Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Hukum Tanah Sebagai Suatu Sistem Hukum


Hukum Agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) digunakan dalam arti yang sangat luas. Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam konsideransnya, pasal-pasal dan penjelasannya dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa.
Dalam pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak atas sumber-sumber daya alam tertentu.
Hukum tanah bukanlah mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut hukum tanah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah itu pun dapat dipelajari dengan menggunakan suatu sistematika yang khas dan masuk akal.
  Menurut Lichfield (Harsono 2002:17) bahwa bagi seorang sarjana hukum, tanah merupakan suatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya, buatan manusia yang disebut “Fixtures”. Biarpun demikian perhatian kita lebih tertarik pada pemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatian hukumnya bukan tenahnya melainkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya, pemindahan serta pengawasannya oleh masyarakat.
Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum mengenai tanah yang dikuasainya atau dimilikinya. Untuk diketahui bahwa hukumnya dapat ditemukan pada Pasal 4 ayat 1 UUPA. Dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, ditentukan :
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan bahwa adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan hukum”.   

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. untuk keperluan-keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya. Oleh karena itu, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah tetapi juga tubuh buni yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi memang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah air serta ruang yang ada di atasnya.
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang pokok agraria dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
  1. Hak-hak Masyarakat Atas Tanah
Hak atas tanah merupakan hubungan hukum antara subjek hak dengan suatu bidang tanah tertentu (Salindeho, 1988:164) beliau melanjutkan bahwa hubungan hukum inilah yang disebut hak atas tanah, di mana ia berisikan wewenang dan kewajiban. Sehubungan dengan masalah penataan ruang kota, hak-hak masyarakat atas tanah dapat dibedakan atas hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
a.       Hak Ulayat masyarakat hukum adat
Hak Ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yang menyatakan :
           “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. 

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.
Menurut Harsono (1999:272) hak ulayat merupakan suatu hubungan konkret yang pada mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat.
C.C.J. Maasen dan A.P.G. Hens sebagaimana dikutip oleh Nomadyawat (1995 : 43) merumuskan bahwa :
Hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepala desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu : unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama, termasuk bidang hukum publik. Unsur kewenangan yang termasuk dalam bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Harsono, 1999:171-172).
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum, baik yang sudah dimiliki oleh seseorang maupun yang belum. Berkenaan dengan hak ulayat, Gautama (Hammar, 2001:37) menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat diakui, di samping itu juga dibatasi, dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan di Republik Indonesia.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat adat, pada intinya mengakui adanya ulayat masyarakat hukum adat, dan dipandang perlu didaftarkan.
Dalam masyarakat hukum adat, selain hak ulayat ada pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini bersumber dari hak ulayat. Antara hak ulayat dan hak perseorangan selalu ada pengaruh timbal balik. Makin sering usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungan dengan tanah dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut.
Eksistensi hak ulayat dalam hukum tanah nasional tetap diakui, jika menurut kenyataannya masih ada. Artinya bila dalam kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Meskipun eksistensi hak ulayat diakui, namun pelaksanaannya dibatasi. Sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih rendah.      
b.      Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA
Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak-hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) bunyinya sebagai berikut :
(1)      Bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai atas dasar hak menguasai dari negara sebagai maksud dalam Pasal 2, dinyatakan adanya bermacam-macam hak atas permukaan oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)      Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah sebagai hak individual terdiri atas hak yang sifatnya permanen dan hak yang bersifat sementara. Hak atas tanah yang sudah pasti itu diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak sewa. Sedangkan hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.   
  1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah
Dalam kepustakaan hukum dikenal dua jenis sarana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang sifatnya preventif dan represif.
Menurut Hadjon (Hammar, 2001:42) pada perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian perlindungan hukum yang preventif bertujuan mencegah terjadi sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindakan pemerintah yang tidak didasarkan pada ketentuan aturan yang berlaku. dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Perlindungan terhadap pemegang hak-hak atas tanah yang bersifat preventif berupa sosialisasi dalam bentuk penyebarluasan melalui media cetak, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, musyawarah yang terbuka dan demokrasi serta penggantian yang layak.
Secara filosofi, yuridis dan sosiologis perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada konsepsi hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab XA dinyatakan bahwa :
-          Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak milik (Pasal 23)
-          Setiap orang berhak atas lingkungan hidup baik dan sehat (Pasal 28)
-          Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 32).
-          Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman (Pasal 41).
-          Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi (pasal 42).
-          Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 43).    
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa :
-          Setiap orang berhak atas pengeluaran, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).
-          Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah (Pasal 6 ayat 1)
-          Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk atas hak tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman (Pasal 6 ayat 2).
-          Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 9 ayat 3).
-          Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hal miliknya (Pasal 29 ayat 1).
-          Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan ewenang-wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat 2).
-          Pencabutan hak milik atas suatu benda dari kepentingan umum hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 37 ayat 1).
-          Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangan lain dan hukum Internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia (Pasal 71).

1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter