Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Hak-hak Masyarakat Atas Tanah


Hak atas tanah merupakan hubungan hukum antara subjek hak dengan suatu bidang tanah tertentu (Salindeho, 1988:164) beliau melanjutkan bahwa hubungan hukum inilah yang disebut hak atas tanah, di mana ia berisikan wewenang dan kewajiban. Sehubungan dengan masalah penataan ruang kota, hak-hak masyarakat atas tanah dapat dibedakan atas hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
a.    Hak Ulayat masyarakat hukum adat
Hak Ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yang menyatakan :
        “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. 

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.
Menurut Harsono (1999:272) hak ulayat merupakan suatu hubungan konkret yang pada mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat.


C.C.J. Maasen dan A.P.G. Hens sebagaimana dikutip oleh Nomadyawat (1995 : 43) merumuskan bahwa :
Hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepala desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu : unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama, termasuk bidang hukum publik. Unsur kewenangan yang termasuk dalam bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Harsono, 1999:171-172).
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum, baik yang sudah dimiliki oleh seseorang maupun yang belum. Berkenaan dengan hak ulayat, Gautama (Hammar, 2001:37) menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat diakui, di samping itu juga dibatasi, dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat adat, pada intinya mengakui adanya ulayat masyarakat hukum adat, dan dipandang perlu didaftarkan.
Dalam masyarakat hukum adat, selain hak ulayat ada pula hak perseorangan. Hak perseorangan ini bersumber dari hak ulayat. Antara hak ulayat dan hak perseorangan selalu ada pengaruh timbal balik. Makin sering usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungan dengan tanah dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut.
Eksistensi hak ulayat dalam hukum tanah nasional tetap diakui, jika menurut kenyataannya masih ada. Artinya bila dalam kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Meskipun eksistensi hak ulayat diakui, namun pelaksanaannya dibatasi. Sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih rendah.     
b.    Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA
Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak-hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) bunyinya sebagai berikut :
(1)    Bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai atas dasar hak menguasai dari negara sebagai maksud dalam Pasal 2, dinyatakan adanya bermacam-macam hak atas permukaan oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)    Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah sebagai hak individual terdiri atas hak yang sifatnya permanen dan hak yang bersifat sementara. Hak atas tanah yang sudah pasti itu diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak sewa. Sedangkan hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.   

1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter