Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN


            Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 1 Angka 4 UUPTUN para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan huku perdata dan badan atau pejabat TUN.
            Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 4 UUPTUN tersebut di atas, juga dapat diketahui kedudukan para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Oleh karenanya tidak mungkin badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN sebagai pihak penggugat. Dengan demikian dalam hal sengketa TUN tidak mungkin terjadi rekonvensi (gugat balik). Apabila terjadi rekonvensi, maka kedudukan para pihak dalam sengketa menjadi berubah, penggugat awal menjadi pihak tergugat, sedangkan tergugat awal menjadi pihak penggugat.
            Tergugat adalah selalu badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya itu menunjukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar, sehingga badan atau pejabat TUN itu dianggap berwenang melakukan tindakan hukum (dalam hal ini KTUN) yang disengketakan.
            Wewenang tersebut dapat diperoleh secara atributif, delegasi, atau mandat.
            Secara mendasar, atribusi diartikan sebagai pelimpahan atau pemberian suatu wewenang (baru) oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di Parlemen (MPR) kepada pemerintah (dalam arti luas), sehingga dengan adanya pelimpahan atau pemberian wewenang tersebut maka pemerintah (Eksekutif atau Pemerintah dalam arti sempit) kemudian memiliki kewenangan secara sah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian segala tindakan Pemerintah menjadi sah menurut hukum serta mempunyai kekuatan mengikat secara umum karena telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui wakilnya di Parlemen yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
            Perolehan wewenang secara atribusi yang berasal dari peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat disebut dengan istilah original legislator, yaitu bahwa MPR selaku pembentuk konstitusi telah memberikan kepercayaan kepada legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah Pusat) untuk bersama-sama membentuk undang-undang. Sedangkan pada tingkat Daerah, DPRD bersama Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda).
            Bentuk perolehan wewenang melalui delegasi dan mandat ini diartikan bahwa terjadi pemberian dan pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu ke Badan atau Pejabat TUN yang lainnya berdasarkan wewenang atributif. Jadi, pemberian atau pelimpahan wewenang melalui delegasi dimungkinkan bilamana telah memiliki wewenang atributif.
            Meskipun demikian antara wewenang delegasi dengan wewenang mandat terdapat perbedaan yang sangat prinsip. Hal ini karena pada delegasi maka wewenang si pemberi (delegans) secara penuh diserahkan atau dialihkan kepada si penerima delegasi (delegantaris), baik dari segi tanggung jawab maupun tanggung gugatnya. Lain halnya dengan pemberian atau pelimpahan wewenang yang diserahkan oleh si pemberi mandat, wewenang yang diserahkan oleh si pemberi mandat (mandans) kepada si penerima mandat (mandataris) hanya bersifat pengalihan tugas-tugas semata, sedangkan  dari segi tanggung gugatnya tetap berada di tangan si pemberi mandat.
            Ditinjau dari segi prosedur dalam mengambil alih kembali wewenang yang telah diserahkan, maka pelimpahan wewenang melalui delegasi, delegans harus terlebih dahulu membuat penetapan tentang pencabutan delegasi tersebut, sehingga pihak delegantaris secara yuridis tidak lagi memiliki wewenang delegasi ( asas contrariusactus). Sedangkan palimpahan wewenang melalui mandat, maka mandans setiap saat dapat mengambil alih kembali wewenang yang telah dilimpahkannya kepada mandataris jika menginginkannya.
            Menurut penjelasan Pasal 1 angka 1 UUPTUN, yang dimaksud “urusan pemerintahan” yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN di Pusat maupun dengan yang digunakan oleh Montesquieu dalam konsep Trias Politica, yaitu membagi kekuasaan negara atas kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Jika pandangan tersebut benar adanya, maka dapat dsimpulkan bahwa yang dimaksud denagn kegiatan yang bersifat Eksekutif adalah semua kegiatan/aktifitas dari penyelenggaraan urasan pemerintahan negara (aparatur pemerintah dalam arti sempit) yang bukan kegiatan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan (legislatif) dan bukan pula kegiatan mengadili (yudikatif). Selanjutnya, dengan berdasar ketentuan Pasal 4 dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, maka yang dimaksud dengan aparat pemerintah yang melaksanakan kegiatan eksekutif adalah Presiden sebagai pemegang dan penyelenggara kekuasaan pemerintahan dengan para menteri-menteri kabinetnya selaku pembantu Presiden, serta jabatan-jabatan di jajaran bawahan lainnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah kegiatan administratif sekretariat Jenderal Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Demikain pula dengan kegiatan administratif yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi-organisasi swasta yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah diberi izin atau berdasarkan perjanjian kerja sama di lapangan hukum publik diberi wewenang untuk melakukan kegiatan pelayanan kepentingan umum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
            Kepala Kantor Pertanahan merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang atau dilimpahkan kepadanya oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
“Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oelh Peraturan Pemerintah ini atau peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat Lain.”

            Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok:
Kelompok pertama, orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata tersebut secara langsung terkena kepentingannya oleh dikeluarkannya KTUN yang dialamatkan kepadanya. Karena itu jelas ia berhak untuk megajukan gugatan kepadanya.
Kelompok kedua, orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan meliputi:
a.    Individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain.
b.    Organisasi-organisasi kemasyarakatan (pencinta lingkungan) sebagai pihak ketiga dapat merasa berkepentingan, karena keluarnya suatu KTUN dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.
            Kelompok ketiga, badan atau jabatan TUN yang lain, namun UUPTUN tidak memberi hak kepada badan atau jabatan TUN untuk menggugat.
            Adanya kepentingan merupakan suatu syarat minimal untuk dapat dijadikan alasan mengajukan gugatan di Pengadilan TUN. Pengertian kepentingan itu dalam kaitannya dengan hukum acara TUN mengandung dua arti yaitu:
a.    Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan
b.    Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Ada adagium yang mengatakan point d’interet point d’action (bila ada kepentingan, maka di situ baru boleh diproses). Berproses yang tidak ada tujuannya harus dihindarkan, sebab tidak bermanfaat bagi kepentingan umum.
Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum tersebut dapat kita lihat dari adanya hubungan antara orang atau badan hukum perdata yang bersangkutan di satu pihak dengan KTUN yang bersangkutan di lain pihak. Kepentingan ini dapat dikelompokkan kedalam:
1.       Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat, apabila kepentingannya itu tidak jelas:
§  kepentingan itu ada hubungan dengan penggugat sendiri;
§  kepentingan itu harus bersifat pribadi;
§  kepentingan itu harus bersifat langsung;
§  kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.
2.       Kepentingan dalam hubungannya dengan KTUN yang bersangkutan. Tiap KTUN yang telah dikeluarkan itu sebenarnya merupakan suatu proses rangkaian keluarnya berbagai macam keputusan (katakanlah keputusan persiapan yang dibuat oleh staf). Dari keseluruhan rangkaian proses keputusan-keputusan itu tentu ada satu keputusan pokok yang dimaksudkan untuk dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Keputusan inilah yang diberi suatu klasifikasi dan yang mempunyai arti untuk digugat.

2 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter