Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

BENTUK-BENTUK PIDANA SERTA SISTEM PEMIDANAAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


Ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari hukum pidana umum. Demikianlah mengenai sistem pemidanaan tindak pidana korupsi yang sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum dalam stelsel pidana menurut KUHP. Adapun hal-hal yang menyimpang dari stelsel pidana umum, adalah mengenai bentuk dan sistem penjatuhan pidananya.
Dalam hukum pidana umum (KUHP) yang membedakan antara pidana pokok dengan pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas (1) pidana mati, (2) pidana penjara, (3) pidana kurungan (4) pidana denda; sedangkan pidana tambahan terdiri atas (1) pencabutan hak-hak tertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu, dan (3)  pengumuman putusan hakim (Chazawi, 2005:350).
Mengenai berat ringannya pidana pokok yang akan dijatuhkan pada si pembuat dalam vonis hakim telah ditentukan batas maksimum ,khususnya pada tiap-tiap tidak pidana. Majelis hakim tidak boleh melampaui batas maksimum khusus tersebut. Sedangkan batas minimal khusus tidaklah ditentukan, melainkan batas minimal umumnya, misalnya pidana penjara dan kurungan minimal umumnya satu hari.
Adapun bentuk-bentuk pidana yang dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Dan sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum dalam stelsel pidana menurut KUHP diancamkan apabila terjadi tindak pidana sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:
1.     Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bahkan pada ayat (2) pasal ini pidananya dapat diperbesar yaitu pidana mati.
2.     Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh  juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 210 KUHP.
3.     Tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh  juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 209 KUHP.
4.     Tindak pidana korupsi suap pada hakim dan advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 210 KUHP.
5.     Tindak pidana korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, dipidana tahun dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 387 dan 388 KUHP.
6.     Tindak pidana korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) Rumusan tindak pidana ini diadopsi dari eks pasal 415 KUHP.
7.     Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsukan buku-buku dan daftar-daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 416 KUHP.
8.     Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusak barang, akta, surat atau daftar sebagai mana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 417 KUHP.
9.     Tindak pidana korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 418 KUHP.
10.  Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau pemyelenggara negara atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji : Pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit (satu miliar rupiah). Rumusan ini diadopsi dari pasal 419, 420, 423, 425 dan  435 KUHP.
11.  Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B, dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)  tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
12.  Tindak pidana korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingatkan kekuasaan jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
13.  Tindak pidana yang berhubungan dengan Hukum acara pemberantasan korupsi, yang pada dasarnya bersifat menghambat, menghalang-halangi upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan ini dimuat dalam tiga pasal, aykni pasal 21, 22, dan pasal 24. pelanggaran terhadap pasal ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), namun pada pelanggaran terhadap pasal 24 Jo 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
14.  Tindak pidana pelanggaran terhadap pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP, sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, dipidana penjara paling singkat 1 (satu)  tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).  (Chazawi, 2005:33).
Selain pidana pokok sebagaimana diterangkan di atas maka kepada terpidana dapat pula diberi pidana tambahan sebagai upaya pemulihan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya ini dapat dilihat pada pasal 18 ayat (1) yakni:
(1)   Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang Hukum pidana, sebagai pidana tambahan  adalah:
a.    Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang  yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula harga dan barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b.    Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.    Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d.    Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana korupsi sama dengan hukum pidana umum, tetapi sistem penjatuhan pidananya ada kekhususan jika dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu sebagai berikut:
1.    Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan dibedakan menjadi dua macam.
a.    Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan serentak. Sistem imperatif-kumulatif diancamkan pada tindak pidana korupsi yang paling berat.
b.    Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Di antara dua jenis pidana pokok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus untuk penjatuhan pidana bersifat fakultatif yang jika dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana Fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana tambahan. Sistem imperatif fakultatif (penjaranya imperatif, dendanya fakultatif) ini disimpulkan dari dua kata yakni “dan atau” dalam kalimat mengenai ancaman pidana dari rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di sini hakim bisa memilih antara menjatuhkan bersamaan dengan pidana denda (sifat fakultatif). Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 3, 5, 7, 10, 11, 13, 21, 22, 23, dan 24.
2      Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam KUHP.
3      Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum umum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun), dalam hal bila terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah dengan sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misalnya pasal 104, 340, 365 ayat 4).
4      Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenai pidana mati sebagai suatu pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengenal pidana mati dalam hal bila tindak pidana tersebut pasal 2 terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Jadi, pidana mati itu adalah pidana yang dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi pasal 2 dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut  dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana alam nasional:; sebagai pengulangan; atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Tidaklah boleh lupa bahwa sistem pemidanaan hukum pidana formil korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan denda atau pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik pada maksimum khusus maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila nilai objek tindak pidana korupsi tersebut pasal 5, 6, 7, 8. 9, 10, 11, dan 12 kurang dari Rp 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah). Untuk nilai objek tindak pidana korupsi kurang dari lima juta rupiah ini ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda palling banyak Rp.50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah). Jadi meniru sistem penjatuhan pidana hukum pidana umum dalam KUHP.  
Berbeda dengan uraian di atas, adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi. Nampaknya pembentuk undang-undang Tindak Pidana korupsi menyadari sepenuhnya bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang tetapi juga oleh korporasi, melalui pengurusnya yang akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya dengan berbagai modus operandi. Bahkan korporasi yang dimaksud tidak hanya berbadan hukum tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Peraturan mana, tidak dijumpai pada peraturan yang pernah berlaku sebelumnya. Sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum bahwa “Perkembangan baru yang diatur dalam undang-undang ini adalah korporasi sebagai subjek dalam tidak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi”. Hal ini diatur sebelumnya dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun jenis korupsi yang dapat dilakukan subjek korporasi adalah seperti yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan 3 undang-undang nomor  31  tahun  1991  tentang  pemberantasan tindak  pidana   korupsi yakni:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, ……”
            dan
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .....….”
Berbeda dengan subjek dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang, dimana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan  berupa: hukuman mati, seumur hidup, penjara dan denda. Sedangkan subjek pelaku korupsi adalah korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda. Selain pidana pokok yang dijatuhkan pada korporasi, juga pidana tambahan sebagaimana halnya pelaku korupsi adalah orang.
Selanjutnya berbicara mengenai pemidanaan dalam tindak pidana korupsi tidak jauh berbeda dengan pengertian pemidanaan dalam tindak pidana umum karena pemberian pidana dalam arti pemidanaan sangat penting sebagai bagian politik kriminal khususnya dalam menanggulangi dan mencegah kejahatan (Mustafa, 1983:47).
Ketentuan-ketentuan pemidanaan sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang No. 31/99 tidaklah terlepas dari teori tentang tujuan pemidanaan serta kebijaksanaan pidana pada umumnya. Di dalam doktrin ilmu hukum pidana dikenal dengan tiga teori tentang pemidanaan yaitu:
1.     Teori Pembalasan, yang menganggap bahwa dasar hukum pidana adalah pemikiran untuk pembalasan.
2.     Teori tujuan/prevensi, yang menganggap bahwa dasar hukum pidana adalah  terletak pada tujuan pidana itu sendiri yang pada pokoknya untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dan;
3.     Teori gabungan, yang menganggap bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan yang diterapkan secara kombinasi yang menitikberatkan salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lain, maupun pada semua unsur yang ada (Poernomo, 1983 : 27).

Selain itu tujuan penjatuhan pidana sebagaimana konsep RUU KUHP tahun 1982/83 dalam pasal 3 adalah:
1.    Pemidanaan bertujuan untuk :
a.    Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengadakan norma demi pengayoman masyarakat.
b.    Melakukan koreksi terhadap terpidana dan demikian menjadikan orang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
c.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
2.    Pemidanaan tidak bermaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Untuk memberikan pengertian tentang arti pemidanaan, oleh Sidarta mengatakan sebagai berikut :
Penghukuman berasal darikata dasar, hukum sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, tetapi juga dalam hukum perdata.

Selanjutnya menurut Sudarto :

Oleh karena tulisan berkisar pada hukuman pidana maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian (penjatuhan) pidana oleh hakim.  (Mustafa, 1983 : 48)

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa pemidanaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter