirnyaa ketemu juga artikel mengenai pengertian kekerasan maupun pengertian konflik, terimakasih banyak kak sudah berbagi ilmu, semoga berkah.

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter